10 Tahun yang lalu

1537 Words
10 Tahun yang lalu ... Elesh Altair, murid baru dari Jakarta. Tinggi tubuhnya 185 cm di usia delapan belas tahun. Hari pertama menginjakkan kaki di sekolah baru. Pria remaja ini sangat murung. Tidak senang tinggal di desa apalagi harus melanjutkan sekolah di tempat ini. Elesh satu-satunya cucu dari pemilik perkebunan sawit di desa itu. Sang Nenek memohon pada Renatha, Ibunya. Setidaknya sampai wanita tua itu meninggal. Ia ingin cucunya berada di dekatnya. Pesona Elesh sebagai anak kota menjadi sorotan di satu sekolah. Pria remaja berkulit putih bersih mendadak terkenal dan menjadi perbincangan terutama di kalangan gadis remaja. Elesh seperti biasa, sikap angkuh dan tidak peduli toh dia sudah terbiasa di kagumi para hawa. Elesh yang tengah melintas ke perpustakaan mendengar alunan melodi indah dari sebuah violin. Elesh menghampiri sumber suara dan melihat dua gadis berada dalam ruang kesenian. Satu duduk di meja sebagai penonton sembari memejam. Sementara gadis berambut panjang terlepas memainkan irama dengan biolanya. MY HEART WILL GO ON lagu yang dimainkan terdengar sangat indah, membuat Elesh terpesona. Setidaknya suasana hati Elesh yang buruk berubah menjadi tenang lewat permainan violin gadis itu. Elesh juga suka bermain Violin bahkan mahir memainkannya. Di Jakarta ia sering mengikuti audisi. Cita-cita pria itu ingin jadi pemain Violin terkenal. Elesh tersenyum, menikmati alunan musik yang dimainkan lewat Biola itu. Jari jemari gadis itu menari lincah menggesek senar biola di pundaknya. Menghayati tiap nada yang ia mainkan. Elesh bertepuk tangan, setelah lagu selesai dimainkan. Kedua gadis itu menoleh ke arah pintu dimana Elesh berdiri. "Kau sangat terlatih memainkanya," puji Elesh seraya menghampiri, yang memainkan violin tersenyum malu. Sementara gadis yang satu tampak kegirangan. Tidak disangka pria yang sering dibicarakan para gadis remaja di sekolah itu, datang menghampiri mereka disaat yang lain hanya bisa curi pandang. "Itu dia kakak kelas tampan, pindahan dari Jakarta." Bisik gadis itu pada pemain violin. "Boleh aku pinjam?" Elesh mengulurkan tangan, gadis itu menyerahkan biola padanya. Elesh terkejut, saat melihat bola mata gadis di depanya. Biru bercahaya. Sebelumnya Elesh belum pernah melihat mata indah seperti itu sekalipun dirinya tinggal di ibu kota. Elesh menelan ludah, ia.mengagumi netra itu. Gadis remaja menunduk. Mata indah kembali tertutup poni. Untuk pertama kali, jantung Elesh berdegup kencang melihat seorang gadis. Elesh mulai memainkan biolanya. DEALOVA lagu yang ia mainkan. Elesh menatap gadis bermata biru, sembari memainkan biolanya. Mahir, seperti pemain Violin sungguhan. .... Kau seperti nyanyian dalam hatiku Yang memanggil rinduku padamu Seperti udara yang kuhela kau selalu ada. .... Tatapan Elesh membuat gadis bermata biru tersipu, berulang kali memalingkan wajah dan menjadi salah tingkah saat tatapan mereka bertemu. Entah kenapa lagu itu seolah ditujukan padanya. Lagu berakhir dengan indah lewat Dawai yang dimainkan Elesh. Teman pemilik netra biru bertepuk tangan riang sementara dirinya tersenyum dengan wajah pucat. "Kakak hebat," Puji Imelda, mengacungkan dua jempol. "Tapi tidak sehebat dia," Elesh merendah. mengulurkan tangan, sontak gadis bermata biru mundur selangkah. Ekspresi bingung menatap pria di depannya. Dahi Elesh berkerut, tangannya yang terabai perlahan di tarik tapi, sebelum itu terjadi Imelda segera meraih tangan Elesh. "Imelda," ucap Imelda mengenalkan diri. "Elesh Altair," Elesh tersenyum ke arah Imelda, lalu kembali mengulurkan tangan pada gadis bermata biru. "Jingga Nirwana." ucap Jingga menerima tangan itu. Tangan mungil terasa dingin dan gemetar dalam genggaman Elesh. Cukup lama berjabat tangan, pria itu terpukau pada bola mata Jingga. Gadis berusia tujuh belas tahun bolak balik menunduk, malu ditatap Elesh. "Kak," gumam Jingga, menarik tangannya pelan. "Ah, maaf." Elesh melepas tangan gadis itu. "Warna manik netramu sangat indah. Keturunan bule?" Tanya Elesh, Jingga menggeleng, tersipu. "Sangat indah," ujar Elesh mengagumi. Imelda tampak cemberut. Pria itu hanya menatap Jingga, seolah dirinya tak terlihat di ruangan itu. Bel sekolah berbunyi, pertanda jam istirahat selesai. Jingga dan Imelda segera berpamitan. "Kami ke kelas dulu, kak." Ucap Jingga, ia menarik tangan Imelda. "Kelas berapa?" tanya Elesh sebelum dua gadis itu benar-benar keluar dari pintu. "Kelas dua kak," sahut Imelda, tangannya ditarik cepat oleh Jingga. Elesh tersenyum melihat sikap malu-malu Jingga hingga menyadari kalau Biola Jingga masih ada di tangannya. Elesh malah terkekeh, " dia sangat manis, jantungku berdebar." gumam pria itu, menyentuh dadanya. Pertemuan itu adalah awal mereka berkenalan. "Jingga, dia sangat tampan." Bisik Imelda saat pelajaran berlangsung. "Siapa?" "Kakak kelas tadi," "Begitu, ya." "Dih ... kau ini. Sepertinya dia suka kamu." "Tidak mungkin. Banyak gadis cantik di kota sana." "Aku yakin, Jingga. Cara dia menatapmu sangat indah." "Ssstt ...." Jingga menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Saat jam pelajaran berlangsung. Elesh mengetuk pintu kelas dua dimana Jingga berada. Menghentikan guru yang sedang mengajar. "Masuk!" Langkah kaki panjang Elesh melangkah masuk lebih dalam ke ruangan. Menciptakan kelas seketika jadi riuh. Gadis-gadis kegirangan melihat idola dadakan di sekolah itu. Gadis remaja saling berbisik, sementara para pria berdecak merasa tersaingi. "Siang, Bu." sapa Elesh pada guru yang mengajar. "Ada apa?" Elesh mencari keberadaan Jingga, ternyata ada di meja ketiga dari depan. Pria itu mengulas senyum manis melihat ke arah Jingga. Imelda membalas senyumnya sementara Jingga menutup wajah dengan buku, jantungnya berdebar. "Saya mau mengembalikan ini pada gadis cantik itu," kata Elesh melihat ke arah Jingga sembari mengangkat tinggi Biola di tangannya. Semua mata murid di kelas itu mengikuti tatapan Elesh pada Jingga Nirwana. "Uuuh ...." Sorak satu kelas. Gadis seisi ruangan mengeluh, pria ini sepertinya menyukai gadis bermata biru yang selalu mendapat perhatian dari para pria remaja. Jingga malu-malu keluar dari tempat duduknya, rona memenuhi wajahnya yang pucat. Maju kedepan dan mengambil benda itu dari tangan Elesh. "Terima kasih, kak." lirih Jingga dan begitu cepat kembali ke tempat duduknya. "Ada nomor teleponku di sana, telpon ya." ujar Elesh kembali membuat seisi kelas ribut. "Ooooo .... suit, suit ...." "Kau berani menggodanya di hadapanku, anak kota?" guru melempar sisa kapur mengenai kepala Elesh. "Pergi sana." menahan senyum sok jadi guru killer. "Baik, Bu. Permisi." Elesh berjalan mundur meninggalkan ruangan sembari menatap Jingga yang menunduk malu di tempatnya. "Tutup pintunya!" "Siap, Bu." Elesh menutup pintu dan menyentuh dadanya yang berdetak kencang. "Dia milikku." gumamnya, melangkah menjauh dari ruangan itu. "Kembali fokus, lanjutkan pelajarannya." Kata Guru. Suasana kelas kembali hening. Jingga melihat kertas kecil menempel di belakang Biola miliknya. Nomor ponsel dengan tulisan PLEASE CALL ME. Gadis bermata biru tersenyum kilat, melepas kertas dan menyimpannya dalam saku kemejanya. "Coba lihat." gumam Imelda. Jingga segera menggeleng, membuat Imelda mencebik. Di Malam hari Elesh menunggu Jingga menelpon, duduk di lantai sambil bermain PS. Tidak konsen, bolak balik mengintip gawai miliknya. Elesh sangat berharap Jingga menelpon atau mengirim pesan. Sayangnya harapan itu hanya semu. ..... "Hai Jingga," Elesh menghampiri Jingga yang tengah bermain Biola di ruang kesenian. "Berikan ponselmu," Elesh tahu, gadis ini tidak akan menelpon. Gengsi, begitulah pihak hawa. "Aku tidak punya ponsel, kak." Elesh mengerutkan dahi. Alasan, pikirnya. "Kalau begitu nomor telepon rumah," "Itu juga tidak ada," "Jangan bohong." "Aku tidak bohong, kak." Menunduk. Elesh berdecak, tahun berapa ini hingga telepon rumah saja tidak punya. "Permisi, aku mau ke kelas." Jingga berniat meninggalkan Elesh namun, tangannya tertangkap pria itu. Menariknya, menghapus jarak di antara mereka. Jingga mendongak, merasakan tangan Elesh berada di pinggangnya. Elesh menjatuhkan tatapannya pada Jingga. Menikmati manik indah yang menatapnya dengan malu. Tatapan pria jangkung turun pada bibir tipis. Jakun di lehernya naik turun melihat bibir seksi merah muda, sangat menggoda minta dicium. Jingga gemetar dalam rangkulan Elesh, degup jantung berkejaran di dalam d**a. "Siapa bilang kau boleh pergi." kata Elesh, tersenyum. Elesh menunduk berbisik tepat satu inci di bibir tipis Jingga. "Jangan berikan ciuman pertamamu pada pria lain. Hanya aku yang berhak atas bibir ini." Jemari panjang menyentuh bibir Jingga. Pemilik bibir membeliak, ini yang pertama baginya. Seseorang berani menyentuh bibirnya walau hanya dengan jemari. Elesh mengambil tangan Jingga lalu meletakkan Gawai di tangan kecil itu. "Jadi tidak ada alasan menghindar dariku," ujarnya, menaikkan kedua alis tebal. "Jangan angkat panggilan dari siapapun kecuali yang bernama Nenek." Tambahnya. Ia menarik nafas, sekaligus memejam. Sesuatu terjadi pada dirinya, bunyi jantungnya sampai ke telinganya. Tidak ingin Jingga mendengar itu, lantas Elesh segera pergi meninggalkan seorang gadis dengan tatapan tidak percaya. Jingga menyentuh bibirnya, masih sangat terasa sentuhan Elesh disana Apa dia bilang? Hanya dia yang berhak atas bibirku? Wah anak kota ini! Beraninya dia! Kesal tapi sekelebat senyum kilat terlihat di bibirnya. Menyimpan ponsel di saku bajunya, kembali memainkan Biola. Lagu yang dimainkan KANGEN dari Dewa Band favoritnya. ..... Jingga mengerjakan tugas sekolah di atas ranjang. Sesekali melirik benda yang diletakkan diatas meja dalam kamar itu. Astaga apa aku berharap? Cih. Kembali fokus mengerjakan tugas, tidak lama kemudian benda itu berbunyi. Jingga spontan melompat dari tempat tidur dan langsung menekan tombol jawab. "Apa yang aku lakukan? Bodoh!" Menelan kata-katanya sendiri. Entah apa yang di pikirkan Elesh saat ibu jarinya begitu cepat menekan tombol terima. Seolah dirinya mendamba telpon dari Elesh. "Halo Jingga," merdu. Jingga diam, kehilangan kata-kata Hanya menatap benda di tangan. Di layar gawai tertulis nama Nenek. Sudah pasti pria ini menelepon lewat ponsel Neneknya. "Jingga," kembali menyapa. "I-iya kak," gugup, beralih ke tepi ranjang. Duduk sembari menekan d**a. Jantungnya bersikap kurang ajar, meronta padahal ia hanya bicara lewat udara. "Keluar, aku ada di depan rumah kamu," "Apa?" Sontak berdiri, membeliak. Berlari ke arah jendela mengintip dari gorden. Tiba-tiba Elesh terbahak, menyakiti telinga. Jingga mencebik, benar dia sangat berharap bukan? "Wajahmu pasti merah," "Bercandanya tidak lucu. " Gumam Jingga. "Aku memang ada di depan rumah kamu." "Jangan bercanda, kak." "Beneran." Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD