Kepala Becca menoleh ke samping kanan lalu ke kiri dan kembali menatap langit-langit kamar Vanko lagi. Terus seperti itu untuk beberapa menit. Matanya terjaga, kantuk tidak lagi menghinggapinya. Kini yang ada, hanya perasaan gelisah dan was-was.
Tadi, Becca bersikeras mengajak Vanko tidur di ranjang bersamanya. Tapi sekarang malah dia yang tidak tenang. Wajar saja bukan, kalau Becca takut diapa-apakan oleh Vanko. Namanya juga perempuan, hanya berdua di ruang tamu saja gelisah, apalagi di dalam kamar.
Bukan gemeter gara-gara malam pertama sama Anthony, tapi gemeter gara-gara tidur bareng sama Vanko yang bahkan dia bukan suami gue. Batin Becca sambil melirik Vanko menggunakan ekor matanya.
"Kalau lo terganggu sama adanya gue di sini, gue bisa pindah kok ke sofa. Biar tidur lo tenang."
Kelopak mata Becca melebar, bola matanya membulat bagaikan bola pingpong. Dia tidak tahu kalau Vanko ternyata belum tidur dan dia tahu bahwa Becca sedang gelisah karenanya.
Vanko sudah bangun sambil tersenyum ke arah Becca. Lelaki itu sama sekali tidak menunjukkan perasaan kecewa, marah atau kesal sedikit pun. Vanko begitu menghargai dan menghormati Becca sebagai perempuan yang selama ini namanya selalu tersemat di hatinya. Tentunya setelah kepergian Becca.
"Jangan! Lo tidur di sini aja." cegah Becca cepat sambil menarik kaos Vanko supaya dia tidak melanjutkan niatnya yang sudah akan menuju sofa.
Karena dicegah, Vanko akhirnya kembali duduk dan menoleh ke arah Becca. Lagi-lagi Vanko tersenyum pada gadis berambut keriting itu. Becca saja sampai tidak percaya, kalau yang ada bersamanya itu adalah Vanko. Pasalnya, Vanko yang dulu tidak murah senyum seperti ini.
"Gue enggak mau melanggar kata-kata gue sendiri. Gue udah minta lo tidur di sini sama gue, jadi lo harus tidur di sini." sambungnya, karena Vanko hanya diam menatapnya.
"Lo beneran enggak apa-apa, gue tidur di sini sama lo?"
Perlahan tapi pasti, Becca menganggukkan kepala. Hingga akhirnya, Vanko kembali menurut dan meletakkan bantalnya lagi ke tempat semula. Tubuhnya pun kembali dia baringkan. Namun, kini dia memilih miring ke kanan agar bisa memandangi wajah ayu Becca. Tangan kanannya pun ikut dia jadikan bantal.
Seolah tak ingin kalah, Becca melakukan hal yang sama seperti Vanko. Dia juga memiringkan badannya ke kiri dan berhadapan dengan lelaki yang sudah menolongnya. Kedua pipinya tertarik ke atas saat dia tersenyum.
"Lo beneran Vanko yang gue kenal?" tanyanya karena masih belum percaya, Vanko bisa berubah menjadi sangat ramah dan murah senyum.
Bukan jawaban yang Becca dapatkan, tapi malah kekehan yang dia saksikan. Pupil matanya kini melihat tangan kiri Vanko terulur dan semakin mendekat ke wajahnya seolah ingin membelai kepalanya. Akan tetapi, belum sampai Vanko mendaratkan tangan kekarnya di rambut Becca, lelaki itu sudah lebih dulu menarik tangannya. Vanko mengurungkan niatnya yang ingin menyentuh ubun-ubun Becca.
"Kenapa?" tanya Becca karena memang dilanda rasa penasaran.
"Gue terlalu takut nyakitin lo kalau gue nyentuh lo walau hanya seujung rambut."
Becca terdiam. Hatinya goyah untuk yang ke ratusan kalinya. Dia tidak ingat berapa kali Vanko sudah membuatnya tak bisa berkata-kata. Rasanya begitu manis buat didengar.
Tapi tanpa Vanko sangka, diamnya Becca hanya di bibir saja. Gadis itu tiba-tiba menarik jemarinya lalu dia letakkan tangan Vanko di pipinya. Hangat. Mereka berdua sama-sama merasakan kehangatan yang tersalur satu sama lain.
Rasa rindu yang terpendam selama delapan tahun, akhirnya pecah juga.
Rasanya semakin tak karuan setelah Becca melakukan tindakan seperti tadi. Bahkan sampai sekarang pun, hal itu masih terjadi.
"Sorry Van, gue ganggu hidup lo lagi. Padahal enggak seharusnya gue ngerecokin kehidupan lo yang udah tenang tanpa adanya gue di samping lo. Tapi emang dasarnya gue cewek enggak tahu diri." ujar Becca sambil menahan air matanya yang sudah hampir tumpah.
"Siapa yang bilang kedatangan lo itu cuma gangguin atau ngerecokin hidup gue?"
Perasaan Becca seketika berubah usai mendengar pertanyaan Vanko barusan. Apa mungkin, Vanko senang dengan kehadirannya? Tapi Becca tidak mau berekspektasi tinggi dulu. Dia belum tahu apa yang dirasakan Vanko sekarang.
"Gue enggak bisa bohong, kalau gue seneng sama keputusan lo yang milih nelfon gue dan pergi dari acara itu. Gue gak bisa bayangin kalau andaikan lo jadi nikah sama cowok yang enggak lo suka sama sekali." jelasnya sedikit.
"Gue enggak akan rela denger kabar lo hidup menderita sama orang lain." lanjutnya.
Kali ini, Vanko berbicara sambil membelai rambut keriting Becca yang digerai. Dia baru tahu, betapa berharganya waktu kebersamaan dengan Becca seperti sekarang ini.
Hati Becca menghangat, dia bahagia setelah mendengar pengakuan Vanko tentang kejadian hari ini. Lelaki yang berbaring di depannya itu tidak menyesali perbuatannya.
Sepasang bola mata mereka saling bertemu. Wajah tampan dilengkapi dengan dagu tirus itu tidak berhenti tersenyum. Delapan tahun tidak bertemu, membuat mereka betah berlama-lama saling tatap muka.
"Gue baru sadar, di mata gue ternyata lo lebih dari cantik." gumamnya memuji keindahan paras wajah Becca.
Blush!
Rona merah di pipi Becca membuat Vanko mengerti, kalau perasaan gadis di depannya itu tetap sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah pada sorot mata Becca. Vanko masih bisa merasakan, bahwa cinta untuknya masih membara.
Entah kenapa, meski sudah sekian lama tak saling bertemu, namun keduanya sama-sama tidak merasa canggung. Bahkan, tidak terlihat kalau di antara mereka pernah ada pertengkaran hebat.
Saat sedang asik memandangi ketampanan Vanko yang semakin menjadi-jadi, tiba-tiba Becca tak sengaja melihat jam dinding yang menempel di dinding belakang tubuh Vanko. Matanya terbelalak, membuat Vanko mengerutkan keningnya.
"Kenapa?" tanyanya tak paham akan arti dari wajah Becca.
"Cepet banget udah jam dua pagi. Lo harus tidur sekarang, pasti lo capek banget."
Bagi Vanko, ini adalah tontonan lucu. Dia bahkan bisa tertawa hanya karena mendengar cara Becca mengkhawatirkannya.
"Kok malah ketawa sih?" kesal Becca ketika tahu dia ditertawakan.
"Lo lucu."
Kekesalan Becca kembali sirna mendengar kata-kata Vanko. Tapi tak bertahan lama, dia kembali menyuruh Vanko agar segera tidur.
"Good night." katanya sebelum memejamkan mata.
"Eum... Night." suara lembut Becca membalas ucapan Vanko.
Keduanya sama-sama memejamkan mata di waktu bersamaan dan masih dalam posisi yang sama. Saling berhadapan dan kondisi tangan Vanko berada di antara ceruk leher dan kepala Becca.
Tak sampai lima menit, Becca mendengar Vanko mendengkur halus. Karena tadi Becca sudah tertidur di mobil selama perjalanan, jadi pejaman matanya barusan tidak membuatnya mengantuk.
Dalam diam, Becca memuaskan bola matanya dalam memandangi paras rupawan Vanko. Berawal dari keningnya, turun ke alis tebalnya, kelopak matanya yang tertutup rapat, bulu matanya yang panjang, hidung mancung bak perosotan. Pandangannya sekarang jatuh ke bibir tebal Vanko yang terlihat begitu seksi. Terakhir, dagu tirusnya dan rahang kokohnya yang berbentuk huruf V. Becca mengagumi semua yang ada di wajah Vanko. Tampak sempurna dan semua itu nyata.
"Dua ya." kata Vanko saat akan mengambil minuman dari nampan yang dibawa panitia acara yang juga teman seangkatannya.
Satu gelas lagi diberikan oleh Vanko pada Becca. School birthday sekaligus reuni akbar malam hari ini berjalan lancar. Begitu pula dengan sepasang kekasih dan kedua teman mereka yang menikmati party bersama-sama.
"Eh lihat deh, si Sherly ngelihatin lo terus dari tadi. Lama-lama juling tuh mata." Lingga menyenggol lengan Vanko saat menunjukkan keberadaan Sherly pakai gerakan dagunya.
"Hah... Biarin ajalah. Gue pura-pura gak tahu aja, daripada gue bales lihat terus nanti dia GR. Males banget." sahutnya tanpa mengikuti petunjuk yang diberikan Lingga.
Jawaban Vanko membuat ketiga orang yang berdiri bersamanya tertawa. Benar juga apa yang dikatakan Vanko barusan.
"Beruntung banget lo jadi cewek. Punya pacar setia parah." Zulla menggoda Becca sambil menyenggol-nyenggol bahu Becca menggunakan bahunya.
Yang digoda pun hanya tersipu malu. Becca merasa kalau dia tidak seberuntung apa yang Zulla pikirkan. Malah yang ada, Becca sangat iri pada Zulla karena bisa disukai oleh pacarnya.
Coba kalau lo tahu, Zul. Vanko sebenarnya tuh sukanya ke lo, bukan ke gue. Batinnya perih tapi tetap tersenyum di depan semua orang.
"Malam guys!" sapa sang ketua OSIS yang kebetulan juga ikut dalam tim panitia acara.
Semuanya serentak menjawab sapaan Dante. Tak tertinggal Becca, Vanko dan kedua teman lainnya. Mereka tidak tahu, sekarang masuk ke sesi apa.
"Kali ini, gue berdiri di sini buat ngasih penghargaan buat beberapa best couple dari SMA Vertusa!" serunya membuat semua pasangan jadi bersemangat.
Ekor mata Becca melirik ke sekitar. Semua orang tampak antusias mendengar apa yang disampaikan Dante. Tak beda jauh dengan Zulla yang ikut heboh menyerukan namanya dan Vanko. Sementara Becca dan Vanko sendiri, mereka berdua sama-sama adem ayem. Tidak ada yang mengharapkan bahwa mereka menjadi best couple.
"Cuma bakal ada tiga pasangan yang terpilih ya guys!" lanjutnya membuat semua orang bersorak kecewa.
Tapi benar juga. Tidak semua pasangan bisa mendapatkan penghargaan best couple.
"Kalian berdua pasti yang jadi juaranya." kata Zulla sambil menatap Becca dan Vanko secara bergantian.
"Kita berdua? Best couple dari mananya coba? Ngarang aja lo jadi orang." Becca malah mencibir Zulla karena memang dia tidak punya kepercayaan diri setinggi itu buat mengharapkan menjadi pemenang.
Pasangan tiga dan dua sudah diumumkan dan diberi piala. Sekarang tersisa best couple di posisi pertama. Banyak pasangan yang berdoa agar mereka menjadi pemenang.
"Dan best couple nomer satunya jatuh ke pasangan,"
Zulla sibuk berdoa sekencang mungkin supaya kedua temannya menjadi pemenang. Lingga pun tak beda jauh, dia bagian yang mengaminkan doa-doa Zulla.
"Vanko dan Becca!" seru Dante penuh semangat.
Becca terdiam, dia seolah tidak percaya kalau dirinya dan Vanko terpilih menjadi pemenang best couple. Dia masih bengong untuk beberapa detik, tapi senggolan tangan Zulla kembali menyadarkannya.
"Kita harus ke panggung." ajak Vanko sambil mengulurkan tangannya ke arah Becca.
Masih setengah sadar, Becca ikut saja ke mana Vanko membawanya. Sesampainya di atas panggung, mereka menerima satu piala dan hadiah. Banyak orang iri akan kemenangan mereka, tapi banyak juga yang ikut senang mendengarnya.
"Sekarang dansa time!" seru Dante mengakhiri kata-katanya sebelum turun dari panggung.
Satu persatu lampu padam, lagu milik Adele berjudul When We Were Young mulai diputar. Orang-orang pun langsung mengambil posisi masing-masing bersama pasangan. Karena kondisi remang-remang dan terbilang lebih gelap, jadi Becca tidak bisa melihat jelas.
Di tempatnya berdiri, Becca hanya diam sambil menikmati piala dan hadiah yang dia dapat tadi. Beberapa kali Becca merasa badannya tersenggol orang yang bahkan tidak dia ketahui siapa nama mereka.
Becca masih diam, dia menunggu Vanko mendatanginya. Tapi lima menit berlalu, Vanko tak kunjung mengajaknya berdansa. Yang ada malah, Becca memiliki firasat lain.
Lagu sudah berjalan setengah, tapi Becca tetap mematung. Dia tidak bergerak sedikit pun karena takut menabrak orang.
Sementara Becca menunggu Vanko, berbeda dengan lelaki itu yang ternyata lebih memilih mengajak Zulla ketimbang kekasihnya sendiri. Dia menikmati acara dansanya dengan gadis pujaannya.
Berbeda dengan Vanko yang begitu menikmati acara dansa bersama Zulla. Gadis itu sendiri tidak tahu kalau yang berdansa dengannya sekarang ini adalah Vanko. Demi apa pun, Zulla pikir lelaki yang memegang pinggangnya sekarang adalah Lingga.
Memang, kondisi tidak segelap ketika mati lampu. Masih ada cahaya lilin di beberapa tempat tertentu. Tapi itu tidak cukup untuk membuat Becca melihat yang terjadi sekarang.
Konsep berubah lagi. Sekarang, lampu dibuat berkedip walau tidak sering. Tapi dengan begini, hal yang tadinya tidak bisa dilihat jadi bisa dilihat.
Di saat yang bersamaan, Becca melihat Zulla mendorong tubuh Vanko sekencang yang dia bisa. Gadis itu tampak syok ketika tahu bahwa lelaki yang berdansa dengannya tadi kekasih sahabat baiknya.
Hati Becca memanas melihatnya. Kedua matanya pun sudah berkaca-kaca, tapi sebisa mungkin Becca menahannya agar tidak menangis. Lelaki yang dia tunggu sedari tadi ternyata sedang asik berdansa bersama Zulla. Padahal Becca pikir, Vanko kesusahan mencarinya karena gelap.
***
Jemari tangan Becca bergerak perlahan. Sedikit demi sedikit dia terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap perlahan lalu kini benar-benar terbuka. Dia sedikit heran, karena semalam dirinya memimpikan apa yang terjadi antara dirinya dengan Vanko dan Zulla delapan tahun lalu.
Becca masih diam, tangannya meraba ponselnya guna melihat jam. Kaget seketika saat Becca melihat angka di ponselnya, sekarang sudah pukul 10:15 WIB. Kepalanya menoleh ke samping, Vanko sudah tidak ada di sampingnya. Lelaki itu sudah bangun terlebih dahulu.
Tanpa pikir panjang, Becca langsung turun dari ranjang dan mencari Vanko ke seluruh penjuru apartemen. Tapi Becca tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Vanko di sana.
Saat melewati meja pantry dapur ketika akan kembali ke kamar, sudut mata Becca menangkap ada sebuah sticky notes warna merah muda yang ditempel di lemari pendingin. Becca segera menghampiri kertas tempel tersebut.
"Buat Becca, gue udah siapin sarapan buat lo di meja makan. Kalau lo udah bangun, dimakan ya. Kalau dingin, bisa dipanasin bentar. Jangan sampai gue pulang, makanannya masih ada. Dari Vanko."
Becca terkekeh saat membaca pesan yang ditinggalkan Vanko untuknya. Kakinya melangkah menuju meja makan berbentuk bundar. Benar saja, di bawah tudung saji sudah ada menu sarapan sederhana.
"Bukannya dia enggak punya bahan makanan di rumah? Kok bisa masak? Kapan dia belanja?" tanyanya pada diri sendiri.
Karena tak ingin membuat Vanko yang sudah susah payah membuatkan sarapan untuknya kecewa, jadi Becca langsung cuci muka, gosok gigi dan menyantap semua makanan yang ada di atas meja tanpa tersisa. Semuanya terasa nikmat di lidah Becca. Kebetulan dia juga sedang merasa lapar.
"Gue baru tahu, kalau dia pinter masak juga." Becca terkikik sendiri membayangkan Vanko mengenakan apron di dapur dan mengolah semua masakannya.
"Tapi kenapa gue semalem bisa ngimpiin kejadian itu lagi ya, pas kita jadi pemenang sebagai best couple?" tanyanya lagi karena masih heran tanpa berkesudahan.