Rendra masih asyik dengan pergulatan dengan seorang wanita yang entah siapa. Matahari kini mulai memancarkan sinarnya. Rendra meninggalkan wanita yang masih terlelap dalam mimpinya.
Derttt..
Dertttt
Suara ponsel dari saku celana milik Rendra bergetar. "Astaga!" Serunya. Dengan sigap dan cepat lelaki itu mengangakat ponselnya.
"Iya yang?"
"Kamu nggak jemput aku?" Kata di sebrang saja.
"Aku terlambat tidur yang, dan sekarang kesiangan bangun, mungkin aku nggak bisa jemput kamu hari ini. Kamu bisa pergi sendiri kan?"
"Iya udah aku pake mobil sendiri aja, nanti kita ketemu di sekolah ya."
"Emang kunci mobil kamu dah ketemu?" Tanya Rendra terkejut.
"Iya semalam papa kasih ke aku, sama hp juga, makanya aku bisa telpon kamu." Aku ku.
"Iya udah hati-hati yang, aku sayang kamu."
"Iya aku juga, love you. Emmuaacchh"
"Love you too. Emmuaccchh"
Sambungan telpon itupun terputus setelah keduanya mengucapkan salam perpisahan dan ciuman jauh
Aku mulai bersiap berangkat, cukup senang karena aku bisa mengendarai mobil baruku. Mungkin setelah lulus aku bisa membuat surat izin mengemudi. Semoga saja hariku hari ini secerah mentari yang bersinar. Ya tuhan semoga saja. Ku ambil tas yang aku siapkan tadi sebelum menelpon Rendra. Tak lupa kunci mobil juga, segera ku berjalan menuruni tangga. Mataku tertuju pada sebuah koper di ruang tamu.
"Cah ayu, di tunggu di ruang makan sama ibu dan bapak." Suara dari mbok mengagetkanku.
"Ya mbo aku kesana sekarang." Jawabku. Segera aku langkahkan kakiku menuju ruang makan. Benar saja di sana sudah ada papa dan wanita uang semalam papa bela sedang makan.
"Pagi sayang." Sapa papa.
"Pagi pa. Itu koper di ruang tamu punya siapa?" Tanyaku seraya menarik kursi di sampingnya.
"Ohhh itu, punya papa." Jawabnya santai. Aku menghentikan kunyahan roti panggang di mulutku.
"Emang papa mau kemana kok bawa koper segala, biasanya juga kalau ke luar kota nggak pernah bawa koper segala." Ujarku.
Papa tersenyum sebelum menjawab pertanyaanku.
"Papa mau ke Paris." Jawabnya.
Aku melototkan mata, apa papa akan bulan madu dengan wanita ini, dan meninggalkan aku sendiri di rumah. Sedikit bahagia jika wanita itu pergi dari sini, tapi kenapa haris Paris. Aku penasaran dengan pikiranku sampai aku tak tahan untuk tak bertanya.
"Papa mau pergi sama mama?"
Papa menghabiskan makanan di mulutnya terlebih dahulu.
"Nggak. Papa nggak pergi sama mama, mama bakalan disini jagain kamu."
Aku menghela napas.
"Berapa lama papa di Paris?"
"Mungkin paling lama satu bulan, dan jika nggak ada tender lain lagi atau perubahan jadwal mungkin papa bisa kembali dua minggu lagi."
"Ohhhh, jangan lupa oleh-olegnya aja." Ujarku.
"Jangan khawatir papa pasti beliin buat anak kesayangan papa." Ucpnya sambil mengelus rambutku.
"Aku bawa mobil kesekolah ya pa." Ijinku. Papa melihat ke arah mama Nova, tak ada reaksi apapun darinya ataupun kode atas permintaanku.
"Tapi kamu jangan pulang telat ya." Jawab papa setelah sekian lama saling pandang dengan mama. Aku tersenyim mendengarnya. Mungkin mulai besok malam aku akan mengadakan kerja kelompok Pa, dan masih banyak tugas lainnya, kalau aku nggak boleh keluar buat kerja kelompok, biar mereka aja yang dateng kesini gimana?" Tanyaku. Papa hanya tersenyum.
"Itu lejih baik sayang, papa setuju. Kalau kamu Dek?" Tanya papa melihat ke arah mama.
"Aku setuju sih Mas, yang penting bisa jaga waktu aja." Jawabnya.
"Baiklah kadi besok malam kamu ada tugas?"
"He'em pa." Jawabku sambileneguk habis teh hangat yang di sediakan mbok.
"Ya udah pa, aku berangkat dulu ya, papa jaga kesehatan disana." Ucapku. Papa hanya tersenyum manis melihat aku melangkah menjauh.
Mobil yang aku kendarai mulai memasuki jalanan, bergabung untuk menghadapi macetnya Jakarta, apalgi dekolahku adalah salah satu sekolah terbaik di Jakarta. Mungkin hampir setengah jam aku berbaur di jalan, waktu masuk hampir habis, untung saja aku tak terlambat. Ku lihat mobil Rendra terparkir disana. Aku mulai berjalan memasuki lorong kelas. Riuh masih terdengar ada sekelompok siswa siswi mengerumuni mading.
"Kok ramai ya?" Lirihku. Ku coba memasuki gerombolan mereka. Mataku tertuju pada salah satu lomba kimia yang akan berlangsung empat bulan untuk meramaikan kelulusan dengan anggota tujuh orang dan hadiah liburan di Bali selama seminggu, dan pemilihan akan di lakukan seminggu lagi.
"Ini kabar bagus." Lirihku. Aku berlari kekelas secepat mungkin meletakkan tas dan berlari kembali menuju gudang. Disana sudah ada mereka.
"Guys!" Teriakku
Mereka ssemua menoleh kearahku. Neni dengan cepat memelukku erat. "Astaga. Gue kira lo nggak bakalan dateng tau." Ujarnya. Aku menyipitkan mata heran, mungkin dia tau kebingunganku.
"Rendra cerita lo abis berantem tadi malem ma nyokap lo, dan saat lo ngusir tuh cewek, bokap lo dateng, gue kira lo bakalan di hukum dan nggak datrng sekolah." Jelasnya. Aku tersenyum.
"Iya sih, tapi nggak jadi, malahan papa kasih aku hp dan kunci mobil." Ceritaku. Mereka pun terbengong.
"Lho serius Vin?" Ucap Bagas. "Ngapain gue boong."
"Wahh, idup lo mujur banget Vin." Suara Restu yang selalu ada benarnya membuatku tertawa.
"Tapi kok bisa Yang? Gimana ceritanya?" Tanya Rendra heran.
Aku pun menceritakan semuanya tanpa ada yang aku tutupi.
"Ohhh, jadi gitu. Bagus deh." Ujar Restu.
"Ehhhh btw, lo liat nggak informasi di mading?" Tanyaku antusias.
"Soal lomba?" Ujar Lola. "Iya, lo dah baca nggak?" Tanyaku kembali.
"Udah." Jawab mereka kompak. "Kita ikutan kimia yuk, lumayan kan, bisa liburan ke Bali."
"Kita sih ok aja, nah tuh." Ujar Neni menunjuk Rendra dengan dagunya.
"Kamu kenapa yang?" Tanyaku. "Aku nggak bisa ikut." Jawabnya.
"Tapi kenapa?"
"Aku ada acara dan dah janji sama Lisa."
Aku menyernyitkan dahiku, mungkin sudah dapat di lihat ada beberapa lipatan disana.
"Lisa!" Ucapku.
"Iya Lisa, sepupuku itu, dia ajakin aku ikut lomba biologi semalam, dan lulus sekolah aku bakalan pindah ke Amrik."
"Dan kamu lebih milih lomba ma dia ketimbang kami dan kamu bakaln ninggalin aku sendiri disini?" Tanyaku emosi. Apa pentingnya sih si Lisa itu. Dan dengan mudahnya Rendra bakalan ninggalin aku lalu bagaimana dengan hibungan kita.
"Bukan iti malsud aku yang, aku juga nggak tau kalau kalian bakalan adain rencana buat ikutan." Jelasnya.
"Ok. Kalau gitu baralin rencana kamu ma dia dan ikut lomba bareng kita." Pintaku.
"Nggak bisa gitu yang, aku nggak bisa!"
Aku bingung dengannya sejak kapan Rendra menolak permintaanku.
"Kenapa? Kamu ada sesuatu ma dia?" Tanyaku.
"Nggak ada yang, aku cuman merasa nggak enak." Jelasnya.
Aku nggak terima keputusannya itu.
"Gini aja, mendingan Lisa kita bawa ikut lomba kimia aja, kan itu butuh tujuh anggota, sementara kita cuman ber enam." Jelas Bagas.
"ku nggak setuju." Ujarku. Terdengar jelas helaan napas dari Rendra.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Yang, please!" Pintanya.
"Sekali aku bilang nggak mau ya nggak mau. Kalau kalian tetep ngajak dia, mendingan aku yang keluar."
"Vin, jangan egois gitu dong, Lisa kan sepupu Rendra, jadi apa salahnya dia ikut bareng kita." Usul Restu.
Aku melirik tajam dia. "Kalian nggak tau dan nggak peka, Lisa itu suka ma Rendra, dan.."
"Tapi aku cuman sayang sama kamu Vin."
"Itu sekarang, bahkan maungkin kamu lupa apa yang terjadi enam bulan lalu Ndra." Ujarku histeris. Masih terlihat jelas kejadian yang hampit membuat nyawaku hilang gara-gara huhunganku dengan Rendra.
"Tapi itu masa lalu." Tegas Rendra.
"Kalau itu yang kamu mau silahkan, asal kamu jamin Lisa nggak bakaln cari masalah sama aku." Ucapku tegas.
Mereka tersenyum.
"Kita bisa kondisiin dia say. Bisik Neni.
"Ehhh ngomong-ngomong gimana soal rencana ngerjain nyokap lo?" Restu memcoba merubah suasana yang mencekam menjadi sedikit mencair.
"Kita bisa lakukan eksekusi nanti malam." Jelasku.
"Asyikkk, boleh deh, gue mah kapan aja siap." Ujar Restu. Setelah beberapa saat disana, lonceng pertanda masuk pun berbunyi, kami kembali ke kelas masing-masing.