Keadaan rumah Zuhra sudah mulai ramai pagi ini, beberapa kerabat yang tinggal di luar Pulau Jawa hari ini sudah mulai tiba di Jakarta. Beberapa pekerja juga tengah sibuk menata peralatan pesta untuk esok hari, sesekali Zuhra juga ikut mengecek apakah semua sudah sesuai dengan yang direncanakan atau belum.
Sudah hampir seminggu dirinya tidak bertemu Dirgam, terakhir kali bertemu pria itu adalah pada hari minggu lalu, setelahnya Dirgam tidak pernah berkunjung lagi. Jika ada keperluan penting seperti hal-hal yang menyangkut pernikahan maka pria itu akan mengutus orang kepercayaannya.
"Mbak, kelihatannya Zuhra ini gemukan? Efek seneng punya calon suami guanteng ya?"
Zuhra tersenyum kaku, kehamilannya memang masih dirahasiakan oleh keluarganya. Ayah Zuhra masih bingung ingin menceritakan seperti apa, lagipula itu adalah aib keluarga.
"Iya, Vin, udah tenang dia sekarang." Bunda Zuhra mengusap kepala anaknya menenangkan.
"Loh, Ra, tapi bukannya kemarin kamu mau jadi pramugari? Kok malah kawin duluan sih?"
"Hush … nikah, Vin," Koreksi tante Nirma, adik bungsu pak Albar.
"Eh, iya itu maksudnya, kalau kawin duluan, bisa panjang urusan," ucap bude Vina seraya bergidik.
Zuhra semakin tidak nyaman dengan obrolan ini, dirinya memutuskan pamit ke kamar guna menghindari perbincangan tersebut.
"Zuhra ke kamar dulu ya, Tante, Bude," pamitnya.
"Iya, nduk, istirahat yang banyak, biar besok seger ya," nasihat bude Vina.
"Iya, Bude.
Sesampainya di kamar, bukannya tidur, Zuhra malah membuka laci meja belajar. Matanya memandang lurus pada kertas biru muda yang menampilkan gambar barisan pramugari cantik di depan sebuah maskapai penerbangan.
Dulu sekali, dirinya memang berangan-angan jadi pramugari, terbang di udara seperti bidadari cantik, tapi sayang harapan itu harus pupus dan terkubur dalam-dalam tanpa bisa tergali lagi.
Zuhra menyimpan kembali brosur tersebut, matanya kini tertuju pada sebuah boneka teddy bear di sudut kamar, hadiah dari Reno. Ah, apa kabar laki-laki itu?
Zuhra membuka jendela kamar, gerimis mulai turun membasahi bumi. Mereka bilang, aroma tanah bercampur air hujan adalah yang terbaik, maka sekarang Zuhra tergiur untuk menikmatinya.
Hujan.
Bagian 1% dari hujan adalah air, dan 99% lainnya adalah kenangan.
Begitulah kata orang, dan saat ini Zuhra sedang mengalaminya. Kenangan bersama Reno mulai berputar di ingatan, mengakibatkan kerusakan yang lebih parah pada batinnya. Semua berputar cepat di benak, dimulai dari awal pertemuan mereka, suka dan duka, canda serta tawa yang mereka lalui bersama. Hingga tiba-tiba bagaimana bayangan wajah datar Dirgam menginterupsi ingatannya tentang Reno, seolah wajah itu sedang memperingatkan Zuhra untuk menghentikan hayalan tentang masalalunya.
Pikiran Zuhra kini teralihkan pada Dirgam, sedang apa pria itu? Benarkah mereka akan menikah besok? Atau jangan-jangan pria itu hanya sedang mempermainkan keluarganya . bisa saja kan esok hari ia tidak akan muncul seperti serial televise yang sering bundanya tonton. Hati Zuhra kini diliputi rasa gelisah dan takut, entah takut karena apa.
Wanita itu menundukkan kepala untuk melihat suasana di halaman belakang, beberapa orang sibuk melindungi diri, sebagian lagi tergopoh-gopoh memindahkan peralatan yang tidak bisa terkena hujan. Zuhra menghela napas panjang, kenapa bisa turun hujan padahal pagi tadi hari begitu cerah? Apakah ini pertanda buruk?
Zuhra tidak tahu, dia hanya bisa berdoa dan memasrahkan pada tuhan, semoga acara esok berjalan dengan lancar.
✏✏✏
"Saya terima nikah Zuhra Kalinka binti Muhammad Albar dengan mas kawin tersebut tunai."
Butiran bening mengalir syahdu di pipi Zuhra saat para saksi mengatakan sah secara bersamaan. Suara Dirgam begitu tegas mengucapkan ijab qabul, dan entah kenapa mampu membuang jauh rasa takut yang menggelayuti hati dan pikiran Zuhra sejak kemarin, seolah ucapan tersebut begitu mujarab baginya, seakan Zuhra mendengar Dirgam berjanji untuk sehidup semati bersama dengannya, entah bagaimana, tapi Zuhra memang merasa seperti itu, Dirgam begitu lantang dan khusuk berucap bahkan dalam satu tarikan napas.
"Ndhuk …." Zuhra merasa seperti ada yang mencolek lengannya, ia menoleh dan mendapati Budhe Vina sedang memberi kode kepadanya. Awalnya Zuhra bingung, tapi dirinya segera sadar saat melihat Dirgam memandangnya dalam.
Zuhra meraih tangan pria yang beberapa waktu lalu berjabatan erat dengan tangan ayahnya, diciumnya punggung tangan milik Dirgam dengan lembut. ‘Ya, Allah. Ku mohon jangan biarkan tangan ini melepaskan genggaman kami seberat apapun cobaan yang engkau berikan nanti.’
Di dalam hati Zuhra berjanji akan berusaha menjadi seorang istri yang baik untuk Dirgam, meski apapun nanti alasan pria itu menikahinya, Zuhra akan siap untuk menerima. Mungkin akan sulit nantinya, Zuhra tau jalan mereka tidak akan mulus, bahkan pasangan yang menikah karena cinta pun mengalami banyak gejolak rumah tangga, apa lagi mereka yang menikah dengan alasan yang Zuhra tidak ketahui. Ralat, alasan Dirgam yang tidak Zuhra ketahui. Akan tetapi, Zuhra sedikit pun tidak punya cita-cita untuk menikah dua kali apalagi menyandang status janda, sungguh Zuhra tidak ingin itu. Meski takdir hanya sang kuasa yang tahu, Zuhra akan berusaha semampunya.
Masalah hati yang masih terpaut pada Reno, Zuhra akan belajar mengatasi. Bagaimanapun melupakan itu sulit, tetapi sedikit demi sedikit Zuhra akan menggeser posisi Reno di pikirannya dan menggantikan dengan pria yang sudah sah menjadi suaminya itu, dan semoga hati juga mampu begitu.
Setelah melepas punggung tangan Dirgam, Zuhra dikejutkan dengan sapuan hangat di keningnya, cukup lama pria itu berdiam di posisi tersebut sehingga membuat Zuhra gugup setengah mati karena wajahnya saat ini tepat berhadapan dengan d**a bidang pria itu. Aroma kayu-kayuan begitu terasa di indera penciuman Zuhra.
Selepas kecupan singkatnya berakhir, Dirgam kembali duduk tenang seraya menjabat tangan para saksi dan pak pemghulu itu sendiri.
Zuhra yang tadi kaget bukan main karena ciuman pria tersebut--yah walau hanya di dahi--, menjadi bodoh sesaat apalagi melihat tingkah santai pria itu setelahnya. Okelah, perlakuannya itu tidak akan aneh kalau mereka memang menikah karena cinta, tapi ini … ah, sudahlah.
✏✏✏
"Apa hobimu memang melamun?"
Zuhra terkesiap kaget mendengar suara serak yamg berasal dari arah pintu masuk kamarnya. Pipi wanita itu seketika merona ketika mengingat bahwa ia tidak akan sendiri lagi menghuni kamar ini. "Mas … udah selesai?" tanyanya gugup.
Pria itu hanya mengangguk. "Kenapa kamu melamun?" kebiasaan Dirgam adalah bertanya saat ditanya.
"Zuhra nggak ngelamun," elak wanita itu.
Dirgam mendekat sambil membuka simpul dasi. "Lalu apa?" tanyanya lagi.
Zuhra mengamati pria itu yang mulai melepas jas hitamnya, dilanjut dengan bembuka kancing tangan kemeja putih, lalu menggulungnya hingga siku, terlihat begitu seksi dan memukau di mata Zuhra. Wanita itu cepat-cepat menggelengkan kepala supaya pikiran tidak waras itu enyah seketika.
"Zuhra cuma istirahat, tadi capek. Maaf, Mas, tadi Zuhra duluan ke kamar," terang wanita itu setelah beberapa detik terdiam.
Di pesta tadi Zuhra memang merasa lelah, berjam-jam berdiri dan menyapa para tamu undangan cukup melelahkan bagi Zuhra, apalagi sepertinya Dirgam mengundang seluruh kolega bisnisnya, membuat Zuhra kewalahan sendiri mengatasi pegal di kakinya. Akhirnya disaat tamu-tamu hanya tinggal beberapa orang Zuhra memutuskan untuk beristirahat, saat itu Dirgam sedang berbincang dengan koleganya yang datang dari Bali, karena tidak ingin mengganggu, Zuhra membiarkan saja dan masuk ke kamar lebih dulu.
Dirgam menatap Zuhra dalam, lalu pria itu menghembuskan napas berat. "Harusnya beritahu kalau kamu lelah." Dirgam berjalan semakin mendekat, "lain kali jangan memaksakan diri."
Zuhra mengangguk kaku, patuh pada perintah Dirgam meskipun jantung bertalu-talu karena jarak mereka sangat dekat.
"Istirahatlah! saya mau mandi," titahnya seraya menjauhkan diri.
Lagi-lagi Zuhra mengangguk kecil, sepertinya ia ditakdirkan untuk selalu patuh pada pria itu. Setelah tubuh tegap Dirgam menghilang di balik pintu kamar mandi, barulah Zuhra menghembuskan napas lega, berada di dekat Dirgam ternyata tidak bagus untuk pernapasannya, karena wanita itu seringkali menahan napas tanpa sadar saat berada di sekitar pria itu.
Zuhra membaringkan badan di atas ranjang empuknya, dia memang sudah lebih dulu mandi dan mengganti baju kebaya yang begitu berat dan rumit dengan piyama tidurnya. Uhh, tidak ada lingerie seksi dan malam pertama yang panas seperti pasangan-pasangan lainnya, yang ada hanya tidur. Pasti seperti itu, kan? Memangnya dirgam sudi menyentuh wanita seperti dirinya?
Jujur saja Zuhra cukup kecewa dengan jalan takdirnya yang seperti ini, tetapi ia ingin marah pada siapa? Sudah pasti pada dirinya sendiri karena di sini tersangka utama adalah dirinya. Meskipun semua ini tidak lepas dari perbuatan kurang ajar Reno, tetapi tetap saja Zuhra salah, seandainya dulu dirinya tidak tergoda rayuan pria tersebut, seandainya dia bisa sedikit pintar, seandainya dulu ia menuruti nasihat abangnya, seandainya ... yah, hanya tinggal seandainya.
Tarikan napas Zuhra kembali terdengar, lalu menghembuskannya perlahan, bersamaan dengan itu matanya mulai terpejam, sejenak meninggalkan segala kemelut yang melanda kehidupan.
Sayup-sayup terdengar suara pintu kamar mandi berderit, tidak lama setelah itu rasa hangat di dahi Zuhra kembali terasa, sensasinya sama seperti saat pertama Dirgam menciumnya pagi tadi. Mungkinkah ini kali kedua? atau hanya mimpi belaka.