Eleanor kembali bekerja dan beraktifitas seperti biasanya setelah satu Minggu yang lalu keluar dari rumah sakit. Namun, dia beristirahat beberapa hari di rumah menunggu sampai tubuhnya benar-benar sehat dan pulih sepenuhnya sebelum akhirnya kembali bekerja.
Meskipun waktu itu Javier sempat membentak dan memarahi Eleanor, tetapi pria itu pada akhirnya membiarkan Eleanor tetap tinggal sendiri. Karena ada perasaan aneh yang menyelusup di hati Javier hingga membuatnya tidak sanggup memaksa Eleanor yang saat itu terlihat menyedihkan. Dan pada akhirnya Javier meluapkan kekesalannya dengan memarahi Eleanor karena tidak bisa mengintimidasi wanita itu.
Javier sama sekali tidak menyadari jika saat itu Eleanor hanya berpura-pura terlihat menyedihkan agar bisa menipunya. Karena Eleanor sadar, jika dirinya akan dikendalikan sepenuhnya oleh Javier jika dia tidak melakukan apa-apa dan hanya berdiam diri menuruti perintah b******n gila itu. Karena saat Javier sudah berhasil mengendalikannya, Eleanor tidak akan pernah bisa menentukan pilihan hidupnya sendiri seperti boneka.
Karena tidak bisa melawan Javier yang memiliki kekuasaan tinggi dan koneksi yang luas. Akhirnya Eleanor memutuskan untuk menjadi manipulatif untuk menghadapi pria itu yang memang terkenal licik dan tidak memiliki perasaan.
Eleanor memijat pundaknya yang terasa pegal sembari berjalan keluar dari restoran setelah jam kerjanya selesai. Belum lama dia berjalan keluar menuju halte bus, tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti tepat di samping Eleanor sembari membunyikan klakson.
Eleanor yang terkejut sontak menoleh ke arah mobil tersebut dan mendapati seorang pria tampan tengah tersenyum hangat ke arahnya.
"Masuklah, aku antar pulang," tutur Danzel dengan nada suara halus.
"Tapi jalan rumah kita tidak searah," sahut Eleanor ringan.
"Tidak apa-apa, aku tidak keberatan," pungkas Danzel ramah.
Eleanor pun akhirnya masuk ke dalam mobil Danzel.
"Oliv bilang beberapa hari yang lalu kau di rawat di rumah sakit," ujar Danzel setelah Eleanor masuk ke dalam mobil.
"Ah, aku terpeleset di kamar mandi. Jadi aku harus dibawa ke rumah sakit karena kepalaku terbentur keras," sahut Eleanor tenang.
"Apa semuanya baik-baik saja?"
"Everything is okay," jawab Eleanor tersenyum simpul.
Danzel menatap Eleanor lurus sembari memasang raut wajah yang tidak bisa ditebak. "Lain kali kau harus lebih berhati-hati."
"Aku mengerti," balas Eleanor.
"Bagaimana dengan keadaanmu sekarang? Apa kepalamu masih terasa sakit?"
Eleanor menatap Danzel dengan tatapan haru. Hatinya menghangat ketika mendapatkan perhatian dari pria itu. Tanpa sadar, sudut bibirnya mengembang ke atas membentuk senyuman lebar nan menawan. Senyuman yang tidak pernah Eleanor tunjukkan ketika bersama dengan Javier.
"Keadaanku sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya. Tapi terkadang kepalaku masih sedikit pusing jika aku kelelahan," sahut Eleanor dengan nada suara halus.
"Kau baru saja keluar dari rumah sakit, jadi jangan terlalu memaksakan diri untuk bekerja," tutur Danzel.
"Terima kasih sudah memperhatikanku," sahut Eleanor dengan tatapan hangat
"Apa kau sedang ada urusan di daerah sekitar sini?" tanyanya penasaran karena masih tidak mengira jika akan bertemu dengan Danzel di saat waktu sudah hampir tengah malam.
"Tidak, aku memang sengaja datang kemari untuk menemuimu. Karena saat mendengar kabar tentangmu dari Oliv, aku tidak bisa tenang. Karena itu, aku memutuskan untuk melihat keadaanmu langsung," sahut Danzel.
"Sebenarnya aku sudah berniat datang jam tujuh malam. Tapi karena pekerjaanku cukup banyak, jadi aku harus lembur. Aku pikir kau sudah pulang karena aku datang terlambat. Tapi syukurlah, aku masih bisa bertemu denganmu," imbuhnya tersenyum lembut.
"Apa kau selalu pulang jam segini?" tanya Danzel ringan.
Eleanor mengangguk.
"Kau tidak lelah kuliah sambil bekerja?"
"Lelah sudah pasti. Tapi aku tidak memiliki pilihan lain. Suka atau tidak suka, aku harus tetap menjalaninya," sahut Eleanor ringan.
Danzel menatap Eleanor lekat. Lalu dia tersenyum sayu. "Aku tau kau wanita yang kuat," pujinya.
"Kau terlalu memuji. Sebenarnya banyak orang yang juga sama sepertiku," ujar Eleanor.
"Tapi tak banyak yang memiliki mental kuat sepertimu. Terkadang ada yang memilih untuk menyerah di saat mereka sudah putus asa dengan keadaan, tapi kau tidak. Itulah kenapa aku kagum denganmu karena masih bisa bertahan sejauh ini setelah semua masalah yang menimpamu."
Eleanor seketika terdiam sembari menatap Danzel lurus. Lalu tiba-tiba tatapannya melemah. Kemudian dia tertunduk lesu dengan raut wajah yang sulit dijelaskan.
"Aku tidak sekuat itu. Sebenarnya ada saat di mana aku juga pernah menyerah dan putus asa," tutur Eleanor dengan nada suara rendah.
Danzel menoleh ke arah Eleanor yang tidak ceria seperti biasanya. "Itu berarti masalahmu sangat berat sampai kau berada di posisi itu."
"El, aku tidak tau masalah apa yang sedang kau hadapi saat ini. Tapi apa pun itu, aku percaya kau bisa melewatinya. Dan jika kau ingin bercerita, aku akan selalu siap mendengarkannya. Jika kau butuh tempat untuk bersandar, pundakku selalu ada untukmu. Jadi jangan pernah merasa jika kau sendirian di dunia ini, karena masih ada aku di sisimu. Kau bisa menghubungiku dan datang kepadaku kapan pun jika kau membutuhkan bantuan. Karena aku pasti akan membantu dan melindungimu."
Eleanor menoleh ke arah Danzel dengan tatapan sayu. "Kenapa kau sangat baik denganku?"
Danzel terdiam untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya dia mengulurkan tangan dan mengusap lembut pipi Eleanor dengan jari-jarinya. "Karena aku menyukaimu ...," ungkapnya begitu dalam sembari tersenyum hangat.
Eleanor tertegun dengan kedua mata yang membulat sempurna.
"A-Aku ...."
"Kau tidak harus menjawabnya sekarang."
"Aku juga tidak akan memaksamu untuk menjadi kekasihku jika kau tidak ingin. Mungkin aku terlalu dewasa bagimu, jadi aku mengerti jika kau tidak menyukaiku. Karena kau masih muda, jadi kau pasti lebih menyukai laki-laki yang seumuran denganmu." Danzel tersenyum sayu.
Eleanor menggelengkan kepala cepat. "Tidak, tidak seperti itu. Aku juga menyukaimu. Bahkan sudah sejak lama," ungkapnya.
Danzel tersentak. Otaknya seketika blank ketika mendengar ucapan Eleanor. Kemudian dia segera menepikan mobil di tepi jalan yang tampak sepi, karena tidak bisa memikirkan apa pun saat itu.
"Tolong katakan itu lagi," pungkas Danzel seakan masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Aku juga menyukaimu," tutur Eleanor tulus sembari menatap kedua netra Danzel begitu dalam.
Setelah mendengar itu, Danzel langsung menangkup wajah Eleanor dan mencium bibir wanita itu. Lalu dia merengkuh pinggang ramping Eleanor dan semakin memperdalam ciumannya. Dia melumat dan menghisap bibir Eleanor dengan agresif hingga membuat bibir wanita itu seketika membengkak.
Eleanor membalas ciuman Danzel sembari mengalungkan kedua tangan ke leher pria itu dengan mata yang perlahan terpejam. Perlahan, ciuman yang awalnya ringan itu kini berubah menjadi ciuman panas yang saling menuntut satu sama lain.
Hanya Danzel satu-satunya orang yang bisa membuat Eleanor merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Pria itu seperti malaikat yang datang untuk menghapus luka dan mengeluarkan Eleanor dari jurang kegelapan yang dipenuhi oleh rasa sakit.
TBC.