MUSIK 04

1423 Words
“Suara lo makin keren, Van.” Vano menghentikan nyanyian dan petikan gitarnya ketika menemukan Bara yang tersenyum dengan dua buah minuman bersoda di tangannya. Vano hanya mengangkat bahu lalu melanjutkann bermain gitar. “Van?” panggil Bara. “Hm...?” “Nggak jadi, deh.” Vano melirik Bara yang senyum-senyum tak jelas. Sahabatnya telihat aneh. “Kenapa lo?” “Nggak kenapa-napa sih, Van.” “Ya udah.” Vano kembali fokus lagi untuk memetik senar. “Van?” “Apa, Bara Areza Dirgantara?” Bara tertawa melihat Vano yang mulai kesal. Hanya butuh seperkian detik tampangnya berubah serius. Bara melanjutkan, “Gue suka sama cewek, Van.” “Lo mau mainin dia?” Vano berbicara dengan enteng karena ia tahu kebiasaan Bara. “Serius ini, Van.” “Hmmm?” “Gue suka Luna,” adu Bara dengan senyum merekah. Deg! Ada sesuatu entah apa, langsung menimpa hati Vano sehingga cowok itu berhenti memainkan gitar. “Oh... Luna.” “Kira-kira Luna suka sama gue nggak ya, Van?” Vano hanya mengangkat bahunya. “Gue kira lo sama dia udah pacaran,” Karena lo sama dia…  Vano teringat kejadian di UKS. “Belum. Gue rasa Luna emang beda dari cewek lain.” Vano berdeham, “Maybe.” “Gue udah nggak pernah mainin cewek lagi akhir-akhir ini. Soalnya gue sering keluar bareng Luna. Bawaannya pengen jagain aja gitu. Setelah sekian lama single, baru kali ini gue pengen pacaran.” Itu benar. Bara memang tak pernah pacaran seumur hidupnya. Dia hanya doyan ganti-ganti cewek. Tak pernah ada cewek beruntung yang bisa menaklukkan hati Bara. Leo dan Dion juga sama, mereka tak ingin bersusah-susah pacaran. Vano apalagi. Pokoknya mereka paling anti membuat komitmen dengan cewek. Katanya, sih, mereka single pun masih banyak cewek yang bisa diajak jalan dan sekadar mereka goda. Kecuali Vano. Ia tak pernah berurusan pada hal-hal seperti itu. “Gue pengen nembak Luna, Van.” Perkataan Bara mampu membuat Vano langsung berdeham lagi. “Lo-tembak-aja-dia,” kata Vano dalam satu tarikan nafas. “Lo dukung gue?” Bara bertanya. Tentu nggak. Jika bisa, Vano ingin menjawab seperti itu, tapi ia malah mengangguk. “Hmmm.” “Lo emang sahabat gue, Brother! Mau kan bantuin gue?” “O-oke,” kata Vano. “Besok ya, Van! Thanks, Van!” Vano tak akan menganggap Bara pengkhianat, Vano sadar diri karena Bara tak tahu bahwa Vano naksir Luna selama lima tahun belakangan. Vano mengerti ia memendam perasaannya diam-diam, maka jangan salahkan Bara jika akhirnya naksir cewek yang sama. Atau mungkin, memang sudah waktunya untuk Vano move on?   *** Upacara bendera kali ini akan menjadi momen paling bersejarah bagi Bara. Ia akan menembak Luna di hadapan seluruh warga SMA Citra Bangsa. “Van, siap kan?” bisik Bara. “Iya.” “Kalian ngomongin apaan?” Leo bingung karena tak biasanya Vano mau diajak mengobrol jika sedang upacara bendera. Tetapi Bara dan Vano tak menjawab, membuat Leo cemberut. “Duh, gue pusing nih!” Bara meringis dengan memasang ekspresi meyakinkan sehingga petugas PMR menghampirinya. “Gue aja yang anterin dia.” Vano langsung membawa Bara keluar dari barisan agar mereka berdua cepat-cepat pergi dari lapangan. “Gue harap gue nggak masuk BP abis ini.” Vano menyeletuk. Bara terkekeh, “Makasih banget, Bro!” Mereka lanjut berjalan, tapi bukan ke UKS. Bara masuk ke kelasnya, sedangkan Vano mengambil sebuah keyboard di ruang musik. Dan mereka berdua bertemu kembali di dekat lapangan upacara. “Ready?” Bara bertanya, Vano mengangguk. Mereka kembali ke barisan dengan cara mengendap-ngendap. “Sshht...” Bara memberi kode pada Vanezza, sahabat Luna yang bertugas menjadi pembawa acara. Lalu, dengan santainya Vano memasang kabel dari keyboard-nya ke colokan listrik yang sudah disiapkan Bara. Untung saja Vano tertutup barisan kelas sepuluh, jadi sudah dipastikan tak akan ada yang sadar pada apa yang dilakukan Pangeran Es ini. “Upacara selesai, pengumuman-pengumuman!!” Kepala sekolah langsung melirik Vanezza, karena beliau tak merasa menyuruhnya menahan para siswa. Lagi pula memang sedang tidak ada pengumuman apa-apa. Guru-guru pun terlihat kebingungan. “Tes… tes...” Mic sudah diambil alih oleh Bara. “Sorry, sebenernya ini bukan pengumuman. Tapi hal penting. Bapak kepala sekolah, minta waktunya sebentar ya, Pak,” kata Bara sopan. “Oke, semuanya. Mulai dari adik kelas, kakak kelas, teman seangkatan gue, Bapak kepsek, para guru, penjaga kantin, pak satpam, dan semua yang ada di sini dan mendengarkan. Gue mau kalian tahu satu hal dan menyaksikan momen bersejarah di hidup gue.” Bersamaan dengan Bara yang sedang berbicara, Vano mulai memainkan jari-jarinya di atas tuts keyboard. Sebuah instrumen lagu All of Me milik John Legend mengalun dengan indahnya. “Gue, lagi suka sama seorang cewek.” Semua murid, khususnya cewek berteriak heboh mendengar penuturan Bara. Mereka berharap menjadi gadis yang beruntung itu. Siapa yang tidak mau, sih, menjadi kekasih seorang cowok most wanted? “Luna, where are you?” Bara memanggil nama gadis yang ia suka dengan lembut. Sontak, semua yang ada di lapangan berteriak. Ada yang menangis karena bukan jadi cewek beruntung itu, ada pula yang senyum-senyum tidak jelas. Kata anak zaman sekarang sih, baper. Bara berjalan perlahan ke arah Luna yang berdiri dengan mimik wajah tegang. Kaki gadis itu masih diperban karena jatuh kemarin tetapi tetap rajin ikut upacara. Lalu Bara berkata, “Luna, be my girl, please?” “SAY YESSSS!!!” “SAY YESSSS!!!” Semua murid kembali berteriak, meminta Luna supaya mau menerima cinta Bara. Dari arah Vano berdiri, ia bisa melihat jelas adegan romantis di hadapannya. Ia juga bisa melihat kegugupan Luna tetapi sorot mata gadis itu menyiratkan kebahagiaan. Dan, ketika Luna mengatakan, “Yes, i'm yours, Bara.” Vano yakin seratus persen bahwa ia sudah kalah. Karena lo pengecut, Vano! Vano membereskan keyboard beserta kabel-kabel. Dengan cepat ia melangkah meninggalkan lapangan. Mencoba menjauh dari atmosfer yang mampu membuat hatinya patah. Setelah berada di ruang musik, Vano duduk di hadapan sebuah grand piano berwarna putih dan langsung memainkan sebuah melodi acak yang terdengar tak beraturan. Vano menekan tuts-tuts itu dengan kuat, tak peduli jika musik yang keluar dari piano terdengar sangat menyakitkan gendang telinga. Karena saat ini ada yang lebih sakit, yaitu hati Vano dan cinta diam-diamnya yang sudah selesai.   *** Bara dan Luna resmi berpacaran, sekarang keduanya mengajak kawan-kawannya menghabiskan waktu untuk bersenang-senang di pub langganan Bara. Mungkin mereka semua senang, tapi tidak untuk Vano. Ia keluar dari tempat itu, memilih mencari udara segar daripada bertemu Luna ataupun Bara. Sepertinya benar apa kata Mara, ia harus segera melupakan perasaannya pada Luna atau Vano akan tersiksa. Vano melangkah sendirian di trotoar jalan yang sepi karena ini sudah masuk waktu tengah malam. Sampai ia melihat seorang gadis yang sepertinya sedang cekcok dengan pria yang wajahnya tertutup slayer hitam. Perampok? Dengan cepat, Vano langsung berlari ke arah dua orang tersebut. “Jangan sama cewek, kalau berani sama cowok lagi!” ucap Vano cukup keras. “Bocah ingusan kayak lu nggak usah ikut campur urusan gua!” Perampok itu menarik kerah baju Vano, sebelum orang jahat itu berhasil memberikan bogem mentah pada wajah Vano, perampok itu sudah tersungkur ke bawah karena mendapatkan sebuah tonjokan, tapi bukan dari Vano. “Lo nggak pa-pa?” Seharusnya Vano yang menanyakan hal tersebut pada gadis yang sedang cekcok dengan perampok, tetapi malah terbalik. Lalu orang yang berniat Vano tolong itu berlagak seolah-olah ingin menginjak perut perampok, sehingga dengan cepat perampok itu lari terbirit-b***t. “Kalau nggak bisa berantem, nggak usah sok,” kata gadis itu. Vano memperhatikan wajah gadis di hadapannya, dan sepertinya tak asing. “Lo orang yang minum milkshake gue, kan?” kata Vano. Gadis yang semula sedang merapikan isi tas gendongnya itu langsung menatap Vano, alisnya terangkat ke atas. “Siapa, ya? Biar gue inget-inget dulu.” Gadis itu berpikir  keras, lalu menjentikkan jari. “Oh… lo cowok kurang belaian yang duduk sendirian di kursi taman sambil minum jus strawberry?” Kurang belaian? “Maksud lo apa? Kurang belaian apa?” Vano tidak terima mendapat hinaan dari orang asing. “Ternyata emang bener-bener kurang belaian, ya. Tadi lo ngapain? Sok-sokan bantuin gue ngelawan copet? Otot aja nggak punya, bisa berantem aja kagak. Belagu digedein.” Vano langsung berkata, “Siapa, lo, ngatain gue?” Gadis itu mengerutkan dahi, ekspresi wajahnya songong. “Oh, nanya nama gue? Ngajak kenalan, nih, ceritanya?” Dia waras? batin Vano. “Ahhh, gue nggak mau kenalan sama cowok kurang belaian. Eh, tapi kalau lo udah kepalang naksir sama gue, bisa aja, sih, gue kasih tahu nama gue. Tapi nanti kalau lo sama gue ketemu lagi. Oke? Jangan sedih gitu, ah.” Ternyata bener-bener nggak waras.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD