Mansion Catello.
“Mom! why?” tanya Adam pada sang Mama setelah melihat wajah sang Ibu sepertinya bahagia sekali.
“Pilihanmu tepat, Dam, dan coba tebak,” ujar Maria, wanita paruh baya itu dengan tatapan yang berbinar.
“Ma, just straight to the point, saja, please!” ucap Adam
“Ternyata ibunya sahabat lama Mama saat Mama masih SMA dan untungnya lagi, kedua orang tuanya juga setuju untuk merahasiakan sementara dari dia,” imbuh Maria dengan antusias.
Adam menyunggingkan senyum, “Thanks, Ma, kali ini Mama setuju kan, dengan pilihan Adam?”
“Oh, sure, Darling…! Mama setuju sekali sama pilihanmu dan Mama juga sudah enggak sabar mau PAMER!”
“Itulah mamamu, Dam, semua yang dia suka dan sayang itu harus sekali dia pamer pada ibu-ibu sosialita temannya itu,” ucap satu suara pria. Dia adalah Zain Castello, papanya Adam. seorang pria blasteran.
“Your wife, Pa,” balas Adam membuat kedua pria beda usia itu tertawa lucu.
“Kalian itu, para cowok yang tidak tau apa-apa. Iya, harus dong, Mama pamer karena para ibu sosialita yang k*****t itu beraninya bilang kalau putra tampan mama ini seorang gay,” serobot Maria cepat dengan kedua matanya yang membulat sempurna. “Eh, hello … lambat menikah itu bukan berarti gay, oke!” imbuhnya lagi dengan nada geram.
“Makanya, Mom, tidak usah diladeni,” ucap Zain pada istrinya, “Oh, iya, besok malam kamu duty?” tanya Zain pada putranya.
Adam tampak menggeleng, “Tidak, Pa, tapi aku on call,” jawab Adam.
“Besok Papa menggelar pesta untuk ulang tahun ke-30 perusahaan, jadi Adam bisa datang , ya, ajak sekali Keisya.”
“No!” bantah Maria cepat.
“Kenapa, Ma, bukankah….”
“Rahasiakan semua ini sampai aku bisa membuat Keisya jatuh cinta padaku, Pa.” Kali ini Adam yang angkat bicara menjelaskan situasi agar papanya tidak salah paham.
“Terus, bagaimana kalau Keisya malah tidak mau melirik kamu, Dam? Apa kamu akan terus berpura-pura sampai Papa dan Mama ma ….”
“Aku punya plan B untuk itu, Pa,” jawab Adam cepat dengan memotong kalimat sang Papa.
Sementara itu ….
“Ma… Pa… aku pulang!” seru Keisya di ambang pintu.
“Sudah pulang, Sayang? Bagaimana dengan hari pertamanya? Apakah menyenangkan?” tanya Wati pada putrinya.
“Mah! Lupakan itu, deh, aku punya cerita yang seru untuk hari ini,” balas Keisya dengan nada semangat.
“Ayo, cerita, karena Papa juga mau mendengarnya.” kali ini Sastra yang baru saja bergabung, ikut angkat bicara, menatap pada putrinya menantikan kalimat yang selanjutnya.
“Pertama-tama, aku mau bilang kalau aku itu menjabat sebagai first Assistant Physician. Nah, tapi bukan ini yang mengejutkan!” bicara Keisya membuat kedua orang tuanya sedikit bingung.
“Lalu apa?” tanya pasangan suami-istri itu serempak dan tidak sabaran.
“Aku kira Prof Castello itu pria tua yang sudah ada jenggot dan rambutnya memutih karena Dokter Bara yang asistennya saja sudah seumuran Papa.”
“Jadi?”
“Ternyata, Prof Castello itu pria yang tampan paripurna, tipe cowok yang disukai para wanita, dan paling kerennya lagi, dia adalah dokter pria most wanted di rumah sakit tempat aku bekerja,” ucap Keisya sungguh-sungguh, “Suster Sarah bilang, kalau daftar penggemarnya itu puanjang sekali, heehe,” pungkas Keisya. Ia menutup ceritanya dengan sebuah cengiran.
“Jadi itu saja?” tanya Sastra dengan memainkan kedua alisnya.
“Iya, Pa, itu saja. Emang ceritanya nggak menarik, ya? Gak wow, gitu?” balik Keisya bertanya pada papa dan mamanya sambil cengar cengir.
“Oh, menarik dong, Sayang, hanya saja kami pikir kamu kenalan sama seorang cowok dan ….”
“Mah, luka di sini masih menganga, aku belum siap untuk terluka sekali lagi.” Keisya menunjukkan dadanya sendiri dengan wajah sedih. Ia memotong kalimat sang Mama, membuat wanita paruh baya itu seketika terdiam dan turut merasakan kesedihan yang sama.
“Iya, sudah, jangan sedih-sedih, sekarang kamu makan gih, setelah itu, mandi dan istirahat. Hari ini pasti capek, kan!” ujar Dewi cepat.
“Mama masak apa?” tanya Keisya kemudian.
“Mama masak rendang daging, sambal tempe, sama sop sayur bening,” jawab Dewi cepat menanggapi pertanyaan dari putrinya.
“Wah… semuanya menu favorit aku, jadi lapar…,” rengek Keisya manja, kemudian beranjak bangkit dari duduknya.
Cup!
Setelah mengucup pipi kiri dan kanan mamanya, Keisya berlalu ke dapur untuk mengisi perut, menyisakan kedua orang tuanya yang masih betah di ruang tamu.
“Pa, bagaimana ini? Kita sudah terlanjur setuju, lo,” celetuk Dewi dengan nada rendah agar tidak bisa didengar oleh Keisya.
“Tenang, Ma, kita tidak usah mengatakan itu dulu. Biarkan Keisya sembuhkan dulu lukanya,” balas Sastra. Ia turut merasa iba atas penghinaan yang dibuat oleh keluarga Dimas pada putri mereka itu.
“Rencana pernikahan Dimas dan Keisya harusnya bulan ini, ya, Pa? Untung saja kita belum sebar undangan dan mempersiapkan pernak-pernik keperluan resepsi,” celetuk Dewi dengan wajah masam.
“Udah, Ma, nanti kalau Keisya dengar, tambah sedih tu anak,” balas Sastra sembari menyentuh lembut punggung tangan istrinya. Ia mengerti akan rasa sedih dan kecewa yang dialami oleh sang Istri. Dirinya juga merasakan hal yang sama.
Perbuatan keluarga Dimas itu bukan hanya menoreh luka di hati putri mereka, Keisya, tapi juga mencoreng nama baik dan kehormatan yang selama ini mereka jaga.
“Percaya saja sama jalannya takdir bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak-Nya,” tutur Sastra, menasihati istrinya agar rida dengan segala ketentuan dan jangan terlalu larut dalam kesedihan.
…
Sementara itu ….
“Sekarang usia kehamilan kamu sudah berapa bulan, Elya?” tanya sang Papa dengan nada tegas.
“Baru dua bulan, Pa.”
“Dasar, Anak tidak sadar di untung kamu! Papa bebaskan kamu bermain di luar sana bukan tiket untuk kamu berbuat m***m dan akhirnya tumbuh janin di dalam rahimmu!” bentak pria paruh baya itu. Sorot matanya terkesan dingin dan mengintimidasi. “Kamu itu seorang public figure, bagaimana jika semua ini terekspos ke publik? Malu papa Elya!” imbuhnya lagi, dengan kedua tangan yang mengepal, menahan emosi yang sudah di ambang batas.
“Siapa ayah dari bayimu itu? Katakan!” pinta Herman Mangkualam pada sang Putri.
“Bukankah Papa sudah mencarikan suami buatku, hmm?” Kali ini, balik Elya yang melemparkan pertanyaan pada sang Papa.
“Sarah Elyana Mangkualam!” Kali ini teriakan Herman melengking dan membuat semua orang di dalam mansion itu tidak ada yang berani mengeluarkan suara.
“Pa, jujur aku juga tidak tau ini bayinya siapa karena waktu itu aku mabuk berat,” jawab Elya tanpa merasa bersalah, membuat Herman mengangkat tinggi sebelah tangannya. Namun, gerakan itu cepat dihalangi oleh Gendis, istrinya.
“Pa! Sudah! Andai saja Papa bunuh Elya sekalian juga, anak itu tetap sudah hamil. Sekarang kita fokus untuk urus pernikahannya dengan Dimas sebelum perutnya bertambah besar,” seru Gendis yang juga mulai pusing dengan permasalahan yang timbul.
“Setelah menikah, aku tidak mau tinggal di rumahnya mereka, ibunya yang norak itu bikin aku pusing!” cetus Elya, kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan tamu.