The paintings

2349 Words
Yang Lee hanya bisa menatap wajah ayahnya dengan tatapan frustrasi. "Masuk!" perintah Brendan Lee tanpa kompromi. "Tapi, Pa ...." "Masuk, kataku!" Brendan Lee menatap tajam sang anak, membuat hati Yang Lee menciut. Ia pun kembali melepas sepatunya dan masuk dengan air mata yang mulai membayang. Rebecca Zhang takkan memaafkannya untuk kali ini. Ia benar-benar akan didepak keluar dari kompetisi. "Aku pulang!" Brendan Lee masuk dan duduk di ruang tamu, sementara Yang Lee hanya menunduk dan berdiri di samping ayahnya. "Sayang, kau pulang lebih cepat," Veronica Wu menyambut sang suami yang baru tiba. Matanya melirik Yang Lee yang berdiri di sisi Brendan Lee. Keliatannya ia bisa menebak apa yang baru saja terjadi. "Yeah, tadi kebetulan jalanan tidak macet," jawab Brendan Lee sambil melepas dasinya. "Oh ya, apakah kau yang mengijinkan Yang Lee pergi untuk berlatih musik?" tanya Brendan Lee sambil menatap sang istri penuh selidik. "Ohh ... emm. Yeah, tadi Rebecca Zhang menelpon, ia memanggil Yang Lee ke rumahnya. Aku pikir, hanya sesekali tak akan jadi masalah, bukan?" Ekspresi Veronica Wu terlihat takut ketika menjelaskan. "Satu jam belajar itu jauh lebih berguna dibanding sepuluh menit kau biarkan dia keluyuran di luar!" tegas Brendan Lee. Veronica Wu menunduk. Sang suami baru pulang kerja, jika ia nekad menjawab, maka bukannya solusi yang didapat, tetapi semuanya akan semakin runyam. "Baik, aku mengerti," sahut Veronica Wu akhirnya. Yang Lee sudah tidak tahan lagi, melihat tidak ada dukungan sama sekali dari kedua orang tuanya. Ia mengusap kasar wajahnya yang basah karena air mata, lalu berjalan ke hadapan sang ayah dan bersimpuh di sana. "Pa, aku harus ikut kompetisi kali ini. Tolong mengertilah. Jika sampai aku tidak menang di kompetisi kali ini, aku takkan main musik lagi," ucap Yang Lee sambil menahan isaknya. Brendan Lee berdiri dan menatap Yang Lee. "Sekalipun kau menang, itu sama sekali tidak membuatku bangga! Jadilah juara di nilai akademikmu, maka akan aku pertimbangkan apakah kau boleh main musik atau tidak," tegas Brendan Lee lalu melangkah pergi. Yang Lee kembali menunduk dengan lemas. Ia merasa sangat sedih, satu saja keinginannya sama sekali tidak digubris oleh sang ayah. Dan, sang ibu juga sama sekali tidak menunjukkan dukungannya. "Yang Lee, sebaiknya kau dengarkan ayahmu. Belajarlah yang rajin terlebih dahulu, maka ayahmu tidak akan punya alasan untuk menolak keinginanmu belajar musik," ucap sang ibu. Yang Lee sudah malas untuk merespon. Yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya keluar dari rumah ini dan segera menemui Rebecca Zhang. Karena jika ia sampai tidak datang, maka bisa dipastikan bahwa kesempatannya untuk ikut dalam kompetisi ini akan gagal. Rebecca Zhang takkan lagi mau memberinya kesempatan ketiga. "Sebaiknya kau kembali ke kamarmu, Nak. Belajarlah yang rajin dan buat ayahmu bangga," saran Veronica Wu lagi. Yang Lee menatap sang ibu dengan tatapan muak. Haknya selalu saja diabaikan. Dengan wajah cemberut, Yang Lee pun masuk dan naik ke kamarnya. "Loh, Méi? Kau tidak jadi latihan?" Yin Lee jadi terkejut ketika melihat Yang Lee kembali ke kamarnya dengan wajah kusut. "Papa sudah pulang!" jawab Yang Lee sambil menghempaskan dirinya ke ranjang. Yin Lee jadi mengerti apa masalahnya. "Baiklah, kalau begitu, ayo ikut aku!" Yin Lee segera meraih tangan Yang Lee lalu mengajaknya keluar. "Eh, kau mau mengajakku kemana?" tanya Yang Lee bingung. "Antar aku beli perlengkapan melukis." "Me-melukis?" "Sudah! Ikut saja!!" ajak Yin Lee. Mereka berdua keluar dan turun menemui Veronica Wu dan Brendan Lee yang sedang duduk di ruang tengah menikmati moment minum teh. "Kalian mau kemana?" tanya Veronica Wu melihat kedua putrinya turun bersamaan. "Kami mau beli alat untuk melukis karena besok ada test. Dan, kami harus mencari temanya sekalian," jelas Yin Lee. Wajah Yang Lee masih saja cemberut. Brendan Lee tersenyum mendengar ucapan Yin Lee. Putrinya ini memang sungguh-sungguh dalam belajar. "Ya sudah, hati-hati. Yang Lee, jangan begitu wajahmu. Kau ada test, 'kan besok? Malah mau pergi bermain musik ... ckck! Pantas saja nilaimu tidak bisa bagus! Kau bahkan tidak melihat jadwal pelajaran 'kan?" tuduh Brendan Lee. Wajah Yang Lee semakin kusut. Ia menatap Yin Lee dengan tatapan penuh dendam. "Ya sudah, Pa, Ma, aku pergi dulu ya!" Yin Lee berkata sambil tersenyum pamit. "Oh ya, aku akan pergi ke rumah Cleo Tan nanti, sekaligus melihat tekniknya dalam memulas cat," ujar Yin Lee. "Hmm, jangan malam-malam pulangnya!" ujar Veronica Wu. Yin Lee mengangguk. "Aku pergi," sahut Yang Lee pula. "Belajar yang giat, ya?" Brendan Lee tampak bangga menatap Yin Lee yang dianggapnya mampu mengarahkan sang adik. Kedua gadis itu akhirnya meninggalkan rumah. "Baiklah, sekarang sebaiknya kau pergi ke rumah Rebecca Zhang, aku akan pergi ke tempat Cleo Tan. Jangan lupa, kau harus menghubungiku ketika kau sudah selesai latihan. Dan, sebaiknya kau matikan ponselmu, agar jika papa menelpon, ia akan menelponku. Aku yang akan mengurus semuanya, okay?" Yin Lee menepuk bahu adiknya. Yang Lee hanya diam saja. Semua terlihat begitu mudah bagi Yin Lee dan tidak baginya. Kehidupan ini sungguh tidak adil! "Hey, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Yin Lee melihat adiknya hanya diam. "Eh, tidak ada! Aku rasa aku harus bergegas sebelum Rebecca Zhang akan marah padaku karena terlambat," dalih Yang Lee. "Hm, kau benar. Pergilah! Kita akan bertemu lagi di sini nanti, okay? Jangan lupa untuk menghubungiku," ujar Yin Lee mengingatkan. Yang Lee mengangguk dan ia pun langsung menuju halte bus menanti kedatangan bus yang searah dengan tujuannya. Yin Lee masih memperhatikan adiknya di seberang jalan. Ia merasa lega akhirnya bisa membantu sang adik untuk mencapai tujuannya. Kini, tugas berikutnya adalah menyelesaikan sandiwara yang sudah ia buat agar sang ayah percaya padanya. Ia harus ke toko buku lalu ke rumah Cleo Tan untuk membuktikan ucapannya. Yin Lee terlihat lega ketika melihat Yang Lee sudah naik bus. Ia pun berjalan menuju toko buku terdekat guna menuntaskan misinya. *** Yang Lee mematikan ponselnya sesuai saran Yin Lee. Hatinya sangat lega karena akhirnya dia bisa ke rumah Rebecca Zhang. Yang Lee baru saja tiba ketika musik di dalam sana sudah terdengar hingar bingar. "Astaga, keliatannya aku terlambat!" Yang Lee mempercepat langkah sambil melihat ke arah jam tangannya. "Ah, tidak! Seharusnya aku tidak terlambat," gumamnya ketika melihat jarum jam bahkan belum menunjukkan pukul lima. Ia langsung menuju garasi mobil tempat latihan biasanya dilakukan. Yang Lee membuka pintu garasi. Di sana, ia melihat semuanya sudah datang dan berlatih. "Hai, maaf! Apakah aku terlambat?" tanyanya. Rebecca Zhang menunjuk ke jam dinding yang tergantung di tembok. "Sayangnya, belum!" ujarnya sambil tersenyum. Ah! Yang Lee jadi lega. Ia meletakkan tasnya di bangku lalu menuju ke organ, tempat ia biasa berlatih. "Ayo, kita mulai!" Rebecca Zhang memberi aba-aba. Jacky Chan sebagai pemain drum mengetukkan kedua stiknya di udara sebagai tanda. Musik pun mulai mengalun. Rebecca Zhang sebagai singer tampak bersemangat ketika membawakan lagu. Mereka melakukan improvisasi dengan menampilkan keahlian masing-masing, dimulai dari bagian gitar, drum, biola hingga organ. Semua mendapat bagiannya sendiri dalam menunjukkan keahliannya. Dan, bagian itulah yang memang sengaja ditonjolkan oleh Rebecca Zhang. Ia ingin juri menilai masing-masing personalnya berdasar kemampuan mereka dalam bermusik. Mereka latihan tak kenal lelah dan waktu. Semuanya tampak bersemangat dan beberapa kali latihan mereka mengalami perkembangan konten. Masing-masing merasa puas dengan hasil latihan mereka malam ini. Hingga .... Ponsel Rebecca Zhang berbunyi. Ia memberi kode dengan tangannya agar latihan dihentikan terlebih dahulu. Ia mengambil ponselnya yang berada di dalam tas, lalu menyentuh layarnya. "Halo?" sapanya. "Hai, Rebecca, apakah Yang Lee masih di sana?" Rebecca langsung menoleh ke arah Yang Lee. Yang Lee langsung tau siapa yang sedang menelpon Rebecca. Ia melihat ke arah jam dinding dan ternyata, sekarang sudah hampir jam sembilan malam. Astaga!! Yang Lee langsung mendelik kaget, ia bisa mendapatkan masalah jika sampai pulang kemalaman! "Yeah, dia ada. Apakah kau mau bicara dengannya?" tanya Rebecca Zhang. "Em, tidak usah. Aku hanya ingin tau, apakah latihan kalian masih lama? Ayahku sudah cemas karena sampai jam segini, Yang Lee belum pulang. Aku sudah kehabisan alasan, Rebecca," ujar Yin Lee. "Oh, begitu ya? Sebentar." Ia lalu bertanya kepada semua timnya, apakah latihan sebaiknya disudahi saja? Dan, semua orang mengangguk setuju. "Baiklah, Yin Lee. Aku rasa kami sudah selesai," ucap Rebecca Zhang. "Oh, terima kasih, Rebecca. Tolong sampaikan pada Yang Lee untuk segera kembali. Aku menunggunya di depan halte bus yang tadi," ujar Yin Lee. "Baiklah! Akan aku sampaikan!" ujar Rebecca Zhang. "Terima kasih," tutup Yin Lee. "Sama-sama." Rebecca lalu menutup panggilannya. "Baiklah, aku rasa kita semua cukup puas dengan hasil latihan malam ini. Kompetisi akan digelar tiga hari lagi. Bagaimana jika kita latihan sepulang sekolah saja? Kita akan memaksimalkan kemampuan kita sampai tiba saatnya kompetisi dimulai," usul Rebecca. "Jangan tiga hari, Rebecca. Kita maksimalkan dua hari saja, bagaimanapun, kita butuh istirahat di satu hari terakhir agar kita tidak terlalu lelah menjelang kompetisi," usul Jessica An. "Yeah, aku setuju dengan Jessica An. Jangan sampai kita sakit dan malah merusak semuanya," jawab Jacky Chan. Rebecca mengangguk. "Bagaimana denganmu, Yang Lee?" tanya Rebecca Zhang. "Aku setuju dengan Jessica An. Kita harus menjaga stamina kita jangan sampai tertekan karena stress latihan dan akhirnya malah gugup dan buyarlah semuanya," ujar Yang Lee. Merasa bahwa usulnya kurang mendapat dukungan suara, Rebecca Zhang pun memutuskan untuk mengalah dan mengikuti suara terbanyak. "Baiklah kalau begitu. Jadi, besok dan lusa kita akan latihan di sini sepulang sekolah. Apakah semuanya setuju?" tanya Rebecca lagi. "Yeah, aku sepakat," jawab Jacky Chan diikuti oleh yang lain. Acara latihan pun bubar. Yang Lee yang merasa jam latihannya sudah over jadi cemas. Apa yang akan dikatakan oleh ayahnya ketika ia pulang nanti? Dan, bagaimana ia hendak menjelaskannya? Berkali-kali ia menggigit bibirnya dengan ekspresi tegang sambil menunggu bus lewat. Ini sudah pukul sembilan, Yin Lee juga pasti akan terkena masalah gara-gara membantunya. Yang Lee mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Ingin rasanya ia menyalakan ponselnya dan menghubungi Yin Lee, tapi ia juga takut jika tiba-tiba saja yang menelpon malah ayahnya. Ia tidak memiliki persiapan untuk berbohong. "Astaga, kemana para bus ini?" Yang Lee berkata sambil menggerak-gerakkan kakinya dengan tegang. Semakin malam, bus di daerah sini memang semakin susah. Yang Lee berharap masih tersisa satu bus yang bisa membawanya kembali pulang. Dari jauh, ia bisa melihat bus yang ditunggu akhirnya datang juga. Yang Lee bergegas naik dan ia langsung menyalakan ponselnya begitu duduk. Nama pertama yang ia cari adalah Yin Lee. Ia harus menghubungi kakaknya itu untuk berunding mengenai alasan yang harus mereka berikan nanti. Baru satu kali deringan berbunyi, Yin Lee ternyata langsung mengangkatnya. "Halo, Meí, kau ada di mana sekarang?" Suara Yin Lee terdengar cemas. "Aku sedang berada dalam bus. Sebentar lagi sampai. Maaf, aku sampai lupa waktu sehingga menyulitkanmu," ujar Yang Lee penuh penyesalan. "Hey, tidak perlu merasa bersalah. Aku hanya khawatir kau kenapa-napa. Apakah latihannya mengasyikkan?" tanya Yin Lee kemudian. Suaranya sudah tidak terdengar panik seperti tadi, membuat Yang Lee mengerutkan keningnya. "Yeah, latihannya cukup lancar. Terima kasih karena telah membantuku sampai seperti ini," ujar Yang Lee. Yin Lee tertawa kecil di seberang sana, membuat perasaan Yang Lee jadi aneh. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa kakaknya itu tidak terdengar seperti orang yang sedang panik. "Yeah, aku senang membantumu. Dan, untuk itu aku minta imbalan," jawab Yin Lee lagi. "Imbalan?? Yang Lee, kau ingin aku membalasmu dengan cara apa? Dari mana aku uang?" Ekspresi Yang Lee tampak kecewa. "Nanti saja. Kita bicarakan ketika kau sudah tiba di rumah, okay?" ujar Yin Lee. Hati Yang Lee jadi sesak mendengar permintaan sang kakak. Bukankah Yin Lee sudah memiliki segalanya? Kenapa hanya dengan membantunya sebentar saja dia meminta bayaran? Tanpa berkata apapun, Yang Lee mematikan ponselnya sepihak. Ia jadi kesal dengan Yin Lee sekarang. Bus yang ditumpangi oleh Yang Lee akhirnya sampai juga. Dari kaca jendela bus, ia bisa melihat Yin Lee berdiri di tepi jalan dan dengan sabar menantinya. Hati Yang Lee sudah jengkel. Dengan wajah yang cemberut, ia pun turun dan menemui Yin Lee yang terlihat senang. "Bagaimana latihanmu?" tanyanya begitu Yin Lee tiba di hadapannya. "Bukankah aku sudah menjawabnya tadi?" tanya Yang Lee sambil melangkah menuju rumah. "Eh, iya. Emm, tunggu?" Yin Lee mencekal bahu adiknya. "Ada apa lagi?" tanya Yang Lee dengan ekspresi kesal. "Em, ini!" Yin Lee membuka tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. "Apa ini?" Yang Lee mengerutkan keningnya sambil menerima gulungan kertas dari kakaknya. "Ini adalah alibimu dan ini adalah alibiku," ujar Yin Lee sambil menunjukkan gulungan kertas yang lain. "Ini, ini juga catmu. Kita harus berpura-pura bahwa usaha kita kali ini sangat melelahkan," sahut Yin Lee sambil menyerahkan sebuah bungkusan berisi cat yang sudah bekas dipakai. Yang Lee kembali menerima pemberian sang kakak, walaupun hatinya masih belum paham sepenuhnya. "Baiklah, nanti ketika ditanya kita harus berkata pada papa, bahwa kau dan aku lama karena mencari tema yang tepat. Dan, jangan lupa, kita tadi melukis di halaman Cleo Tan, jadi kita tidak mendengar suara ponsel," usul Yin Lee. Lagi-lagi Yang Lee mengangguk dengan hati yang bingung. Berdua mereka berjalan kembali menuju rumah. Baru saja, Yin Lee membuka pintu, ia sudah disambut oleh sang ibu dengan ekspresi khawatir. "Astagaa! Kalian ini darimana saja? Ayahmu uring-uringan karena jam segini kalian belum pulang juga! Terutama kau, Yang Lee, kenapa ponselmu tidak aktif?" tanya Veronica Wu kepada sang putri. "Eh, ak-aku tidak tau kalau ponselku mati. Ak-aku--" "Kami tadi sangat sibuk, Ma. Ini hasilnya," potong Yin Lee cepat sambil menyerahkan gulungan kertasnya. Yang Lee memang payah dalam hal berbohong. "Ah, aku tidak mau tau. Tunjukkan saja hal itu ke ayahmu," tolak Veronica Wu. "Baiklah." Bertiga mereka masuk dan tampak sang ayah dengan wajahnya yang menyeramkan sedang duduk dalam kegelapan "Darimana saja kalian?" tanya Brendan Lee dengan sorot mata tajam. Yang Lee sudah tidak berani menjawab. Ia hanya menundukkan kepala mendengar nada bicara sang ayah. "Kami dari rumah Cleo Tan, Pa," jawab Yin Lee sambil menyerahkan gulungan kertas pada ayahnya. "Apa ini?" Brendan Lee mengerutkan keningnya. "Ini adalah hasil belajar kami," jAab Yin Lee dengan penuh percaya diri. Brendan Lee membuka gulungan itu dan menatap takjub akan isinya. Ia lalu menatap sang putri kesayangan lalu memeluknya. "Kau benar-benar hebat, Sayang!" puji Brendan Lee. Marahnya sedikit reda melihat lukisan bagus sang putri. "Mana punyamu?" Kali ini Brendan Lee manatap Yang Lee dengan tatapan curiga. Yang Lee lalu mengeluarkan gulungan kertas yang tadi diberikan oleh Yin Lee padanya dan memberikannya pada sang ayah. Brendan Lee menerima gulungan itu masih dengan perasaan curiga. Ia membukanya dan .... Matanya melebar melihat apa yang ada di hadapannya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD