Prolog

782 Words
    Gadis cantik itu ada di atas panggung, dihujani lampu sorot dari berbagai arah. Ia tersenyum lebar, di hadapan orang-orang yang berteriak memuja-muji suaranya. Beberapa di antaranya ada yang melempar bunga, bahkan pakaian dalam mereka ke atas panggung untuk merayakan kegilaan mereka malam itu. Mata hijau cerah milik si gadis berbinar indah, memantulkan kilat-kilatan light stick berwarna ungu— warna kesukaannya yang menjadi warna kesukaan penggemarnya juga—bergelombang mengelilingi lautan manusia yang berseru di bawah panggung di mana ia berdiri, bagai ombak lautan saat senja yang penuh sihir.     “Terima kasih. Kalian sangat hebat malam ini. Aku cinta kalian, California!”     Kata-kata singkat itu cukup untuk menggetarkan seluruh Empire Polo Club, di mana sang diva muda menggelar konser. Tempat itu bergemuruh dengan teriakan dan tangisan histeris.     Konser malam itu adalah yang terakhir dari rangkaian tur konser musim dingin tahun ini. Konser yang didedikasikan sang diva yang menguasai panggung malam itu, Ailee Smith, untuk menggalang dana demi acara amal. Dana yang terkumpul akan digunakan untuk membantu korban perang, terutama untuk wanita dan anak-anak kurang beruntung di Timur Tengah. Seluruh rencana berjalan lancar, seperti yang  sudah diperhitungkan dan ditata matang-matang bersama sang manager. Tiket konser selalu sold out selama satu musim yang gila itu.     Ailee jelas tahu apa yang ia punya. Fans luar biasa dari seluruh dunia berkumpul bukan hanya untuk bersenang-senang bersamanya, tapi untuk berbagi kepada mereka yang membutuhkan di luar sana. Lancarnya tur ini, juga efektif untuk mengembalikan nama baik Ailee setelah ia mendapat skandal buruk tentang pemukulan di sebuah klub malam, yang tak pernah terjadi sekali pun.     Senyuman bahagia di wajah Ailee, mencerminkan  dengan jelas bagaimana perasaannya saat ia menyelesaikan pekerjaannya di atas panggung. Pertama, bahagia. Lalu lelah, terharu, kagum, dan segalanya. Ia dapat menggerakkan lautan manusia untuk bernyanyi, bersuara dengan melodi yang sama dengannya, merupakan sebuah pencapaian luar biasa bagi gadis itu. Senyum di wajah eloknya yang selalu menjadi bahan pembicaraan media, terlihat begitu memukau dan hangat di saat bersamaan. Gadis muda itu melambaikan tangan sebagai penutup konsernya hari ini, dan kembali ke belakang panggung diiringi seru-seruan pemujaan yang tak bisa ia dengar dengan jelas.     Senyum Ailee masih bertengger di sana, saat ia sampai di belakang panggung. Ia mendapat pelukan hangat dari seluruh kru panggung, penari latar, produser, asisten pribadi, semua orang. Semua memujinya, bangga pada dirinya yang muda, cantik, kuat, dan berhati mulia. Dan, Ailee membalas semua senyuman itu dengan senyuman yang sama.     Senyum palsu.     Itu adalah senyum yang ia jual, saat turun dari tempatnya berkarya di atas panggung. Orang-orang itu, mereka mendapat keuntungan darinya yang bekerja keras. Mereka terlihat seperti sangat peduli dan mencintai Ailee. Namun, gadis itu cukup cerdas —terlalu cerdas— untuk tahu bahwa ketika ia tak bisa berkarya lagi, mereka akan meninggalkan dirinya sendirian. Di tempat itu. Di dunia penuh kepalsuan yang pernah diciptakan manusia. Dunia entertainment.     Setidaknya, sejauh ini hanya sebatas hal-hal itulah yang terlintas di pikiran Ailee, sebagai sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Ia sama sekali tak menyangka bahwa ada sosok gelap, aneh, berbeda dari lautan manusia lainnya, tengah mengawasi dirinya dari jauh. Bersembunyi di tengah bayangan malam itu, di antara kerumunan penonton yang mulai membubarkan diri.     Seorang pria, tinggi, kurus, berambut hitam gondrong terikat asal di balik lehernya, masih berdiri di tempat yang sama sejak Ailee mempersembahkan lagu pertamanya setelah istirahat sore. Kedua kakinya sama sekali tidak beranjak dari tempatnya berdiri, di saat penonton konser lainnya membubarkan posisi mereka sambil tertawa bersama. Pria itu memakai jaket Nike abu-abu, dengan hoodie yang menutupi seluruh bagian belakang kepala. Dia memakai masker penutup mulut, asap samar-samar keluar dari sisi penutup mulutnya itu saat ia mendongak, mengaburkan pandangan mata tajamnya dengan iris keabu-abuan yang memandang bulan.     Bunyi ponsel membuyarkan imajinya. Pria itu menunduk lalu mengangkat telepon yang berdering, membuyarkan apa pun yang sedang dia lamunkan saat menatap bulan yang kesepian.     “Apa?”     “Sudah ... selesai?”     Pria itu terkekeh. Suara yang dia dengar, adalah suara robotik yang khas milik Optimus Prime. Seseorang yang menghubunginya itu, menggunakan voice changer untuk mengubah suara asli menjadi suara robot yang gagah perkasa itu. Padahal nyatanya, suara asli si penelepon itu terdengar seperti anak anjing Siberian yang sedang kelaparan.     “Aku sudah merekam dari tempat VVIP, jangan meminta lebih. Kau seharusnya senang bayaranmu,” ucap si pria ber-hoodie sambil membalikkan badan, berjalan menjauhi panggung yang mulai dimatikan lampunya.     “Itu yang ... kausebut ... bayaran? Kau payah!”     “Berhenti merengek. Apa kau ingin aku membuntutinya hingga ke belakang panggung? Kau lebih maniak daripada yang kupikirkan. Bagaimana urusanmu dengan Sebastian?”     “Aku ... baru saja memastikannya. Pria itu ... berkhianat seperti dugaanku.” Hening sejenak sebelum si Optimus Prime palsu itu kembali berkata, “Aku ambil ... jaminanku.”     “Oh, ini tidak mungkin serius.” Pria ber-hoodie itu terkekeh, dan terus berjalan santai menjauh dari area konser menuju mobilnya.     “Bukan 'oh', Shin. Aku serius. Bawa ... gadis itu ... kemari!”     “Baiklah, Bocah. Siapkan panggungnya.” Pria itu, Shin, memasuki mobil dan mulai menyalakan mesin sambil melepaskan masker yang menutupi sebagian wajahnya, “Hubungi Zac. Kami akan membawa Ailee padamu,” ucapnya dengan senyum dingin.[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD