“Eh, valentine masih dua minggu lagi dari sekarang, ya? Masih ada kesempatan buat nyari cewek,” ucap Leo sambil nyengir. “Lo juga, Van. Masa udah kelas tiga SMA masih suci aja? Belom pernah kencan sama sekali. Karatan nanti.”
“Nggak minat.” Vano mengangkat bahunya. Lagian, bagi Vano, valentine bukan budaya mereka.
“Ya kali Vano mau, Yo.” Bara memperingatkan Leo.
“Ngomong-ngomong, di kelas gue ada murid baru, lho. Cewek. Iya nggak, Yon?!” Leo meminta konfirmasi dari Dion yang sudah menuangkan sambel pada kuah baksonya. Dion hanya mengangguk datar.
“Tapi...” Wajah Leo berubah lesu bagai kucing keguguran. “Bukan tipe gue, hiks…”
“Idih, kirain apaan.” Bara terkekeh. “Cewek tipe lo yang kaya gimana emangnya, Yo? Perasaan, lo kencan sama semua cewek.”
“Kaya Kendall Jenner, tuh, tipe gue. a***y!” Leo tertawa sendiri dengan pikiran anehnya.
Bara hanya terbahak lalu ada seseorang yang datang ke arah meja mereka. Dia Luna.
“Aku nyari kamu, Bar. Katanya mau makan siang bareng?”
Vano hampir terbatuk mendengar Luna yang memanggil Bara dengan panggilan aku-kamu. Sejak kapan?
Melihat Bara dengan Luna, mengapa hati Vano tak rela? Dan mengapa, cinta bisa membuat sebagian orang merasakan bahagia dan sebagiannya lagi merasakan sesak?
Memang, perihal merelakan seseorang itu selalu sulit dan sangat terasa berat.
***
Vano setuju menjadi pengajar piano di sekolah musik keluarganya karena permintaan Mei, dan ia tahu Luna mendaftar sehingga Vano berpikir: ia bisa sedikit lebih dekat dengan Luna. Hanya sedikit saja. Tapi sekarang, setengah dari sedikit saja tak akan mungkin Vano raih.
Namun yang terjadi, Vano justru tertimpa kesusahan. Karena baru saja turun dari mobil, suara teriakan para murid perempuan sudah membuat Vano siaga satu.
“Halo, Para murid baru! Selamat datang di MVM Studio, kepanjangan dari Studio Mei-Vano-Mara. Panggil saja saya Mei, karena kebetulan saya pemilik studio ini.” Akhirnya Mei datang, mencoba menjinakkan cewek-cewek yang menatap Vano dengan pandangan lapar.
MVM mempunyai dua jurusan; Vokal dan musik. Mereka yang mengambil jurusan musik, langsung bersorak gembira karena bisa diajari oleh Vano.
“Ruang vokal di atas, dan ruang musik di bawah. Hari ini dipakai untuk saling berkenalan dan melihat-lihat MVM, ya. Enjoy!” Mei memberi izin pada murid-murid barunya lalu ia terkekeh geli menyaksikan Vano yang diam saja.
“Oh iya, semester ini Kakak nerima murid beasiswa lagi. Suara dia bagus banget, Van, dan bisa main piano juga.” Mei menjelaskan dengan mata berbinar.” Namanya Jingga Aldina. Kalau udah dateng atau kamu nemuin dia, suruh menghadap Kakak, ya. Kakak di atas.” Lalu Mei melangkah menuju tangga meninggalkan Vano.
Bruk!
“Anjrit! Keren banget ini studio. Bangga gue bisa les di sini!” Dari arah pintu, terdengar suara gaduh yang begitu syarat akan kekaguman. “Astaga, astaga! Gue bisa jadi musisi hebat nanti di masa depan!”
Vano menghampiri seorang gadis yang sedang mengagumi arsitektur MVM itu untuk bertanya, “Maaf, siapa, ya? Murid baru?”
“Gue murid beasiswa—” Ucapan gadis itu terpotong, matanya langsung membulat. “Cowok kurang belaian?! Hei!!”
Lalu Vano sadar, siapa gadis di hadapannya.
“Sok kenal,” kata Vano, sinis.
“Tuh kan bener! Lo doang manusia yang ngomong dengan nada datar!”
“Lo siapa? Ngapain di sini?” Vano mengalihkan pembicaraan.
“Masih mau tahu nama gue, ya? Oke deh, gue kasih tahu.” Dia mengulurkan tangannya dengan percaya diri, “Gue Jingga Aldina. Halo, Kurbel.”
Jadi cewek urakan ini murid beasiswa yang dipilih Mei? Apa kakaknya itu katarak? Bahkan orang yang bernama Jingga Aldina ini terlihat seperti tak punya bakat apa pun.
“Oh, murid beasiswa? Selamat datang di MVM.” Vano berkata sinis.
“Idih, cowok kurang belaian doang sok-sokan pake bilang selamat datang. Emangnya lo siapa? Pemilik studio ini?”
“Iya, dia salah satu pemilik studio ini. Namanya Vano, mentor di jurusan musik. Vano bisa ngajarin kamu sampai hebat.” Mei sudah berdiri di hadapan Vano dan seorang gadis yang lagi-lagi membulatkan matanya karena terkejut.
“Kurbel...” Jingga menunjuk Vano kikuk. “Mentor? Yang punya ini studio keren?”
“Kenapa?” Vano bertanya, sedikit ketus.
“Aduh, maaf. Aduh, gue nggak tahu.”
Jingga langsung menarik tangan Vano untuk ia salami. Mirip seperti sedang sungkeman ketika hari raya lebaran. Vano mencoba menarik tangannya, tetapi Jingga malah semakin menempelkan tangan cowok itu di dahinya. Mei tertawa melihat wajah Vano yang biasanya datar, mulai menampilkan ekspresi risih dan tak suka.
“Kalian akan jadi murid dan mentor yang cocok. Have fun, ya.” Mei pamit pergi dan ia masih sempat-sempatnya tertawa, entah untuk apa.
“Lepasin.” Vano memundurkan kakinya, dengan harapan tangannya bisa terlepas dari genggaman gadis aneh di hadapannya.
“Maaf, Mister, gue nggak tahu kalau Mister itu mentor gue. Nggak bakal bilang kurang belain lagi, deh. Aduh, maaf, ya. Jangan cabut beasiswa gue. Jangan kejam, nanti kepalanya botak kaya Doraemon!”
Huh, Mister?
Cewek jenis apa si Jingga ini?