MUSIK 08

1660 Words
No Name : Ini Jingga. Van, buku Kimia lo ada?” Vano mengerutkan dahi membaca pesan yang baru saja datang. Lantas ia membuka tas gendong berwarna hitam, dan buku itu tidak ada. Vano cari lagi lebih teliti, tapi memang tak berada di sana. Plus makalahnya juga tak ada, karena Vano menyelipkan makalah itu pada lembaran buku. Dan, ponsel Vano bergetar lagi. No name : Liat ke jendela, deh! Yang lagi ngepel lapangan basket sambil nyanyi balonku itu adalah murid yang kena hukum karena nggak bawa makalah di pelajaran Biologi. No Name : Gue minta maaf deh karena kemaren minjem buku Kimia lo diem-diem dan sekarang nggak dibawa. Kata Leo, hari ini lo pelajaran Kimia? Mau nyari materi jam segini, udah nggak ada waktu. Gue ada di gudang belakang, lo ke sini dan bawa tas lo. Gue bakal tanggung jawab karena nggak bawa buku lo. Cepet ke gudang!! Vano melirik ke arah siswa yang sedang dihukum. Guru biologinya memang kejam. Kalau kalian berpikir guru Biologi Vano itu perempuan, lemah lembut, manis, keibuan, tak pernah marah, salah besar. Yang benar, dia seorang bapak-bapak botak, berkacamata tebal, dan ke mana kakinya melangkah, selalu memakai rompi kotak-kotak. Namanya pak Cahyo. Level galaknya di atas rata-rata. Tak mengumpulkan tugas, lebih aman tak usah masuk sekolah daripada cari mati. Tapi, Vano? Ya, dia anti sama yang namanya bolos. *** “Gue kira lo nggak akan berani bolos.” Jingga terkekeh kecil. Ia berjalan ke arah Vano yang berdiri sambil menggendong tasnya hanya sebelah. “Ini karena gue males dihukum pak Cahyo,” tutur Vano, cuek. “Tenang, lo aman dari pak Cahyo. Ayo ikut gue!” Jingga berjalan ke arah belakang gudang dekat pagar tembok yang mengelilingi sekolah dan Vano mengikutinya. “Lo mau naek tembok setinggi itu?” tanya Vano. Ia ingat kemarin Jingga melakukan hal ekstrem tersebut. Jingga menggeleng, lalu dia berjongkok di depan bak sampah besar yang menjadi tempat pembakaran utama sampah-sampah sekolah. “Bantu gue dorong bak sampah ini,” Jingga memberi aba-aba pada Vano supaya mau membantu mendorong. “Dorong terus, Van!” Terdengar suara decitan. Seluruh tenaga yang dikeluarkan Jingga dan Vano akhirnya tidak sia-sia. Bak sampah itu tergeser, memperlihatkan tembok yang bolong. “Gue nggak tahu ada tembok yang rusak di belakang gudang,” ucap Vano. Jingga terkekeh, “Makanya jangan gaul sama buku terus. Kali-kali modal nekat. Ayo buruan!” Jingga keluar melewati tembok. Dengan ragu, Vano mengikutinya. “Cara nutupnya lagi gimana?” tanya Vano. Jingga berlari kecil ke arah semak-semak untuk mengambil tripleks berwarna senada dengan tembok sekolahnya lalu ditutupkannya.  “Lo sering bolos?” sindir Vano. “Kan gue udah bilang: modal nekat. Tapi, gue udah bolos, sih, sekali.” Gadis itu terbahak. Yang kemarin ternyata memang Jingga. Jingga langsung berlari sedangkan Vano masih bingung. Semoga pilihannya bolos untuk sekali saja tidak salah. Jingga memberi aba-aba supaya Vano berlari lebih cepat, tapi ya namanya juga Vano, suka-suka dia mau cepat atau lambat. “Dasar payah. Lo bisa lari nggak? Lari lo kayak siput,” cerocos Jingga setelah Vano ada di hadapannya. “Kita mau ke mana?” Vano mengalihkan pembicaraan. “Mungkin ngerampok bank atau nodong tante-tante kaya?” Vano langsung mengerutkan dahi tidak percaya. Tapi Jingga malah tertawa. “Polos banget lo. Ya kali, gue ngerampok? Gue mana ada tampang kriminal. Tampang gue imut gini,” kata Jingga. Cih, imut. Jingga kembali berjalan, Vano menyusulnya di belakang. “Ini mau ke mana?” tanya Vano lagi. “Lo maunya ke mana?” Vano mengangkat bahu, lalu berjalan meninggalkan Jingga. Sekitar berjalan lima langkah, Vano berbalik lagi ke belakang, dan gadis itu sudah tidak ada di tempatnya. Ia mencari ke kanan dan ke kiri, ternyata Jingga sedang sorak-sorakan menonton topeng monyet. Vano menghampiri Jingga yang masih teriak-teriak histeris, padahal itu hanya topeng monyet, bukan konser artis terkenal. Setelah bosan, Jingga berjalan menuju stand-stand yang menjual berbagai macam makanan. Entah mengapa Vano mengikuti. Jingga langsung berlari ke arah abang-abang yang sedang mengipas-ngipas kerak telor. Wanginya sudah membuat perut Jingga keroncongan. Vano memilih duduk di kursi dekat tukang jualan kerak telor, sedangkan Jingga ikut-ikutan masak kerak telor bersama penjualnya. Sampai asap membuat wajahnya hitam-hitam, tetapi Jingga malah tertawa tanpa beban sama sekali. “Mau nggak?” tawar Jingga. “Abisin aja.” “Allhamdililah.” Jingga duduk di sebelah Vano sambil meniup-niup kerak telor yang masih panas lalu berkata, “Lo dari tadi diem aja. Ini acara bolos, lho. Harus fun.” “Gue cuma takut dipanggil BP,” jawab Vano seadanya. “Santai, oke?” Vano mengangguk. Jingga bangkit dari duduknya, tengok kanan kiri, lalu ia melihat stand mi ramen yang lumayan ramai pengunjung. Sekali lagi, Vano menuruti tingkah gila Jingga yang memaksanya untuk mengikuti lomba makan ramen. Sepertinya hari ini adalah bad day Vano.   *** Aufa merapikan jas Vano sekali lagi. Ia terlalu rempong mempersiapkan Vano untuk sebuah makan malam yang menurutnya penting, tapi bagi Vano nggak banget. “Kita mau ketemu sama siapa sih, Ma?” tanya Vano. “Lihat aja nanti.” Aufa mengajak Vano masuk ke restoran yang cukup besar milik orang lain, padahal mereka sendiri mempunyai restoran dengan cabang di mana-mana. “Kamu duduk di sini, ya.” Vano menaikkan sebelah alis, “Mama mau ke mana?” “Hih, Mama makannya di luar, tuh, di situ deket taman. Kamu di sini aja. Nanti ada anaknya temen Mama, kok. Oke?” “Tapi, Ma,” “Shsttt...” Alamak, sok-sokan perjodohan, nih!   *** “Jingga, antar pesanan ke meja nomor 6, ya.” Jingga langsung mengambil nampan dan berjalan keluar dari dapur. Mencari letak meja nomor 6 untuk memberikan pesanan dan melakukan tugasnya menjadi seorang pelayan part time. Alias kerja jika dipanggil restoran saja. Bayarannya lumayan. “Selamat menikmati,” kata Jingga dengan sopan setelah ia meletakkan pesanan. Ketika ia hendak kembali ke dapur, perhatian Jingga tertuju pada meja yang berada di pojok. Yang duduk di sana seperti tidak asing. “Itu Vano?” bisiknya pelan pada diri sendiri. Jingga kembali masuk ke dapur dan dari pintu kecil, ia mengintip pada meja yang tadi sempat ia lirik. “Lagi kencan? Ah nggak mungkin. Masa ceweknya manusia es, model begituan? Bedaknya melebihi Kuntilanak?” Jingga melihat Vano bangkit dari duduknya, cowok itu berjalan menuju toilet. Tanpa pikir panjang, Jingga langsung mengendap-ngendap mengikuti Vano, menunggu di depan pintu. Sepuluh menit, Jingga tidak sabar menanti kemunculan pria itu. Dia tidak pingsan, kan? Jingga akhirnya masuk untuk mengecek keadaan Vano. Cowok itu sedang mencuci tangan pada wastafel. “Vano? Tuh kan bener ini lo!” teriak Jingga. Fokus Vano teralih, ia melihat Jingga dari atas sampai bawah. “Lo ngapain?” “Gue kadang-kadang kerja di sini. Lo sendiri ngapain? Wah, lagi kencan, ya?” “Mending lo keluar. Ini toilet cowok,” jawab Vano ketus. “Dasar, mengalihkan pembicaraan!” Vano berniat keluar dari toilet namun langkahnya dihadang Jingga. “Lo dijodohin? Sama cewek gesrek gitu? Kasihan amat.” Jingga berkata dengan nada meledek. “Bukan urusan lo. Minggir. Gue mau lewat.” Jingga tetap menghalangi jalan.“Vano, kalau lo merasa merana, gue bisa bantuin lo lepas dari tuh cewek gesrek. Gue kasihan sama lo. Kita itu teman. Buktinya kita tadi bolos bareng, kan?” Vano menjawab, “Acara bolos terburuk sepanjang hidup gue. Sekarang, minggir.” “Kejam.” Jingga mengerucutkan bibirnya. Dengan sekali dorongan kecil dari Vano, dia menjauh dari pintu. Tubuhnya oleng bagai butiran debu. Vano kembali berjalan menuju mejanya. Cewek rempong yang Jingga tidak tahu namanya itu langsung memeluk Vano dengan genit. Ia ngeri melihatnya. Jingga menghentakan kakinya, kembali ke dapur. Matanya masih mengintai Vano bagai elang, bahkan mungkin lebih tajam. Jingga terus memeperhatikan Vano yang sekarang tangannya dijadikan sandaran oleh cewek yang kadar ganjennya sudah kelewat batas. Prinsip Jingga: walaupun Vano jutek, tetapi yang namanya teman itu harus tetap ditolong jika sedang kesulitan. Jingga mengepalkan tangannya, lalu berjalan cepat menuju meja kompor. Mengambil beberapa untuk ia gulung-gulung dan dimasukkan ke dalam baju pelayannya. Jingga mirip seperti ibu-ibu hamil dengan perut buncit. Dirasa cukup, ia langsung keluar dari dapur. Sampai di hadapan Vano, ia menggebrak meja. “Ohhh!!! Gitu ya kamu, Van!”  Jingga berteriak, dan Vano bingung setengah mati. “Pacar kamu lagi hamil besar, kamu malah enak-enakan kencan sama cewek lain!” Jingga menunjuk-nunjuk perutnya yang buncit. “Dasar cewek murahan! Perebut pacar orang! Nggak punya malu lo, ya!” Jingga menggebrak meja lagi, menunjuk wajah cewek cantil itu dengan galak. Cewek itu menatap Vano, meminta konfirmasi. “Van, kamu udah punya pacar? Ha-hamil?” “Iya! Gue pacarnya! Mending lo sekarang pergi!” teriak Jingga semakin galak. Cewek itu langsung mengambil tasnya dan cepat-cepat meninggalkan restoran. Jingga mengedipkan sebelah matanya pada Vano, tanda bahwa rencananya berhasil. Tapi Vano hanya menatapnya dengan datar. Cowok itu menarik tangan Jingga keluar restoran karena Jingga sangat berisik, sehinga seluruh tamu menatap ke arah mereka. “Vano! Lepasin, ih, tangan gue sakit!” rengek Jingga. Vano melepaskan cekalannya, lalu menghempaskannya kasar. “Lo malah bikin masalah gue bertambah. Gue dijodohin gini gara-gara lo!” ujar Vano, kesal. Jingga memasang wajah bingung, “Kok gue?” “Lo ninggalin b*a lo di kamar gue, kan?” Belum sempat Jingga menjawab, suara penuh intimidasi terdengar. “Ehem! Van, Mama mau bicara sama kamu di parkiran. Bawa pacar kamu juga.” Vano melirik ke sumber suara. Mati Vano, karena yang tadi berdeham itu adalah Mamanya! Setelah mengatakan itu, Aufa langsung berjalan menuju parkiran.Suasana jadi mencekam seperti film-film horror. Karena takut disalahkan Vano, dengan mengendap-endap Jingga mencoba memundurkan langkahnya. Berniat, jika Vano lengah sedikit, ia akan kabur. Tapi sayang, ia lupa bahwa sedang berhadapan dengan cowok ber-IQ tinggi. Vano menangkap lengannya, wajah cowok itu semakin dingin membuat Jingga merasa berada dalam suhu paling menggigil sepanjang hidupnya. “Van, le-lepasin,” cicit Jingga dengan suara kecil. Vano mengeratkan cekalannya. Dengan nada menusuk ia berkata, “Asal lo tahu, membuat orang lain terkena masalah akibat kelalaian yang lo buat, itu nggak keren sama sekali. Dan apa gunanya lo hidup di dunia kalau bisanya cuma nyusahin orang?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD