3 - Dimarahi Lagi

1045 Words
Naya turun dari ojek online setelah tiba tepat di depan pagar rumahnya yang bisa dikatakan besar, tidak kaget sebenarnya mengapa tempatnya tinggalnya bisa seindah ini jika setiap hari saja orang tuanya tidak ada di rumah karena sibuk bekerja. Tetapi pengecualian untuk hari ini, saat Naya turun dan membayarkan ongkos jalannya dia dapat melihat mobil hitam mengkilat milik kedua orang tuanya itu terparkir manis di depan halaman rumah. Jantung Naya tiba-tiba berdebar kencang, sejak dahulu hubungannya dengan sang ayah memang tidak baik, itulah mengapa jantung Naya bisa berdebar kencang seperti sekarang. Naya mengulum bibirnya sambil menimang-nimang langkah yang harus diambilnya, jika dia masuk sekarang, Naya hanya tidak yakin akan ada ketenangan di dalam apalagi adiknya itu sedang berada di dalam rumah. Jika sudah seperti ini pasti mereka sedang mengadakan makan malam bersama, dan hal itu tidak baik karena Naya takut menganggu malam tentram keluarganya. Mata Naya kemudian bergulir ke arah parkir motor dan Naya hanya dapat berdecak takut ketika melihat motor kakaknya belum terparkir di sana. Satu-satunya penyelamat di dalam hidup Naya hanya Bakara, dan kakaknya itu tidak menunjukan batang hidungnya dikondisi krusial seperti ini. "Non Naya sudah ditunggu di dalam oleh bapak Pamungkas dan bu Indah," Naya hampir melompat ke arah belakang ketika melihat sang pekerja dirumahnya berlari menghampiri Naya yang masih berdiri di depan pagar. Ah, jika sudah seperti ini maka Naya tidak bisa kabur lagi, sepertinya mereka menyadari kehadiran Naya sejak tadi. Baiklah, Naya hanya perlu menarik napas panjangnya kemudian menenangkan diri dan berdoa agar kesialannya hari ini tidak bertambah lagi. "Bibi, bisa antar aku ke dalam? Aku nggak berani ke dalam sendiri," ujar Naya meringis. "Den Bakara belum pulang ya non? Bibi berharap dia sudah pulang sejak tadi," "Abang lagi antar kak Zeta bi, mungkin bakal pulang malam nanti. Gapapa kok, Naya langsung naik ke kamar aja nanti." Naya dapat mengerti kekhawatiran sang bibi jika dia sudah bertemu dengan ayahnya. Tidak apa, anggap saja salam sambutan dari orang tuanya yang sudah dua bulan ini tidak kembali ke rumah. Semua akan baik-baik saja, ujar Naya dalam hati. Kaki Naya sedikit bergetar ketika dirinya menginjak lantai marmer dingin dengan atmosfer dingin menerpa kulitnya. Naya bisa mendengar suara cengrama adik dan ibunya dan diiringi suara dentingan sendok dan garpu. "Nah, akhirnya pulang juga anak perempuan ayah," ucapan Dimas memang penuh candaan, tetapi menurut Naya sebaliknya. Ucapan Dimas itu tajam sekali bagaikan silet. Mata Naya melirik ke arah meja makan di mana sang ayah masih asik dengan kegiatannya tanpa menghiraukan kehadirannya. Sedangkan Dimas, Naya tahu jika adiknya itu sedang menyusun kata-kata tajamnya di dalam kepala. Ah, tetapi ada satu orang yang menikmati makan malamnya dengan santai di sana, itu adalah ibunya. Ibunya memang jarang sekali terlibat dalam suasana dingin ini, sesekali hanya ikut melerai atau membela Naya saja. Tetapi Naya bersyukur, ibunya terkadang masih mau membelanya. Terkadang sih, mungkin baru sekali atau dua kali dalam beribu-ribu pertengkaran yang ada. "Kenapa baru sampai semalam ini, Naya?" tanya ayah dengan nada dinginnya. Matanya memang memandang lurus ke arah depan, bukan ke arah Naya. Tetapi entah mengapa Naya bisa merasakan api disekeliling tubuhnya. Kedua tangan Naya saling memilin erat, bahkan beberapa keringat menetes di pelipis dan lehernya. Naya keringat dingin! "Aku, aku habis pergi sama abang tadi," "Kenapa tidak pulang bersama abang tersayang kamu?" tanya ayah lagi. "Anu, abang pulang sama kak Zeta, jadi Naya pulang sendiri naik ojek." Kepala Naya menunduk dalam. Kedua mata Naya lurus menatap sepatunya yang kumel sedangkan di depan sana Naya dapat merasakan pergerakan dari sang ayah. Jika seperti ini, jantung Naya berdetak sepuluh kali lipat dari semula. Abang, tolong pulang sekarang, ade butuh abang. Naya hanya bisa berteriak di dalam hatinya. "Ayah tidak pernah mengizinkan kamu pulang melewati jam 8 malam Naya, jika tidak ada ayah di rumah kamu selalu seperti ini ya?" Mata Naya bisa menangkap ujung sepatu sendal ayah yang berdiri tepat di depan tubuhnya. Naya menciut karena takut, omongannya memang belum tinggi dan menyakitkan, tetapi penuh api yang dapat membakar tubuh Naya. "Maaf ayah, ta-tadi sulit sekali mencari ojek di sana, jadi Naya menunggu agak lama ayah, Naya minta maaf." Naya menyatukan kedua tangannya di depan d**a sambil meringis. Sungguh, ingin sekali Naya menangis karena begitu takut. "Bohong ayah, jam 8 malam masih banyak ojek berkeliaran di luar sana. Itu mungkin hanya alasan anak perempuan ayah aja!" Dimas berulah lagi. Ingin rasanya Naya lumuri mulutnya dengan cabai. Mendengar tuduhan tidak terduga itu membuat Naya langsung mendongakkan kepalanya dan menggeleng kencang. "Nggak ayah, aku benar-benar mengatakan hal yang sejujurnya." Sang ayah yang sejak tadi berdiri di depannya dengan memasang tampang dinginnya itu memincingkan matanya kemudian memajukan langkahnya, hal itu membuat Naya otomatis melangkah mundur sampai tubuhnya bertubrukan dengan railing tangga yang membuat Naya mengigit bibirnya karena merasakan ngilu pada pinggangnya. "Apa benar yang dikatakan adikmu Naya?" Kepala Naya bergerak ke kanan dan ke kiri, berusaha meyakinkan sang ayah dengan tatapannya. Beberapa menit kemudian akhirnya sang ayah memundurkan langkahnya dan berjalan kembali ke arah meja makan. Naya bisa bernapas lega setelahnya, kesempatan langka ini tidak datang dua kali. Ayahnya percaya kepadanya! Itu kejadian luar biasa! "Kamu tidak boleh makan malam karena melanggar peraturan ayah, sekarang naik ke kamar kamu dan segera belajar. Ayah tidak mau kamu memanfaatkan ayah dengan bersekolah di sana sedangkan prestasi kamu nol besar." Dug. Seperti tertimpa durian runtuh, baru saja Naya merasakan senang di dalam hatinya, tetapi kenyataan tidak akan seindah itu. Ayahnya memang sudah membencinya sampai ke dasarnya. Baiklah, untung saja Naya sempat memakan beberapa cemilan yang ada di kafe saat sore tadi, semoga saja cacing-cacing yang ada di dalam perutnya tidak memberontak karena tidak diberi makan malam ini. Lagipula, Naya tidak bisa terus mengandalkan Bakara di dalam hidupnya untuk menyelamatkannya dari amukan ayah. Karena tidak selamanya Naya harus terus berlindung di belakang Bakara, ada kalanya Bakara lebih mementingkan urusan kehidupannya dibanding mengurusi Naya yang tidak ada untungnya ini. Tetapi malam ini, Dimas benar-benar menyebalkan. Apalagi saat Naya melihat wajah tengilnya yang tersenyum lebar saat dia dimarahi ayah tadi, sungguh-sungguh adik laknat yang tidak tahu diri! Lihat saja nanti! Padahal Naya juga takut sih sama Dimas, apalagi tubuh adiknya itu jauh lebih tinggi dan besar darinya. Entah apa yang Dimas makan sampai bisa setinggi itu. Baiklah, Naya akan tidur setelah melewati hari penuh kesialan ini dan berdoa agar esok harinya tidak sesial hari ini. •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD