Pertemuan mengejutkan

1581 Words
Apa yang akan ia lakukan? Berdiri di depan rumah wanita itu? Mengetuk pintu lalu menunjukkan dirinya. Mengatakan, aku merindukanmu, Jingga. Itukah yang akan ia katakan? Elesh memutuskan mengemudikan mobilnya ke alamat Jingga, setidaknya ia harus memastikan wanita itu adalah Jingga. Jaguar putih miliknya memasuki gang yang hanya bisa dilalui satu mobil. Panjang, dan banyak polisi tidur. Beberapa kali mobilnya harus menepi saat pemotor dari arah berlawanan melewati. Membelok, mencari blok H, No 270. Elesh memarkirkan mobilnya di samping lapangan bulu tangkis. Ia memilih berjalan kaki menyusuri Gang itu. Rumah tanpa pagar berwarna orange tua. Rumah itu menjadi tujuannya. Sepi dan tertutup.Lama ia menatap rumah itu, penuh keraguan untuk melangkah mendekati. "Permisi, apa anda mencari seseorang?" Pria paruh baya mengenakan kopiah lengkap dengan sorban di leher menyapa. Sepertinya pria ini akan berangkat ke Masjid untuk melakukan sholat Magrib. “Oh, a ... benarkan ini rumah Jingga Nirwana?” Elesh, terbata-bata ia seperti pencuri yang tertangkap basah. "Jingga?" Tampak berpikir, mengingat sesuatu. "Ya, aku rasa begitu. Jingga istri dari Pak Amos." Jadi kau seorang istri sekarang? Membatin, menoleh kembali ke rumah itu. "Baiklah, aku hanya ingin tahu." "Apa sesuatu terjadi?" “Tidak,” "Anda bisa langsung mengetuk pintunya. Saya permisi, pak." Ujar pria itu kemudian meninggalkan Elesh masih berdiri disana. Elesh kembali mengamati rumah itu, Ia tidak punya keberanian mengetuk terlebih mengetahui Jingga bukan lagi seorang diri. Elesh memutuskan meninggalkan tempat itu dan berpapasan dengan Amos yang mengendarai motor bututnya. ..... "Aldebaran," panggil Jingga setelah sadar. Aldebaran langsung menghampiri begitu melihat Ibunya terbangun. Sudah satu jam ia menunggu duduk di ruangan Hagena. "Mama," Menggenggam tangan Ibunya erat. Rasa cemas dan takut menyatu jadi satu. Aldebaran hanya memiliki Jingga dalam hidupnya. Entah bagaimana hidupnya jika wanita ini tiada. Mengingat kepedihan hidup seolah menyatu erat pada mereka. Aldebaran tiba-tiba menangis tanpa suara. Jingga segera mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. "Sayang jangan menangis. Mama tidak apa-apa." Jingga menyapu bening yang keluar dari sudut mata putranya. Mengecupi pipi pria kecilnya. “Mama, aku sangat takut.” lirihnya. “Jangan takut, mama disini. Maafin mama sudah membuatmu takut sayang.” “Al, takut mama ….” Jingga segera memeluk kepala putranya erat. “Ssstt, jangan takut. Mama janji hal seperti ini tidak akan terjadi lagi.” gumam Jingga menyakinkan Aldebarn. Tidak lama kemudian Hagena masuk kedalam ruangan membawakan satu botol air mineral dan jus alpukat. "Kau sudah bangun?" Jingga mengangguk, turun dari bangsal. Pria kecil menggenggam erat tangan sang ibu seolah enggan terpisah. Jingga duduk berhadapan dengan Hagena sementara Aldebaran tetap berdiri di samping Ibunya tanpa melepas genggaman tangannya. Hagena menatap Aldebaran, sedari tadi tertunduk menunjukkan raut sedih. Pria ini sangat mencemaskan Ibunya yang sempat berada di dunia gelap. "Untukmu pria tampan,” Hagena memberikan Jus alpukat pada Aldebaran. Meletakkan di meja. "Terima kasih," lirihnya, tapi tak berniat menyentuh jus itu. Hagena menyipit dalam, "Ibumu sudah tidak apa-apa. Jangan khawatir." ujar Hagena, Aldebaran tersenyum simpul lalu kembali pada wajah sedihnya. "Maafkan mama sudah membuatmu cemas." Mengusap lembut pucuk kepala, mendaratkan ciuman yang panjang. “Oh ya, dokter. Ibu yang bersamaku tadi ada dimana ya?” Tanya Jingga. “Beliau sudah pulang, sepertinya ada hal mendadak. Beliau meninggalkan nomor ponselnya,”ujar Hagena memberikan kertas kecil yang dititipkan Rima padanya. Jingga menerimanya, ia merasa bersalah sekaligus kebingungan. Ia telah merepotkan Rima orang yang baru dikenal. Dan juga kebingungan, akan kemana mereka pergi malam ini, tadinya Jingga sangat berharap tinggal bersama Rima. "Jangan khawatir, Ibu Rima sudah menceritakan kalau kau dikeluarkan dari Restoran itu." Hagena, menyerahkan sebotol air mineral untuk Jingga. Wajah Jingga pias, kesedihan yang ia alami harus di ketahui orang banyak. Dokter Hagena prihatin. Hagena melihat Aldebaran yang setia berdiri di samping Ibunya. Jus yang ia berikan belum disentuh pria kecil itu. "Hei pria tampan, siapa namamu." sapa Hagena dengan wajah lembutnya. "Aldebaran." Nada kecil tanpa melihat. "Nama yang bagus. Kau tahu kalau namamu itu salah satu nama bintang yang paling bercahaya di langit?" Aldebaran menggeleng lemah. "Kalau begitu, minumlah jus mu, nanti akan aku jelaskan." ucap Hagena, Aldebaran malu-malu mengambil Jus di atas meja dan membawanya ke bangku panjang yang ada di ruangan itu. "Putramu sangat tampan wajahnya sepertinya tidak asing bagiku." ucap Hagena, meluruhkan pandangannya pada Aldebaran. Wajah itu seperti ia pernah lihat pada wajah seseorang. Jingga tersenyum pahit, setiap kali melihat wajah putranya ia membenci wajah itu. Pria kecil ini diwarisi kental wajah ayahnya. Pria b******n yang menciptakan masa depannya suram. "Dia mirip kakeknya," bohong Jingga. Hagena tersenyum mengamati penampilan Aldebaran yang menikmati Jus alpukatnya di bangku panjang yang ada di ruangan itu. Ia kemudian melihat Jingga. "Jadi kau tidak akan melaporkan suamimu?" Tanya Hagena, memperhatikan bekas tamparan di pipi Jingga dan lebam di sudut bibir kiri. "Aku belum terpikirkan kesana, dokter." Jingga menunduk. "Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur, tapi hatiku sakit saat melihat seorang wanita diperlakukan buruk terlebih oleh pasangan sendiri. Suami untuk melindungi bukan menyakiti." Bicara serius. Jingga menghela nafas panjang. "Terima kasih dokter, aku akan pikirkan lagi.” ucapnya. "Kalian akan pulang ke rumah?" "Hanya rumah itu tempat kami pulang, dokter," "Sekalipun ada monster disana?" "Aku sudah bia—" "Jahitan lukamu kalau tidak cepat-cepat ditangani pasti akan infeksi." menyela cepat. Tanpa diminta air mata Jingga kini berurai. "Lalu kemana aku membawa putraku, jalanan bukan tempat yang tepat untuknya." kesedihan makin dalam di rautnya. Hagena memperhatikan Aldebaran yang sedang duduk menikmati jus alpukatnya. Cara pria kecil itu duduk dengan tubuh tegap, menatap lurus kedepan sangat keren. Tampak seperti pria dewasa cool di drama-drama, ia tersenyum melihatnya. "Kau mau bekerja di rumah? Asisten rumah tangga." tanya Hagena. "Aku membawa seorang putra, apa ada yang mau menerima keberadaan kami?" "Tidak lama lagi aku akan melahirkan, jika kau mau bekerjalah di rumahku." Jingga mengangkat wajah melihat Hagena. Merasa senang tapi hanya hitungan menit. Rautnya kembali sedih, teringat saat diperlakukan buruk oleh Bos nya dulu. Jingga pernah mencoba bekerja sebagai tukang cuci secara diam-diam tanpa Amos ketahui, tapi naas baginya. Ia di rayu tuan rumah dan berakhir dengan tamparan keras dari sang Nyonya. Jingga tidak ingin mengalami hal yang sama. Hening Jingga memikirkan kembali nasib nya dan putrnya. Ia melirik putranya dari ekor mata, pulang ke rumah Amos, hanya akan menggali kuburan untuknya. Jingga kembali melihat Hagena, tawaran itu akhirnya diterima. Mencoba lagi tidak masalah bukan? "Aku akan bekerja dengan sangat baik dokter." Ucapnya, setuju. "Baiklah, aku akan telpon suamiku supaya datang menjemput. Sepertinya aku tidak akan kuat menyetir." Hagena mengeluarkan ponselnya, lalu menekan nomor Elesh.Tidak lama Elesh menjawab. “Sudah pulang?” Tanya Hagena, “Ini masih di jalan.” Jawab Elesh sembari mengemudi. “Aku sudah mendapatkan pekerja untuk rumah dan saat ini mereka ada disini. Tolong jemput.” "Baiklah, saya akan jemput sekalian pulang." Mematikan sambungan, dan melajukan mobilnya ke klinik Hagena. Jingga menggenggam tangan kecil Aldebaran. Menenangkan, hangat dan nyaman. Mereka duduk berdampingan sembari menunggu kedatangan suami sang dokter. "Kau sudah mengantuk?" tanya Jingga, melingkarkan lengan di leher putranya. Aldebaran menggeleng, seraya tersenyum. "Bersabarlah, kita akan tinggal di tempat nyaman." "Bagaimana dengan sekolahku, Ma?" "Sekolahmu?" "Pria jahat akan mencariku ke sana," menunduk takut. Jingga melepas rangkulannya, lalu mengambil kedua sisi wajah putranya. Menatapnya dengan hangat. "Libur masih ada tiga hari, bukan? Nanti Mama akan urus surat pindah mu, kita cari sekolah di dekat rumah dokter." "Mmm baiklah," gumam Aldebaran. Terdengar ketukan dari luar bersamaan pintu terbuka. "Kau sudah datang?" Hagena menoleh ke arah pintu masuk. Merapikan barang miliknya yang ada di atas meja mengakhiri pekerjaannya. Suaminya telah tiba. Sebelah kaki panjang Elesh masuk mendahului, lalu disusul tubuh jangkungnya. Jingga dan Aldebaran berdiri untuk menyapa. "Selamat malam, Tuan." sapa Jingga, mengangkat kepala tepat saat pria itu menoleh padanya. "Malam ju...." spontan terdiam, menggantungkan ucapannya. Menelan saliva begitu kuat. Berdiri mematung dengan tatapan tidak percaya. Wanita yang ia cari selama ini ada di hadapannya. Berdiri, menyapanya dengan suara lembut. Suara yang ia rindukan selama ini, memanggilnya TUAN. Bukan hanya dia yang dalam keadaan tersesat. Membisu, mematung dan saling menatap tidak percaya. Jingga juga turut terkejut. Pria yang menciptakan penderitaan baginya, berdiri di hadapannya. Begitu sempurna, begitu gagah. Berkarisma penuh pesona. Sukses, setidaknya penampilan pria itu sangat menjelaskan. Lalu dirinya? Terpuruk, menyedihkan. Bodoh! Mengorbankan dirinya pada pria b******k seperti Amos. Hidup dalam tekanan batin dan fisik tersiksa. Kejam? Tentu! Hidup memang tidak adil, sungguh menyakitkan. Wanita mungil menekan gigi dengan kejam ke bibir bawah. Mengepal tangan erat. Pertahanannya hampir rubuh, kakinya tidak kuat berdiri. Begitu mengejutkan. pertemuan tidak terduga dengan pria yang ia benci. Dadanya sesak, melihat pria ini. Hidup dengan bahagia. Berbanding terbalik dengannya. Tangannya menopang pada pundak putranya. Pria kecil mendongak menatap ibunya yang bersikap aneh. Hagena menyaksikan situasi itu dari tempat duduknya. Melihat dua orang saling menatap dan diam. Sorot mata keduanya terkejut, mulut terkunci begitu rapat. Hagena bingung sekaligus khawatir. Apa ada yang salah? Begitu isi pikiran wanita hamil itu. Mata pria jangkung beralih pada pria kecil. Anak ini, menipiskan bibir membentuk lesung pipit di pipi memberi rasa hormatnya pada Elesh. Jantung Elesh meledak seperti dipukul menatap pria kecil. Senyum, lesung pipit, hidung mancung, serta wajah. Semua itu milik pria jangkung. Seperti melihat diri dalam cermin. Hanya satu yang berbeda, tatapannya milik Jingga. Sangat hangat. Melihat putranya ditatap lama oleh Elesh, spontan Jingga memutar tubuh Aldebaran. Memeluk putranya dengan sangat kuat. Alarm di kepalanya berbunyi memperingatkan supaya pria itu tidak melihat wajah Aldebaran. Hagena menutup mulut melihat reaksi Jingga. Sejak awal melihat pria kecil, Hagena sudah menyadari wajah itu tidak asing baginya. Hagena tidak tahu harus bereaksi seperti apa melihat dua manusia yang masih saling tatap. “Apa sebenarnya yang terjadi di antara dua orang ini?” lagi-lagi pertanyaan timbul di pikirannya. "Jingga ...." Elesh menyebut nama itu pelan. Ingatanya membawanya pergi ke masa lalu. Tepat sepuluh tahun yang lalu. . . . . Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD