EL. 9 PEDAL SEPEDA

1218 Words
Setelah salat dzuhur, El menghabiskan waktu kerja di dalam ruangannya saja, tidak ada keluar ruangan lagi. Sehingga ia tidak bertemu dan berinteraksi dengan Elia. Saat jam kantor usai, barulah El keluar dari ruangannya. El mengunci pintu ruangannya, lalu ia beranjak pergi. Kantor masih sama seperti siang tadi, sunyi sepi. Bahkan ternyata pamannya tidak kembali ke kantor. Karena masih ada urusan di luar. El bertemu dengan Elia di lobi kantor. "Selamat pulang, Pak. Hati-hati di jalan." "Hmmm ...." El hanya menjawab ucapan Elia dengan bergumam. Elia kesel sekali melihat sikap El "Dasar bos arogan, congkak, sombong, sok!" "Kamu bilang apa?" El memutar tubuh dan menatap Elia. Elia tak menyangka kalau El mendengar gumamannya. "Bos arogan, congkok, sombong, sok!" Sudah kadung El mendengar jadi sekalian saja Elia sampaikan langsung penilaiannya terhadap El. Tak peduli jika El marah padanya. "Siapa yang kamu maksud?" Tanya El. "Bapak lah siapa lagi. Bapak itu tidak sadar ya kalau sikap Bapak sombong, arogan. Orang mau pergi itu kasih salam, Pak. Saya pulang ya, assalamualaikum, begitu! Bukannya ngeloyor dengan muka cemberut seperti Bapak!" "Apa sikap saya merugikan kamu, tidak kan!? Dasar office girl galak!" "Bapak lebih galak dari saya. Saya memang tidak dirugikan, tapi saya terganggu dengan sikap Bapak." "Saya tidak sombong, apalagi arogan, dan congkak. Saya itu cool. Mengerti cool tidak?" "Pria cool itu tidak banyak ngomong. Tidak seperti Bapak. Ngomong terus marah-marah tidak jelas. Seperti remaja labil saja!" Elia mencibir. "Jangan sembarangan menyebut aku remaja labil. Aku pria dewasa yang sudah matang dan mapan." "Usia Bapak pasti sudah lebih dua puluh tahun, tapi tingkah Bapak masih seperti anak remaja. Bapak suka merajuk." "Kapan saya merajuk? Untuk apa saya merajuk? Kamu saja yang selalu memancing emosi saya, sehingga membuat saya marah." "Bapak sensitif sekali, habis patah hati ya, Pak?" El tidak langsung menjawab, tatapan tajam matanya ke mata Elia. "Tahu apa kamu tentang patah hati, bocah ingusan!" "Hey, usia saya sudah dua puluh tahun, Pak, bukan bocah lagi. Apa lagi masih bocah ingusan!" Elia balas menatap mata El. "Saya mau pulang. Saya tidak ingin berdebat lagi dengan kamu." El melengos. "Sudah, pulang sana! Besok kita lanjutkan lagi berdebat." "Kamu berani sekali ingin berdebat dengan saya!" "Kenapa tidak berani? Saya tidak salah!" Mata Elia melotot gusar ke arah El. Kedua tangannya bertolak pinggang, wajahnya dimajukan. "Dasar office girl galak! Hati-hati matamu melompat." "Saya galak, lalu apa namanya Bapak yang lebih galak dari saya." "Saya mau pulang, assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." El keluar dari bangunan kantor. Ia menuju tempat parkir mobilnya. El membawa mobilnya keluar dari pintu gerbang kantor. "Pulang dulu, Pak, assalamualaikum." El berpamitan kepada satpam seraya menganggukkan kepala. "Wa'alaikum salam, Pak El. Hati-hati di jalan." Pak Satpam balas mengangguk. "Terima kasih, Pak." "Sama-sama." Elia yang melihat hal itu mencibir "Itu bisa baik dengan orang lain, kenapa dengan aku marah-marah terus. Dasar pedal sepeda bau kencur. Pemuda dewasa labil, seperti pemuda bau kencur!" Elia menggerutu, kesal sekali pada El sehingga El disebutnya pedal sepeda. Elia memastikan, semua pintu ruangan kantor sudah terkunci dan dapur dalam keadaan bersih. Setelah itu ia mengunci pintu depan kantor dan menyerahkan kunci kepada satpam. "Saya pulang, Pak. Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." Elia hanya berjalan kaki, menuju tempat tinggalnya yang berada di belakang kantor. Sebelum sampai ke rumah, Elia membeli makan dulu untuk makan malam. Sementara itu. El mampir ke sebuah minimarket. El membeli satu dus teh botol. Kemudian ia meneruskan perjalanannya pulang ke rumah. El tidak langsung pulang ke rumah, karena ia ingin bicara dengan pamannya dulu. El mampir ke rumah neneknya tempat di mana pamannya tinggal. El memarkir mobilnya di halaman rumah. Tampak di terasa samping ada nini dan kai nya duduk berdua. Hal yang hampir setiap hari mereka lakukan. Ngobrol berdua, sambil menikmati makanan dan minuman. "Assalamualaikum, Nini, Kai." El mencium punggung tangan Nini Rara dan kai Razzi. "Wa'alaikum salam. Baru pulang dari kantor, El? Belum pulang ke rumah?" "Iya, Nini. Dari kantor langsung ke sini." "Duduk, El. Kai ambilkan gelas ke dapur." Kai Razzi ingin bangkit dari duduk, tapi dicegah oleh El. "Tidak usah, Kai. Aku ke sini mau bicara dengan Paman Aay. Paman Aay ada di rumah?" "Ada apa, El? Kamu baru pulang, El?" Aay muncul di ambang pintu bersama sang istri. "Paman, Acil." El mencium punggung tangan paman dan acil nya. "Duduk, El." Aay duduk diikuti El. Rara istri Aay masuk ke dapur. "Ada apa mencari aku, El?" "Begini, Paman." Rara, istri Aay muncul dari dapur, membawa dua buah gelas dan satu piring pisang goreng. "Minum dulu." Rara menuangkan teh di teko plastik ke dalam dua gelas. Satu untuk Aay dan satu untuk El. "Terima kasih, Acil. Para bocah ke mana?" "Pergi sama Zizi." "Oh ...." "Kamu mencariku ada apa, El?" "Maaf, Paman. Aku mau tanya." "Tanya apa, El?" "Boleh tidak, aku meletakkan kulkas di dalam ruangan kantorku?" "Tentu saja boleh." "Aku tidak bisa minum tanpa es, kalau sedang makan." "Hati-hati radang El, kalau keseringan minum es." Nini Rara mengingatkan. "Iya, Nini." "Bagaimana keadaan kantor hari ini, El?" Tanya Aay. "Sunyi sepi, Paman, tidak ada siapa-siapa di kantor, selain aku dan si OG galak itu." Aay tersenyum mendengar El menyebut Elia galak. "Dia tegas, dan cekatan. Dia yatim piatu, di sini sebarang kara sejak bibinya meninggal. Bibinya sempat jadi tukang masak di tambang." "Baik apanya, Paman. Galak sekali begitu." "Nanti lama-lama kamu juga terbiasa, El." "Sebagai office girl harusnya dia bisa menghargai bosnya." "Kalau ingin dihargai, hargai orang dulu, El," ujar Nini Rara tegas. "Nah, itu benar apa yang dikatakan Nini Bersikap baiklah pada dia, bagaimanapun kalian bekerja satu kantor, meski dia hanya seorang office girl." El diam saja, perasaannya kesal karena keluarganya justru membela Elia. El mengambil pisang goreng, lalu mengunyah, kemudian ia minum. "Aku mau pulang, mau mandi." "Tunggu sebentar, El. Itu ada pisang bawa ya. Mungkin pagi-pagi ingin menggoreng nanti," ujar Rara istri Aay. "Kapan mau beli kulkas?" Tanya Nini Rara. "Beli di toko mana kira-kira yang bagus?" "Toko elektronik kita kan ada di Banjarbaru." Aay menjawab pertanyaan El. "Oh iya. Saking banyaknya usaha keluarga Ramadan, aku sampai tidak tahu apa saja itu usahanya," gumam El. "Beli ya, El. Tidak boleh minta," ucap nini nya. "Iya, Nini, aku mengerti." Rara istri Aay keluar sambil membawa kantong plastik. "Ini, El, bawa pulang." "Terima kasih, Acil. Aku pamit dulu." El mencium tangan nini, Kai, paman, dan Acil nya. "Assalamualaikum.' "Wa'alaikum salam." El menuju mobil dengan membawa kantong plastik berisi pisang. El menjalankan mobilnya, tapi ia tidak langsung pulang. El ingin ke minimarket lagi untuk membeli beberapa barang, yang akan ia masukkan ke dalam kulkasnya besok. El memarkir mobilnya di depan sebuah minimarket. El turun dari mobil langsung masuk ke minimarket itu. El mengambil keranjang, kemudian mulai mengisi keranjang dengan beberapa barang yang akan ia simpan di dalam kulkas di ruangan kantornya. Tadi El sudah membeli satu dus teh botol, itu untuk membayar hutang satu teh botolnya pada Elia. Sekarang El membeli lagi teh botol dan beberapa jenis minuman lainnya. El ingat Elia. El baru menyadari kalau dirinya di depan Elia berbeda dari dirinya yang biasa. Di depan Elia, ia jadi banyak bicara, suka berdebat, bicara ketus. Itu benar-benar bukan dirinya yang biasa. 'Kenapa aku bisa begitu ya? Kemana sikap cool yang aku banggakan. Huh! Aku begitu mengikuti cara dia bersikap padaku.' El mencari alasan untuk membenarkan sikap ketusnya pada Elia. Setelah membayar belanjaan, El masuk ke mobil dengan membawa belanjaan, lalu ia segera pulang ke rumah. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD