9. Trauma

2821 Words
Sebuah bouquet bunga dahlia merah muda tergeletak di atas meja kerja Vanko. Bouquet itu sudah ada sedari Vanko belum tiba di ruangannya. Akan tetapi, dia bukan tidak tahu dari siapa bouquet bunga dahlia tersebut. Pasti masih dari orang yang sama dengan beberapa hari lalu. Dua jam sudah Vanko berada di ruang kerjanya. Dan suasana tidak ada yang berubah. Masih tetap sama, hanya terdengar suara jemari yang menekan keyboard secara cepat. Tapi itu bukan dari jemari Vanko, melainkan dari lelaki yang duduk di ujung ruangannya persis di samping pintu keluar. Sementara Vanko, dia lebih fokus pada pekerjaan yang harus dia selesaikan. Tiga tahun sudah dia menjabat sebagai C.E.O. Food Industry di Malang, baginya ini sudah hal biasa dan sejauh ini tidak ada yang membuat sakit kepalanya. Entah dia mendapat keberuntungan atau apa, namun perjalanan Vanko di Food Industry seakan tanpa rintangan dan berjalan lancar. Terlebih lagi, Vanko tidak memiliki sepupu. Dari zaman kakek buyutnya dulu, semuanya hanya memiliki satu keturunan saja dan selalu laki-laki. Mungkin memang rencana Tuhan seperti itu agar tidak ada drama rebutan harta warisan. Saat sedang sibuk dengan pekerjaannya, tiba-tiba Vanko melihat ponselnya berkedip. Segera Vanko melihatnya dan tanpa menunggu lama, Vanko langsung meletakkan bolpoin serta mematikan laptop yang dia pakai bekerja. Bukan hanya itu, Vanko langsung mengemasi barang-barangnya seolah dia akan pergi sekarang juga. Seraya membawa bouquet bunga dahlia di mejanya tadi, Vanko mendekati meja kerja Arka-sekretarisnya. Dia letakkan bouquet itu di atas mejanya hingga membuat Arka mendongakkan kepala. "Ini sudah yang ketiga kalinya, jadi kamu tahu apa yang harus kamu lakukan bukan?" ujar Vanko seraya melepas kancing jasnya. Arka berdiri sambil menatap Vanko tanpa ada rasa takut. Dia memerhatikan atasannya yang memiliki hobi kabur-kaburan. "Dipecat juga, Bos?" "Jangan buat aku mengulangi peraturan yang sudah aku buat dari dulu." Mau tak mau, Arka mengangguk dan menuruti perintah bosnya. Pegawai yang sudah memberi bouquet kepada Vanko sebanyak tiga kali setelah menerima teguran saat memberi yang kedua, maka mereka harus terima kalau dipecat secara tiba-tiba. Hal ini karena Vanko tidak suka kegaduhan. Jika mereka berani melanggar teguran dari pemberian bouquet kedua, berarti mereka akan melanggar yang ketiga. Itu pikir Vanko. Jadi selalu seperti ini, siapa pun karyawan yang memberi hadiah dalam bentuk apa pun ke Vanko, maka konsekuensinya menjadi pengangguran. "Bos mau pergi lagi?" "Aku bosan di kantor. Mau main di luar buat beberapa waktu ke depan. Jadi kalau ada apa-apa, langsung kirim ke surel aja kayak biasa." pesannya. "Tapi lusa Bos ada pertemuan penting sama Hiden." Arka sudah seperti orang stres kalau memikirkan Vanko yang sering sekali meninggalkan kantor hanya untuk bersenang-senang di luar. Kalau Vanko sudah bilang seperti barusan, itu artinya Arka harus siap menangani segala macam urusan dua kali lipat dari biasanya. "Aku ingat. Jadi nanti kamu ikuti saja arahan dariku." sahutnya sambil berjalan menuju ruang kamarnya di dalam ruangan yang sama. Damn! Vanko sudah memasuki kamarnya dan tertelan pintu. Di gedung Food Industry, tidak banyak orang tahu tentang wajah Vanko. Hanya segelintir orang yang tahu. Pasalnya, Vanko selalu datang dan pergi lewat jalan pribadi. Di dalam ruang kerjanya, ada sebuah kamar yang tidak boleh dimasuki siapa pun. Di dalam kamar itu, ada lift menuju basement tempat dia memarkirkan mobil. Tak berhenti sampai di sana, Vanko bahkan memiliki ruangan tersendiri di basement untuk memarkirkan mobilnya dan hanya dia yang boleh masuk. Bahkan setiap ada rapat ataupun pertemuan antar dewan direksi, rapat akan diadakan di luar gedung. Tidak pernah sekalipun Vanko menggelar rapat di kantor. Jika disingkat secara rinci, kehidupan Vanko sangatlah tertutup dan terbatas bagi orang-orang yang bekerja di gedungnya. Tapi ketika dia di luar kantor, Vanko akan berjiwa bebas dan tidak tertutup seperti itu. Arka, sekretaris itu direkrut karena dia adalah putra dari salah satu asisten rumah tangga yang disekolahkan oleh orang tua Vanko sedari kecil. Arka sama seperti Andri. Namun usia Arka memang dua tahun lebih tua dari Vanko, tapi Arka sangat menghargai dan menghormati Vanko selayaknya atasannya. Maka dari itu, dia diperbolehkan melihat wajah Vanko karena memang sudah kenal dari mereka kecil. Kembali pada Vanko. Lelaki itu mengendarai mobilnya menuju sebuah kafe tempatnya janjian dengan salah satu temannya. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantornya. Jadi dia tidak memerlukan banyak waktu buat dihabiskan di jalan. Tak sampai lima menit, Vanko sudah berhasil memarkirkan mobilnya. Penampilannya pun sudah berubah seperti lelaki biasa. Tidak ada kemeja, celana bahan, jas, dasi dan sepatu pantofel di tubuhnya. Pakaian yang dia kenakan bahkan malah terlihat sporty. Kaos putih, jaket hitam, celana denim, sepatu sport dan bertopi. Di mana lagi dia berganti pakaian kalau bukan di kamarnya yang ada di dalam ruang kerjanya. "Nyampe kapan lo?" inilah sapaan yang Vanko berikan pada temannya. "Hahaha... Sekali-kali kek nongol di depan gue pakai setelan khas kantoran gitu." kekeh seorang wanita yang kini sedang mengikat rambutnya. Tanpa banyak kata, Vanko langsung duduk di salah satu kursi. Bibirnya menggerutu pelan karena sudah ada minuman yang dipesan oleh perempuan yang mengajaknya bertemu. "Ogah gue pamer setelan mahal ke lo." Trisa, dia salah satu teman Vanko yang bisa dibilang sangat sering bersama Vanko. Entah hanya nongkrong biasa, sedang makan, berlibur atau dalam hal lainnya. Mereka dulu satu angkatan di kampus dan entah bagaimana awalnya lalu menjadi teman sampai sekarang. "Nih oleh-oleh buat lo." sebuah kotak berisi kurma diberikan Trisa pada Vanko. "Bilang makasih lo sama gue, karena udah diinget sama gue." cibirnya. "Gue gak minta diinget ya sama lo." Trisa lagi-lagi mencibir. Tak lama, Trisa memesan makanan namun tidak dengan Vanko. Lelaki itu bilang kalau dia masih kenyang. "Mana fotonya." Trisa menengadahkan tangannya pada Vanko meminta foto yang berhasil diambil olehnya. Sudut bibir Vanko tertarik ke atas sebelah. Dia menggelengkan kepalanya sambil menjulurkan lidahnya. "File yang gue minta dulu." kini ganti tangan Vanko yang menengadah. Desahan terdengar dari bibir Trisa. Gadis itu benar-benar tidak bisa mengalahkan Vanko hingga pada akhirnya, Trisa menyerahkan dua amplop coklat pada Vanko. "Eits... Kalau lo bohong, gue sunat lo sampe habis." ancam Trisa penuh keseriusan. Mendengar hal itu, Vanko hanya bisa terkekeh. Lagi pula, untuk apa dia bertaruh tanpa memiliki umpan. Setelah berhasil didapatkan, Vanko segera membuka kedua amplop coklat tadi dan memeriksanya buat mengantisipasi kalau dia tidak ditipu. "Gue gak bakal tipu-tipu." ujar Trisa seolah dia tahu isi hati Vanko. "Nih... Kirim sendiri." Vanko memberikan ponselnya pada Trisa setelah dia mencari folder tentang foto yang diminta Trisa. Mereka ternyata bertemu di sini untuk barter sebuah informasi. Sama-sama menguntungkan dan tidak ada yang dirugikan. Sementara Trisa sedang sibuk memeriksa foto-foto hasil jepretan Vanko, lelaki itu sendiri masih sibuk memberi file yang lumayan banyak. "Mau gue kasih apa buat bayar foto-foto ini?" Dua amplop coklat tadi diangkat oleh Vanko ke arah Trisa. Menunjukkan bahwa file yang dibawa Trisa tadi sudah cukup untuk membayar foto-foto tersebut. Tiga menit berlalu, mereka masih sama-sama fokus pada apa yang mereka pegang masing-masing. Tak lama, Trisa melihat ada notifikasi masuk dari sebuah aplikasi perbelanjaan daring. Matanya melotot dan tanpa permisi, Trisa membuka pesan tersebut. "Kak, untuk ukuran 36 warna pink kosong. Mau diganti warna atau ganti model lain?" Trisa dengan sengaja membaca pesan dari seller yang berjualan secara daring. Kepalanya langsung menoleh ke arah Vanko. Dia menyenggol lengan Vanko berulang kali. Karena sedang asik membaca file-file pemberian Trisa, dia jadi masa bodoh dengan senggolan itu. "Ini apa maksudnya?" Trisa menunjukkan ponsel di tangannya pada Vanko. "Maksudnya apaan?" Vanko masih belum menoleh. "Lo punya pacar?" Barulah Vanko menoleh setelah mendengar pertanyaan Trisa barusan. Dia mengerutkan keningnya tak paham. Dalam hatinya, Vanko sedikit bingung kenapa Trisa bisa tahu bahwa dia kembali dekat dengan perempuan di masa lalu. Padahal seingatnya, dia tidak pernah menceritakan tentang kisah asmaranya pada Trisa. "Pacar apaan?" herannya masih belum paham. "Nih, dapet pesan dari seller belanja daring. Dia ngasih tahu kalau bra ukuran 36 warna pink kosong. Mau lo ganti warna atau ganti model?" Trisa mengulangi apa yang dia baca tadi. "Bra? Apaan?" Vanko malah balik tanya bagaikan orang bodoh. Tak sampai dua detik, dia langsung tersadar dan langsung merebut ponselnya dari tangan Trisa. Dia baru teringat kalau semalam Becca berbelanja daring di ponselnya. Tapi Vanko tidak tahu kalau yang dibeli Becca adalah pakaian dalam. Mata Trisa memicing, dia menatap Vanko penuh selidik. Sampai yang ditatap merasa tak nyaman. Jujur saja, Vanko malu ketahuan oleh Trisa membeli pakaian dalam wanita. "Jujur sama gue, lo punya pacar 'kan?" tak mau diam saja, Trisa terus mendesak Vanko untuk mengaku. Kini Vanko sedang sibuk membalas pesan dari seller pakaian dalam tadi tanpa bertanya terlebih dulu kepada Becca karena tidak mau ketahuan Trisa. "Dari kapan lo punya pacar? Orang mana dia? Bisa dipercaya gak dia? Bisa terima lo apa adanya gak?" "Ish... Ini Mama gue kemarin yang order. Pacar, pacar..." dengusnya sambil mendorong Trisa agar menjauh darinya. Vanko sedikit merutuki dirinya sendiri karena memotret pakai ponsel pribadinya. Kalau saja kemarin ponselnya yang satu tidak tertinggal di mobil, dia tidak akan memakai ponsel ini. "Awas aja lo kalau bohong sama gue ntar." "Emang kenapa sih kalau gue punya pacar? Harusnya lo ikut seneng dong, gue punya orang yang perhatian ke gue." Tanpa buang-buang waktu lagi, Vanko langsung memasukkan kembali semua file yang tadi dia baca ke dalam amplop. Dia berniat langsung pergi dari sana karena sudah tidak nyaman berada di dekat Trisa akibat dari kejadian barusan. "Ya gue belum punya pacar. Masa lo mau ngeduluin gue sih." "Apa peduli gue mau lo punya pacar atau enggak." cibirnya sebelum menyesap semua minumannya. Trisa hanya bisa mendengus dan balik mencibir Vanko sepuasnya, tanpa takut terdengar oleh orangnya. Usai mengedarkan pandangannya buat memastikan keadaan sekitar, Vanko langsung berdiri dan berniat pergi sambil membawa kotak oleh-oleh dari Trisa. "Thanks traktirannya. Gue pergi sekarang." pamitnya tanpa menghiraukan Trisa lagi. "Lo mau ke mana?!" Suara Trisa yang bagaikan speaker masjid menggema di area kafe. Untung masih belum banyak pengunjung, jadi Vanko tidak terlalu malu. Belum sempat menjawab, Vanko sudah disela oleh panggilan di ponselnya. Tanpa banyak kata, Vanko menunjukkan siapa yang meneleponnya sekarang ke Trisa. Akhirnya, mau tak mau Trisa pun merelakan Vanko pergi meninggalkannya. *** Banyak urusan yang harus Vanko selesaikan di setiap harinya. Contohnya seperti sekarang, usai bertemu Trisa, dia langsung membeli bouquet bunga mawar dan dia berikan pada mamanya. Rita, wanita single parent yang ditinggal suaminya ke surga dari lima tahun lalu. Dia di rumah hanya bersama dengan para pekerjanya. Sedangkan Vanko, lelaki itu lebih nyaman tinggal di apartemennya seorang diri. Akan tetapi, Vanko kadang suka mengunjungi Rita saat dia memiliki waktu senggang. Dan hari ini, dia baru bisa berkunjung ke rumah orang tuanya. Tak lama, Vanko berniat mengunjungi mamanya selama setengah jam saja hanya untuk menemani mamanya makan siang. Rita tahu, anak tunggalnya itu memang super sibuk. Jadi dia tidak akan menuntut Vanko buat menemaninya lebih lama lagi. Hanya ditemani makan siang saja sudah membuat Rita bahagia. "Kamu nanti bawa makanan yang sudah disiapin si Mbok ya. Buat persediaan makan di apartemen." Vanko mengangguk. Dia tidak akan menolak kalau disuruh bawa makanan pulang. Kalau itu bisa membuat Rita senang, pasti akan dilakukan oleh Vanko. Apalagi sekarang ada Becca di apartemen, jadi Vanko tidak akan merasa cemas kalau dia meninggalkan Becca lama-lama. "Ma, aku mau main di luar buat beberapa waktu nanti." Rita otomatis menatap putra tunggalnya dan menghela napas pelan. "Oke, nanti Mama bantu pantau perusahaan." "Makasih Mama sayang." Satu kecupan mendarat di pipi Rita, tapi bukannya tersenyum usai dicium anaknya, Rita malah mendengus kesal lalu mengambil tisue yang tersedia di atas meja. "Kamu tuh, jadi minyak semua 'kan pipi Mama." Namanya juga Vanko, dibilang begini bukan merasa bersalah malah nyengir kuda seolah tak tahu apa-apa. “Oh ya, makasih buat barang dari Shanghai yang kemarin itu. Mama suka semuanya, tidak ada yang salah satu pun.” “Apa pun yang bisa buat Mama seneng, pasti bakal aku lakuin.” Rita tersenyum senang tentunya mendengar kata-kata seperti dari putra semata wayangnya. Pertemuan mereka hanya sampai di sana. Vanko langsung pamit setelah berhasil menghabiskan makanannya. Dia juga merasa lebih tenang karena sudah izin pada mamanya tentang niatnya yang ingin bermain di luar. Beruntungnya Vanko, dia tidak pernah dilarang-larang melakukan apa yang dia inginkan. Yang terpenting, dia sudah mengunjungi Rita. Itu sudah lebih dari cukup untuk Vanko membuat mamanya diam di rumah. Usai bertandang ke rumah mamanya, Vanko berniat langsung pulang. Dia ingin mengajak Becca jalan-jalan sebentar di luar walau nanti hanya berakhir kulineran saja. "Ish... Becca kenapa gak bilang ke gue sih kalau yang dia beli itu pakaian dalam. Kalau gue tahu 'kan, gue bakal lebih hati-hati buat gak minjemin HP ke tu kunyuk satu." Kalau mengingat tadi di kafe tentang pembahasan bra, membuat wajah Vanko memerah sendiri. Tentu saja Vanko malu, namanya juga ketahuan membeli barang pribadi perempuan saat dirinya belum memiliki pasangan resmi. *** Tak perlu menunggu lama, setelah Vanko memindahkan semua makanan yang dia bawa dari rumah ke lemari pendingin, mereka langsung berangkat jalan-jalan. Becca juga sudah siap-siap karena Vanko sudah memberi tahunya terlebih dahulu saat perjalanan pulang. Mobil ikut melaju beriringan dengan kendaraan lain. Jam makan siang sudah berlalu, tapi kondisi jalanan masih cukup padat oleh anak sekolah. Awalnya, Becca sedikit enggan diajak jalan-jalan karena takut kalau nanti ditemukan oleh orang suruhan Gina atau Antony. Namun Vanko berhasil meyakinkan gadis itu kalau dia akan menjaga Becca seketat mungkin. Meski sudah lima hari tinggal di Malang, Becca masih takut saja. "Lo gak harus sampai begini, lagi, Bec. Gue udah janji kalau lo enggak akan ditemukan." Vanko sedikit merasa bersalah karena melihat Becca tampak kurang nyaman. Gadis itu terus menurunkan topinya dan lanjut menutupnya memakai hoodie yang dia kenakan. Tak hanya itu, Becca juga mengenakan masker hitam dan kacamata hitam. Semua itu dia lakukan agar orang-orang tidak mengenalinya. "Gue gak mau bikin usaha lo yang udah nyelametin gue jadi sia-sia, Van. Kalau gue ditemukan sama orang bayaran Mama, bisa-bisa kita gak pernah bisa ketemu lagi." Nafas Becca tampak memburu saat mengatakan ini. Namun tak berselang lama, dia merasakan jemarinya diremas oleh Vanko. Saat Becca menoleh ke arah lelaki itu, Vanko sedang tersenyum ramah ke arahnya. "Kalau lo bersikap dan berpenampilan aneh begini, orang-orang malah pada curiga. Lo percaya ya sama gue, enggak akan ada yang bisa nemuin lo selama lo ada dalam jangkauan gue." katanya mencoba menenangkan. Becca terdiam, tapi dia tak berhenti meremas-remas jemari kekar Vanko. Sampai akhirnya, Becca menganggukkan kepala pelan. "Gue percaya sama lo." katanya lirih. Vanko kembali tersenyum mendengar ini. Dia langsung membantu Becca membuka kacamata dan maskernya agar Becca tidak lagi berpenampilan seperti ini. Janji Vanko dari awal