Aku melihat lelaki yang aku hormati membantu wanita yang baru saja aku usir bangun dari jalan. Dia adalah lelaki yang aku panggil papa. "Malem Om." Sapa Rendra yang masih berdiri setia di sampingku. Dia menyalami dengan takzim tangan papa. "Apa yang kamu lakukan dengan mama mu Vina?" Tanyanya. Aku melihat tajam wanita di hadapanku, ku lirik Rendra, dia pun hanya tersenyum. Papa melihat kami bergantian. "Maaf Om, mungkin lebih baik saya pulang saja, ini bukan urusan saya." Ujarnya sopan. Papa hanya menganggukan kepalanya. Setelah mobil Rendra keluar halaman, kami pun masuk ke rumah, mama Nova berjalan di papah oleh papa, karena lututnya lecet terkena aspal.
"Sekarang cerita apa yang terjadi." Pinta papa setelah kami berada di ruang tamu. Baik aku maupun mama tak ada yang bersuara.
"Bik!" Panggil papa. Tak lama Mbok pun datang.
"Ya Pak." Jawabnya sambil membungkukkan badan.
"Tolong ambilkan kotak P3K ya." Perintah papa.
"Baik Pak."
Setelah Mbok Mirah pergi kembali papa buka suara.
"Vina, cerita apa yang terjadi kenapa kamu sampai mengusir mama mu dari rumah. Kamu tau apa yang kamu lakukan adalah kesalahan besar, dan kamu akan papa kasih hukuman."
Aku tak terima papa memberikan ku hukuman. Jelas-jelas bukan aku yang salah. Kenapa aku yang di hukum.
"Nggak bisa gitu dong pa, harusnya wanita ini." Ku tunjuk mama Nova yang sedaang duduk di samping papa. "Yang harus keluar dan papa kasih hukuman bukan aku." Ujarku.
"Jaga bicara kamu Vin." Teriak papa. "Kamu harusnya menghor.." ucapan papa terhenti karena Mbok datang.
"Ini tuan obatnya." Dia menyerahkan korak berwarna biru laut itu pada papa.
"Makasih Bik."
Mama Nova hanya diam, aku hanya diam melihat papa mengolesi obat merah dan memberikan perban. Papa melihatku yang hanya diam.
"Lihat, akibat ulah kamu mama jadi luka kayak gini." Ucapnya. Aku mencibikkan bibir kesal.
"Kalau saja dia nggak cari masalah, dia nggak bakalan kayak gitu, sekarang kamu cerita kenapa ini semua sampai terjadi, jika ada yang tau masalah ini apa yang akan mereka katakan Vin, harusnya kamu bisa jaga nama baik keluarga." Omelnya.
"Papa harusnya tanya sama istri tercinta papa, jika saja dia nggak nyita hp dan kunci mobil pembelian dari papa, aku nggak bakalan ngelakuin hal kayak gitu." Papa melihat mama Nova, mencari kebenaran, satu anggukan dia berikan. Papa pun melihatku kembali.
"Mama kamu pasti punya alasan kenapa dia sampai mengambil barang-barang itu dari kamu." Aku melototkan mataku, papa membela w************n itu.
"Pa!" Seruku. Baru pertama kalinya papa memperlakukan aku seperti ini selama mama meninggal, dan demi wanita yang belum genap dua minggu dia memojokkan aku. Aku tak menyangka perkataan papa bisa membuatku menangis.
"Papa bela dia?" Tanyaku.
"Papa bukan bela mama kamu Vin."
"Dia bukan mama ku Pa. Mama ku udah ninggalin aku, dia hanya ibu sambung." Teriak ku. Aku tak terima hal ini.
"Vina!" Sentak papa.
Aku terkejut. Apa salahku sampai papa semarah ini.
"Mas." Wanita itu mengelus lengan papa menenangkan. Pipiku sudah basah karena air mata.
"Demi w************n ini, papa sampai giniin aku, aku benci papa."
"AKU BENCI PAPA."
Aku berlari ke kamar, dengan tangis aku tak perduli panggilan papa dan w************n itu.
Hikkkks
Hikkkks
Duarrrrr...
Ku hempaskan pintu kamar, aku tak perduli suaranya menggema di penjuru rumah.
Hikkkks
Hikkks
"Papa jahat. Papa ngggak sayang aku lagi." Ku tutup wajahku menyembunyikan rasa sakit dan sesak di d**a,
Hiksss
Hiksss
"Mama." Kembali tangisku semakin keras mengingat semua kenangan bersama mama dan papa.
Tokkk
Tokkk
Tokkk
Ku dengar pintu di ketuk. Aku tak menjawab sedikitpun.
Ceklekkk
Suara pintu terbuka. Aku masih setia dengan tangisku.
"Mama."
Hikkks
Hikkks
"Sayang." Itu suara papa.
"Aku benci papa." Ujarku dengan suara serak.
"Sayang, maafin papa."
"Papa keluar sekarang dari kamar aku."
"Sayang." Papa mengelus lengankuku. Aku tak bergerak sedikitpun namun tangisku tak juga reda.
"Papa minta maaf, ini barang yang kamu mau." Ku dengar ada suara gemercik seperti kunci papa letakkan di meja samping ranjang. "Maafin mama kamu ya, bukan maksud dia membuat kamu kayak gini, tapi niatnya baik Vin, mama sayang sama kamu, dan perduli sama kamu." Aku menyingkirkan bantal yang menutup wajahku. "Jika papa datang kesini cuman buat bela dia. Sekarang papa keluar dari kamar aku." Ku tunjuk pintu kamarku menyuruh papa keluar.
"Sayang bukan gitu maksud papa, maksud papa..." ucapannya terhenti karena aku.
"Iya maksud papa, dialah yang paling baik dan benar, dan akulah yang paling buruk dan salah. Iya kan?" Potongku.
"Vina." Ucap papa lirih.
"Aku mohon sekarang papa keluar dari kamar aku." Pintaku dengan derai air mata.
Papa mengikuti apa yang aku katakan. Dia melangkah perlahan menuju pintu, beberapa kali ia menoleh padaku.
"Maafin papa dan mama sayang." Ucapnya sebelum dia benar-benar keluar. Aku memalingkah wajah. Sakit, sesak, perih entahlah perasaan yang untuk pertama kalinya. Papa lebih membela wanita itu dari pada aku anak kandungnya. Dan di depan wanita itu papa menyalahkan aku. Aku kembali menangis mengingat ucapan papa.
"MAMA!" Teriakku.
Entah berapa lama aku tertidur. Aku merasa kepalaku pusing, mungkin karena aku menangis terlalu lama sampai aku tertidur.
Ku lihat sisi ranjang ada kunci dan hp yang aku cari disana. Ku aktifkan benda pipih itu. Ada banyak pesan di grup dan banyak panghilan dari Rendra.
"Ternyata sudah jam tiga." Lirihku. Niat hati yang ingin menelponnya aku urungkan, bahkan seragam sekolah masih menempel di tubuhku.
"Astaga. Ternyata aku belum ganti baju bahkan belum mandi dari semalam." Ku paksakan tubuh ini berjalan ke kamar mandi.
******
Suara gendang musik dan riuh lampu kerlap kerlip menemani dua sejoli yang sedang asik menikmati suasana, dengan di temani beberap botol minumal alkohol yang sudah isinya tandas.
"Kamu masih mempertahankan hubungan kamu dan Vina sayang?" Tanya wanita yang menemani seorang laki-laki yang sudah hampir terkapar. Dengan tubuh yang sempoyongan dia menjawab pertanyaan wanita itu.
"Hanya setelah lulus aku akan meninggalkan dia."
"Tapi aku tak suka berbagi Ndra." Rajuk wanita itu.
"Aku tau sayang, lagian aku tak pernah menyentuhnya melebihi ciuman." Jujur lelaki yang tak lain adalah Rendra
"Tapi aku nggak mau harus menjalin hubungan kayak gini terus." Keluh wanita itu. Dengan penuh perhatian dan manja Rendra merangkul wanita itu.
"Aku cuman sayang sama kamu, hanya kamu dan cuma kamu." Rayunya. Wanita itu pun tersenyum senang.
"Disini." Ucap Rendra menunjuk hatinya. "Hanya ada nama kamu seorang." Ucapnya kembali.
"Aku percaya kamu sayang." Jawabnya.
"Jadi, gimana malam ini? Kita bisa senang-senang.?" Tanyanya.
"Tentu saja sayang, apa sih yang nggak buat kamu." Jawabnya.
Mereka pun memesan satu kamar di tempat itu, wanita itu memapah Rendra dengan hati-hati. Sampai di kamar tanpa aba-aba Rendra mencium wanita itu dengan rakus.
"Aku mencintaimu sayang." Ucapnya di sela ciuman mereka.
"Aku juga." Jawab wanita itu.
Mereka pun kembali menyatukan benda kenyal milik mereka, rasa mint dan strawberry menyatu. Dengan lihai tangan Rendra mengangkat dres wanita itu, terpampang dua gundukan yang selalu membuat ia hilang akal. "Aku suka ini." Ujar Rendra. Ia pun dengan rakus memasukkan salah satu gindukan itu ke mulutnya, sedangkan tangan yang lain dengan pintarnya memutar p****g coklat yang paling ia suka.
Ahhhhhh
Desahan itu berhasil lolos dari bibir wanita itu,
"Sayang!"
Mendengar nada manja penuh dengan nikmat itu Rendra kembali dengan buasnya menyesap gundukan itu bergantian.
"Ahhhhh, Rendra!"
"Iya sayang,"
"Aku sudah nggak kuat." Lirihnya, tangan wanita itu meremas rambut yanga da di depannya, menyalurkan rasa yang sulit ia gambarkan.
"Katakan lagi sayang, aku suka suara itu." Lirihnya. Entah sejak kapan Rendra membaringkan wanita itu di king size. Dengan sigap Rendra melepas pakaian miliknya. Terlihat sekali kejantanan miliknya berdiri dengan kokoh, siap meluncur bagaikan roket dan menyemburkan cairan yang membuat mereka lupa dunia.
"Aku menginginkannya." Lirih wanita itu. Senyum iblis tercetak di wajah Rendra. "Ini belum saatnya sayang."
Rendra masih ingin menikmati setiap desahan wanita itu, menikmati setiap senti tubuh wanita yang sudah tak berdaya di bawah kungkungannya.
Ahhhhh
Desahan yang entah sudah berapa kali lolos dari bibir itu, namun Rendra belum mau menyudahi kegiatannya.