BTW 10

2024 Words
Satu bulan berlalu. Kepala keluarga yang tak lain adalah Tuan Richard, berlahan keadaan nya mulai membaik, hanya tinggal pemulihan saja, bahkan hari ini pria itu sudah di perbolehkan untuk pulang. Allard terlihat tengah membantu sang Papa, menuruni mobil mewah nya, menginjakkan kaki kembali ke Mansion Bramastya. Melisa begitu antusias, mendengar kepulangan sang Ayah mertua. Gadis itu langsung menyambut pria paruh baya yang terlihat tengah terduduk di kursi roda, depan pintu masuk Mansion nya.  Rasanya sangat rindu dengan sosok ayah yang beberapa minggu ini tak bisa ia jumpai. Bukanya tak ingin menyambangi sang Ayah, saat di rumah sakit. Namun ia bisa apa? Jika anggota keluarganya saja melarang Melisa untuk datang ke rumah sakit. Tuan Richard hanya bisa tersenyum tipis, karena memang seluruh tubuh nya terasa kaku hanya untuk sekedar bergerak kecil. Pria itu hanya bisa tersenyum dan sedikit menggerakan jemarinya. Ingin ia menangis melihat ke adaan anak menantunya, yang terlihat jauh dari kata baik-baik saja. Melisa masih mematung di ambang pintu dengan berderai air mata, menatap lekat wajah sang Ayah yang sedikit pucat. Hingga otomatis menghalangi langkah seseorang untuk memasuki Mansion tersebut. "Ck...minggir! kau menghalangi jalan kami," decak Allard,  mendorong bahu Melisa, hingga gadis itu sedikit terhuyung. "Syukurlah, Papa baik-baik saja," gumam Melisa, mengabaikan tatapan sengit dari semua anggota keluarganya. Gadis itu tersenyum manis  sambil mengekor di belakang anggota keluarga nya menuju kamar Tuan Richard. Tak ingin ambil pusing dengan cacian tajam yang di lontarkan oleh Ibu mertua, apa lagi sekedar menghiraukan hinaan dari suaminya, terlalu malas. Karena sudah terlampau biasa baginya. Seolah ucapan menusuk yang keluar dari mulut mereka sudah menjadi alunan musik di setiap waktu, bagi Melisa. Hari berganti hari, Melisa lah yang tetap setia dan telaten mengurus Tuan Richard, begitu tulus. Bahkan anggota keluarga nya pun terkesan ogah mengurus kepala keluarga tersebut. Mereka memilih sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Nyonya Mona, dan Allard lebih sering menghabiskan waktu mereka di luar Mansion. "Pa.....makan dulu ya..., setelah itu minum obatnya. Agar Papa cepat dan kembali sehat seperti sedia kala," ucap Melisa lembut. Sambil menaruh nampan berisi semangkuk bubur dan segelas jus diatas meja. Kemudian mengambil mangkuk berisi bubur itu dari tempat nya, mendekat kan ke arah sang Papa, yang sudah terlihat rapi, sembari berjemur di halaman Mansion. Tentu nya di temani oleh Melisa. Terlihat gadis itu begitu sabar, memasukkan suap demi suap sesendok bubur ke dalam mulut sang Ayah mertua. Tuan Richard, begitu terharu akan ketulusan Melisa. Ia semakin sadar bahwa orang yang begitu peduli saat ini hanyalah gadis itu, gadis asing yang bahkan tak ada ikatan darah dengan keluarga nya. Gadis biasa namun memiliki hati suci bak malaikat. Sekaligus gadis yang telah di campakan oleh anaknya dengan tak manusiawi.  Mengingat kejadian itu, hatinya terasa berdenyut sakit. Berlahan air mata mengalir dari ujung mata pria paruh baya tersebut. Ia benci dengan dirinya yang tak bisa melakukan apa-apa begini. "maafkan Papa nak.... Papa tak bisa menjagamu. Aku merasa gagal menjadi orang tua. Wajah mu penuh luka nak, apa yang sebenarnya terjadi padamu?" gumam Tuan Richard dalam diam. Wajah Melisa memang di penuhi luka lebam membiru. Tak hanya di wajahnya saja, bahkan seluruh tubuhnya, ada bekas cambukan. Tubuh sintal itu semakin mengurus. Tiada hari tanpa adanya siksaan yang di berikan oleh sang suami dan Ibu mertua nya. Pemuda itu begitu gila, bahkan semua yang Melisa lakukan seakan selalu salah di matanya. Ingin Melisa pergi, namun ia kembali teringat dengan Tuan Richard. Kalau dia pergi bagaimana dengan pria itu? Siapa yang akan menjaganya? Ia takut jika Lisa kembali mencelakai nya seperti tempo hari. Ya! Melisa tau tentang kejadian dimana Lisa mencoba melenyapkan pria paruh baya tersebut. Karena Lisa sendirilah yang telah memberitaunya. Namun ia tidak bisa apa-apa, kalaupun dia bilang pada yang lain, pasti juga tidak ada yang mempercayai nya. Dan lagi pula Lisa juga mengancamnya, andai Melisa berani buka mulut. Maka Lisa tak segan untuk melenyapkan Tuan Richard, hingga pria itu nantinya meregang nyawa. Dan tentu nya Melisa lah yang akan di salahkan atas semua itu. "Kau, gadis kumuh,...jaga suamiku baik-baik, jangan biarkan dia kelaparan.  Aku muak di rumah terus, aku mau pergi belanja dengan Lisa," perintah Nyonya Mona, sambil melenggang pergi meninggalkan Mansion. Melisa tersenyum miris. Anggota keluarga yang menurutnya benar-benar gila harta.  Hingga tega mencampakan sosok yang dulunya membanting tulang, untuk menafkahi keluarganya, dan sekarang terbaring tak berdaya, lalu di abaikan begitu saja. Allard kebetulan berangkat ke kantor siang, hari ini. Dan tanpa sengaja ia melihat bagaimana ketlatenan sang istri dalam merawat Ayahnya. Tak sadar seutas senyum terpatri di bibirnya.  Namun ia segera berpaling tak ingin melanjutkan imaginasi nya lagi. Terlalu munafik untuk mengakui sepenggal rasa cinta yang masih tertanam di dalam hatinya. "Dimana Lisa dan Mama?," Tanya Allard datar, karena sedari tadi tak melihat dua sosok tersebut. Terpaksa ia menanyakan nya pada Melisa. "Mama pergi belanja dengan Lisa,"  jawab Melisa seadanya, tanpa menghadap yang bersangkutan. Sambil menyiapkan baju pemuda itu. Jangan salah, meskipun gadis itu sudah tak di anggap. Namun ia tetap menjalankan tugas nya sebagai seorang istri. Selanjutnya, menyiapkan makanan untuk manusia yang bersetatus sebagai suaminya itu. Beda Dengan Lisa yang terkesan masa bodoh. Hanya mencintai harta dan kejantanan Allard saja. Benar-benar mencerminkan seorang jalang yang sesungguhnya. 3 TAHUN KEMUDIAN. Tahun berganti tahun telah berlalu begitu singkat, selama itu juga Melisa tetap bertahan di dalam Mansion Bramastya. Mansion neraka berkedok surga ini. Yang selalu menyiksa nya tanpa ampun. Terlihat Melisa sedang menemani bermain sosok balita lucu berumur sekitar 2 tahunan lebih, di taman belakang Mansion. Melisa merasa beruntung, setidaknya ia masih terhibur dengan sosok balita tampan itu. Wajah bocah itu begitu mirip dengan Allard Walau terselip rasa ingin memilikinya sendiri bersama pemuda tersebut, namun itu mustahil. Ya! Balita itu tak lain adalah anak dari Lisa dan Allard, yang di ketahui bernama Gilbert. Meskipun bukan darah dagingnya sendiri, namun Melisa begitu menyayangi bocah tersebut, begitu juga dengan balita laki-laki itu. Ia bahkan juga memanggil Melisa dengan sebutan Mommy. Jangan salah kan anak itu yang menganggap Melisa sebagai Ibunya, namun salahkan orang tua kandungnya yang tak mau mengurus Gilbert, semenjak bocah itu lahir ke dunia ini. Ya! Bisa di katakan Melisa berperan ganda di dalam Mansion Bramastya, berperan sebagai Mommy, Gilbert dan sekaligus sebagai baby sisternya. Entah Melisa harus merasa senang atau sedih. Senang karena ia bisa merasakan kehangatan dan kebahagiaan mempunyai seorang anak. Sedih karena ia harus mengasuh anak dari hasil hubungan gelap suaminya dengan wanita lain. Bayangkan saja bagai mana perasaan seorang gadis cantik bernama Melisa tersebut, harus mengurus anak dari hasil berhubungan suami dan selingkuhanya. Seandainya ada wanita lain yang berada di posisi Melisa, pasti nasip anak tampan itu sudah tak semujur nasip Gilbert. Mungkin anak itu sudah di siksa habis-habisan oleh sang Ibu tiri. Namun tidak dengan Melisa. Ia begitu menyayangi anak itu begitu tulus, selayaknya anak sendiri. Terlebih lagi Gilbert tumbuh menjadi anak yang sangat cerdas. Dan baik mengerti etika. Tentunya karena asuhan yang Melisa berikan pada anak itu, yang membuat nya menjadi sosok anak balita berpendidikan. Melisa meyakini, sekalipun  anak itu lahir dari sesosok gadis iblis, jika ia merawat dan mengajarkan hal baik pada nya. Maka tak dapat di pungkiri, anak itu juga akan ikut berjalan di jalan yang benar. "Mommy Meli.....cepat ke sini,..," teriak seorang balita lucu dari kejauhan, sambil melambaikan tangan mungilnya. "Iya Gigi....ada apa hm? Kenapa kau memanggil Mommy?," Melisa tersenyum, sembari menghampiri bocah lucu itu dan menggendong Gilbert dalam dekapan lembutnya. Ya! Gigi merupakan panggilan sayang dari Melisa untuk bocah yang bernama Gilbert tersebut. "Emm...sayang, ikut Mommy sebentar ya, menemui Grandpa. Sebentar saja.  Grandpa sudah waktunya minum obat," ajak Melisa dan mendapat anggukan dari  si kecil. Melisa begitu gemas dengan sosok kecil di gendongan nya ini, sesekali ia mencium perut mungil itu hingga sang empunya tertawa terbahak-bahak. Di tengah perjalanan menuju kamar Tuan Richard. Sekarang Melisa sudah berada di kamar sang Papa mertua. Ia mendudukkan tubuh Gilbert di samping Tuan Richard, yang terlihat tengah menyenderkan punggungnya di sisi ranjang. "Pa....lihat lah cucu mu yang lucu ini, dia datang kesini untuk menjenguk Papa," ucap Melisa, dengan kedua tangan sibuk menyiapkan beberapa butir obat dan menuangkan air ke dalam gelas, sembari tersenyum manis. Tuan Richard, enggan untuk menatap wajah polos bocah di dekatnya, ia selalu ingin memalingkan wajah melihat anak itu, masih terlalu sulit baginya untuk menerima kehadiran sosok Gilbert di dalam keluarga nya. Andai saja anak itu tidak terlahir dari rahim seorang iblis, mungkin pria itu dengan senang hati menerima keberadaan nya. Melisa hanya mendengus pasrah, ia tentu tau dengan apa yang tengah di rasakan oleh Ayah mertua nya saat ini. Namun ia tak akan membiarkan sang Ayah membenci Gilbert. Anak itu tak bersalah. Ia hanya menjadi korban dari kelakuan b***t kedua orang tuanya. Melisa mendudukkan tubuhnya di pinggiran kasur samping Tuan Richard terduduk, seraya meletakkan nampan berisi mangkuk kecil berisikan butiran obat dan segelas air putih di atas meja nakas. Ia beralih menggenggam kedua jemari dingin pria paruh baya tersebut. "Pa......jangan membenci Gilbert. Papa tau, dia anak yang sangat baik dan juga penurut. Kasihan dia Pa......anak ini sama sekali tak mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya. Allard selalu sibuk dengan dunia bisnisnya, dan Lisa dia bahkan tak pernah peduli dengan anak nya sendiri. Jadi ku mohon Pa... jangan benci Gilbert, terima keberadaannya," Melisa tersenyum ke arah si kecil, sembari mengelus pucuk kepala nya lembut. Melisa memang selalu bercerita tentang apapun yang telah terjadi di dalam Mansion ini, kepada Tuan Richard. Meski tiada sahutan dari pria tersebut, namun Melisa yakin bahwa pria itu mendengar dan memahami ucapan nya. Berlahan Tuan Richard sedikit tersenyum, menatap sendu ke arah bocah polos yang terlihat mengerjapkan kedua bola mata bulatnya. Pria itu mengangkat tangan bergetar nya pelan, mengelus pucuk kepala bocah yang kini menjadi cucu nya. Ia sadar, selama ini telah salah karena membenci anak kecil yang bahkan tak mengerti apa-apa ini. Melisa akhirnya bisa bernafas lega, setidaknya ada satu orang lagi yang menyayangi Gilbert selain dirinya. "Pa.....ayo, Meli antar berjemur, matahari pagi sangat bagus untuk kesehatan Papa," ucap Melisa, sambil membantu Tuan Richard mendudukkan tubuhnya di kursi roda. "Biar Gigi yang bantu Grandpa... Mom," pinta Gilbert dengan polosnya. Melisa tersenyum, menunduk ke arah sang putra. "Tidak sayang... Gilbert masih kecil," Melisa terkekeh, gemas dengan bocah mungil di sampingnya ini. Melisa membawa Tuan Richard ke taman belakang, sambil memantau Gilbert bermain dari kejauhan. Begitu terlihat binar kebahagiaan di mata gadis itu. Betapa ia ingin mempunyai keluarga bahagia bersama Allard. Tapi takdir berkata lain. Nyatanya sang suami lebih bahagia hidup bersama wanita lain. "Mom...lihat di sana, ada kupu-kupu lucu," Gilbert terlalu bahagia, berteriak sambil berlari mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Hingga tanpa sengaja ia terjatuh, karena tak melihat ada batu krikil di depannya. Bocah itu menangis sesenggukan, walau hanya mengalami sedikit goresan di lututnya. "Astaga sayang,...kau tak apa?," Panik Melisa, dan segera menghampiri anak tersebut. Menggendongnya dan memberikan kecupan-kecupan kecil di rambut putranya. "Sakit Mom.....hik," Gilbert terisak. Walau tak separah tangisannya tadi. Allard begitu emosi di kantor, menyadari ada nya beberapa berkas penting yang tertinggal di Mansion, memutuskan untuk kembali pulang. Dan sesampainya di Mansion tersebut, baru saja menginjakan kaki di depan pintu, langkah nya terhenti. Mendengar suara tangisan Gilbert. Dengan langkah tergesa, ia segera menghampiri sumber suara itu. "Apa yang kau lakukan pada putraku ha?," Ketus pemuda itu, seraya merebut anaknya dari gendongan Melisa. "Maaf All.....aku ceroboh menjaga Gilbert, hingga dia terjatuh," ucap Melisa takut, sambil menundukan kepala. "Dasar bodoh,, tak berguna," teriaknya murka. "PLAKKKKK...... Satu tamparan keras Allard layangkan di wajah sang istri. Hingga gadis itu jatuh tersungkur dengan luka bercak darah di sudut bibirnya. "Jangan sakiti Mommy ku... hik... jangan pukul Mommy ku....," Gilbert kembali menangis histeris dan memeluk sosok gadis yang ia panggil dengan sebutan Mommy itu. Ia takut dan tak suka, melihat Ibu kesayangannya di sakiti sang Daddy. "Dia bukan Mommy mu Gilbert," bentak Allard geram. Namun tidak membuat bocah kecil itu takut, justru sebaliknya. "Dia Mommy ku... hik...berhenti memukulnya. Gigi yang salah, pukul aku saja Dad," bela Gilbert. Melisa tak tahan untuk tak menumpahkan air matanya. Ia terharu karena Gilbert begitu menyayanginya. "Tidak sayang... Mommy yang salah. Berhenti menangis, jagoan tak boleh cengeng ok," bujuk gadis itu berusaha menenangkan sang putra di pelukannya. Allard berdecih remeh, kemudian meninggalkan Melisa dan Gilbert. Tak menyadari adanya sang Ayah yang menatapnya benci dari kejauhan. Tuan Richard hanya bisa menangis dalam diam, merutuki ketidak berdayaanya. Sebegitu menderitakah Melisa selama ini. Allard benar-benar iblis. Tak punya belas kasihan. Ia ingin membalas perlakuan putranya, namun apa daya. Sekedar bergerak dan bicara saja sulit bagi nya. Tapi ada sepercik rasa tenang di dalam hatinya, melihat Gilbert begitu menyayangi Melisa. Setidaknya bocah itu bisa menghibur kesedihan yang di alami gadis malang itu saat ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD