Part 21

1384 Words
 Wajah Lisa tertekuk dengan bibir manyun saat mendengar fakta tentang Vian. Pria itu ternyata berbeda dari yang Lisa pikirkan. Ingin rasanya Lisa kembali untuk mencubit sekujur tubuh Vian hingga memerah. “Dia itu pria yang suka bermalam dengan banyak wanita, meski pun tidak pernah menyentuhnya hingga ke tahap inti tapi Vian benar-benar perayu ulung.” Riko tidak henti menjelek-jelekkan Vian di mata Lisa. Dia ingin tahu bagaimana reaksi Lisa saat tahu siapa Vian sebenarnya. Tidak ada sifat baik Vian yang ia katakan semua tentang sifat buruk bosnya. “Apa dia pernah… itu… maksudnya dia pernah….” Lisa memainkan tangannya gugup saat mengingat Vian menciumnya kemarin. Rasanya bibir Vian masih menemel di bibir Lisa membuat tubuh gadis itu memanas. “Ciuman?” celetuk Riko membaca isi pikiran Lisa. Dengan pelan Lisa mengangguk malu. Wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus. Riko terkikik geli melihat kepolosan Lisa, bisa-bisanya Vian melakukannya pada gadis lugu ini. Dasar playboy, di mana-mana tebar jaring. “Hmm, kalau itu sepertinya belum pernah,” ucap Riko tentu dengan kebohongan. Dia tahu kapan saatnya membuat seorang perempuan bahagia. Ternyata dugaannya benar, sedetik kemudian Lisa tersenyum. Beribu-ribu keburukan Vian yang Riko katakan, namun Lisa tetap tersenyum dengan satu hal manis yang Vian lakukan. “Kamu benar suka sama Vian?” tanya Riko. Lisa mengangguk dengan semangat, hatinya berbunga-bunga mengetahui bahwa dia adalah perempuan pertama yang dicium Vian. Sementara Lisa tengah bahagia Riko justru merasa bersalah telah membohongi gadis lugu itu. Perjalanan menggunakan kapal terasa menyenangkan. Lisa selalu punya cara untuk memancing pembicaraan. Keingintahuan gadis itu tentang masa depan sangat tinggi. Riko dengan senang hati bercerita tentang masa depan sampai Lisa tertidur pulas dengan kaki tertekuk. Vian sangat beruntung dicintai oleh gadis lugu seperti Lisa namun Riko sangat menyayangkan keduanya tidak bisa bersama. “Andai kamu dari masa depan, mungkin Vian dengan senang hati menjadikan kamu kekasihnya,” kata Riko. Hari sudah malam saat kapal berlabuh di pantai. Riko membangunkan Lisa dengan lembut membuat gadis itu segera terjaga. Suasana gelap menyelimuti malam membuat mereka harus berhati-hati saat turun dari kapal. Lisa dan Riko kembali dengan selamat. Lisa menatap pantai di depannya. Dia berharap Vian akan datang menyusulnya, dia rindu dengan pria itu. Jarak yang memisahkan membuat hati Lisa hampa. “Ayo, Lisa kita pulang,” teriak Riko. Lisa berjalan pelan. Gadis itu enggan beranjak dari pantai. Lisa ingin menunggu Vian sampai pria itu datang menemuinya. Tapi Lisa tahu itu tidak mungkin terjadi.  Kedatangan Lisa dan Riko disambut hangat oleh Mande Rubayah. Lisa mengutarakan keinginannya untuk tinggal di rumah Mande mengingat paman dan bibinya dengan tega menjual Lisa demi harta. Lisa tidak ingin kembali le rumah itu. “Kamu bisa tinggal di sini jika kamu mau, Lisa,” kata Bu Mande sembari menyajikan makan malam. Lisa dan Riko saling melempar senyum, Bu Mande selalu menerima mereka dengan tangan terbuka. “Tapi di mana Malin? Kenapa dia tidak ikut bersama kalian?” tanya Bu Mande. Sejak kedatangan Lisa dan Riko tidak sedikit pun ia mendapat kabar dari sang putra. Malin Kundang. “Malin masih di pulau seberang. Dia akan pulang setelah urusannya selesai,” kata Riko. Bu Mande terlihat sedih membuat Riko kembali dirundung rasa bersalah. “Bundo rindu Malin. Bagaimana kabar anak itu? Apa dia sudah makan?” Mande Rubayah menghapus air matanya yang tiba-tiba menetes. Perasaannya tidak enak saat mengingat Malin. Riko mengusap punggung Mande Rubayah dengan lembut, mencoba menenangkan meski ia tahu itu tidak berarti sama sekali. *** Pagi pertama Riko dan Lisa menjalani hari tanpa Vian, entah bagaimana kabar pria itu sekarang yang jelas Riko khawatir. Bagaimana jika Vian mengalami hal buruk yang mengancam keselamatannya? Pikir Riko cemas. “Lisa kamu mau ke mana?” tanya Riko saat Lisa keluar dari biliknya. “Saya mau ke pantai menunggu Vian pulang,” jawab gadis itu. Perasaan Riko terenyuh, Lisa sangat tulus mencintai Vian. Terlihat dari wajahnya yang tetap berseri walau Vian tidak berada di sampingnya. “Saya ikut, ya,” ucap Riko. Lisa mengangguk, setelah berpamitan dengan Mande Rubayah keduanya pun berangkat ke pantai. Terik matahari di siang hari tidak menyurutkan semangat keduanya. Lisa tidak pernah mengeluh saat keringat bercucuran membasahi dahinya. “Di sini segar sekali,” kata Riko sembari merentangkan tangannya menikmati hembusan angin pantai. Mereka duduk di bawah pohon rindang dengan pandangan jauh ke depan. Berharap ada sebuah kapal besar yang berlabuh di pantai membawa Vian kembali pulang. “Apa yang kamu suka dari Vian?” tanya Riko menghalau kebisuan. “Apa saya harus menjawab?” Lisa menatap Riko. “Tidak dijawab tidak masalah. Kamu punya alasannya untuk tetap bertahan.” Lisa menarik napas dalam-dalam, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Hatinya menjeritkan nama Vian namun pikirannya terus menghalau untuk menyadarkan Lisa bahwa mereka tidak bisa bersama. Cepat atau lambat Lisa harus melupakan Vian. “Saya tidak punya alasan yang kuat kenapa bisa mencintai Vian, rasa itu muncul tiba-tiba. Saya tidak mencintai fisiknya karena suatu hari nanti fisik akan berubah tapi saya tidak mau cinta saya berubah. Saya juga tidak menyukai sifatnya karena sifat Vian bisa saja berbeda dan saya tidak mau dicintai dengan cara yang berbeda-beda. Saya hanya tahu bahwa saya mencintai Vian, hanya itu.” Riko terdiam mendengar jawaban Lisa. Ketulusan hatinya membuat Riko tertarik, tentu Riko ingin menjadi orang pertama yang Lisa cari saat menangis karena disakiti oleh Vian. Dengan senang hati Riko akan meminjamkan bahunya untuk gadis itu. “Kamu terlalu awam dengan cinta. Saya tahu ini pertama kalinya kamu jatuh cinta tapi yang harus kamu ingat adalah pria itu berbahaya. Tidak sebaik yang kamu kira, jadi kamu harus berhati-hati saat melibatkan perasaan. Jika kamu salah memberikan hati maka selamanya kamu akan terjebak dalam lingkaran asmara,” jelas Riko membuat Lisa kebingungan. “Kamu bicara aneh,” sahut Lisa dengan tatapan kembali ke depan. Riko tersenyum sembari membaringkan tubuhnya di atas pasir. Matanya terpejam merasakan belaian angin menerpa wajahnya. Ia merindukan kekasih hatinya yang sudah lama tidak bertemu. Bagaimana kabar gadis itu setelah kita tidak berjumpa selama beberapa bulan, batin Riko. *** Sebulan lamanya hari telah berlalu begitu saja. Setelah Lisa menyelesaikan pekerjaannya di ladang ia selalu pergi ke pantai menunggu kedatangan kapal besar yang akan membawa Vian kembali pulang. Setiap kapal yang berlabuh Lisa selalu menunggu dan memperhatikan setiap orang yang turun berharap salah satu di antaranya adalah Vian. Namun sering kali ia merasa kecewa ketika orang yang ditunggu tidak kunjung pulang. Lisa duduk termenung di atas pasir seraya mengubur kakinya  untuk mengusir kejenuhan. Laut biru yang luas menyadarkan Lisa harapan yang seluas samudra pun tidak mudah untuk terwujud. Lisa hanya bisa berdoa dan menunggu sang pujaan hati kembali pulang. “Saya akan menepati janji untuk menunggu kamu, Vian,” gumam Lisa. Riko yang melihat Lisa dari jauh merasa iba. Gadis itu tidak pernah patah semangat setiap hari menunggu orang yang tak tahu kapan akan pulang. Riko merasakan bagaimana khawatirnya Lisa pada Vian, karena Riko juga merasakan kegalauan itu. Perlahan Riko menghampiri Lisa dan duduk di sampingnya. “Sampai kapan kamu akan menunggu?” tanya Riko. “Sampai saya bertemu dengan Vian. Saya yakin dia akan kembali pulang, karena di sini adalah rumahnya.” Lisa tersenyum membuat Riko terpukul, harusnya gadis itu menangis atau menjerit menyumpahi Vian yang tidak pulang-pulang. Lisa terlalu baik membuat Riko kesal dengan gadis itu. “Saat Vian pulang nanti saya mau kamu menamparnya, atau menjewernya bila perlu. Pokoknya kamu jangan tersenyum atau menangis, kamu mengerti?” kata Riko. Lisa mengangguk patuh, semua perkataan Riko diresapinya dengan baik. Ditatapnya Riko sejenak, dengan penuh keraguan Lisa akhirnya angkat bicara. “Sebenarnya saya sudah berjanji tidak akan menamparnya lagi, tapi kalau menjewer saya bisa.” Riko tersenyum lebar sembari mengacungi jempolnya. Lisa lebih cepat mengerti jika menyangkut Vian. Riko tidak sabar melihat Vian dijewer oleh Lisa. Ada rasa bahagia membuat bosnya menderita. “Tapi apa kamu mau mengabulkan permintaan saya?” tanya Lisa dengan suara lembutnya. Riko menegakkan tubuhnya bersiap mendengar permintaan Lisa yang ingin dikabulkan. “Saya belum terlatih menjewer telinga, kamu mau jadi bahan latihan saya?” Riko menelan ludahnya susah payah. Lisa lebih mengerikan dari yang ia pikirkan. Benar saja dulu Vian sering menghindari gadis ini meski pada akhirnya Vian terjerat oleh Lisa. “Ma-maksudnya kamu mau jewer saya?” tanya Riko mengutarakan isi pikirannya. Lisa menganggukkan kepalanya tanpa rasa bersalah. Sepertinya Lisa benar-benar serius dengan ucapannya. Gadis itu tidak main-main mau menjewernya. “Saya tidak mau. Kamu belajar sendiri,” tolak Riko. “Tidak, kamu harus bantu saya,” kukuh Lisa. Riko beranjak dari duduknya menghindari Lisa yang siap menjewer telinganya. Lisa tidak tinggal diam ia mencoba melancarkan aksinya namun Riko dengan cepat berlari menghindar. “Hei tunggu, kamu belum saya jewer,” teriak Lisa mengejar Riko yang berlari di bibir pantai. “Saya tidak mau, kamu cari teman lain saja,” sahut Riko dengan suara yang tidak kalah kencang. Lisa dan Riko berlari di bibir pantai, saling kejar tanpa menghiraukan deburan ombak memasahi pakaian mereka. Sejenak mereka melupakan lelahnya menunggu seseorang yang tidak tahu kapan akan pulang. 

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD