-----
Flashback On.
-----
Dering sebuah smartphone membuat Arthur segera menoleh ke arah Justin.
"Angkat telefon ku, loudspeaker lalu rekam" perintah Arthur lalu kembali meminum wine milknya dengan tenang sedangkan Justin segera mengambil ponsel tersebut di atas nakas dan menjalankan perintah dari Tuan nya.
"..."
"Ada apa?" tanya Arthur tanpa mengalihkan perhatiannya dari gelas wine yang saat ini berada di tangannya.
"..."
"So?"
"..."
"Bagaimana dengan adikku?" tanya Arthur kembali menyesap wine.
"..." Arthur tersenyum mendengar penuturan wanita itu. Setelah panggilan itu selesai, Arthur kembali menoleh ke arah Justin.
"Kau sudah merekamnya?" tanya Arthur kepada Justin.
"Sudah, Tuan" jawab Justin membuat Arthur tersenyum dalam hati.
I got you. Batin Arthur dalam hati. Arthur segera bangkit dari duduk nya kemudian merapikan setelan jas Armani miliknya.
"Hubungi wanita itu dan katakan jika aku menyetujui ajakannya" ujar Arthur membuat mata Justin membulat.
"Tapi Tuan ... "
"Lakukan saja perintah ku!" geram Arthur membuat Justin terdiam seketika.
"Baik, Tuan" jawab Justin dengan berat hati.
Setelah itu Arthur memasuki sebuah ruangan, sesampainya di dalam ruangan tersebut ia segera menaruh satu buah kamera di sudut ruangan itu seraya tersenyum menyeringai, tak lama kemudian masuk seorang wanita cantik yang memasuki ruangan tersebut.
Wanita itu tersenyum manis ke arah Arthur yang tengah duduk di atas sebuah sofa. Wanita itu kemudian menghampiri Arthur dan duduk di pangkuan Arthur, membuat Arthur menyeringai bersamaan menahan rasa jijik dalam dirinya.
Bitch. umpat Arthur dalam hati.
"Jadi, apa alasan mu menerima ajakan ku?" tanya wanita yang berada di atas pangkuan Arthur.
Arthur seolah berpikir. "Because I want it" jawaban dari Arthur membuat wanita itu tersenyum lebar, sedetik kemudian wajah wanita itu mendekat hendak mencium bibir Arthur namun Arthur menolak ciuman itu dengan menjauhkan wajahnya, membuat sang wanita tidak terima.
"I don't need foreplay" ucap Arthur seraya tersenyum. Mendengar peraturan itu membuat sang wanita lalu bangkit dari pangkuan Arthur, ia segera melepas dress mini yang melekat pada tubuh seksi nya dengan gerakan yang menggoda.
Arthur hanya menyeringai menanggapi tingkah laku wanita itu, ia ingin aktingnya terlihat begitu natural saat ini. Setelah tidak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh wanita itu tiba-tiba pintu ruangan terbuka dengan sangat kasar, membuat sang wanita terkejut bukan main sedangkan Arthur hanya tersenyum.
Wanita itu segera menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya kemudian menoleh ke arah pintu yang dibuka secara kasar. Alangkah terkejutnya wanita itu kala melihat siapa orang yang membuka pintu tersebut. Sedangkan pria yang membuka pintu itu naik pitam melihat wanitanya tengah bersama dengan seorang pria yang tidak lain adalah kakaknya sendiri.
"Mathew..." lirih wanita itu menatap Mathew yang terlihat begitu emosi. Mathew segera melangkah menghampiri Arthur yang masih duduk di atas sofa, sedetik kemudian ia melayangkan pukulan kepada wajah Arthur, membuat sang wanita memekik melihat pemandangan yang ada di hadapan nya.
"Sialan! Kau iri kepada ku hingga berusaha mengambil wanitaku dengan cara licik seperti ini, huh?!" teriak Mathew seraya mencengkeram kedua kerah kemeja Arthur sedangkan Arthur menatap marah ketika adiknya menuduhnya seperti itu, ia menatap sinis ke arah adiknya lalu dengan mudah mendorong Mathew hingga cekalan tangan Mathew pada kerah kemejanya terlepas.
"Kau menuduh ku merebut jalang itu darimu?!" tanya Arthur tidak percaya sedangkan Mathew mengatur nafasnya dan berpikir dengan apa yang sudah ia katakan.
"Look! Wanita yang selalu kau bangga-banggakan padaku hampir setiap minggu tidak lain dan tidak bukan adalah seorang p*****r yang berani tertarik dengan kakakmu sendiri. How can you accuse me like that?!" ujar Arthur membuat Mathew terdiam.
"Mathew aku... Aku bisa jelaskan... aku... " ucap wanita itu terbata-bata seraya mendekati Mathew, berusaha menggenggam tangan sang kekasih meskipun ditepis oleh Mathew.
"Justin!" panggil Arthur dengan suara yang menggelegar hingga membuat Justin tergesa-gesa memasuki ruangan itu.
"Beritahu kepada dua orang ini jika aku tidak bersalah!" titah Arthur yang diangguki oleh Justin ketika pria itu mulai menangkap maksud dari tuan nya. Justin segera memutar sebuah rekaman telefon antara wanita tersebut dengan Arthur.
"Hi, Arthur. Ini aku, Gabriella"
"Ada apa?"
"Kau tidak mungkin menutup mata bukan jika selama ini aku tertarik padamu. Bahkan sebelum aku mengenal kekasihku saat ini"
"So?"
"I want you"
"Bagaimana dengan adikku?"
"Itu urusan mudah, yang terpenting adalah kau menerima ku. Masuki kamar nomor 2405 jika kau menerima ajakan ku dan segera hubungi aku"
Mathew sangat terkesiap mendengar rekaman tersebut, ia menatap wanita itu dengan tatapan terluka, selama ini ia berfikir jika ia begitu beruntung mendapatkan Gabriella yang sangat perhatian kepadanya. Namun di balik itu semua ternyata dirinya hanyalah batu loncatan bagi Gabriella untuk bisa mendekati Arthur sang kakak.
Arthur segera mengambil kamera tersembunyi yang ia letakkan di sudut ruangan, setelah itu ia memutar rekaman video itu di hadapan Mathew, terlihat dengan jelas bahwa Gabriella menggoda Arthur yang sedang duduk di atas sofa ruangan tersebut.
"Bahkan aku sangat jijik menyentuh wanita ular seperti dia" ujar Arthur setelah rekaman video tersebut berhenti berputar. Tanpa menunggu lama, Arthur segera melenggang pergi dengan kekecewaan di dalam dirinya, bagaimana bisa adiknya menuduhnya seperti itu jika selama ini ia tidak pernah menyetujui adiknya berhubungan dengan wanita ular seperti Gabriella?
Mathew kembali terkesiap melihat kepergian Arthur dari ruangan tersebut, ia segera mengejar sang kakak untuk meminta maaf, selama ini ia tidak suka ketika sang kakak menjelek-jelekkan kekasihnya, ia berpikir Arthur iri kepadanya karena memiliki Gabriella yang sangat perhatian. Namun yang dikatakan oleh Arthur selama ini benar, kekasihnya adalah wanita ular yang tidak mencintainya, terbukti dari kedua rekaman itu dan sikap sang kekasih yang berani menyerahkan tubuhnya kepada Arthur.
"Mathew.. Mathew.." langkah Mathew terhalang oleh cekalan Gabriella di lengannya, segera saja ia menepis dengan kasar cekalan tersebut dan menatap Gabriella dengan sangat tajam.
"Aku tidak menyangka kau melakukan hal ini kepadaku. Mulai saat ini hubungan kita berakhir dan jangan pernah kau dekati aku atau keluarga ku yang lain!" desis Mathew membuat Gabriella bungkam, setelah itu ia kembali mengejar sang kakak yang sudah meninggalkan hotel tersebut.
-----
Flashback Off.
-----
"Aku minta maaf" ucap Mathew yang masih menundukkan wajahnya.
"Maaf karena aku tidak memepercayai mu" ucap Mathew kembali.
"Aku tidak dengar" jawaban yang diterima oleh Mathew membuat nyali nya semakin menciut, Vallery hanya tersenyum melihat interakasi kedua putranya karena ia begitu sadar dengan tatapan mata Arthur yang menyiratkan bahwa pria itu peduli namun tidak mau memaafkan kesalahan adiknya begitu saja.
"Mathew, tolong jaga kakakmu. Mommy ingin ke restoran di sebrang rumah sakit ini untuk makan siang bersama Daddy" ujar Vallery sengaja meninggalkan kedua putranya tersebut agar berbaikan.
Raut wajah Mathew berubah seketika, ia segera menatap Vallery dengan tatapan memohon, menyiratkan untuk tidak meninggalkan ia dan sang kakak berdua, jika boleh jujur ia begitu takut saat ini. Sama halnya dengan Arthur yang tidak terima dengan perkataan Vallery karena ia tidak mau memaafkan adiknya begitu cepat meskipun waktu dua tahun adalah waktu yang cukup lama baginya mendiamkan Mathew.
"Kau paling bisa membujuk kedua putra kita agar berbaikan" ujar Brian setelah mereka berada di luar ruangan tempat Arthur dirawat. Vallery menoleh ke arah Brian dan semakin mendekatkan tubuhnya dalam rengkuhan sang suami yang sedari tadi memeluk pinggangnya dengan sangat posesif.
"Itu sudah menjadi tugasku untuk menyatukan keluarga kecil kita" jawab Vallery yang kemudian mendapat kecupan hangat dari sang suami di pelipis wajahnya.
Setelah kepergian kedua orangtua nya, kedua pria itu merasa sangat canggung berada di dalam situasi seperti ini. Arthur masih asik memandang tembok yang ada di hadapan nya sedangkan Mathew kembali menunduk seraya menautkan sepuluh jemarinya. Sungguh, ia lebih memilih berhadapan dengan pengusaha handal untuk memenangkan sebuah tender seharga miliaran dollar Amerika daripada harus berhadapan dengan sang kakak.
"Ehm.. Apa kau butuh sesuatu?" tanya Mathew dengan ragu seraya menatap Arthur sesekali.
"No" jawab Arthur yang membuat Mathew semakin mati kutu.
"Aku.. Aku sungguh minta maaf atas kejadian dua tahun yang lalu" ujar Mathew masih dengan menundukkan wajahnya, keringat dingin mulai bercucuran di sekita pelipisnya ketika ia masih mengingat bagaimana ia memukul Arthur saat itu, sedangkan apa yang dilakukan oleh Arthur saat itu adalah benar, sang kakak ingin menyadarkan dirinya bahwa Gabriella bukanlah wanita yang baik untuknya.
Selama dua tahun ini ia berusaha meminta maaf kepada kakaknya tersebut dengan menemui Arthur di markas besar mafia milik pria itu hingga mencoba berbicara lewat telefon dan selama itu pula Arthur selalu menghindar dari nya. Namun ia kehabisan akal disaat keduanya bisa bertemu seperti saat ini karena lagi-lagi Arthur terlihat enggan memaafkan kesalahannya dulu.
"Aku harus melakukan apa agar kau memaafkan ku?" tanya Mathew dengan putus asa.
"Pikir saja sendiri" jawab Arthur semakin membuat mental Mathew menciut hingga keringat dingin semakin bercucuran di pelipis dan keningnya. Sejujurnya Arthur ingin memaafkan adiknya, namun mengingat dulu sang ayah begitu sangat perhatian kepada Mathew dibanding dirinya, ditambah lagi dengan insiden dua tahun lalu membuat Arthur tidak ingin memaafkan Mathew begitu saja.
Lama mereka terdiam membuat Arthur menoleh untuk menatap adiknya. Ia mengernyit ketika melihat buliran-buliran keringat mebasahi kening Mathew. Meskipun Mathew tengah menunduk saat ini namun Arthur bisa melihat dengan jelas bahwa adiknya berkeringat. Arthur melihat AC yang ada di ruangan itu. Menyala. Lalu ia kembali melihat Mathew yang sudah berkeringat.
"Kau sakit?" tanya Arthur, meskipun ia terlihat tidak mempedulikan Mathew selama dua tahun ini namun melihat adiknya yang berkeringat saat ini membuat ia sedikit khawatir.
"No" jawab Mathew seraya menggelengkan kepalnya masih dalam posisi menunduk.
"Kau berkeringat" ujar Arthur membuat Mathew segera sadar bahwa pelipis dan keningnya berkeringat, Mathew segera mengusap keningnya.
Oh Tuhan. ujar Mathew dalam hati. Ia tersadar bahwa aura Arthur begitu kuat hingga mampu membuatnya berkeringat karena ketakutan.
"Aku tidak sakit" Mathew kembali berujar, namun seketika ia mendongak untuk menatap wajah Arthur.
"Kau mencemaskan ku?" tanya Mathew dengan tatapan berbinar, akhirnya, setelah sekian lama ia berjauhan dengan sang kakak, ia bisa melihat dengan jelas bahwa saat ini Arthur tengah mencemaskannya.
"In your dream!" jawab Arthur berusaha tenang karena sejujurnya tebakan Mathew adalah benar.
Mendapat jawaban seperti itu membuat Mathew kembali menunduk lesu, melihat hal itu Arthur merasa sedikit terhibur dengan tingkah adiknya, selama apapun ia mendiamkan sang ayah, ia tidak bisa mendiamkan adiknya seperti ia mendiamkan ayahnya selama ini. Arthur tersenyum tipis melihat tingkah Mathew saat ini.
"Bantu aku untuk minum" ujar Arthur berusaha membuat Mathew tidak murung kembali. Mathew segera mendongakkan wajahnya dengan senyum yang mengembang. Tanpa menunggu lama ia segera mengambil air minum yang berada di atas nakas, tak lupa pula dengan sedotan untuk memudahkan Arthur untuk minum.
Di tempat lain Vallery dan Brian segera kembali ke rumah sakit setelah dirasa cukup lama menghabiskan waktu untuk makan siang. Dengan langkah tegap Brian kembali merengkuh pinggang Vallery dengan posesif seperti biasa, membuat Vallery tersenyum. Senyum keduanya semakin merekah kala melihat kedua putra mereka tengah tertidur. Mathew tertidur pulas di samping Arthur seraya menekuk kedua lengannya untuk bertumpu sedangkan Arthur tertidur seperti biasa di atas brankar.
"Kurasa mereka sudah berbaikan" ucap Vallery.
"Aku harap begitu, Honey" ucap Brian lalu mengecup pelipis sang istri.