MUSIK 19

2185 Words
Mereka semua mengikuti acara dengan khidmat. Mei sempat memberi pidato sebagai mahasiswi terpandai, kemudian disusul dengan pemasangan toga dan penyerahan ijazah kelulusan, pembacaan janji dan sumpah dokter, serta sebagainya. Mereka kemudian kembali ke hotel untuk beristirahat sebelum acara makan malam bersama nanti. Dan Jingga ada di kamar Vano. Cowok itu sepertinya malas berdebat, sehingga ia memperbolehkan gadis itu masuk dan memboikot kamarnya. Vano tak memilih mengeluarkan kotak musik yang sempat ia beli di toko oleh-oleh. Melodi yang khas dan cukup tradisional terdengar, namun musiknya tetap terkesan romantis. “Lo beli kotak musik?” Jingga berjalan ke arah Vano. “Kok suka banget? Gue malah nggak suka kotak musik.” Vano tak melirik Jingga, tetapi ia menyindir, “Nggak suka? Bukannya lo waktu itu maenin kotak musik di kamar gue tanpa izin?” “Oh, kotak musik pink yang cute banget itu?” Vano memasang wajah datar kemudian kembali terfokus pada kotak musik yang tengah ia putar. Tapi tak lama ia bersuara lagi. “Kenapa lo nggak suka kotak musik?” Otak kecil Jingga sedikit berpikir, “karena menurut gue, kotak musik itu menyedihkan.” “Menyedihkan?” Jingga mengangguk. “Dia indah, semua orang memujinya. Dia diputar jika sang pemilik membutuhkannya, diputar sampai bosan dan rusak. Dan setelah sang pemilik bosan, tak disentuh lagi sama sekali. Karena sudah tak dibutuhkan.” Pandangan Jingga menerawang jauh. “Kotak musik yang menyedihkan.” Dari mana gadis ini mempunyai pendapat bodoh seperti itu? “Itu pendapat gue. Nggak usah didenger.” Jingga mengibaskan tangannya ke udara. Vano bedeham, “Gue bisa buktiin kalo kotak musik itu gak semenyedihkan kayak yang lo pikir.” Alis kanan gadis itu terangkat, mencari kesungguhan dari ucapan Pangeran Es di hadapannya. “Apa itu sebuah janji, Mister Vano?” “Ya.” Jingga terkekeh geli. “Gue bakal tagih janji lo, Pangeran Es.”   ***   Sepanjang perjalanan, dua sejoli itu hanya diam. Jingga sibuk merapikan dress selututnya yang agak transparan dan Vano mengemudi dengan wajah santai. Kemudian Vano melirik Jingga yang nampaknya nyaman memakai dress putihnya itu. Menyindir, “Tema lo malem ini apaan? Putih-putih udah kaya...” “Malaikat?” satu cengiran lolos dari bibir Jingga. “Lebih tepat ke hantu. Kuntilanak.” Pipi Jingga mengembung, bahkan kedua matanya menyipit, hampir tenggelam. “Tapi gue hantu paling cantik.” “Ya.” Jingga menatap Vano tak percaya. “Lo bilang gue cantik?” “Ya, karena gue tahu hantu nggak ada yang cantik.” “s**l! Berarti gue di mata lo emang nggak pernah cantik!” Vano menahan kekehannya. Ya... lo lumayan cantik. Mereka berdua sampai. Acara makan malam besar-besaran ini sangat meriah. Banyak wisudawan beserta keluarganya memadati aula besar yang disulap serba putih oleh panitia. Dari arah panggung, ada seorang gadis yang siap bernyanyi. Ia mengenakan dress putih tulang yang sangat pas di tubuhnya yang ideal. Ternyata yang dimaksud Luna menyanyi di Bali adalah acara wisuda Mei. Jingga yang melihat Luna tampil sempurna, langsung merasa kepercayaan dirinya menurun. Mereka sama-sama memakai dress, namun rasanya Luna tetap jauh lebih cantik. Luna hanya menyanyikan dua buah lagu dan ia sudah turun dari panggung. Aufa menyuruh Luna duduk bergabung satu meja dengan keluarganya. Ia menyambut dengan senyuman lalu mengambil duduk di sebelah Jingga. Jingga merasa semakin jelek jika bersebelahan seperti ini. Akhirnya Jingga bangkit untuk pergi dan sepertinya tak ada yang sadar. Tak ada yang peduli. “Lo cakep, Van, pake jas kayak gini.” Ucapan tiba-tiba dari Luna itu mengakibatkan suara Vano beserta keberaniannya hilang. Baru kali ini ia bertatapan sangat dekat dengan Luna. Astaga, jantungnya hampir melompat keluar. Vano hanya tersenyum kecil ke arah Luna, kemudian pikirannya terfokus pada suatu hal. Ia melirik ke kanan dan ke kiri tetapi Vano tak menemukan apa pun.  Di mana dia? “Lo cari apa, Van?” tanya Luna. Vano tak mendengarkan pertanyaan Luna karena ia masih mengedarkan pandangan di sekitar orang-orang yang tengah hanyut berdansa. Sampai matanya melihat gadis itu tengah mencoba menjauhkan diri dari seorang pria pendek yang menyodor-nyodorkan bibir hendak mencium. Vano langsung berdiri dari duduknya, berjalan melewati beberapa orang yang sedang berdansa. Walau agak kesusahan, ia berhasil melewatinya dengan selamat. Vano melihat pria-pendek-s****n menarik tubuh Jingga semakin mendekat walaupun Jingga sudah sekuat tenaga menghalangi wajahnya dengan kedua tangan. “Tolong lepasin, Mas,” ucap Vano datar tetapi mengintimidasi. Pria pendek itu merasa tidak senang acaranya diganggu. “Siapa kamu? Ikut campur saja! Saya mau mencium gadis saya!” bentaknya. “Tolong lepaskan, Mas.” Vano kembali berbicara. Pria pendek itu melotot, melepaskan tangannya dari tubuh Jingga dengan kasar, membuat ego Vano terasa tersentil. “Pergi kamu, bocah ingusan!” Pria pendek melangkah pergi sambil menarik tangan Jingga. Vano langsung menahan tubuh pria itu dengan mudah, karena Vano sangat tinggi dan pria s****n itu bukan tandingannya jika berbicara soal postur tubuh. Pria pendek itu mencengkeram tangan Jingga sampai ia meringis. Vano menggeram, emosinya tersulut. “Lepaskan tangan s****n Anda dari pacar saya!” “Pacar–mu, eh?” “s****n!” Dengan sekali dorong, Vano berhasil membuat pria pendek itu melepaskan tangannya dari tubuh Jingga. Untung saja mereka ada di sudut ruangan, jadi tak ada yang mendengar. Karena entah sejak kapan juga lampu di aula menjadi remang. Vano langsung menarik tangan Jingga keluar Aula. Jingga meringis, tetapi Vano terus membawanya keluar. Vano berhenti berjalan, ia menatap Jingga dari atas sampai bawah, kemudian Vano melepaskan jas-nya dan memakaikannya pada tubuh Jingga. “Kenapa juga lo pake dress s****n ini?!” Vano tak pernah berbicara dengan nada setinggi ini pada Jingga. Bahkan urat-urat yang menandakan bahwa Vano sedang emosi, bisa Jingga lihat dengan jelas. Untuk apa dia marah? Karena Jingga diam saja, Vano melirik sedikit dan ia melihat mata gadis itu berair. Dia menangis? Tidak mungkin. Seorang Jingga menangis? Vano menghela napasnya kasar. “Gue bukan marahin lo, gue cuma marah karena lo diem aja padahal tadi lo dilecehin.” Jingga mengangguk kaku dan terus terisak. “Gue emang bodoh.” “Jangan ngomong kayak gitu.” Entah dorongan dari mana, Vano langsung membawa gadis itu ke dalam dekapannya. “Gue nggak marahin lo.” Vano mengurai dekapannya. Wajah Jingga sudah memerah serta pipinya basah. Lagi-lagi Vano menghela napas, gadis yang tadi ia peluk seperti bukan Jingga. Melihatnya menangis, itu menimbulkan hal asing di hati Vano yang ia sendiri tak memahaminya. Vano mengusap pipi gadis itu sehingga mereka saling bertatapan. Dengan hati-hati dan sangat pelan, Vano mengecup kening Jingga. Sedetik kemudian, Vano sadar bahwa apa yang barusan ia lakaukan adalah hal yang sangat-sangat salah. “Sorry...”  Vano melepaskan tangannya dari wajah Jingga lalu mundur beberapa langkah. Vano masih mencerna apa maksud perbuatan yang tadi ia lakukan sambil terus memundurkan langkah. “Bukan masalah,” ucap gadis itu. Jingga melangkah mendekati Vano, kembali memeluk Vano dengan hati-hati. “It’s okey...”  Vano merasa detik ini juga seluruh dunianya jungkir balik. Gadis ini memeluknya sangat erat. Benar atau tidak, Vano bisa merasakan bahwa Jingga mulai menyukainya. Tidak, gadis ini tidak boleh memiliki perasaan lebih padanya. Vano mengantar Jingga ke hotel, mereka berjalan menuju parkiran dengan tangan saling menggenggam. Keadaan di dalam mobil sangat sunyi. Jingga menatap ke depan dengan tatapan kosong, jalanan sepi menambah redup suasana. “Apa lo, suka... sama gue?” tanya Jingga dengan pelan tanpa melirik Vano.         Vano melirik Jingga disela-sela menyetir.  “Lo pacar gue, Ji.” Bukan itu jawaban yang Jingga mau. Jingga butuh pasti, bukan ilusi. “Suka dalam artian lo liat gue sebagai cewek. Bukan teman, ataupun pacar pura-pura, Vano.” Kedua tangan Vano mengerat pada setir mobil. Lidahnya kelu, otaknya terasa kosong. “Gue nggak ngerti.” Hanya itu yang ia ucapkan. “Ayolah, Vano. Tadi lo bilang kalo gue pacar lo tanpa embel-embel pura-pura ke Mas boncel s****n itu. Lo cium kening gue, genggam tangan gue. Dan jangan lupain juga perlakuan lo kemarin-kemarin. Apa itu belum bikin lo sadar?” Jingga, lo salah paham. Vano hanya melirik Jingga yang menatapnya dengan sendu. “Apa lo suka sama gue sebagai cowok?” tanya Vano. “Apa gue salah?” Ternyata dugaan Vano benar, gadis ini menyukainya. Gadis ini pasti keliru dengan perasaannya sendiri. “Perasaan lo cuma perasaan terbiasa deket sama gue doang, Jingga. Lo belum sampai pada tingkatan itu. Lo nggak bisa punya perasaan itu ke gue.” “Gue nggak bisa mutusin jatuh cinta ke siapa, Vano!” Satu isakan lolos dari bibir Jingga. Bahu gadis itu bergetar hebat sehingga Vano langsung menepikan mobilnya lalu mencoba menjelaskan pada Jingga agar tidak ada salah paham. “Jangan punya perasaan itu, tolong.” “Kenapa?” ”Karena—“ “Luna, kan?” potong Jingga dengan suara bergetar. “Jawab gue, Van, apa karena Luna?” Vano terdiam untuk beberapa saat. Tapi kemudian ia mengangguk dengan pelan. “Masih, dan selalu.” Bukankah itu yang selama ini Vano rasakan? Ini sungguh di luar kendali Jingga. Rasanya, lebih dari sakit. Mana Jingga yang urakan dan tomboy? Kenapa ia berubah lemah seperti ini hanya karena cinta?! Rasanya bukan seperti tertancap pedang, tetapi seperti dihempaskan dari surga untuk masuk ke neraka. Jingga, gadis itu seperti bukan dirinya. Ia terlihat sangat lemah dan keangkuhan pada dirinya meluap entah ke mana. Jika tahu begini, Vano tidak akan ceroboh mengecup kening gadis itu. Gadis itu hanya salah paham. Ya, Vano melakukan itu karena... Vano mendadak tidak bisa berpikir. Saat ini, ia hanya tidak mau melihat gadis itu menangis. Jingga berteriak, “Buka pintunya, Vano! Gue harusnya pergi. Gue nggak tahu malu karena masih di sini, masih natap lo dengan penuh cinta t***l yang gue punya, masih berharap bahwa lo punya perasaan lebih ke gue! Dengan bodohnya gue nganggep sikap manis lo kemarin-kemarin itu cinta!” Vano mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Jingga tetapi gadis itu langsung menyingkir. “Buka pintunya, Vano!” teriak Jingga histeris. “Dengerin gue—” “Buka! Gue nggak mau denger apa-apa lagi!” “Jingga... “ “Buka, Van!!!” “Oke!” suara Vano meninggi. “Lo boleh kecewa sama perasaan lo ke gue, tapi nggak gini, Jingga. Kita bisa ngomong baik-baik.” “Buka pintunya, b******n!!” Vano mengambil kunci mobil kemudian ia simpan dengan keras di atas dashboard. Napasnya memburu, menahan rasa aneh yang bermunculan tanpa Vano rencanakan. “Biar gue yang pergi.” Vano dengan cepat membuka pintu, membantingnya lalu berjalan cepat meninggalkan Jingga yang kalang kabut. Vano benar-benar tidak mengerti mengapa gadis itu sangat egois. Ia kan sudah bilang bahwa jangan memiliki perasan apa pun, tapi Jingga seakan-akan meminta Vano membalas perasaannya. Vano tidak bisa. Vano tidak bisa karena Vano tidak memiliki perasaan apa pun.  Hatinya sudah terisi penuh oleh Luna... Vano terus berjalan, biarkan saja Jingga sendirian. Bukankah itu yang ia mau? Vano akan berjalan menuju hotel dan biarkan gadis itu mengemudikan mobilnya sesuai dengan keinginannya. Vano terus berjalan, berjalan, berjalan, sampai ada sesuatu yang mengganjal. Apa... gadis itu bisa menyetir? Kemudian lewat sebuah mobil, Vano memperhatikan tetapi bukan mobil yang tadi ia tinggalkan. Sampai beberapa kali mobil lewat, tapi tidak ada mobil yang Jingga kendarai melintas di hadapannya. Vano berbalik, berlari menuju tempat tadi ia meninggalkan Jingga. Mobil rental itu masih terdiam di tempat semula. Dia tak mendapati Jingga di dalamnya. “Damn it!” Vano masuk dan menyalakan mobil. Ia meneriaki nama Jingga sambil terus melirik ke kanan dan kiri. Ada perasaan bersalah karena meninggalkannya seorang diri. Vano baru sadar bahwa gadis itu tak bisa menyetir. Good job, Vano! Vano berlari menuju hotel dan ia langsung menanyakan keberadaan Jingga pada resepsionis. Untungnya, dia berkata bahwa beberapa menit lalu ada seorang gadis yang masuk ke dalam lift dengan membawa jas hitam sambil menangis. Tidak salah lagi, itu Jingga. Vano langsung menyusul Jingga ke kamarnya, dan benar saja, gadis itu di sana. Vano melihat dia sedang membereskan baju-bajunya ke dalam koper. “Kenapa lo ninggalin gue di jalan, b******n! Gue nggak bisa bawa mobil!” Tangis Jingga pecah, seolah-olah menampar Vano lewat basah dari pipinya. Mungkin Vano akan mendapatkan pukulan bahkan cacian, tapi ia harus memeluk Jingga. Mendekap hangat, menyalurkan rasa bersalahnya. Jingga terus memukul d**a Vano dengan isakan yang semakin bertambah. Vano merasa hatinya sakit mendengar gadis ini menangis.   Kemudian Jingga mendorong tubuh Vano dengan kuat. “Gue tahu kita cuma pura-pura pacaran, tapi gue mau udahan. Gue mau putus.” Vano menggeleng. “Kita bisa anggep hal ini nggak terjadi.” “Gue nggak mau! Gue nggak mau pura-pura jadi pacar lo padahal gue cinta sama lo-nya nggak pura-pura!” “Ji—” “Lo tenang aja, gue bakal ambil penerbangan malam ini juga. Lo tinggal jelasin kalau gue selingkuh dan lo mutusin gue. Nyokap lo bakal ngerti.” “Jingga, lo sama gue selama tiga bulan ini bisa pura-pura pacaran, apa susahnya sampai mungkin... berpura-pura buat beberapa bulan lagi?” Katakanlah Vano berengsek, tetapi ia benar-benar takut Jingga akan pergi. “Lo minta buat gue pura-pura?” Jingga menatap Vano dengan sorot paling terluka. ”Bahkan lo seenaknya, Van! Lo injek-injek perasaan gue! Gue nggak mau jadi pacar pura-pura lo!” “Jingga—” Ucapan Vano tertahan karena bunyi pintu terbuka. Seseorang yang berdiri di depan pintu itu sangat shock mengetahui apa yang barusan ia dengar. Ia mendengar semuanya. “Jadi, selama ini kalian cuma pura-pura?!”   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD