Rumah sakit, Thamrin.
Elesh mengambil buku pink yang sudah disiapkan perawat di atas meja kerja. Ia baru saja masuk dan pekerjaan sudah menyambutnya.
“Ini hamil pertama, bu?” Tanya Elesh setelah memeriksa buku hamil milik pasien yang tengah berbaring di bangsal.
" Iya ini hamil pertama saya, dokter.”
Elesh menghampiri pasien yang sudah siap melakukan USG. Perut pasien sudah diolesi Gel oleh perawat. Elesh duduk di samping bangsal dengan transducer di tangan.
“Ibu Imelda USG nya kita mulai. Ibu bisa melihat pergerakan bayi di layar monitor,” ucap Elesh dengan ramah. Pasien menyipitkan mata, perempuan itu seperti mengenal wajah dokter itu.
“El –lesh? Ah, maaf saya pikir dokter teman sekolah saya dulu," gumam Imelda ragu, mendengar namanya disebut Elesh menyunggingkan senyum.
“Iya namanya saya, Elesh Altair.”
“Benarkah? Jadi kau Elesh Altair?” Sontak Imelda bangun dari baring nya. Ia sudah menduga kalau pria ini teman sekolahnya dulu.
“Iya, tapi …”
"Elesh pacarnya Jingga, kan?" Pasien menyela, memastikan kalau dia tidak salah mengenali orang. "Ya Tuhan, Aku tidak menyangka kalau kita bisa bertemu lagi." Imelda mengamati penampilan Elesh, rautnya masih tidak percaya.
Elesh termangu saat nama Jingga disebut, transducer di tangannya nyaris terjatuh. Melihat Elesh terdiam membuat Imelda kembali ragu, perempuan hamil merasa tidak enak hati.
“Maaf dokter, mungkin aku salah orang,” ujar Imelda pelan.
“Tidak, kau tidak salah orang.” Raut Imelda yang sempat pias kembali berbinar. Elesh tersenyum padanya.
“Aku pikir aku salah orang. Kau dokter sekarang? Masa depanmu sangat cerah.” Puji Imelda, berbeda dengannya yang hanya Ibu rumah tangga setelah menikah.
“Terima kasih, tapi … kau dan Jingga masih berteman?” Imelda mengerutkan dahi, perempuan itu tampak bingung.
“Entahlah, aku tidak yakin. Semenjak kalian meninggalkan sekolah komunikasi kami putus. Tapi, apa kalian benar-benar menikah?”
“Menikah?” Kedua alis Elesh bertautan tanpa, ia benar-benar bingung. Dahinya penuh kerutan mendengar pertanyaan Imelda.
"Imelda, maaf tidak langsung mengenalimu tadi. Sudah cukup lama kita meninggalkan bangku SMA."
Elesh meminta perawat Tiara yang sedari tadi mendengar percakapan antara dokter dan pasien yang secara kebetulan bertemu, mengoleskan kembali Gel ke perut Imelda sudah mengering.
Perawat Tiara membantu Imelda berbaring, lalu mengoleskan Gel.
“Sudah, Dok,” Perawat memberi ruang untuk Eles melakukan pekerjaanya.
“Baiklah kita mulai USG nya." Elesh menempelkan transduser ke perut besar dan digerak-gerakkan. Menunjukkan satu persatu bagian tubuh mungil dalam rahim lewat monitor.
"Semua organ lengkap dan sehat, ukurannya juga sempurna, dan …kau sudah tahu jenis kelamin nya?”
“Ini USG pertama saya, Dokter.”
“Jadi? Kejutan atau …,”
“Putra?”
“Seorang perempuan.” Kata Elesh, saat melayani pasien pria ini benar-benar sangat ramah. “Pasti cantik seperti Ibunya." Puji Elesh mengundang senyum di wajah Imelda.
“Aku pikir seorang putra, suamiku orang batak.” ujar Imelda membuat Elesh terkekeh. Ia tahu maksud Imelda. Penerus keturunan.
“Masih bisa produksi kan?”
“Aku payah mendapatkannya. Tidak seperti perempuan lagi begitu nempel jadi.” Elesh tergelak mendengarnya.
"Irama jantungnya juga indah, tapi ....” Elesh menggantung ucapannya, Ia mengakhiri USG. Perawat yang menulis hasil USG segera membantu Imelda untuk duduk.
“Apa ada masalah dokter?” Imelda cemas. Puskesmas tempatnya periksa rutin menyarankan untuk USG. Imelda pasien rujukan yang menggunakan kartu pemerintah
."A … si cantik posisinya sungsang. Tapi, jangan khawatir kita bisa melakukan tindakan sesar,” Imelda menghela nafas pelan. Ia mengangguk pelan.
“Selain itu tidak ada masalah, kan?” Elesh menipiskan bibir.
“Tidak ada, dia sangat sehat.” Ucapnya.
“Jadi kapan tindakan sesar dilakukan, dok?”
“Kita jadwalkan sabtu,”
"Kau yang menanganiku, Dokter?" Imelda memastikan.
Elesh mengangguk sembari tersenyum ia melepas jas dokternya dan menyampirkan di sandaran kursi.
"Aku akan mengantarmu pulang," ujar Elesh.
“Tidak usah, Dokter.”
"Tidak apa-apa, tunggulah di luar aku akan menyusul." Elesh menepuk lengan Imelda pelan.
"Saya jadi tidak enak, Dokter. Merepotkan saja.” Imelda merasa tidak enak karena sudah mengganggu pekerjaan Elesh.
Di Masa remaja mereka memang sempat berteman melalui Jingga,sahabatnya. Akan tetapi saat melihat Elesh dengan profesinya membuat Imelda merasa tidak pantas menerima tawaran untuk di antar pulang. Imelda menunggu di ruang tunggu.
Tidak lama menunggu, Elesh menghampiri Imelda.
“Ayo,” ajak Elesh, mendahului langkah Imelda menuju lift yang akan membawa mereka ke parkiran bawah tanah.
........
Imelda mengernyit, lantaran mobil Elesh memasuki restoran mahal tidak jauh dari rumah sakit.
"Makan siang dulu ya, Mel,” ujar Elesh memarkirkan mobilnya.
“Aduh dokter, saya jadi merepotkan nih.” Imelda merasa canggung. Situasi mereka baru bertemu setelah sepuluh tahun lamanya meninggalkan masa remaja.
“Jangan sungkan, Mel. Dan …kau cukup panggil aku El atau Elesh.”
Elesh membawa Imelda masuk Restoran dan memilih tempat duduk di sudut ruangan. Restoran tampak ramai. Elesh mengambil buku menu dan menulis pesanannya. Sementara Imelda kebingungan memilih menu untuk ia makan. Melihat Imelda tampak ragu, Elesh menjadi terkekeh. Ia mengambil buku menu dari tangan Imelda. Rona memenuhi wajah Perempuan itu.
"Sayuran untuk Ibu hamil sangat baik, jangan makan yang mentah-mentah. Aku pikir capcay siput bagus untukmu," saran Elesh.
"A-aku pikir juga begitu," ujar Imelda gugup.
"Jangan sungkan, saya masih Elesh yang dulu kok."
Elesh menuliskan pilihan menu, lalu menyerahkan pada pelayan yang sudah menunggu. Imelda menghela napas panjang, namun seketika mengerutkan kening saat Elesh mengeluarkan sebungkus rokok berikut korek gas dari kantongnya.
"Berhubung makananya belum matang, aku keluar sebentar dulu ya." Elesh menunjukkan rokok di tangan. Imelda mengerti pria itu butuh ruang untuk merokok.
"Aku pikir seorang dokter tidak merokok." Pria jangkung tersenyum, ia kembali duduk dan meletakkan rokok di atas meja.
"Kata siapa? Aku juga mengkonsumsi minuman beralkohol yang penting tidak berlebihan."
"Tapi dulu kau tidak merokok, El."
"Rupanya kau mengenalku dengan baik," Elesh menggigit bibir bawahnya, meletakkan kembali rokok di atas meja.
Hari pertama ia merokok saat mengetahui keluarga Jingga pindah tapi tidak satupun tetangganya tahu kemana pindah keluarga itu.
"Jadi kalian sama sekali tidak pernah berkomunikasi? Tanya Elesh penasaran.
“Aku bahkan pikir kalau kalian menikah," Elesh menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kasar.
"Banyak gosip tentang dia saat itu, satu sekolah heboh saat mengetahui kau pindah kembali ke Jakarta. Sehari setelah kau pindah Jingga juga tidak pernah ke sekolah." Imelda mencoba mengingat kisah temannya itu.
"Di sekolah kalian digosipkan menikah, kau dan Jingga cukup terkenal pasangan kekasih. Gadis -gadis patah hati saat tahu Jingga gadis beruntung yang menjadi pasanganmu. Kami pikir kau membawa Jingga ke Jakarta." ucap Imelda.
"Hahaha gosip itu berlebihan, aku tidak membawanya." Lirih Elesh.
"Tapi ... ada juga kabar yang tidak menyenangkan mengenai Jingga."ujar Imelda lagi, mencoba mengingat tentang pasangan yang dianggap Dewa dan dewi di sekolah dulu. Wajah Elesh seketika pucat, penuh penasaran.
"Tidak menyenangkan seperti apa?” Elesh menajamkan telinganya.
"Ada orang tua teman sekelas melihat Jingga dan kedua orang tuanya pergi ke rumah dukun beranak. Gosip kembali menyebar kalau Jingga hamil dan pergi ke rumah dukun untuk menggugurkannya." Imelda mengelus perutnya yang besar.
Gosip mengenai Jingga sangat populer saat itu. Dari mulut ke mulut, Imelda penasaran teman sebangkunya tidak lagi masuk sekolah. Imelda pergi ke rumah Jingga dan mendapati rumah itu kosong, tergembok. Sejak hari itu Imelda tidak lagi tahu tentang Jingga hingga saat ini.
"Tapi aku yakin, kabar buruk itu tidak benar." ucap Imelda menipiskan bibir. Jingga gadis baik-baik dan berpacaran dengan pria baik. Pria yang tepat di hadapannya saat ini.
Imelda melihat wajah pias Elesh. Pelayan menyajikan pesanan mereka, lalu mereka menikmatinya. Imelda tampak menikmati menu pilihan Elesh memang yang terbaik. Sementara Elesh, selera makannya seketika hilang. Pikirannya melayang pada Jingga yang entah dimana berada.
.......
Hari ini wanita bermata biru mulai bekerja di sebuah Restoran siap saji. Rambutnya diikat tinggi dan mengijinkan poni menutup luka di dahi.
Seragamnya sedikit kebesaran di tubuh kurus nya. Kakinya mengenakan sepatu septi, berat untuk melangkah tapi itu peraturan Restoran tempatnya bekerja. Jingga si mata biru mulai membersihkan lantai dengan alat kebersihan.
Peluh mulai membanjiri kening Restoran cukup ramai, terutama pada jam makan siang.
"Jingga," seseorang menghentikannya mengepel lantai, ia menoleh pada seorang pria berpakaian rapi dengan dasi bertengger di leher memanggil dari tempatnya berdiri. Jingga buru-buru menghampiri, manajer Restoran memanggilnya.
"Iya pak," Sahutnya dengan sikap ramah.
"Bagian pencuci peralatan butuh bantuan, tolong dibantu, ya." Pria berkulit hitam manis bertanya dengan ramah. Jingga mengangguk.
"Baik, pak." Katanya, lalu membawa peralatannya masuk ke bagian dapur. Disana Jingga melihat seorang perempuan paruh baya tampak kewalahan mencuci peralatan makan. Ia seorang diri, teman kerjanya mengambil cuti pulang kampung.
"Terima kasih, apa pak Leo memintamu kesini?" Perempuan itu bertanya dengan nada ramah. Jingga mengangguk sopan dan langsung mengambil alih. Perempuan paruh baya bernapas lega ada membantunya.
"Namaku Rima," katanya di sela-sela membilas piring.
"Jingga," Si Mata biru membalas ramah. Mereka saling bersitatap dan kemudian tersenyum.
“Bola matamu sangat Indah,” Puji Rima.
“Terima kasih,”
"Pekerjaan ini melelahkan tapi percayalah ini lebih baik daripada mengemis di jalanan." Rima cukup ramah, sembari bekerja ia menceritakan kisahnya.
Rima orang yang terbuka dan Jingga menjadi pendengar yang baik. Rima mengatakan jika dirinya orang tua tunggal untuk putra putrinya.
Suaminya menikah lagi, ia tidak ingin dimadu dan mengambil sikap tegas untuk bercerai. Tiba-tiba Jingga berhenti dari pekerjaanya, ia memperhatikan Rima.
Jingga memuji keberanian Rima mengambil keputusan. Lalu membandingan dengan dirinya sendiri. Selama ini Amos tidak pernah memberinya kesempatan untuk lepas. Amos sengaja membuatnya jadi wanita patuh.