"Apa sekarang masih sakit, Sayang?" tanya Bu Silia setelah mengompres pipi Yasmin dengan Air hangat.
Ya, setelah sampai di kediaman megahnya. Bu Silia langsung mendudukkan putri kecilnya di kursi ruang tamu, terlihat Bu Silia masih khawatir akan bekas tamparan yang berada di pipi Yasmin.
Dengan tidak sabaran Bu Silia memanggil asisten rumah tangganya, untuk mengambilkan air hangat dan handuk kecil.
"Bik! Bibik! Cepat kemari, Bik!" teriak Bu Silia menggema di ruang tamu.
"Iya, Nyonya. Ada yang bisa saya kerjakan?" tanya Bik Ratih sopan.
"Cepat ambilkan air hangat, dan handuk kecil. Ambil handuk baru itu di lemari, cepat!" perintah Bu Silia, dengan pandangan masih mengarah ke arah wajah putrinya.
Sebetulnya Yasmin sudah tidak apa-apa, hanya Bu Silia yang terlalu khawatir. Hingga membuat gadis mungil itu terkekeh menggemaskan.
"Ma! Yasmin sudah tidak apa-apa, Mama jangan khawatir lagi, ya," ucap Yasmin, dengan menggenggam telapak tangan Bu Silia.
"Apanya yang tidak apa-apa, Sayang. Ini sudah lebam, pipimu juga masih merah."
"Mama menyesal, Sayang. Maafkan, Mama," sesal Bu Silia.
Saat Bu Silia dan Yasmin tengah berbincang, Pak Baron sengaja pulang lebih awal dikejutkan dengan kondisi wajah putrinya yang lebam.
"Sayang! Pipi kamu kenapa? Siapa yang berani menampar pipimu, hem?" tanya Pak Baron lembut, tapi tersirat nada kemarahan di dalamnya.
Yasmin yang mendengar pertanyaan sang papa hanya bisa terdiam, lalu netranya mengarah ke arah sang mama. Karena ia yakin, sang papa pasti marah jika ada yang berani menyakiti dirinya salah satunya mamanya sendiri.
"Katakan, Sayang? Jangan takut, nanti Papa akan membalas siapa pun yang berani menyakitimu, Sayang?" tanya Pak Baron beruntun, karena ia tidak terima jika belahan hatinya dilukai orang lain.
"Aku yang menamparnya, Pa," gumam Bu Silia dengan nada bergetar, ia masih merasa bersalah karena telah melukai belahannya sendiri sekaligus takut akan kemarahan suaminya.
"Kamu! Kamu menampar putri kita, Silia?!"
"Kenapa kamu menamparnya, hah! Kenapa kamu melakukan kekerasan pada putriku!" bentak Pak Baron diliputi kemarahan.
"Tapi ... aku tidak sengaja melakukannya, Pa. Yasmin sendiri mengorbankan dirinya hingga terkena tamparan keras dariku, karena di taman tadi aku melihat ada anak berpakaian SMP berada di sekitaran Yasmin. Kupikir anak SMP itu yang menyakiti putri kita," jelas Bu Silia dengan membela diri.
"Iya, Pa. Mama tidak bersalah, Yasmin tang salah. Papa jangan marahin Mama lagi, ya," sambung Yasmin, dan memeluk Pak Baron dari depan.
Pak Baron yang mendengar penjelasan, dari Bu Silia dan juga Yasmin. Mulai sedikit menurunkan emosinya, ia pun berjongkok lalu membawa tubuh Yasmin dalam pelukannya.
"Papa tidak mau kamu terluka, Sayang. Cukup saat jantung kamu kambuh, karena Papa tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu. Kamu adalah mutiara yang berharga bagi Papa, dan Papa hanya ingin melihatmu bahagia."
"Tanpa ada luka, atau pun kesakitan yang kamu rasakan di tubuh mungilmu ini," jelas Pak Baron dengan mata yang berkaca-kaca, seraya memeluk Yasmin.
"Yasmin janji tidak akan membuat Papa sedih, karena Yasmin tidak suka melihat Papa menangis," ucap Yasmin setelah Pak Baron melepaskan pelukannya, dan mengelap air mata yang mulai membasahi pipi Pak Baron.
"Maafkan aku, Pa. Sungguh aku tidak berniat menyakiti Yasmin, semua terjadi tiba-tiba, hiks," sesal Bu Silia, ia masih merasa butuh menjelaskan agar suaminya tidak salah paham dan memarahinya.
"Sudahlah, jangan merasa bersalah lagi. Aku yakin kamu tidak akan tega menyakiti permata kita. Kemarilah, Sayang," panggil Pak Baron lembut, seraya merentangkan kedua tangannya.
Pak Baron pun memeluk dua wanita yang ia cintai, ia begitu bahagia karena memiliki mereka berdua.
"Nyonya, ini handuk serta air hangatnya," ucap Bik Ratih, sedikit tidak enak mengganggu momen haru Pak Baron, Bu Silia dan Yasmin.
"Oh ... taruh di meja saja, Bik." jawab Bu Silia setelah melerai pelukannya dengan sang suami, dan juga putrinya.
Dengan patuh Bik Ratih menaruh di meja, setelah itu ia pergi ke belakang kembali melakukan pekerjaannya.
"Sini Sayang, biar Mama kompres dulu pipinya," panggil Bu Silia lembut, setelah itu mendudukkan Yasmin di kursi.
Pak Baron hanya memperhatikan istrinya, ia sedikit menyesali karena telah membentak Bu Silia. Namun, semua karena rasa sayangnya pada Yasmin yang terlalu besar, hingga ia tidak mau siapa pun menyakiti putri kecilnya.
"Sayang! Ceritakan sama Papa, sebenarnya apa yang terjadi tadi. Hingga Mama marah, dan Mama tiba-tiba menamparmu?" tanya Pak Baron lembut, di samping Yasmin.
Karena Yasmin hanya terdiam, Bu Silia pun menceritakan kenapa ia bisa menampar putrinya.
"Saat Mama dan supir sampai di sekolah, tepat jam sekolah usai. Mama tidak menemukan Yasmin di area sekolah. Mama sudah ketakutan saat Yasmin tidak ditemukan."
"Mama terus mencari, hingga sampai di area taman dekat sekolah. Akhirnya di taman, Mama menemukan Yasmin bersama remaja berpakaian SMP."
"Yang membuat Mama marah saat itu karena Mama melihat di pipi Yasmin sudah ada bekas telapak tangan, dan merah. Mama yakin Yasmin habis di tampar seseorang, dan Mama pikir itu perbuatan anak SMP itu. Namun, dugaan Mama salah. Ternyata, anak SMP itu malah melindungi Yasmin," jelas Bu Silia, menceritakan kronologi apa yang terjadi pada Yasmin.
"Apa benar seperti itu, Sayang? Jelaskan, siapa yang telah melukai pipimu sebelumnya?" tanya Pak Baron dengan tidak sabarannya.
"Ada beberapa Paman berpakaian hitam, dan banyak gambar di tubuhnya. Tiba-tiba datang, dan meminta japit kado dari Kak Will, Pa. Yasmin sedih, saat mereka mengambil japit kupu-kupu itu," jelas Yasmin, seraya menunduk sedih saat ia teringat kado pemberian Damian yang telah di ambil para preman.
"Terus kenapa, pipimu hingga terluka?" tanya Pak Baron, yang mulai dipenuhi amarah. Ia pun hanya bisa menahan kemarahannya, karena ia tidak bisa membalas siapa yang berani menyakiti putrinya.
"Karena Yasmin melindungi Kak Will, sebab Kak Will terus saja dipukul mereka. Kasihan Kak Will, Pa. Mulutnya berdarah," jelas Yasmin dengan nada polosnya.
"Mulai sekarang, jangan pernah pergi sendirian tanpa pengawasan Mama dan supir, ya, Sayang. Papa tidak mau hal seperti ini terulang kembali, Papa tidak mau kamu terluka lagi," nasehat Pak Baron lembut, tapi tegas.
''Baik, Pa," patuh Yasmin.
"Gadis pintar, sekarang Papa mau ke atas ganti pakaian. Setelah ini kita makan siang bersama, ya," pamit Pak Baron seraya berdiri, sebelum pergi ia mengecup puncak kepala Yasmin penuh sayang.
***
Setelah tidak ada kesalahpahaman lagi, terlihat di keluarga Admaja makan siang itu terlihat begitu hangat dan penuh ceria seperti biasanya. Berbeda dengan suasana hati Damian, yang berada di dalam kamarnya.
Sedari pulang sekolah tadi, tepatnya pulang dari taman. Damian terlihat murung, hatinya masih gelisah dan terus memikirkan keadaan Yasmin.
'Bagaimana keadaan dia sekarang? Apa keadaan pipinya yang terkena tamparan dua kali itu, sekarang baik-baik saja? Atau malah bengkak, karena dua tamparan tadi sangatlah keras,' monolog Damian, dan terus kepikiran keadaan Yasmin.
'Apa lebih baik aku melihat keadaannya, tapi bagaimana caranya aku melihatnya. Sedangkan aku tidak tahu di mana alamat rumahnya, bahkan nama gadis kecil itu aku tidak tahu,' batin Damian bingung.
Sesaat Damian berpikir keras, agar ia bisa bertemu dan melihat sendiri keadaan Yasmin. Akhirnya terlintas nama mantan kepala sekolah waktu SD, yang cukup ia kenal dan dekat.
"Ahh ... aku bisa menanyakan pada kepala sekolah, bukankah aku masih mempunyai nomer teleponnya. Ya, begitu saja,' senang Damian, dan bergegas mengambil ponselnya.
Drrrttt
Kepala Sekolah SD
Cukup lama Damian menunggu, hingga deringan telepon itu tersambung.
"Hallo ...," sapa kepala sekolah dengan suara khasnya.
"Hallo, Pak. Ini Damian William, salah satu murid Bapak dulu waktu SD,'' ucap Damian sopan.
"Oh, iya. Damian yang pintar di semua mata pelajaran, dan selalu memenangkan perlombaan. Ada apa menelepon Bapak, Nak Damian?" tanya kepala sekolah penasaran.
"Saya mau bertanya tentang Gadis Kecil, yang cantik. Tepatnya, Gadis yang berada di kelas 3 SD. Tapi, saya tidak tahu namanya," jelas Damian, kepala sekolah yang mendengar itu malah bingung ketika mendengarnya.
'Gadi Kecil yang cantik, kelas 3 SD? Wah, saya susah kalau begitu kalau mencari tahu, apalagi Nak Damian tidak tahu namanya siapa."
"Kira-kira ciri-ciri fisiknya seperti apa, biar saya mencoba mengingat salah satu murid kelas 3 SD itu," ucap kepala sekolah dengan senyum simpulnya.
"Gadis itu mungil, cantik, rambutnya panjang dan indah. Dia juga terlihat ceria, tapi selama seminggu lalu dia tidak masuk sekolah. Saya mendengar kabar kalau alasan gadis kecil itu tidak sekolah karena dia sedang liburan dengan keluarganya," jawab Damian, dengan menceritakan fisik Yasmin.
Kepala sekolah di ujung telepon mulai mengingat, siapa salah satu murid yang seminggu izin liburan. Namun, ia tidak menemukan murid yang izin liburan. Kecuali satu murid yang masuk rumah sakit, tidak lain adalah Yasmin.
"Seminggu lalu tidak ada murid yang izin berlibur selama itu, Nak Damian. Hanya satu murid, yang bernama Yasmin Naura Admaja izin karena dia masuk ke rumah sakit," jelas kepala sekolah.
'Yasmin! Seperti tidak asing nama itu?' batin Damian mengingat nama Yasmin.
Degh!
'Bukankah itu panggilan nama Gadis Kecil, saat Mamanya datang menghampiriku dan Gadis Kecil di taman tadi,' Damian mengingat nama yang disebut kepala sekolah adalah nama gadis kecilnya.
"Kalau boleh tahu, kenapa gadis yang Anda maksud tadi masuk ke rumah sakit, Pak?'' tanya Damian dengan hati berdebar, entah mengapa tiba-tiba ia merasakan perasaan tidak enak saat mendengar penuturan kepala sekolah tadi.
"Gadis kecil itu mempunyai penyakit bawaan dari lahir, lebih tepatnya Gadis Kecil bernama Yasmin itu mempunyai penyakit jantung. Dia tidak boleh kelelahan, jika kelelahan maka jantungnya akan mudah kambuh," jelas kepala sekolah.
"Apa! Gadis itu mempunyai penyakit jantung bawaan, apa itu benar Pak?!'' kaget Damian, sekaligus ia menanyakan kembali demi memastikan kalau gadis kecilnya tidak mempunyai penyakit berbahaya seperti yang dikatakan oleh kepala sekolah tadi.
"Iya, benar Nak Damian. Yasmin mempunyai penyakit jantung, terkadang orang tuanya ketakutan sendiri jika jantung putrinya kambuh. Makanya setiap hari Yasmin selalu mendapatkan pantauan baik dari sang Mama atau dari pihak sekolah," jelas kepala sekolah panjang, dan membuat Damian lemas ketika mendengarnya.
''Kalau boleh tahu di mana alamat rumah Yasmin, Pak. Karena saya ingin mengembalikan barang Gadis Kecil itu yang kebetulan saya menemukannya," bohong Damian.
"Saya akan mengirimkan alamat lewat pesan, Nak. Sekarang Bapak tutup teleponnya, ya," ucap kepala sekolah lalu memutuskan sambungan telepon, tidak lama ia mengirimkan alamat Yasmin pada Damian.
Tut.
Sambungan pun diputus sepihak, Damian pun tidak sabar menunggu alamat yang dikirim oleh kepala sekolahnya waktu SD. Benar saja, tidak sampai lima menit alamat Yasmin telah Damian dapatkan.
'Pantas saja, tadi siang kamu mengatakan hal yang tidak kusuka. Jadi kamu mempunyai penyakit yang berbahaya Gadis Kecil, aku berdoa semoga kamu diberikan umur panjang. Karena aku tidak tahu akan hidupku, jika kamu pergi,' sedih Damian ketika membayangkan hal buruk pada Yasmin.
'Aku harus cepat pergi ke rumahnya, dan melihat kondisinya. Aku tidak peduli jika Mamanya tidak menyukai kehadiranku, yang terpenting aku bisa melihat wajah Gadis Kecil dan memastikan keadaannya baik-baik saja,' gumam Damian, dengan bergegas keluar dari kamarnya dan berniat ke rumah Yasmin.