dia menolong Becca, dia akan berusaha sekuat dan semampu mungkin agar Becca tidak ditemukan. Walau Vanko harus meminta tolong ke semua koneksinya dan mengeluarkan banyak uang, tapi baginya itu bukan masalah. Yang terpenting, Becca tetap merasa aman selama bersamanya dan tidak ditemukan oleh orang yang tak ingin Becca temui. Mobil berhenti. Sambil menunggu lampu berubah hijau, Vanko memilih membantu Becca membuka topinya karena gadis itu belum juga melepasnya dari tadi. Ciiittttt!!! Brakkkk!!! Brakkk!!! Pranggg!!! Tiba-tiba terdengar bunyi dentuman yang sangat kencang dari arah depan. Ternyata ada dua mobil yang bertabrakan tepat di tengah-tengah perempatan. Semua pengendara panik melihat itu. Banyak orang berhamburan untuk melihat apa yang terjadi. Tidak ada dari mereka yang berani menolong karena memang tidak boleh sembarangan menolong korban kecelakaan. Vanko melihat dari dalam mobilnya, sudah ada orang yang menelepon ambulans serta polisi. Dan ada kemungkinan jalan itu akan mengalami kemacetan sampai korban selesai dievakuasi. Namun selain korban kecelakaan, ternyata ada yang lebih menyita perhatian Vanko. Yaitu suara nafas Becca yang tersengal-sengal. Jemari Becca meremas tangannya cukup kuat. Tampak jelas gadis itu kesulitan bernapas. "Bec... Becca, lo kenapa?" Tubuh Vanko jadi berkeringat karena dilanda panik. Dia mengguncang tubuh Becca, berharap kalau gadis itu akan tersadar. "Ahk... Ahh..." Becca semakin mengeratkan remasan tangannya. "Becca, lo kenapa?!" sentak Vanko karena saking paniknya. Belum juga mendapat jawaban, kini Becca ganti menutup kedua telinganya. Gadis itu melepaskan genggaman tangannya dari tangan Vanko dan ganti menutupi telinganya. "Bec, bilang sama gue kalau lo sakit." sebisa mungkin Vanko berusaha menenangkan Becca. "Arhg...! Hah...! Hah...! Sak-kittthhh..." rintih Becca lirih sambil menggelengkan kepalanya. Vanko melihat tanda-tanda di tubuh Becca. Telapak tangan Becca berkeringat dan sekujur badannya bergetar. Becca terus mengucapkan kata yang sama serta dia seolah sedang menghindari sesuatu. Persis seperti orang yang takut akan sesuatu. "Bec, tenangin diri lo. Ada gue di sini, Bec." suara Vanko jadi menurun, dia tidak ingin membuat Becca jadi semakin takut dengan bentakannya. "Hah...! Sakitttt...!" rintih Becca lagi, namun kali ini Becca sambil menunjuk sesuatu. Vanko mengikuti ke mana arah jari telunjuk Becca, dan ternyata gadis di depannya itu menunjuk ke tempat kejadian perkara. Seketika, Vanko jadi ingat kalau Becca menutup telinganya saat mobil ambulans datang. Becca terlihat seperti orang yang trauma akan kecelakaan dan suara sirine. Tanpa pikir panjang lagi, Vanko langsung membuka jaketnya lalu dia tutupi kepala Becca. Tak hanya itu, Vanko pun langsung memeluk tubuh gadisnya dan ikut menutupi kedua telinga Becca pakai tangannya. "Syuttt... Tenang, ada gue di sini." ujarnya pelan di dekat telinga Becca. Vanko terus mengulang kata yang sama, hal itu dia lakukan agar membuat Becca jadi lebih tenang dan tidak terfokus pada suara sirine di depan sana. Tentu saja, dengan bertindak begini, Vanko harap Becca bisa lebih mendingan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD