Vallery terbangun dari tidur nya, ia menoleh ketika merasakan jemarinya digenggam oleh seseorang, ia tersenyum saat mendapati siapa pelaku yang menggenggam jemarinya. IA menegakkan tubuhnya tanpa melepaskan tautan jemarinya dengan sang suami, ia lalu bergerak mendekati Brian, mengecup bibir pria itu dengan lembut.
"So cute" ujar Vallery lalu mengecup punggung tangan Brian sebelum melepaskan tautan jemari mereka kemudian memakaikan selimut untuk sang suami.
"Mom" Vallery menoleh ketika putra sulung nya memanggil, ia tersenyum lalu menghampiri Arthur.
"Kau sudah bangun?" tanya Vallery seraya mengusap wajah Arthur dengan lembut.
"Ya" jawab Arthur sekenanya.
"Excusme" mereka berdua menoleh ketika seorang perawat memasuki ruangan tempat Arthur dirawat.
"Saya ingin mengantar sarapan, Nyonya. Sudah waktunya Tuan Arthur untuk sarapan" ujar perawat tersebut.
"Ya, taruh saja di meja" setelah sang perawat menyelesaikan tugasnya, Vallery segera mengambil makanan tersebut yang ternyata adalah semangkuk bubur.
"Mom, aku tidak lapar" ucap Arthur ketika ia tahu seperti apa makanan rumah sakit.
"Kau harus tetap makan, Baby. Agar kau memiliki tenaga dan cepat sembuh" ujar Vallery membuat Arthur menggeleng.
"Makanan itu terasa hambar di lidahku" kilah Arthur.
"Kau harus makan. Mommy tidak menerima penolakan" titah Vallery mutlak membuat Arthur mau tidak mau harus menuruti perintah ibunya.
Di sela-sela mulut Arthur yang mengunyah bubur dengan susah payah, Arthur merasa bingung apakah ia harus menanyakan hal yang selama ini mengganggu pikirannya atau tidak.
"Mom" panggil Arthur dengan ragu-ragu.
"Ya?" ucap Vallery seraya mengaduk bubur sedangkan Arthur terlihat berpikir sangat keras sebelum melanjutkan perkataannya, hal itu membuat Vallery tersenyum. Ia lalu mengusap kening Arthur yang berkerut karena terlalu berpikir keras.
"Apa yang ingin kau tanyakan sehingga membuat dahimu berkerut sedalam ini?" tanya Vallery ditengah kegiatannya mengusap kening sang putra.
"Apakah Mommy bahagia dengan pria itu?" pertanyaan konyol dari Arthur membuat Vallery terkejut namun setelah itu ia terkekeh.
"Of course. Mommy sangat bahagia dengan Daddy mu, Daddy sosok pria yang sangat sempurna untuk Mommy. Kehidupan Mommy sangat bahagia ketika Daddy mu masuk ke dalam kehidupan Mommy" mendapat jawaban dari sang ibu yang sangat bahagia bersama ayahnya membuat Arthur sedikit ragu dengan apa yang ia lihat dan ia nilai dua puluh tahun yang lalu.
"Apakah pria itu pernah membuat Mommy terluka?" Vallery menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaan dari Arthur.
"Jika Mommy terluka, itu bukan karena Daddy mu. Justru Daddy yang menjaga Mommy agar Mommy tidak terluka, baik luka fisik maupun luka hati" Vallery lagi-lagi tersenyum ketika mengingat semua perjalanan cintanya selama ini dengan Brian, apa yang wanita katakan itu adalah kebenaran. Ia tidak pernah terluka selama di samping Brian. Pria itu selalu menjaganya dari luka fisik maupun luka hati.
"Saat dia ingin membunuh ku di rahim Mommy apakah hatimu tidak terluka, Mom?" pertanyaan Arthur membuat senyum di bibir Vallery memudar, ia kembali teringat akan kejadian itu, namun ia kembali tersenyum kala saat itu bukan hanya dirinya saja yang terluka. Bahkan Vallery tahu mengapa Brian melakukan hal itu terhadapnya, pria itu berusaha untuk melindungi dirinya dan juga sang putra dari seseorang yang menginginkan Brian mati secara perlahan. Vallery meletakkan mangkuk yang berisi bubur lalu menggenggam tangan sang putra dengan lembut.
"Ketahuilah, my boy. Saat itu bukan hanya Mommy saja yang terluka, tapi Daddy mu juga. Saat itu Mommy belum mengetahui kebenarannya, hingga tanpa pikir panjang Mommy segera meninggalkan Daddy setelah Mommy menyuntikkan obat bius ke tubuh Daddy" Arthur terkejut mendengar penuturan sang ibu.
"Setelah Daddy pingsan, Mommy segera pergi jauh meninggalkan Daddy selama dua tahun. Kau tahu? Selama itu pula Daddy hancur seperti Mommy. Tapi dari semua kehancuran itu, Daddy lebih hancur daripada Mommy" jelas Vallery panjang lebar.
"Really?" tanya Arthur yang tidak percaya dengan cerita sang ibu.
"Ya. Daddy mu bahkan depresi. Ganja dan minuma keras adalah santapan nya hampir setiap hari, Daddy mu begitu frustasi karena tidak bisa menemukan kita" jawab Vallery seraya tersenyum sendu.
"Itu adalah balasan karena pria itu ingin membunuhku" ucap Arthur memalingkan wajahnya dari sang ibu.
"Nope, my boy. Semua itu hanyalah salah paham, itu semua bukan keinginan Daddy mu" ucap Vallery mencoba meyakinkan putra sulungnya tersebut.
"I don't believe that" lagi-lagi Arthur tidak mau mendengarkan pembelaan Vallery untuk Brian.
"Akan lebih jelas jika Daddy mu yang menjelaskan. Percayalah, Daddy mu sangat menyayangi kita" ucap Vallery akhirnya sedangkan Arthur berusaha menepis perkataan sang ibu yang mengatakan bahwa Brian begitu menyayanginya, ia juga tidak yakin jika ayahnya tidak pernah melukai Vallery. Mungkin ketika sang ayah melakukan kesalahan, sang ibu begitu mudah memaafkannya, melihat begitu besar cinta yang terpancar dari mata Vallery ketika menatap Brian.
Arthur berdecih di dalam hati, ibunya terlalu buta akan cinta hingga tidak bisa membedakan mana yang sungguhan dan mana yang fana. Arthur tetap meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa sang ibu terlalu dibutakan oleh cinta. Tanpa ia sadari bahwa sang ibu lebih tahu tentang Brian sang suami daripada dirinya, bahkan Vallery lebih tahu bagaimana Arthur melebihi Arthur sendiri. Vallery menghela nafasnya melihat Arthur yang memandangi tembok kosong yang ada di hadapan nya.
Kau tidak pernah mempercayai perkataan Mommy. ujar Vallery di dalam hati.
***
Seorang pria menghentikan langkah kakinya di lorong rumah sakit ketika dering smartphone di saku celananya terdengar. Melihat sebuah nama familiar yang tertera di smartphone miliknya membuat ia segera mengangkat panggilan tersebut.
"Kau sedang dimana?" satu kalimat pertanyaan langsung ia dengar begitu ia mengangkat panggilan tersebut.
"Aku sedang berada di Chicago, Dad" jawab pria itu berusaha untuk tenang.
"Pertemuan mu dengan Mr. Nathaniel di Chicago tertunda hingga saat ini. Kau ingin membohongi Daddy?" Mathew terkulai lemas ketika sang ayah mengetahui bahwa beberapa hari yang lalu hingga saat ini ia menunda pertemuannya dengan seorang klien yang berada di Chicago.
"Baiklah, aku minta maaf" ujar Mathew kepada sang ayah. Brian menghela nafas setelah menguji kejujuran sang putra.
"Kemari, temui kakakmu. Daddy tahu kau sedang berada di rumah sakit tempat Arthur dirawat" ucap Brian begitu tenang namun membuat Mathew terkejut setengah mati.
"How can ... "
"Kau lupa jika anak buah Daddy tersebar di mana-mana?" tanya Brian memotong perkataan putra bungsu nya tersebut.
Really? tanya Mathew dalam hati. Sebelum ia memegang perusahaan sang ayah hidupnya selalu dipantau oleh orang suruhan sang ayah. Ia berpikir bahwa semua orang suruhan ayahnya tidak akan memantau pergerakannya ketika ia sudah memegang tiga perusahaan milik sang ayah.
"I can't, Daddy" jawab Mathew akhirnya.
"Son, Daddy tahu bagaimana hubungan kalian berdua, walaupun tidak seburuk hubungan Daddy dengan kakakmu, tapi tetap saja kau harus melihat bagaimana kondisi kakakmu" ujar Brian kembali.
"Kau tahu bagaimana aku, Dad" Brian menghela nafas panjangnya mendengar perkataan dari sang putra bungsu nya tersebut. Tanpa diberitahupun ia sudah tahu apa yang Mathew rasakan. Putra bungsu nya itu tidak memiliki keberanian sebesar putra sulung nya.
"Kau pasti tahu jika aku ingin sekali menemui Arthur. Tapi aku belum siap menerima penolakan darinya lagi, Dad" ujar Mathew dengan murung seraya duduk di salah satu kursi panjang yang ada di lorong rumah sakit.
"Aku tidak seberani Daddy. Aku ... "
"It's okay, come here. Mommy juga menunggu mu di sini" Mathew kembali menghembuskan nafas panjang nya ketika mendengar paksaan dari sang ayah.
"Baiklah, Dad" ucap Mathew akhirnya setelah itu ia memutuskan panggilan tersebut. Mathew menatap lurus ke depan. Ia berpikir sampai kapan keluarga mereka seperti ini, ia begitu merindukan sikap hangat dari sang kakak yang tidak pernah ia rasakan sejak dua tahun yang lalu.
Mathew segera bangkit dari duduk nya lalu berjalan menghampiri ruangan tempat sang kakak dirawat. Ia mendapati Justin dan Royal yang tengah berdiri dengan sigap di samping pintu ruangan. Melihat Mathew berdiri tidak jauh darinya membuat Justin tersenyum, ia dan Royal segera membungkuk hormat kepada Mathew.
"Tuan Mathew" sapa Justin dengan senyuman. Senyuman dari Justin dibalas oleh Mathew.
Mathew segera melihat ke dalam ruangan melalui kaca kecil yang ada di pintu. Ia melihat Arthur tengah berbicara dengan sang ibu sedangkan sang ayah tengah duduk di sofa yang berada tidak jauh dari brankar tempat Arthur terbaring.
"Masuk saja, Tuan" ujar Justin membuat Mathew berhasil menepiskan keraguan yang bersarang di dadanya. Mathew menghembuskan nafas dengan perlahan lalu mendorong pintu ruangan tersebut, membuat Arthur, Vallery dan juga Brian menoleh. Vallery tersenyum mendapati putra bungsu nya berdiri di ambang pintu dengan canggung.
"Come here" pinta Vallery dengan senyum yang masih mengembang, sedangkan Arthur segera membuang wajahnya ketika melihat kedatangan Mathew. Dengan pelan namun pasti, Mathew melangkahkan kakinya menuju sang kakak yang terbaring lemah. Mathew segera memeluk tubuh sang ibu ketika sudah berdiri di samping Arthur. Vallery mengusap punggung Mathew dengan sayang, senyumnya tak pernah pudar dari wajah cantiknya sejak tadi.
"Ehm.. Brother" sapa Mathew dengan canggung setelah sang ibu melepaskan pelukan mereka, namun sapaan dari Mathew tidak dihiraukan oleh Arthur dan hal itu membuat Vallery menatap nanar ke arah Arthur yang masih fokus menatap tembok.
"My boy, adikmu menyapa mu" ujar Vallery seraya menyentuh jemari Arthur.
"Hmm" hanya gumaman yang terdengar dari bibir Arthur dan hal itu membuat Mathew kembali ragu.
Arthur tidak suka dengan kehadiran dua pria yang membuat ia menahan kerinduannya saat ini. Sedangkan Mathew menunduk lesu melihat respon sang kakak akan kehadirannya, ini semua salahnya, jika saja dulu ia percaya dengan Arthur, mungkin sikap sang kakak tidak akan seperti ini. Ingatannya berputar kembali pada kejadian dua tahun yang lalu.