BTW 14

2109 Words
4 TAHUN BERLALU. Setelah beberapa tahun berlalu, apa kalian fikir kehidupan Allard kembali normal? Tidak! Hidupnya semakin terpuruk. Berlahan perusahaanya menurun drastis dan kalian tau itu ulah siapa? Ya! Rammon lah yang melakukannya. Pemuda yang menyandang predikat sebagai orang terkaya no 1. Ingat dengan Gilbert? Bocah itu kini sudah berumur 6 tahun lebih, anak itu tumbuh menjadi sosok yang dingin, angkuh, pendiam. Dan juga arogan. Kurang kasih sayang. Ia berani menentang perintah siapapun, tak peduli itu guru di sekolahnya atau pun keluarganya di Mansion. Gilbert sudah menginjak pendidikan di sekolah dasar dan dia sangat tampan begitu duplikat dengan sang Daddy. "drttt...... drttt...... drttt..... Di saat Allard sedang sibuk bersikutat dengan berkas-berkas yang menumpuk di meja kerja nya. Tiba-tiba phonselnya bergetar. Ia meraup wajahnya kasar setelah mengetahui siapa yang menghubunginya. "Astagggaaa......apa lagi yang di lakukan bocah itu," geram nya. Allard mengangkat panggilan telphonenya. Dan panggilan itu dari wali kelas Gilbert. Allard begitu jengah, hampir setiap hari putra nya membuat onar di sekolahnya. Dan alhasil Allard lah yang selalu dapat imbasnya. Sedang Lisa, ia lebih mementingkan bisnisnya sendiri. Sebenarnya Gilbert adalah anak yang baik, namun ia hanya ingin di perhatikan seperti teman-temanya yang lain. Ia sedih. Sungguh demi apa, Gilbert masih mengharapkan kehadiran Melisa di sisihnya. Allard begitu sibuk hingga tak bisa menghadiri panggilan di sekolah Gilbert. Terpaksa ia menghubungi Lisa. Walau ia tau apa jawaban gadis itu nantinya. Sudah pasti menolak. Namun salah tebakan Allard kali ini, entah ada angin apa, tiba-tiba Lisa mau menghadiri panggilan sekolah anaknya. Entah setan apa yang merasuki gadis itu saat ini. Di mansion Fatony, terlihat seorang balita mungil berumur 3 tahunan lebih, tengah bermain dengan sosok wanita manis di ruang tamu. Sesekali mereka tertawa bahagia. Ya bocah cilik itu adalah Garel. Putra dari Melisa dan Allard, bocah lelaki imut yang cenderung duplikat dengan Mommy nya, Melisa Aurora. Ah! Melisa sangat bersyukur karena Garel tak memiliki turunan fisik dari Daddy nya. Atau mungkin kecerdasan dari pemuda itu yang menurun pada bocah lucu itu, tapi tak masalah. "Mom....di mana Daddy Rammon? Kenapa sedari tadi aku tak melihatnya?," rengek bocah itu, cemberut. "Daddy sedang kerja sayang...sebentar lagi dia pasti segera pulang, kenapa hm? Apa kau merindukanya?," Melisa tersenyum lembut sembari mengelus pucuk kepala anaknya. "Aku ingin jalan-jalan dengan Daddy... hah! Kapan ya, Daddy libur," Garel menundukan kepala lesu. Melisa menghela nafas dan tersenyum, ia faham betul dengan sifat manja anaknya ini. Hanya satu yang bisa mengembalikan mood nya. "Emm....bagaimana kalau Gery beli es krim dengan Mommy hm?," Seketika Garel bersorak gembira, kedua matanya berbinar dengan mata bulat yang melebar dan senyum merekah menampilkan gigi putihnya. Ya! Gary adalah panggilan sayang dari sang Mommy. "Ayo Mom, kita berangkat...," Melisa tersenyum simpul, akhirnya anak tercintanya bisa kembali tersenyum. Kenapa Garel, memanggil Rammon dengan sebutan Daddy? Apa Melisa dan Rammon sudah menikah? Belum! Melisa masih menutup pintu hatinya sampai detik ini Walau pun Rammon sudah berkali-kali menyatakan perasaanya, namun Melisa masih enggan untuk menerimanya. Antara ia trauma akan percintaan atau mungkin masih ada rasa dengan suaminya Allard Bramastya. Entahlah, Melisa tak mengerti akan isi hatinya sendiri. Jiwanya terjebak di dalam lautan penderitaan. Hingga tak lagi mengenal apa artinya cinta dan benci. Ia tak bisa membedakanya. Mungkin selamanya akan tetap begini. Lebih menutup hati untuk siapapun. Cinta nya hanya untuk si buah hati Garel. Mengingat kenapa anak kecil itu memanggil Rammon dengan sebutan Daddy? Itu semua karena permintaan Rammon sendiri, ia ingin anak tak berdosa itu bisa merasakan bagaimana mempunyai keluarga yang utuh. Dan Nyonya Carla pun juga menyayangi Garel seperti cucunya sendiri. Ia tau bagaimana hubungan Rammon dan Melisa. Walau sedikit prihatin melihat cinta sepihak dari anaknya. Namun ia juga tak bisa menyalahkan Melisa. Ia sangat mengerti perasaan gadis itu. Tak mudah untuk kembali membuka hatinya, di tambah lagi gadis itu pernah mengalami kisah rumah tangga yang mengerikan. Rammon sudah menceritakan semua kejadian yang telah menimpa Melisa, beberapa tahun yang lalu. Semenjak itu Nyonya Carla, berusaha melindungi Melisa dan menyembunyikan identitasnya. Flash back. Beberapa bulan setelah Rammon menolong Melisa. Nyonya Carla kembali, beribu pertanyaan terngiang di otaknya. Bagaimana tidak, sepulang nya dari luar negri dan mendapati Melisa ada di Mansionya, ia sangat yakin ada sesuatu yang ia tidak ketahui selama di luar negri. "Emoon... bisa jelas kan pada Mommy sayang?," Pinta sang Mama, lembut namun penuh penekanan. "Emm... Tentu Ma, aku tau Mama pasti berfikir yang macam-macam. Aku membawa Melisa kesini karena ingin melindungi gadis itu, Mam," "Melindungi? Apa lagi yang terjadi denganya? Apa suaminya kembali menyiksa gadis manis itu?," Carla mengernyit bingung. "Lebih dari itu. Bahkan b******n itu mencoba melenyapkan Melisa," emosi pemuda itu. Nyonya Carla membekap mulutnya, tak percaya. "A... Apa? Ini sudah keterlaluluan Ram," gerutu wanita itu, dengan kedua tangan mengepal erat. Berlanjutlah Rammon bercerita semua kejadian waktu itu. Hingga tiada yang terlewat kan. "Permainan akan segera di mulai, aku akan membantu Melisa membalaskan dendamnya," Nyonya Carla berseringai. Rammon tersenyum ia suka sifat Mama nya dalam mode kejam, seperti ini. Flash back end. Di mansion Bramastya. Allard terlihat tengah berjalan lunglai, entah sejak kapan kedua kakinya menuntunnya tak tentu arah dan sekarang sudah menapak di kamar Melisa. Ya! Semenjak kejadian beberapa tahun lalu, Allard tak berani memasuki kamar nya. Ia masih trauma akan semuanya yang berhubungan dengan sang istri. Kedua bola matanya menelisik ke sekeliling, masih sama seperti terakhir di tinggalkan sang empunya. Hingga pandanganya jatuh pada sebuah kotak nakas yang sedikit terbuka Ia berlahan membukanya, ingin melihat apa isi kotak tersebut. Hatinya tergerak untuk membuka isi benda itu.. Sebuah kertas putih terlipat rapi di dalam nya. Allard gemetar membuka kertas itu. Emosinya semakin membuncah, dadanya begitu sakit. Air mata sudah tak terbendung lagi. Tubuh kekar itu merosot ke lantai. Kertas yang ia lihat adalah surat hasil cek kehamilan milik Melisa. "Hik.... Melisa.,..maafkan aku, maafkan aku sayang....aku memang b******n, aku tega membunuh istri dan calon anak yang bahkan belum sempat melihat dunia. MELISA KEMBALI LAH......MELISAAAA.... Arrrrggghhhh....,". Allard hilang kendali, ia membuang semua benda yang ada di dekat nya. Menjambak rambutnya frustasi. Meraung bak orang kesurupan. Nyonya Mona, yang sedang mengurus sang suami begitu kaget mendengar amukan dari sang putra, karena memang kamar mereka berdampingan. Ia bergegas menghampiri putranya tersebut. "All....astaga, nak...apa yang terjadi dengan mu?," Panik wanita itu, memeluk tubuh sang putra erat guna menenangkanya. "Ma....aku benar-benar menyesal, aku ingin Melisa kembali, aku mencintainya Ma..," tangis Allard semakin menjadi, melupakan bahwa dirinya seorang lelaki. Nyonya Mona, tak kuasa untuk tak ikut menangis, hati nya begitu terpukul, sungguh ia sangat merasa bersalah. Andai waktu bisa di putar kembali. Ia tak akan pernah melakukan hal sefatal ini. Yang berhujung kehancuran yang mungkin tak bisa termaafkan. "All....maaf kan Mama. Ini semua karena salah Mama. All.... Mama mohon jangan seperti ini, Melisa sudah tenang di alam sana," ucap nya, antara frustasi dan menenangkan diri mereka berdua. "Tidak... Melisa masih hidup,..dia belum mati Ma," teriak Allard tak terima. Melepas pelukan sang Mama dan melenggang pergi keluar Mansion. Seperti orang gila. Nyonya Mona menagis sejadinya. Ia bersimpuh di lantai tak berdaya. Penyesalan yang teramat sangat, begitu mendalam hingga titik terdalam di dasar hatinya. Kenapa dulu ia tak pernah mendengar ucapan sang suami? Andai ia tak egois. Mungkin semua masih baik-baik saja. Mansion Fatony. "Grandma.....aku ingin sekolah, aku bosan hanya belajar home schooling," Garel mengguncang lengan Nyonya Carla.  Wanita paruh baya itu hanya tersenyum simpul. dan mengangkat tubuh bocah lucu itu, mendudukkan dalam pangkuannya. Ia tau Garel pasti sangat bosan, dia jarang sekali keluar Mansion.  Bukan tanpa alasan wanita itu membatasi pergaulan Melisa dan putranya. Semua itu demi kebaikan mereka berdua. Nyonya Carla tak mau identitas mereka terbungkar.  Dan usaha balas dendam Melisa akan sia-sia. "Mungkinkah ini sudah saat nya kita bertindak Emoon?," Ujar Nyonya Carla, pada sang putra. "Kurasa juga begitu Ma," sahut sang putra santai. "Bagaimana denganmu Mel? Apa kau siap baby?," Rammon merangkul pinggang sempit gadis manis itu. "Kapan pun itu aku siap Ram, sudah lama aku ingin melihat ke hancuran keluarga b******n itu," Melisa berseringai.  Rammon menganggukan kepalanya yakin. "Oh...Garel, sayang nya Grandma...kau mau sekolah kan hm?," Nyonya Carla mendongakkan dagu bocah di pangkuannya. "Tentu saja Grandma....apa Gary boleh bersekolah?," Tanya Garel antusias, dengan bola mata berbinar. "Tentu saja sayang...apa yang tidak untuk cucu kesayangan Grandma ini," mendengar penuturan sang Grandma, seketika Garel melonjak girang. Melisa tersenyum. Ia sangat bersyukur bisa bertemu dengan keluarga Fatony. Keluarga yang tanpa ada ikatan darah,  namun sangat menyayanginya. Menolong gadis yang bahkan sudah terbuang, bak secuil sampah di pinggir jalan, dan mereka memungutnya tanpa ada rasa jijik sedikitpun. Dan sekarang merubahnya bagai sebuah berlian yang begitu berharga. Di mana suatu saat nanti akan di hormati dan di sanjung oleh semua orang. "Ram," panggil sang gadis, sembari menundukkan kepalanya. "Hm? " Hanya gumaman, Rammon mengernyit bingung. "Terima kasih..." "Untuk?," Jujur, Rammon semakin bingung di buatnya. "Untuk semua yang telah keluarga mu berikan padaku,  mungkin jika tiada dirimu,  aku sudah tiada di dunia ini," Melisa menangis tersedu-sedu.  Ia tak tau dengan cara apa harus membalas kebaikan pemuda ini. "Hei...tenanglah,  apa yang kau bicarakan hm... Aku tulus menolongmu. Aku juga sudah menganggap Garel sebagai anak ku sendiri," tutur Rammon, yang mana semakin membuat gadis di dekapan nya menangis terisak. "Ram...terima kasih... hik..," "Astaga...sudah berapa kali kau mengucap kata terima kasih, sudah jangan menangis lagi. Kau tidak malu jika Garel melihat Mommy nya menangis seperti ini hm?," Kekeh Rammon, merasa lucu. Melisa langsung terdiam, walau masih sedikit terdengar isakan lirih. Gadis itu kemudian mengangguk lucu,  mengerucutkan bibirnya. Rammon semakin terkekeh, walau dalam hatinya begitu teriris melihat kesayanganya bersedih.  "Sasaran utama kita saat ini adalah perusahaan Bramastya, dan aku akan masuk berlahan ke perusahaan kecantikan Lisa. Aku akan menghancurkan gadis iblis itu secara berlahan, namun menyakitkan,"  Ujar Nyonya Carla, menatap lekat ke arah Melisa dan Rammon. "Em.. aku yang bertugas menyabotase perusahaan Bramastya. Setelah mereka masuk dalam perangkap kita. Maka giliran Melisa yang bertindak," ucap Rammon mantap. "Terima kasih Ram..... Mama, terima kasih karena sudah membantuku," Melisa sangat terharu. "Astaga...sayang,  Mama sangat menyayangimu seperti anak Mama sendiri.  Walau sebenarnya Mama sangat ingin kau menjadi anak Mama seutuhnya,"   wanita itu terkikik geli.  Melisa tak bodoh, untuk tak memahami ucapan sang Mama, ia mengerti arah pembicaraan Nyonya Carla. Wanita itu ingin Melisa dan Rammon menjalin hubungan serius. Melisa ikut tersenyum manis walau terkesan dipaksakan. "Sudahlah Ma.... jangan menggoda Melisa terus. Lihatlah wajah nya sudah seperti kepiting rebus," Rammon tersenyum melirik ke arah Melisa. "Apa kah ini sudah saat nya aku mencoba membuka hatiku kembali.  Rammon sangat baik padaku,  kenapa aku tak mencoba membalas cinta nya,? Baiklah aku akan mencobanya.  Namun aku bingung semua ini ku lakukan hanya sekedar balas budi atau sungguh dari dalam lubuk hatiku?" Melisa bergumam. Berperang dengan perasaan dan pemikirannya. "Mel....kenapa kau melamun hm...?," Tanya Rammon bingung dan sedikit khawatir. "Ah... tidak Ram,... aku tak apa-apa," Melisa tersenyum canggung. "Aku tau kau memikirkan sesuatu,  katakanlah...," pinta Rammon. "A.. aku... aku,  ingin... -- "Ingin apa baby...katakanlah," "Aku ingin... em... aku ingin mencoba membuka hatiku untukmu Ram," Melisa tersipu malu menyembunyikan rona merah di kedua pipinya. Rammon mengerjab beberapa kali, ia masih mencerna ucapan Melisa Ingin rasanya ia meledakan kebahagiaanya. Dan berteriak sekuat tenaga, mengungkapkan pada dunia. Bahwa dirinya tengah bahagia. "Apa yang kau ucapkan tadi baby...coba ulangi lagi..aku ingin mendengarnya lagi.. " Rammon mengguncang bahu Melisa. Melisa merolling bola matanya. "Ram....aku ingin mencoba membuka hati ku untukmu,  seret hatiku agar masuk dalam zona cinta mu Ram....ajarkan aku arti cinta yang sebenarnya," ucap Melisa serius. "Astaga Mel.....katakan ini mimpi, sayang aku akan berusaha mengisi ke kosongan jiwa mu,  aku janji akan membahagiakanmu dengan Garel...aku janji," bahagia Rammon, memeluk erat tubuh gadis manis itu. Air mata bahagia tak bisa terbendung lagi. Rammon terlalu bahagia, penantian selama bertahun-tahun lama nya akhirnya terwujud hari ini. Melisa membalas pelukan Rammon. Ia merasakan kenyamanan saat berada dalam dekapan pemuda itu. Entah lah ada yang sedikit berbeda, ia bingung merasakan kenyamanan dalam hal sebagai kakak? Atau sebagai kekasih?. Melisa memejamkan kedua matanya,  berlahan buliran bening mengalir di kedua pipi mulusnya.  "Semoga keputusan yang aku ambil sudah tepat. Tuhan tolong buka hatiku untuk Rammon.....buat aku jatuh dalam dunianya.  Setidaknya hanya ini yang bisa aku lakukan untuk membalas semua kebaikanya."  gumam Melisa dalam hati. Nyonya Carla yang sedari tadi melihat dari kejauhan berlahan ikut menitikan air mata.  Ia bahagia akhirnya apa yang di inginkan putranya selama ini terwujud.  Ia hanya bisa berdoa dalam hati, semoga mereka berdua hidup bahagia.  Hanya itu yang di inginkan hati tulus seorang Ibu. Beralih ke Mansion Bramastya. Kini Allard benar-benar merasa bahwa dirinya sudah gila.  Ia semakin merindukan sosok Melisa. Sekarang begitu berbeda, semenjak kepergian gadis itu. Tiada lagi acara membuatkan sarapan pagi,  tiada lagi yang menyiapkan pakaian untuk nya, jika kalian tanya kemana Lisa. Gadis itu lebih memilih bergumul dengan selimut tebalnya. Dari pada harus repot-repot, menyiapkan ini itu. Gilbert sudah siap dengan seragam sekolahnya. Suasana pagi yang terlalu monoton.  Itulah yang di rasakan keluarga Bramastya. "Gilbert.....sarapan dulu sayang. Biar Grandma suapi," bujuk Nyonya Mona, walau ia tau Gilbert sudah pasti menolak. Anak itu seolah menjadi anak yang tak tersentuh oleh siapapun. Nyonya Mona merasa hatinya sangat perih. Lagi-lagi perasaan menyesal itu menghantuinya lagi dan lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD