Elesh Altair, ( 28 tahun). Memandang kota Jakarta dari tempatnya berdiri, lantai dua belas. Lampu gedung pencakar langit ditambah lampu kendaraan membuat kota padat itu tampak indah.
Seperti biasa Jakarta masih macet, Elesh enggan berbaur dengan jalanan padat merayap, sudah pasti suara klakson sahut menyahut menambah rasa lelahnya.
Elesh memilih tinggal di kantornya, tidur dan mandi sudah biasa ia lakoni. Toh tidak ada yang ia rindukan untuk pulang. Tidak dengan istrinya atau bayi dalam rahim istrinya.
Sejak lama ia menjadi pria kesepian.
Elesh menghembuskan napas kasar, meninggalkan tempatnya berdiri dan beralih ke meja kerja. Melepas jas putih yang menjadi lambang dari profesinya sebagai dokter. Ia menyampirkan di sandaran kursi kerjanya kemudian mendaratkan b****g duduk disana.
Elesh melonggarkan dasi yang melingkar di leher. Mengusap wajah lembut. Kesendirianya terusik ketika ponselnya berdering. Elesh melirik ponselnya yang berdering, Hagena tertulis di layar benda. Istrinya menelpon.
"Apa, Ge?" ucapnya, tanganya yang bebas membuka laci meja kerjanya.
"Belum pulang?"
"Jalanan macet, rasanya sangat lelah bila harus menyetir di jam segini lagipula besok pagi-pagi ada jadwal operasi." Elesh ber-alasan.
Hagena melipat bibir, kecewa. Bagaimana bisa Elesh menjadikan macet sebagai alasan untuk tidak pulang. Istrinya menunggu dengan berbagai macam menu di atas meja.
"Tidurlah lebih awal, jangan menungguku." Elesh mematikan sambungan telpon.
Lagi-lagi Hagena melakukan pekerjaan sia-sia. Menunggu dan memasak untuk pria itu.
Hagena menjatuhkan tatapan pada perut besarnya. Bulan ini prediksi lahirnya bayi itu. Sakit hati bukan waktu yang tepat, sebagai seorang dokter ia tahu emosi akan mempengaruhi bayi dalam rahimnya. Namun, hati dan pikirannya tidak sejalan.
Hagena tetap saja merasa perih di hati.
Sementara ditempat lain, Elesh fokus mengamati layar gawai jadul yang ia ambil dari laci meja kerja. Seutas senyum terukir di bibir tipisnya saat layar benda dalam genggamnya menampilkan dua remaja berpose mesra.
Pria remaja mencium mesra pipi gadis bermata biru. Sementara gadis itu tersenyum membulatkan mata, tampak serasi dan bahagia.
Seketika raut itu berubah sendu, rindu dalam waktu lama menyiksanya. Rindu cintanya, rindu segalanya tentang gadis itu.
"Aku merindukanmu," lirihnya, air mata menitik di pipi tegasnya. Ia meletakkan kembali benda itu dalam laci dan menutup kembali.
Esok ia akan mengatakan hal yang sama.
......
"Dia memukulmu lagi?" Hagena menjahit telaten luka di lengan pasiennya, dalam sebulan ini wanita itu sudah tiga kali mendatanginya dengan luka yang berbeda.
Wanita itu mengangguk, meringis perih pada sudut bibirnya yang lebam. Matanya cekung dengan lingkaran hitam di bawah, tampak lelah dan menyedihkan.
"Kenapa tidak melapor ke polisi? Luka di tubuhmu cukup jadi bukti." Hagena membersihkan luka lebam itu.
"Dia suamiku," gumam pasiennya. Hagena menarik sudut bibirnya. Ia membuang kapas bekas ke tong sampah lalu beralih ke meja kerjanya.
"Suami macam apa yang memperlakukan buruk pasangannya," Nada tidak senang Hagena lontarkan. Ia menulis resep untuk wanita itu.
"Aku berhutang budi padanya, Dokter," Pasien Hagena turun dari bangsal dan duduk berhadapan dengan Hagena.
"Dia suami Anda, bukan?" Hagena menyerahkan selembar resep.
Hutang budi? Apa ada semacam itu untuk pasangan suami istri? Hagena jadi heran.
"Setiap pribadi memiliki rahasia dalam hidupnya, Dokter. Begitulah hidup sangat rumit." Sorot mata wanita itu tenggelam.
"Aku berharap ini luka terakhir."
Setelah mendapatkan pengobatan, wanita itu bangun dari duduknya.
"Terima kasih, Dokter." ucapnya, ia merendahkan sedikit kepalanya sebagai rasa hormatnya pada Hagena kemudian keluar dari sana.
Hagena mengeleng, berpikir bagaimana wanita itu bisa bertahan dengan pasangannya yang sering bermain tangan. Lalu ia teringat ucapan terakhir wanita tadi dan mengulangnya dalam hati.
Hagena mengambil ponsel di atas meja mencari nomer Elesh, suaminya. Ia harus memastikan pria itu mengisi perutnya.
"Sudah makan siang?" tanya Hagena begitu tersambung.
"Satu jam lagi, masih banyak pasien." Elesh, tersenyum pada pasien yang sedang berbaring di bangsal.
Perawatnya baru saja memeriksa kandungan pasiennya.
"Jangan lupa makan," Hagena mengelus perut besarnya dengan lembut.
"Baiklah." Elesh memutus sambungan telponnya.
"Silahkan duduk, Ibu." ujarnya, mempersilahkan pasien duduk. Ia akan menjelaskan perkembangan janin dalam rahim wanita muda itu.
.....
Malam hari Hagena duduk di depan meja riasnya. Mengoleskan liotin pada tangan. Ia mengenakan gaun malam berbahan satin. Tipis dan lembut melekat di tubuhnya.
"Kau belum tidur?" Hagena bertanya menatap Elesh lewat cermin.
"Sebentar lagi, Ge." Elesh, memainkan ponselnya. Ia kembali mencari nama seseorang di media sosial.
Bukan sekali dua kali Elesh melakukan itu tapi sampai detik ini ia belum menemukan apa yang ia harapkan.
Hagena naik ke ranjang, mencuri pandang apa yang membuat Elesh fokus pada ponselnya.
"Kau masih mencarinya?" Hagena menipiskan bibir namun, tidak dengan hatinya. Ia merasakan sakit.
Elesh tidak menjawab, mematikan ponsel lalu meletakkan di meja kecil samping ranjang.
"Mungkin dia tidak menggunakan media sosial, El." guman Hagena membaringkan dirinya.
"Di jaman sekarang? Bahkan orang tua pikun menggunakan media sosial." Elesh tidak yakin Jingga tidak menggunakan media sosial.
"Atau mungkin dia menggunakan nama lain," Hagena memiringkan tubuhnya menghadap Elesh.
"Mungkin," gumamnya. Ia menatap wanita berbadan dua itu. "Kau lahiran bulan ini, kan?" Tanya Elesh, memperhatikan perut besar Hagena.
"Mmm,"
"Yakin lahiran normal, Ge?"
"Atas izin Allah, El. Aku ingin melahirkan bayi ini dengan cara normal." Hagena mengelus perutnya lembut.
"Baiklah, tapi kalau kau berubah pikiran aku siap jadi doktermu," Elesh ikut berbaring, memeluk guling dan berbalik membelakangi Hagena.
"El, kau ingat wanita yang pernah aku ceritakan?" Elesh berbalik menghadap Hangena.
Elesh mencoba mengingat, "maaf, " katanya, terlalu banyak kisah pasien yang di ceritakan Hagena padanya.
"Pasien yang kena KDRT,"
"Kenapa dengannya?" .
"Dia kembali lagi dengan luka yang berbeda, lima jahitan di lengan,"
"Kenapa dia tidak melapor ke polisi?"
"Entahlah, menurutmu kenapa dia bisa bertahan. El?"
"Mungkin wanita itu sangat mencintai suaminya,"
Kening Hagena berkerut, "sampai menerima perlakuan buruk itu?"
"Entahlah," Elesh memejam, ia memilih tidur. "Tidurlah Ge. Jangan pikirkan orang asing." sambungnya.
"Baiklah," Hagena menarik selimut menutupi setengah tubuhnya. Ia menatap punggung Elesh yang sudah kembali membelakanginya.
Hagena ingin sekali mendekat dan menyentuh punggung lebar Elesh. Namun, ia tidak memiliki keberanian. Elesh memang suaminya, ia berhak atas pria itu.
Hagena menggigit bibir seksi miliknya mengabaikan rasa ingin itu.
Semua pribadi memiliki rahasia bukan? ucapan pasien itu mengusiknya.
Elesh dan dirinya menyimpan sebuah rahasia, entah sampai kapan rahasia itu akan tetap menjadi rahasia.
Hagena tidak yakin akan selamanya.
Mengingat Elesh masih merindukan pacar pertamanya, Elesh masih mencarinya. Elesh bahkan menyimpan pakaian wanita itu, mencium pakaian itu untuk mengobati rindunya.
Suaminya itu masih berharap takdir mempertemukan mereka dan jika saat itu tiba maka rahasia mereka tidak lagi rahasia.
Hagena berharap, takdir tidak membawa keduanya bertemu. Ia ingin memiliki Elesh selamanya meski tanpa cinta.
......
Jingga Nirwana ( 27 Tahun) memperhatikan pria di hadapannya makan dengan lahap. Jingga kesal benci pada pria ini.
"Aku ingin kita bercerai," Amos menghentikan mulutnya menguyah sarapan buatan si istri.
Belakangan ini wanita yang berdiri disisi meja makan sering mengucapkan kata cerai. Amos menarik sudut bibir, ia mengabaikan wanita itu dan lanjut sarapan. Telur dadar berbalut daun bawang menjadi menu sarapan.
"Apa diammu itu tanda setuju?" Istrinya kembali bertanya.
"Kau kenapa?" Amos balik bertanya, meneguk air minum. Melihat istrinya dengan tatapan hangat. Wanita pemilik rambut panjang tergulung rapi memalingkan wajah. Ia tahu Amos akan merayu dan meminta maaf atas kesalahan, menyakitinya hingga babak belur. Wanita itu sudah bertekad akan mengakhiri hubungan buruk itu.
"Aku serius, Amos. Kita tidak lagi bisa bersama."
"Apa yang akan kau lakukan tanpaku? Kau pikir kau bisa hidup tanpa suamimu ini?" Amos berdiri, mengambil dagu istri, memaksa untuk bersitatap.
"Ingat akulah yang menyelamatkanmu dari para b******n yang hampir memperkosamu." Ucapnya dengan tatapan tajam, Ibu jari dan telunjuk menekan dagu runcing hingga memerah.
"Aku menyesal kau selamatkan, kau tidak berbeda dari mereka." suara kecil tapi sangat jelas di telinga Amos.
Plak!
Telapak tangan besar mendarat mulus di pipi kecil, terasa pedih dan menyakitkan yang ditampar hanya diam.
Tamparan sudah biasa ia terima dari pria itu. Berdenyut dan sangat menyakitkan terbukti air mata deras menetes di pipi kecil wanita itu.
"Tidak tahu terima kasih, ingat jangan pernah mengatakan bercerai dariku!" Amos pria bertubuh tambun memberi peringatan.
Istrinya meringis, rambutnya yang tergulung rapi diremas kejam lalu di hempaskan hingga tersungkur ke lantai.
"b******n!" Teriak istrinya.
Emosi pria paruh baya semakin naik. Ia mengambil gelas minum di atas meja dan melempar keras beruntung wanita itu menghindar.
"Jangan sakiti Mama!" suara dari dalam kamar terdengar ketakutan. Gemetar bercampur isakan. Putranya memeluk diri di balik pintu kamarnya. Ia mendengar perkelahian itu.
"Ahrrhh ...." Pria kejam berteriak, kesal. Meremas rambutnya sendiri. Meninggalkan rumah tak lupa membanting pintu keras. Berangkat kerja dengan penuh emosi.
Jingga membersihkan pecahan kaca di lantai. Suaminya melempar gelas dan beruntung tidak mengenainya.
Wanita itu menggigit kuat bibir bawah menahan isakan. Kali ini ia benar-benar ingin mengakhiri hubungannya dengan pria paruh baya itu.
Selama hidup dengan pria pemabuk dan rajin main judi membuatnya menjadi sasaran kekesalan. Tak sekalipun Amos menang meski begitu tidak membuatnya jera. Pulang mabuk dan marah -marah adalah kebiasan Amos.
Sudah cukup!
Ingin bebas dan mengakhiri semuanya, toh selama ini hubungan mereka terjalin bukan karena cinta.
Pria kecil berhidung mancung dengan model rambut berponi perlahan-lahan membuka pintu, mengintip dari celah pintu mengawasi keadaan.
Pria kejam yang menyakiti ibunya sudah pergi, ia bersyukur dalam hati. Pria kecil memberanikan diri melangkah menghampiri ibunya yang sedang membersihkan pecahan gelas. Ia tahu Ibunya sedang menangis.
"Mama," suaranya yang lembut mengagetkan Ibunya. Pria kecil menyentuh pundak sang Ibu. Sangat pelan dan hati-hati.
"Hei sayang, kenapa keluar dari kamarmu. Tetaplah disana dan baca bukumu, oke!" Ibunya, menipiskan bibir berusaha kuat. Ia harus kuat di depan putranya. Tidak akan menunjukkan betapa menyedihkan dirinya saat ini.
"Apa sakit, Ma?" Ibunya menggeleng cepat, tangan pria kecil mengusap lembut sisa air mata Ibunya. Tanpa sadar pria kecil menitikkan air mata. Ibunya terkejut dan segera menghapus air mata itu.
"Sayang jangan menangis. Mama tidak apa-apa. Jangan menangis!" Ibunya menggeleng menatap putranya, memberi perintah kalau air matanya tidak boleh tumpah untuk hal menyakitkan.
Putranya hanya boleh menangis karena bahagia.
"Pria jahat itu memukulmu lagi?" Lirih pria kecil, menunduk sedih. "Aku tidak bisa melindungi Mama." Sesalnya.
Mendengar itu hati wanita itu sakit, putranya telah lama menjadi saksi kekerasan dari sang Ayah.
"Aldebaran, kau tidak perlu melindungi Mama. Dengar, kita akan pergi dan meninggalkan pria itu. Mama sudah memutuskan." ucap wanita berwajah pucat, menyapu air mata pria kecilnya.
"Dia pasti menemukan kita seperti saat itu," Aldebaran mengingatkan Ibunya. Mereka pernah melarikan diri tapi pria itu kembali menangkap dan membawanya kembali ke rumah type 36 itu.
"Aku yakin kali ini tidak, Mama sudah memutuskan." Wanita itu menyakinkan putranya. Pria kecil mengangguk.
"Pergilah ke kamarmu, Mama akan membersihkan ini. Hati-hati pecahan beling ada di mana-mana."
Pria kecil melangkah hati-hati masuk ke kamar dan menutup pintu pelan.
Terdengar deringan ponsel dari dalam kamar.
Wanita itu menghentikan pekerjaannya dan berjalan ke sumber suara. Nomor berkode Jakarta menghubunginya. Ia mengangkat dan menyapa.
"Dengan Ibu Jingga?"
"Iya saya sendiri," Jingga duduk di tepi tempat tidur, menajamkan pendengaran.
"Kami dari restoran siap saji AG, hendak mengabari, kalau Ibu Jingga di terima bekerja di Restoran AG dengan posisi cleaning service sesuai kemampuan di CV.
"Oh ya ampun ... terima kasih, Bu."Jingga menghela napas lega, rasa sakit hati berubah bahagia.
"Baiklah terhitung hari senin Anda sudah bisa bekerja."
"Baik, Bu." ucap Jingga ada binar indah di netra birunya.
Meskipun pekerjaan itu berat ia akan mengambilnya.
Jingga bukanlah orang berpendidikan. Sekolah menengah pun tidak selesai. Menjadi babu bahkan pernah ia lakoni di rumah orang kaya.
Jingga digoda tuan rumah hingga mengakibatkan salahpaham antara ia dan majikan wanita.
Jingga dipecat dengan sebuah tamparan keras di pipi.
Jingga pun tidak punya keterampilan khusus. Sebenarnya Jingga bukanlah orang bodoh tapi keadaan selalu memaksanya untuk tetap berada di bawah.
Satu-satunya keahlian Jingga hanya bermain Violin. Namun, keahlian itu mungkin tidak lagi berlaku. Sudah sangat lama ia tidak bermain Violin. Jingga tidak pernah memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepiawaianya bermain violin.
Jingga suka memainkan irama lewat alat musik gesek itu. Namun, itu dulu sebelum dunianya hancur.
Setelah mengakhiri panggilan, ia segera keluar kamar dan mengetuk pintu kamar putranya. Ia akan berbagi kebahagiannya pada pria kecil nan tampan itu.
"Al, mama diterima kerja." Katanya melebarkan senyumnya. Aldebaran tampak bahagia melihat sang Ibu tersenyum. Pria kecil mengakhiri aktivitas belajarnya.
"Itu artinya Mama akan menghasilkan uang sendiri?" Jingga mengangguk semangat.
"Artinya kita bisa meninggalkan pria jahat itu?" Jingga menelan ludah. Ia melihat kebencian yang dalam di netra putranya pada suaminya.
Aldebaran sering menyebut pria itu dengan sebutan pria jahat. Putranya tidak pernah memanggil Ayah. Aldebaran membencinya dan mengatakan kalau ia tidak pernah memiliki seorang Ayah yang kejam.
Jingga mengangguk, menghampiri pria kecil yang tengah duduk di meja belajarnya. Membungkuk sedikit dan mengelus pundak pria kecil itu lembut.
"Iya, kita akan pergi menjauh darinya." ucap Jingga yakin. Kali ini ia berniat melawan demi masa depan Aldebaran.