Lima

1073 Words
Pernikahan Zuhra dengan Dirgam tinggal seminggu lagi, semua persiapan sudah diurus. Undangan merah maroon pilihan mereka kemarin juga sudah disebar. Awalnya Zuhra berpikir pernikahan mereka akan digelar di sebuah wedding ballroom, tapi ternyata Dirgam lebih memilih halaman belakang rumah Zuhra yang luas sebagai tempat resepsi mereka. Dirgam mewujudkan impian pernikahan garden party ala-ala Zuhra. Namun alasan utamanya adalah agar Zuhra tidak capek bolak balik ke hotel untuk sekedar mengecek persiapan pernikahan mereka. Dirgam memberikan peluang penuh bagi Zuhra untuk mengatur dekorasi sesuai keinginannya. Zuhra tersenyum mengingat hal itu. "Sudah makan?" Suara berat itu mengembalikan Zuhra ke dunia nyata. Zuhra mengangguk sebagai jawaban. "Mas baru pulang?" Zuhra mengamati Dirgam yang masih mengenakan setelan kantornya. "Hmm." "Zuhra buatkan teh, ya?" Entah pemikiran darimana wanita itu rasanya ingin sekali melakukan hal itu. "Tidak usah, saya hanya sebentar." Saya … saya … saya … sayaaa …. Zuhra sebal setiap mendengar bahasa kaku Dirgam. "Terus ngapain ke sini?" gerutu Zuhra. Entahlah, dia seperti tidak rela ditinggal Dirgam pulang, apalagi pria itu menolak teh yang tadi ditawarkannya. Dia trauma ditinggalkan. Ya hanya itu, tidak ada alasan untuk perasaan lain. Batin Zuhra meyakinkan. "Bertemu Pak Albar, urusan surat menyurat." Cuek amat, niat nikahin nggak sih? "Terus kenapa cepet-cepet pulang?" tanya Zuhra yang malah kelihatan sewot. Dirgam yang masih berdiri di hadapan Zuhra memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana bahannya. Sok keren, batin Zuhra. Tapi memang keren sih. "Karena sudah selesai." Zuhra menghembuskan napas malas. "Yaudah, pulang sana pulang!" usir Zuhra ketus. Dirgam maju satu langkah lalu menyodorkan tangan kanannya pada Zuhra. "Apa?" tanya wanita itu bingung. "Salam." Zuhra tercengang di tempatnya, apa-apaan Dirgam itu? Tapi seperti terhipnotis, Zuhra menuruti perintah Dirgam dan mencium punggung tangan pria itu. Aneh, kenapa jantungnya bergerak liar begini? Saat dirinya tersadar ternyata Dirgam sudah tidak ada di hadapannya lagi. Pria itu melenggang pergi sambil tersenyum tipis tanpa Zuhra sadari. ✏✏✏ Kita perlu bicara, ini tentang Reno. Gue tunggu Breaks Cafe. -Al Pagi ini Zuhra dikejutkan oleh sebuah pesan dari nomor tidak dikenal yang ternyata adalah milik Albi, sahabat karib Reno. Mau apa lagi dia? Zuhra mengabaikan pesan tersebut, dirinya bergegas mandi dan sarapan. "Pagi, Bun, pagi, Yah," sapanya dengan senyum tersungging di bibir. "Loh, kok ...." langkahnya terhenti saat melihat Dirgam yang sudah duduk manis di sebelah kursi yang biasa ia tempati. "Eh, anak Bunda udah bangun, sini duduk," panggil sang bunda saat melihat anaknya berdiri kaku di ujung tangga. "Mas Dirgam, kok di sini?" tanya Zuhra pelan seraya berjalan ke kursinya. "Oh, itu. Iya, Ayah dan Bunda kan pagi ini rencananya mau pergi ke rumah Bu Dewi ambil jahitan kemeja batik Ayah dan Abangmu, sekalian mampir di rumah tante Nirma." Bu Ratna meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan Zuhra. "Bang Ran hari ini dinas pagi, jadi tidak ada yang menemanimu di rumah, maka dari itu Bunda meminta Nak Dirgam menjagamu hari ini," jelasnya. "Bun, Zuhra kan bukan anak kecil," protes wanita itu. "Kamu nolak Dirgam, Dek? Padahal dia udah bela-belain ke sini." Randy tiba-tiba muncul dengan pakaian rapinya. "Bukan gitu." Zuhra bergerak tidak nyaman, "tapi kan Mas Dirgam juga harus kerja, Bun, Zuhra nggak mau ngerepotin," kilahnya. "Saya libur hari minggu." Zuhra refleks menoleh ke arah Dirgam, tidak menyangka pria itu akan berbicara setelah sekian menit bungkam. Bunda Zuhra tersenyum lebar. "Jadi, permasalahan clear ya." ✏✏✏ Zuhra memandang sebal wajah Dirgam, apa tadi katanya? 'Saya libur hari minggu.' Dengan wajah super serius dan macbook yang menyala di hadapannya, masih bisakah disebut libur bekerja? Libur ke kantor iya. "Kalau tidak ditonton dimatikan saja." Zuhra cepat-cepat menghadap ke depan, mengalihkan pandangan matanya dari Dirgam yang bersuara tanpa menoleh ke arahnya. "Kalau Mas sibuk harusnya nggak perlu ke sini," ucap Zuhra akhirnya. "Bunda kamu yang minta." Zuhra mendengus, jadi cuma karena permintaan bundanya, tidak ada yang lain? Aish, apa yang kamu harapkan, Zuhra? "Mas bisa tolak kalau memang enggak mau," ujar Zuhra. Dirgam menghela napas sebelum menoleh pada Zuhra. "Dari pada kamu ngomel terus, mending ambilin saya minum," perintahnya. Zuhra mencibir sesaat, tapi tetap menuruti perintah Dirgam. Dirinya pun berjalan gontai ke arah dapur sambil sesekali menggerutu. Sesampainya di dapur Zuhra justru dilanda kebingungan ingin mengambil minuman apa, pasalnya dia lupa bertanya karena keasyikan menggerutu. Akhirnya, Zuhra memutuskan untuk membuat coklat panas saja karena di luar juga sedang turun hujan, tidak mungkin dia membuat jus jeruk di saat dingin seperti ini. "Ini, Mas, diminum." Zuhra meletakkan gelas di atas meja. "Ada janji dengan siapa hari ini?" Bukannya mengucapkan terimakasih, Dirgam malah melontarkan pertanyaan yamg membuat Zuhra bingung. "Maksud Mas?" "Di handphone kamu.” Zuhra mengecek ponselnya, ternyata benar, ada satu pesan baru dari Albi. Zuhra memang mengatur aplikasi pesan yang bisa langsung menampilkan isi dari pesan tersebut tanpa kita buka terlebih dahulu, saat-saat dirinya asik membuka sosial media atau berselancar di dunia w*****d, aplikasi pesan tersebut cukup membantu, tapi di saat seperti ini rasanya tidak. Ra, please dateng. Ini penting, tentang Reno dan orangtuanya. -Al Zuhra menatap Dirgam yang tengah memejamkan mata. "Mas ...." "Kenapa kamu tidak bilang?" "Maksud, Mas?" "Jadi itu alasan kamu tidak ingin saya di sini?" "Bukan gitu!" elak Zuhra tak terima. "Ingat perjanjian awal kita, kan?" Dirgam menoleh dengan mata kelamnya. Zuhra mengangguk, tidak mungkin dirinya melupakan janji aneh mereka malam itu. "Lalu kenapa kamu ingkar?" "Mas …." Zuhra menyentuh punggung tangan Dirgam, "Zuhra nggak maksud bohong, menurut Zuhra itu nggak penting." "Nggak penting?" Dirgam membeo, "Omong kosong!" "Mas …." Zuhra yang tadinya berusaha sabar jadi kesal rasanya, "Kalau Zuhra mau bohong pasti Zuhra udah pergi nemuin Al dari tadi," ucapnya. "Itu tidak terjadi karena ada saya di sini." "Zuhra bisa buat alasan kalau cuma karena itu, lagian Mas lihat sendiri, apa Zuhra ada balesin pesan Al? Nggak, kan?" Dirgam memejamkan matanya seraya menghembuskan napas dalam, saat terbuka, fokusnya menyorot dalam iris coklat milik Zuhra, "Saya cuma benci kebohongan, dan satu hal yang tidak bisa saya maafkan, yaitu penghianatan. Jadi, belajar terbukalah mulai sekarang." ✏✏ Jadi, belajar terbukalah mulai sekarang. Zuhra rasanya ingin menjambak rambut Dirgam saat pria itu mengatakan hal menggelikan itu. Menyuruh orang lain terbuka, padahal dirinya sendiri bagaikan buku diary yang punya gembok rapat. Akan tetapi sesuatu dalam diri Zuhra merasa Dirgam keren saat berbicara tadi, dan Zuhra merasa gila karena sudah berfikiran seperti itu. Dari pada gila sungguhan, Zuhra lebih memilih untuk mengenyahkan segala pemikiran tak waras itu, secepat kilat dirinya mengambil handphone dan memasang earphone miliknya, memutar lagu sambil memejamkan mata. Yeah, begini lebih baik. Tutup mata, dan tidur!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD