BTW 15

948 Words
Nyonya Mona terus saja memaksa Gilbert agar anak itu mau memakan sedikit saja makanan nya. "Ayolah.... sedikit saja sayang, nanti perutmu bisa sakit Gilbert," "Aku tidak lapar,..sekalipun aku mati kelaparan tak ada yang akan peduli denganku," sahut Gilbert datar. Kemudian melenggang pergi menuju mobil. Untuk berangkat ke sekolah. Allard terlihat berjalan menuruni tangga, tak sengaja ia melihat sang Mama sedang menangis. Ia terlalu hafal apa penyebabnya. "Ma...kenapa Mama bersedih? Apa ini karena Gilbert lagi?," Allard merangkul tubuh bergetar wanita tersebut. "All... hik... Gilbert, dia seolah tak menganggap kita keluarganya...aku sangat sedih All... bagaimana cara kita merubah sifatnya...?," Nyonya Mona semakin terisak. Dadanya terasa berat untuk bernafas. Allard hanya bisa menghela nafas. Sejujurnya ia juga tak tau bagaimana cara mengembalikan kebahagiaan anaknya. Haruskah ia kembali egois? Mengharap kedatangan istri tercintanya kembali? Ia sudah gila bila mengharap orang yang sudah tiada untuk bisa kembali. Allard tersenyum miris. Ingin ia tertawa akan kehancuran hidupnya. Allard mengantar Gilbert berangkat ke sekolah terlebih dahulu, sebelum dia pergi menuju ke kantornya. Suasana di dalam mobil begitu canggung tak ada pembicaraan atau pun sekedar bercanda kecil. Gilbert memilih untuk melihat keluar jendela, seakan pemandangan di luar lebih menarik untuknya di banding harus memandang wajah sang Daddy yang akan membuat sakit hatinya kembali teringat. Ia benci itu. "Gigi.....bagaimana dengan sekolahmu sayang?," Allard mencoba mengawali pembicaraan. "Seperti biasa," jawab Gilbert singkat. Lebih tepatnya malas, Allard menghela nafas, ia masih tak tau sampai saat ini kenapa sifat Gilbert begitu dingin padanya. "Gigi....boleh Daddy bertanya?," "Hm," Gilbert hanya membalas dengan gumaman. "Kenapa kau membenci Daddy?," "..." hening tiada jawaban, namun Allard melihat raut wajah Gilbert memerah, menandakan kebencian. "Gilbert.... jawab pertanyaan Daddy sayang," pinta Allard lembut. "Aku membenci mu... karena kau telah membunuh Mommy ku," jawab Gilbert datar. "ckiiittttttt..... Allard mengerem mobilnya mendadak. Ia terkejut dengan jawaban sang putra. Ia membelalakan bola mata hezelnya, begitu syok. Bagaimana bisa anak itu mengetauhi semuanya, siapa yang memberitaunya? Pertanyaan-pertanyaan mulai terngiang di otak pemuda itu. "Gilbert... siapa yang bilang pada mu?," Tanya Allard gemetar. Gilbert melirik tajam ke arah sang Daddy dengan menyunggingkan sebelah bibirnya. Sungguh demi apa Allard sangat takut dengan anak nya sendiri. Gilbert menopang wajahnya dengan kedua tangan di sisi jendela ia enggan menatap wajah sang Daddy. Menyembunyikan deraian air mata yang entah sejak kapan mulai membentuk anakan sungai di kedua pipinya. "Dad.....kenapa Daddy melakukan itu,... Mommy Meli sangat baik, walaupun dia bukan Mommy yang melahirkan ku," isak Gilbert. Allard sontak bungkam, ini kali pertama Gilbert berbicara panjang padanya. "Gigi....ini tak seperti yang kau fikirkan sayang... Daddy tak sengaja, sungguh Daddy sangat menyesal sayang," Allard mencoba meraih tubuh anaknya. Namun anak itu segera menepisnya. "Aku benci padamu Dad... kau tak bisa menjaga Mommy Meli... Daddy jahat. Aku mendengar semua pembicaraan Mommy Lisa dan Daddy waktu itu. Aku tidak tuli Dad," Gilbert mendorong tubuh Allard dan keluar dari mobil. Ia berlari tak tentu arah. Allard menghempaskan tubuhnya kasar di kursi kemudi. Meraup wajahnya penuh emosi. "Arrrgggghhhh.... Brengsek..... ini semua karena mu Lisa, sialan," teriak Allard marah. Ingatlah All, kau pun sama bajingannya dengan gadis medusa itu. Belum sampai emosinya mereda phonesel dalam sakunya bergetar, Allard dengan malas mengambil benda pipih itu dari dalam sakunya. Dan menggeser tanda hijau dilayarnya. "Ya Romi.....ada apa?," Dinginnya, menjawab panggilan dari Sekretaris pribadi nya. "gawat Tuan... Anda harus segera ke kantor... Perusahaan sedang menurun drastis. " "APAAA.... ck... Sialan," Allard mematikan panggilannya sepihak, dan menancap gas mobilnya dengan kecepatan tinggi.  Otaknya sangat kacau saat ini.  Di sepanjang jalan hanya ada umpatan yang keluar dari mulutnya. Di Mansion Fatony. "Sayang...bagaimana dengan tugasmu?," tanya wanita paruh baya pada putranya,  sambil menyesap teh dalam cangkir mahalnya. Terlihat begitu berwibawa. "Semua berjalan dengan lancar Ma... hanya tinggal menunggu beritanya tersebar di media," jawab Rammon yakin. Sembari membelai surai si manis di sampingnya. Melisa tersenyum evil, akhirnya apa yang ingin ia lakukan selama ini terwujud juga,  ya!  Melihat kehancuran keluarga Bramastya, adalah keinginan terbesarnya. "Mel...kau harus merubah penampilanmu sayang... Sebentar lagi kau akan melakukan tugasmu," ucap Nyonya Mona, dengan seringai cantiknya. "Baik Ma.... aku sudah tidak sabar, ingin segera menghancurkan mereka semua," Rammon tersenyum, mendengar penuturan sang kekasih, ia begitu gemas dengan gadis di sampingnya ini. Ia bangga karena Melisa yang sekarang, bukanlah Melisa yang lemah, mudah menangis dan tertindas seperti dulu. "Cupppp..... Ciuman sayang Rammon untuk Melisa. "Ram...aku malu, ada Mama..," Melisa menangkup kedua pipi nya, seraya menundukan kepalanya. Jatungnya berdegup kencang. Wajahnya terasa panas hingga menjalar ke leher dan telinganya. "Heii... manisku sedang malu eoh..," goda Rammon. Melisa begitu malu hingga ia menutup wajahnya dan berlari menuju ke kamar nya.  Rammon dan sang Mama terkekeh geli, melihat tingkah Melisa yang menurut mereka sangat lucu. "Sepertinya Melisa... mulai mencintai anak kesayangan Mama," sekarang giliran Nyonya Carla yang menggoda putra nya. "Aku harap juga begitu Ma... Ck! Sial dia manis sekali, aku jadi ingin menjadikan dia miliku seutuhnya," tutur Rammon sedikit bar-bar. "Ck..daras anak m***m,  nikahi dulu baru jadikan di milikmu seutuhnya," sahut wanita paruh baya itu, sembari melempar bantal sofa ke wajah pemuda tersebut. "Aisshh... Mama, iya.. iya... aku akan menikahinya dulu. Kalau aku bisa menahanya.. Kkkkk. " Rammon terkikik dalam hati di akhir kalimatnya. "Hei anak muda aku tau apa yang sekarang sedang kau fikirkan di dalam otakmu," sela wanita itu, seolah bisa membaca fikiran sang putra. "Astaga...apa Mama ini seorang cenayang?," Rammon memilih berlari dari pada mendapat geplakan sayang dari Mama tercintanya.  Nyonya Mona menggeleng kan kepalanya, sambil tersenyum manis. Ia bahagia, akhirnya Rammon benar-benar sudah menemukan cinta sejati nya. Ia hanya bisa berharap semoga mereka berdua bisa berbahagia sampai ke jenjang pernikahan. Terkadang ia juga takut, jika suatu hari nanti Melisa kembali bertemu dengan Allard, dan kembali pada pemuda itu. Mengingat mereka berdua masih terikat dengan tali pernikahan yang sampai sekarang masih terbilang suami, istri sah. Ia hanya tak ingin putra kesayangan nya kecewa. Namun ia yakin, jika Rammon sudah dewasa. Pemuda itu pasti tahu mana yang baik dan mana yang buruk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD