EL. 10 BUKAN RAMADHAN

1204 Words
Pagi ini El tiba di kantor. "Selamat pagi, Pak." Elia yang sedang membersihkan kaca menyapanya. El tidak membalas sapaan Elia, ia meletakkan satu dus teh botol di atas meja. "Ini untuk membayar teh botol kamu yang saya minum. Lunas ya!" El menunjuk satu dus teh botol di atas meja yang baru ia letakkan. "Hah!" Elia terkejut melihat satu dus teh botol di atas meja "Minum satu jadi cukup bayar satu." Elia protes dibayar dengan satu dus teh botol. "Saya memang minum satu botol, tapi saya ingin bayar satu dus." "Saya bukan lintah darat yang menggandakan apa yang dipinjamkan." Elia masih protes, tatapannya ke wajah El. "Jangan sok menolak. Ambil dan bawa ke dapur!" Rasa kesal El muncul. "Tapi ...." Elia masih ingin berdebat, tapi El melangkah masuk ke dalam ruangannya, sebelum Elia protes dan mengajaknya berdebat lebih jauh. El berhenti di ambang pintu ruangannya. El melangkah untuk menemui Elia lagi, karena baru teringat sesuatu. "Pagi ini jangan menawari aku minum. Aku bawa minum dari rumah. Kalau ada orang datang mengantar kulkas, beritahu aku. Minta kulkasnya masukkan ke dalam ruanganku." Ucapan El bernada perintah. "Baik, Pak." Kepala Elia mengangguk, tak berniat mendebat meski perasaan kesal terhadap nada bicara El. El langsung pergi. Elia menggerutu, karena El tidak pernah mengucapkan terima kasih, atau maaf kepadanya. 'Katanya tidak sombong, tidak congkak, tidak organ, tapi kelakuannya begitu. Huh dasar, ganteng-ganteng adabnya nol! Mending ganteng-ganteng serigala. Eh, itu sinetron jaman kapan ya. Aduh aku dulu suka banget sama Sisi dan Diego. itu sudah sepuluh tahun yang lalu ya. Kecil-kecil nonton sinetron, sudah sebesar ini aku nggak pernah nonton sinetron lagi.' Elia tersenyum teringat Sisi dan Diego. Elia melanjutkan pekerjaannya membersihkan semua ruangan di kantor itu, termasuk ruangan El. Elia mengetuk pintu ruangan El. "Masuk!" "Permisi, Pak. Saya ingin membersihkan ruangan Bapak." Elia menatap El yang duduk di kursi kerja dengan beberapa map di atas meja. "Ya sudah bersihkan saja." El menatap Elia sesaat, kemudian kembali menatap ke berkas yang ada di hadapannya. Elia masih menatap El. Elia merasa aneh dengan sikap El saat ini. Biasanya, apapun bisa jadi bahan perdebatan mereka. Tapi kali ini El tak banyak bicara dan asik memeriksa tumpukan berkas di atas meja. 'Aku kenapa ya?' gumam Elia di dalam hatinya. Elia membersihkan ruangan El sambil sesekali menatap ke arah El. 'Harusnya aku senang, dia tidak mengajak aku berdebat dan tidak membuat aku kesal. Tapi, kenapa dia diam kok aku jadi gelisah. Apa ada yang salah dengan diriku? Aduh, Elia, jangan sampai kamu suka, apalagi cinta sama dia. Dia bukan pria baik-baik. Pasti tidak ada wanita yang betah berada di dekatnya. Makanya dia sudah tua, tapi dia masih bujangan. Eh, usia Pak El berapa ya. Yang jelas pasti lebih dari dua puluh tahun. Mungkin di atas dua puluh lima tahun. Karena dia sudah S2. Dan sudah cukup lama bekerja di kantor pusat Jakarta.' "Apa yang kamu lihat!?" Elia terperanjat mendengar pertanyaan itu. Elia baru sadar, kalau tengah berdiri sambil menatap El. El tengah menatap ke arahnya. "Saya mau bilang terima kasih, karena teh botol saya sudah diganti dengan satu dus." Elia akhirnya bisa menjawab pertanyaan El. "Hmmm ...." El menanggapi dengan bergumam saja, kemudian El kembali asik memeriksa beberapa berkas di hadapannya. "Maaf. Bapak bisa pindah sebentar tidak, biar saya bersihkan meja kerja dan kursi Bapak," ucap Elia. El merapikan berkas yang menumpuk di depannya. Berkas diletakkan ke pojok meja. Kemudian El berdiri dari duduknya. El tidak pindah duduk ke sofa, tapi tetap berdiri di dekat mejanya, memperhatikan Elia yang mulai membersihkan meja, kursi, dan sekitar bawah meja. Elia melirik ke arah El. El yang berdiri dengan kedua tangan terlipat di dadanya, terlihat berwibawa, namun tak menghapus kesombongannya di mata Elia. "Apa lirik-lirik?" tanya El yang menyadari Elia melirik ke arahnya. "Tidak apa-apa." "Kalau mau memuji aku ganteng, puji saja. Tidak usah malu-malu. Aku sadar kalau aku punya magnet di mata wanita." El mendongakkan wajahnya. "Ish, pede sekali, Pak. Siapa yang ingin memuji Bapak ganteng. Orang kalau sombong, congkak, meski gantengnya selangit, akan hilang gantengnya karena kesombongan." 'Terserah kamu saja, aku sedang malas berdebat. Aku sedang banyak pekerjaan. Sudah selesaikan? silakan kamu keluar dari ruanganku." "Saya juga tidak ingin lama-lama di sini, menatap wajah Bapak yang sok ganteng. Permisi!" Elia keluar dari ruangan El dengan cepat. Perasaannya kesal sekali karena El seperti mengusirnya dari sana. 'Kenapa ada sih orang seperti itu? Dia itu kadang saya kadang aku. Pikun, atau apa? Dasar pedal sepeda!' "Kenapa El?" Elia menolehkan kepalanya. Aay yang menegurnya. "Tidak apa-apa, Pak." "Kamu bersihkan ruangan saya dulu ya." "Iya, Pak." Elia mengikuti langkah Aay menuju pintu ruangannya. Aay membuka kunci pintu ruangan. "Silakan dibersihkan dulu, saya tunggu di lobi." "Baik, Pak." "Beritahu saya kalau sudah selesai." "Iya, Pak." Aay duduk di sofa lobi kantor. Elia masuk ke dalam ruangan untuk membersihkan ruangan Aay. Itu sudah terjadi bertahun-tahun, semenjak Elia bekerja di sana. Aay sangat menghindari, berada satu ruangan hanya berdua dengan wanita manapun, bukan hanya dengan Elia. Karena itu, kalau menerima tamu perempuan, Aay memilih duduk di sofa lobi kantor. Tidak pernah dibawa masuk ke ruangan. Kecuali ada orang lainnya. Elia yakin, Aay pria yang sangat setia pada istrinya. Elia pernah bertemu Rara saat acara di rumah keluarga Ramadan dan ia diundang datang ke sana. Istri Aay cantik sekali menurut Elia. Bukan hanya cantik tapi ramah juga. Tampilan Rara sederhana, tapi mempesona. Yang Elia lihat, tampilan wanita di keluarga Ramadhan seperti itu semuanya. 'Keluarga Ramadhan yang aku temui, orangnya ramah dan sopan. Tidak ada yang sombong seperti si bos El. Aku yakin, darah yang mengalir di tubuhnya lebih banyak milik ayahnya, daripada milik ibunya, yang keturunan Ramadan. Pasti waktu muda ayahnya persis dia.' Sambil membersihkan ruangan, Elia terus memikirkan El yang baginya sangat berbeda dengan keturunan Ramadan lainnya. Setelah selesai membersihkan ruangan Aay, Elia memberitahu Aay kalau ruangannya sudah bersih. "Terima kasih, El." "Sama-sama, Pak." Aay masuk ke ruangannya. 'Tuh kan, kalau Pak Bos Besar selalu berkata terima kasih. Berbeda sekali dengan Pak Bos Muda itu.' "Selamat pagi." Sapa seseorang di ambang pintu masuk kantor. Elia menolehkan kepala. "Selamat, pagi. Mencari siapa?" Tanya Elia. "Kami dari Toko Elektronik dan furniture Ramadhan Berkah Jaya Banjarbaru mengantarkan kulkas milik Bapak El-Fauzi." "Oh iya. Kata Pak El langsung diantar ke ruangannya saja." "Baik. Akan kami turunkan dari mobil." Elia bergegas menuju ruangan El. Elia mengetuk pintu. "Masuk!" Elia membuka pintu. "Kulkasnya datang, Pak. Sudah saya minta untuk langsung dimasukkan ke ruangan Bapak." "Oh ...." El berdiri dari duduknya. Yang mengantar kulkas sudah tiba di depan pintu. Elia menyingkir untuk memberi jalan. El menunjukkan kepada yang mengantar kulkas, tempat di mana kulkas diletakkan. El minta sekalian kardusnya dibuka. Setelah kardus dibuka. Dua orang yang mengantar kulkas itu pamit pergi. "Tunggu, Pak." El menahan langkah kedua orang itu. Elia masih berdiri di depan pintu, menatap apa yang akan dilakukan El kepada dua orang yang mengantar kulkas. "Ini buat berdua." Elia melihat El memberikan dua lembar uang seratus ribu kepada salah satu pria itu. "Tidak usah, Bos." Pria itu menolak. "Ambil saja, buat makan siang atau untuk apa terserah, bagi dua ya." "Ini terlalu banyak, Bos." "Jangan ditolak, ini rezeki buat kalian." "Terima kasih banyak, Bos." "Sama-sama. Saya juga terima kasih, karena kulkas saya sudah diantarkan." "Sekali lagi terima kasih. Assalamualaikum, Bos." Dua orang pria itu pamit. "Wa'alaikum salam." *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD