"Apa kalung ini bagus saat Yasmin pakai, Kak?" Yasmin yang semula duduk di samping Damian, seketika berdiri kemudian berdiri di depan remaja tampan itu.
Yasmin tidak hentinya menunduk, seraya memandang kalung bulan sabit pemberian Damian, dan senyuman bahagia terpancar dari bibir dari bibir mungil itu.
Damian semula menunduk saat membenahi jaketnya, seketika ia mendongak lalu menatap gadis mungil dihadapannya dengan ekspresi menggemaskan menurutnya. Apalagi, saat Damian melihat bibir Yasmin yang tidak berhenti tersenyum setelah menerima kado darinya.
"Tentu saja kalung itu sangat bagus, dan cocok saat kamu pakai,'' Damian menjawab tersenyum seraya meraih telapak tangan kiri Yasmin, kemudian menggenggam tangan mungil itu dengan lembut.
"Benarkah, Kak? Yasmin ingin melihat sendiri di kaca rias Yasmin, apa benar kata Kak Will kalau kalung ini bagus saat Yasmin pakai," polos Yasmin yang tidak percaya ucapan Damian.
Setelah mengucapkan kalimat tidak percayanya, Yasmin berniat pergi ke kamarnya dengan melepas genggaman tangan Damian. Namun, langkah Yasmin seketika terhenti saat Damian melarang gadis mungil itu pergi.
"Jangan pergi! Tetap di sini, Gadis Kecil. Sungguh aku tidak berbohong padamu, jika kalung itu memang sangat pas dan cocok saat kamu pakai. Jika kamu tidak percaya, kamu boleh melihat pantulanmu di dalam mataku," Damian seketika berdiri, dan menggenggam telapak tangan Yasmin sedikit erat.
Entah mengapa tiba-tiba Damian tidak mau kehilangan Yasmin, meskipun hanya sebentar saja. Padahal gadis kecil itu hanya ingin melihat pantulannya di dalam cermin, apakah kalung pemberian Damian itu bagus atau tidak saat dia memakainya.
Yasmin melihat ekspresi kakak tingkatnya seperti memohon, seketika mengurungkan niatnya pergi ke kamarnya.
"Baiklah, Yasmin tidak akan pergi. Sekarang ayo duduk lagi di situ, karena ada yang ingin Yasmin tanyakan. Sebab Yasmin sangat penasaran, kenapa Kak Will bisa tahu alamat Yasmin?" pasrah Yasmin, tapi setelah itu ia menanyakan pertanyaan polos yang membuatnya penasarannya sedari tadi.
Damian melihat Yasmin duduk kembali di sebelahnya, seketika merasa senang.
"Nah, gitu, aku suka kalau kamu menurut," puji Damian, dengan meneol pipi kanan Yasmin gemas.
"Aawwh ... Kak Will, sakit" rengek Yasmin, dengan wajah cemberut. Membuat Damian langsung tersadar, kalau ulahnya itu telah menyakiti gadis kecilnya.
Tangan Damian seketika terulur ke arah pipi Yasmin yang nampak memerah, dalam benaknya ia menyalahkan dirinya sendiri.
'Dodoh kamu, Willy! Bagaimana bisa tanganmu ini bisa menyakitinya, apa kamu mau mati, hah!' batin Damian, dengan menggenggam tangan kanannya hingga memutih.
Mungkin jika tidak di hadapan gadis kecilnya, Damian bisa saja memukulkan tangannya di dinding. Karena ia terlalu menyalahkan dirinya sendiri, hingga menyakiti gadis di hadapannya.
"Apa kamu tidak apa-apa, Gadis Kecil? Apa ini terlalu menyakitkan? Maafkan aku. Sungguh aku tidak berniat menyakitimu, tadi aku hanya bercanda. Tapi, sepertinya aku melakukannya dengan kasar hingga akhirnya tangan ini menyakitimu,'' sesal Damian, terselip perasaan khawatir di dalamnya.
Yasmin semula cemberut langsung tersenyum ceria ketika niatnya membuat kakak tingkatnya panik, dan khawatir tercapai.
"Hahaha ... Kak Will ternyata panik dan khawatir, ya, sama Yasmin?"
"Yasmin tidak apa-apa, Kak. Ini sama sekali tidak sakit, hanya saja tadi terasa seperti di gigit semut. Yasmin sudah sangat sering merasakan gigitan itu, saat penyakit Yasmin kambuh. Papa pasti memberikan Yasmin suntikan, di lengan sini. Mulanya Yasmin menangis, karena tidak tahan sama sakitnya. Tapi, karena sudah terbiasa Papa melakukannya jadi Yasmin tidak menangis lagi," terang Yasmin dengan nada polosnya.
Degh!
Ucapan Yasmin yang polos membuat Damian seketika turut merasakan sakit, meskipun itu hanya membayangkan bagaimana sakitnya tangan Yasmin jika penyakitnya kambuh pasti selalu di suntik.
'Bagaimana bisa kamu mengatakan seperti di gigit semut, sementara alat yang digunakan untuk menyuntik lenganmu itu adalah jarum?'
'Pasti kamu merasa kesakitan, 'kan, Gadis Kecil? Karena kamu gadis yang baik, makanya kamu tidak pernah menunjukkan rasa sakitmu itu dihadapan kedua orang tuamu,' batin Damian sedih.
Tanpa diminta, tubuh Damian membawa Yasmin ke dalam dekapannya. Remaja tampan itu memeluk Yasmin dengan pelukan lembut, dan hangat. Seolah ia tidak ingin gadis kecilnya merasakan kesakitan.
Merasa penasaran berapa lama Yasmin menerima suntikan itu, Damian pun bertanya dengan netra yang berkaca-kaca. Entah mengapa Damian tiba-tiba menjadi cengeng, padahal selama ini dia tidak pernah bersikap lemah seperti sekarang ini.
"Berapa lama kamu mendapatkan suntikan itu dari Papamu, Gadis Kecil?" penasaran Damian, tanpa melepaskan pelukannya pada Yasmin.
Yasmin tahu, jika remaja tampan yang memeluknya suaranya berubah. Ia pun berpikir, kalau kakak tingkatnya itu tengah menahan tangis.
"Apa Kak Will sedang menangis, kenapa? Apa Kak Will sedih, karena Yasmin cerita kalau Yasmin sering di suntik oleh Papa?" tanpa menjawab pertanyaan Damian, Yasmin berbalik bertanya dan membuat Damian harus pintar berbohong menjawab pertanyaan gadis kecilnya.
"Tidak! Mungkin aku akan terkena flu. Jadi, terdengar suaraku seperti sedang sedih, dan akan menangis ketika kamu mendengarnya barusan saja."
"Bukankah tadi aku menanyakan sesuatu padamu, Gadis Kecil? Tapi, kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku?" terdengar nada kesal, karena Yasmin mengabaikan pertanyaannya. Padahal ia sudah sangat penasaran, bagaiman dan mulai kapan Yasmin di suntik ketika jantungnya kambuh.
Damian langsung melerai pelukannya, tapi ia tidak benar-benar melepaskan tubuh Yasmin. Yang ia lakukan malah memegang lengan kanan dan kiri, seraya menatap wajah Yasmin.
Karena tidak ingin membuat remaja tampan itu makin penasaran, Yasmin akhirnya mengatakan dari kapan ia mengalami penyakit jantung.
"Sedari Yasmin masih sangat kecil, Kak. Yasmin sakit sedari kecil, atau masih sangat bayi. Karena penyakit ini turunan, jadi membuat Yasmin harus mendapatkan perawatan terbaik dari Dokter," jawab Yasmin jujur, ia juga menjawab pertanyaan tanpa rasa takut jika apa yang ia derita bukalah sesuatu.
Degh!
Sekali lagi, Damian dibuat terkejut kalau gadis yang saat ini memenuhi hati dan pikirannya menderita penyakit jantung sedari kecil atau bawaan.
"Apa! Kamu mengalami penyakit itu sedari kamu lahir, apa benar begitu?" tanya Damian masih tidak percaya.
Yasmin tidak menjawab apa yang ditanyakan Damian, ia malah terus mengangguk dengan senyuman manis dan tulus.
"Apa arti dari anggukkan kepalamu itu, Gadis Kecil? Jawab?" Dengan tidak sabaran, Damian sedikit meninggikan nada suaranya.
"Kak ... Kak Will, membuat Yasmin takut," gumam Yasmin, dan masih bisa di dengar Damian.
"Maaf, aku hanya bertanya Gadis Kecil. Jawablah, karena aku bukanlah orang penyabar," pinta Damian.
"Iya ... Yasmin sakit jantung sedari Yasmin baru dilahirkan di dunia, jantung Yasmin lemah," jelas Yasmin pada akhirnya.
"Makanya Yasmin tidak diperbolehkan kecapaian, atau pun berlari. Itu akan membuat jantung sakit, dan membuat Yasmin langsung drop jika tidak mendapatkan penanganan cepat.
Setelah mendengar langsung dari mulut Yasmin, Damian tidak hentinya bersyukur, karena gadis kecilnya masih bernafas dan bertahan hidup.
'Mengetahui jantung Gadis Kecil sakit dari kecil, sangat membuat hatiku sedih. Bagaimana bisa sang pencipta memberi penyakit seperti pada gadis semanis dia, tapi aku tidak bisa menyalahkan takdir sebab masing-masing manusia memiliki jalan hidup dan takdir mereka sendiri-sendiri,' monolog Damian.
Merasa bersyukur karena Yasmin masih diberikan kesehatan, dan umur yang panjang. Damian memberikan pelukan hangat untuk kedua kalinya, pada gadis mungil itu.
"Aku senang kamu masih diberikan kesehatan hingga, Gadis Kecil. Aku tidak mau mendengar kamu sakit lagi, cukup waktu itu saja," peluk Damian, ketika mengingat Yasmin pernah tidak masuk sakit dan diopname karena jantungnya kambuh.
"Apa Kak Will akan sedih, kalau Yasmin sakit?" polos Yasmin bertanya akan kesehatannya, apakah Damian akan sedih atau tidak ketika ia sakit.
"Tentu saja, aku akan sedih saat mendengar kabar kamu sakit. Bagaimana aku tidak sedih, jika Gadis Manis sepertimu terbaring dengan infus menancap di lenganmu. Itu akan membuatku turut merasakan sakit, jadi aku mohon jangan pernah sakit lagi, ya," harap Damian setelah ia melepaskan pelukannya, kemudian ia menatap tepat di netra Yasmin berharap harapannya akan terkabul.
Yasmin begitu terharu, sekaligus bahagia ketika ada seseorang selain orang tuanya mengkhawatirkan dan juga memberikan perhatian padanya.
"Baik ... Yasmin tidak akan sakit lagi, karena Yasmin tidak ingin melihat orang-orang yang menyayangi Yasmin sedih. Termasuk Kak Will, terima kasih sudah mengkhawatirkan Yasmin."
Cup!
"Yasmin sayang Kak Will," ucap Yasmin tulus, dengan menghadiahi kecupan lembut di pipi Damian.
Seketika tubuh Damian menegang, ia begitu terkejut ketika Yasmin memberikan kecupan lembut di pipinya. Jantungnya pun langsung berdegup semakin kencang, tangan gemetar karena ini adalah kali pertama ia mendapatkan kecupan dari lawan jenisnya.
Degh!
'Cium! Baru saja Gadis Kecil menciumku, apa aku sedang. bermimpi,' batin Damian, antara percaya dan tidak saat Yasmin menciumnya.
Damian masih mematung, dengan pemikirannya. Hingga tanpa sadar keringat di dahinya mulai bercucuran, dan wajah memerah. Yasmin yang begitu polos pun penasaran, kenapa kakak tingkatnya itu sedari tadi terdiam.
"Kak Will ... Kak Will! Apa Kak Will tidak apa-apa, kenapa Kakak berkeringat? Apa Kakak sakit?" Yasmin mendekat, lalu ia berjinjit seraya mengelap keringat dingin di dahi Damian.
Jarak yang begitu dekat, membuat remaja tampan itu semakin gelagapan. Jantungnya semakin berdegup kencang, ia tidak menyangka pengalaman pertama dengan perasaan aneh di dalam hatinya membuat Damian seperti malu tapi anehnya ia suka.
'Kenapa Gadis Kecil selalu membuat perasaanku seperti ini, antara malu dan senang saat dia dekat denganku. Apakah aku jatuh cinta padanya, tapi dia masih kecil,' batin Damian bingung dengan perasaannya sendiri.
Karena tidak menjawab pertanyaannya, Yasmin mengeraskan suaranya dan itu tepat di bawah telinga Damian.
"Kak Will, kenapa sedari tadi diam saja? Apa Kak Will sedang sakit, ini keringat Kakak banyak sekali dan muka Kakak juga memerah?" tanya Yasmin dengan suara kerasnya.
Tidak ingin perasaannya diketahui oleh gadis di hadapannya, apalagi Damian sadar diri kalau gadis di hadapannya itu masih terlalu kecil untuk mengerti apa itu cinta. Akhirnya ia mencari alasan, agar kegugupannya tidak dimengerti Yasmin.
"Aa--aku tidak apa-apa, Gadis Kecil. Aku merasa sehat, dan soal keringat ini mungkin karena udara di sini panas. Makanya aku sekarang keringatan," gugup Damian, dengan alasan udara di ruang tamu panas.
Karena saking gugupnya, Damian minum minuman yang disuguhkan oleh Bik Minah. Namun, ia tidak sadar kalau minumannya itu masih panas. Ia pun terkejut, sekaligus kepanasan di lidahnya.
"Akkhh ...."
Yasmin yang melihat Damian memuntahkan minuman panas dari mulutnya, langsung panik dengan menghampiri remaja tampan itu. Tangan mungilnya kini berada di punggung Damian, mulanya Damian fokus sama rasa sakit dan panas di lidahnya.
Begitu mendapatkan sentuhan lembut dari tangan mungil Yasmin, seketika rasa sakit itu hilang. Damian menoleh ke arah Yasmin tepat di sampingnya, ia tersenyum sekaligus benar-benar terharu mengingat gadis sekecil dia mengerti apa yang harus dilakukan.
"Kenapa Kakak tidak hati-hati, bukankah minuman itu terlihat panas? Kenapa mesti langsung diminum minumannya, kenapa tidak di tiup dulu?" Yasmin bertanya, lebih tepatnya mengomel seraya mengerucutkan bibir mungilnya dan itu terlihat lucu di mata Damian.
"Iya, maaf. Tadi aku merasa sangat kehausan, jadi langsung minum," tidak ingin membuat Yasmin tambah marah, akhirnya Damian meminta maaf.
Saat keduanya asyik berbicara, dan Yasmin tidak marah lagi. Tiba-tiba Bik Minah datang, dengan menawarkan makan.
"Non Yasmin, makanan sudah hangat. Sekarang ayo makan, sekalian minum obat," ajak Bik Minah sopan, dan penuh kelembutan.
Mendengar suara Bik Minah, Yasmin langsung menoleh. Tanpa berpikir panjang, gadis mungil itu menolak dan lebih memilih bersama Damian.
"Nanti saja, Bik, Yasmin masih kenyang," tolak Yasmin, dengan nada manja.
Tidak mau mendapatkan kemarahan dari Tuan dan Nyonya-nya, Bik Minah tidak putus asa membujuk Yasmin makan lalu minum obat.
"Non Yasmin sudah melewatkan jam makan siang, Non Yasmin tadi. Sekarang ayo makan, saya tidak mau Tuan dan Nyonya marah karena Non Yasmin telat makan dan minum obat," Bik Minah mendekat ke arah Yasmin dan Damian, sekalian membujuk Yasmin agar menurut.
"Tidak mau, kalau Yasmin makan nanti Kak Will pulang," sahut Yasmin masih menolak, apalagi terlihat gadis mungil itu netranya sudah berkaca-kaca membuat Bik Minah bingung.
Damian sedari tadi diam, dan mendengar interaksi antara Yasmin dan Bik Minah. Akhirnya menengahi, agar Yasmin mau makan serta minum obat.
"Gadis Kecil ternyata belum makan, ya, aku juga. Karena terburu-buru ke mari, aku sampai lupa makan. Sekarang maukah kamu makan siang, ah, sore maksudnya bersamaku?" ajak Damian lembut, seraya berdiri lalu mengulurkan tangannya. Ia pun mengatakan kalimat tadi dengan kalimat jujurnya.
Memang saat siang tadi, Damian memang belum makan siang. Karena ia sudah tidak sabar membeli hadiah, dan datang ke rumah Yasmin.
'Aku tidak akan membiarkanmu telat makan, atau sampai melewatkan minum obatmu Gadis Kecil. Karena obat itu adalah sumber kesehatanmu, aku takut kalau kamu telat minum obat jantungmu kambuh,' batin Damian.
"Kak Will belum makan juga, ah, padahal ini sudah sore pasti perut Kakak sudah kelaparan?" sahut Yasmin, seraya menerima uluran tangan Damian.
"Iya ... perutku saat ini sangat kelaparan, jadi ayo kita makan bersama," pura-pura Damian, dengan memegangi perutnya. Padahal sesungguhnya ia tidak begitu lapar, meskipun tadi siang ia belum makan.
Damian tidak ingin Yasmin melalaikan jam makan, atau pun minum obat rutinnya karena itu akan mempengaruhi kesehatan jantung Yasmin.
Bik Minah merasa lega, akhirnya Yasmin mau makan. Ia pun mengikuti kedua remaja di depannya menuju ruang makan, begitu sampai di ruang makan dan di meja telah tertata rapi beraneka makanan kesukaan Yasmin.
Bik Minah melihat remaja asing menurutnya, tapi terlihat begitu perhatian pada anak majikannya. Ya, di meja makan terlihat Damian menuntun Yasmin duduk, dan memastikan gadis kecil itu duduk dengan benar. Kemudian Damian mengambil tempat duduk, tepat di samping Yasmin.
Begitu tersadar, karena sedari tadi mengamati Damian dan Yasmin. Bik Minah mendekat, dan berniat mengambilkan makanan untuk Yasmin. Namun, gerakan tangannya terhenti ketika melihat Damian telah mengambilkan makanan, dan juga lauknya.
"Non Yasmin, biarkan Bibik yang mengambilkan makanan untuk Non Yasmin," ucap Bik Minah, tepat di samping Yasmin.
Yasmin dengan senyum kecilnya menolak, sebab Damian telah lebih dulu mengambilkan makanan untuknya.
"Tidak, terima kasih Bik. Itu, Yasmin sudah di ambilkan makan sama Kak Will," tolak Yasmin sopan, dengan menunjuk ketika Damian menata makanan di dalam piring Yasmin beserta lauknya.
"Iya, biarkan hari ini Yasmin aku yang melayani. Bibik lanjutkan pekerjaan Bibik saja," sambung Damian tanpa sungkan, seperti di rumahnya sendiri.
"Ta--tapi, Den?" gugup Bik Minah tidak percaya dengan remaja dihadapannya, mengingat ia baru pertama melihat Damian.
"Tidak apa, Bik. Aku akan baik-baik melayani Yasmin, dan tidak akan sampai melukainya," Damian mencoba membujuk Bik Minah.
"Baiklah kalau begitu, Den. Ini obat untuk Non Yasmin, setelah makan Non Yasmin harus minum obat ini. Tolong pastikan Nona saya minum obatnya, ya, Den," harap Bik Minah.
"Tentu saja, aku akan memastikan Yasmin makan dan minum obatnya. Jadi, jangan khawatir," sekali lagi, Damian mengucapkan kalimat agar Bik Minah mempercayainya.
"Terima kasih, kalau begitu saya permisi dulu," pamit Bik Minah, setelah itu ia beranjak ke dapur.
Bik Minah benar pergi ke dapur, tapi ia sama sekali tidak melakukan apapun. Yang ia lakukan, hanyalah mengintip Damian dan Yasmin yang bersiap untuk makan.
Damian memberikan makanan di piring itu tepat di hadapan Yasmin, sesaat ia menanyakan apakah makanan itu sudah pas untuk gadis kecil dihadapannya.
"Ini, lekas makan. Habis ini langsung minum obatnya, ya."
"Oh, iya, apakah makanan ini sudah cukup? Atau kamu mau menambah lauknya," tanya Damian, sebelum ia mengambil makanan untuk dirinya sendiri.
"Tidak perlu, Kak, ini sudah cukup," Yasmin langsung memakan makanan yang diambilkan Damian tadi.
Entah mengapa makanan yang ia rasakan berbeda dari biasanya. Padahal makanan di meja makan, ia sudah sering memakannya.
"Kak Will, kenapa makanan ini rasanya berbeda?" tanya Yasmin seraya menoleh ke arah Damian yang berada di sampingnya.
"Kenapa? Apakah makanan itu tidak enak, Gadis Kecil? Apa kamu mau aku pesankan makanan di luar saja?" Damian seketika mengernyit, takut gadis kecil dihadapannya tidak enak makanan di depannya.
"Bukan, bukan seperti itu Kak. Makanan ini berbeda rasanya, karena Kak Will yang ngambilin rasanya enak sekali Yasmin suka," jelas Yasmin dengan kata polosnya.
Kata-kata polos, dan jujur itu seketika membuat wajah Damian memanas. Ia merasa senang, dengan kalimat yang dikeluarkan Yasmin padanya.
"A--ah, begitu. Kukira makanan itu tidak enak untukmu, tapi ternyata ...."
Damian tidak melajukan kalimatnya, karena ia merasa malu sendiri. Yasmin tidak sadar, berkat ucapannya Damian menjadi salah tingkah.
"Beneran, Kak. Ini sangat enak, mungkin ini berkat kehadiran Kakak. Jadi, membuat apa yang Yasmin makan menjadi enak," polos Yasmin, yang lagi-lagi membuat Damian bersemu merah.
Tidak ingin Yasmin berkata terus, Damian dengan rasa malunya mengajak Yasmin makan.
"Uhuk ... jangan banyak bicara, cepat makan makanan kamu Gadis Kecil, nanti keburu dingin makanannya," Damian mengingatkan, seraya mengalihkan pembicaraan.
Yasmin tidak menjawab, ia pun menuruti ucapan Damian makan dengan lahap. Setelah itu ia minum air putih sedikit, tidak lama ia menaruh gelas di meja. Pandangan Yasmin jatuh ke wajah Damian, terlihat ada nasi di sudut bibir Damian.
Tanpa permisi dahulu, dan Damian tengah fokus dengan makanannya ia pun dibuat terkejut ketika Yasmin kini berada dekat di depan wajahnya.
Degh!
'Apa ini, kenapa Gadis Kecil ini selalu membuatku terkejut. Karena ulahnya, jantungku menjadi tidak sehat,' batin Damian, seraya menatap Yasmin intens tepat di hadapannya.
"Iiih ... Kak Will kalau makan itu berantakan sekali, lihatlah ada nasi di sini," ucap Yasmin setelah mengambil nasi di sudut bibir Damian, kemudian memperlihatkan pada remaja tampan itu.
"Ah, tadi aku terburu-buru. Jadi, tidak sadar nasi itu tertinggal," sahut Damian merasa malu, dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Yasmin terdiam, ia mengambil sapu tangan di sakunya lalu mulai mengelap bekas nasi tadi dengan lembut.
Karena merasakan perasaan senang, sekaligus aneh dalam hatinya. Damian menahan tangan mungil itu, yang kini berada tepat di samping bibirnya.
"Jangan melakukan hal yang mengejutkanku, Gadis Kecil. Bukannya aku tidak suka ulahmu, tapi entah mengapa di sini ada perasaan yang tidak kumengerti," bisik Damian, dengan tatapan yang tidak dimengerti Yasmin.
Karena Damian tadi menunjuk ke arah d**a kirinya, Yasmin berpikir jantung Damian sakit. Saat itu juga, Yasmin tanpa ragu langsung menempelkan telinganya di d**a Damian. Damian semakin deg-degan, akibat ulah Yasmin.
Bukankah tadi Damian telah memperingatkan gadis kecil dihadapannya, belum juga lima menit Yasmin telah membuat jantungnya benar-benar tidak sehat.
"Apa Kak Will sakit jantung juga seperti Yasmin? Karena Yasmin mendengar detak jantung Kak Will berdetak sangat cepat, dan kencang," tanya Yasmin polos, setelah mengangkat kepalanya kemudian menatap Damian.
"Aku tidak apa-apa, Gadis Kecil. Mungkin aku hanya kelelahan, ya, kelelahan. Jadi, jangan berpikir kalau aku sakit seperti kamu. Karena aku baik-baik saja, sekarang kamu minum obat dulu.''
''Ini, minumlah," sanggah Damian sedikit panik, dengan mengalihkan pembicaraan.Damian mengambilkan obat, dan minuman ke tangan Yasmin.
Yasmin pun menurut, ia minum obatnya. Bik Minah yang sedari tadi memantau mengembangkan senyumannya, karena ia merasa senang remaja asing menurutnya mau melayani, dan memperhatikan Yasmin penuh kelembutan.
Setelah memastikan Yasmin makan, dan minum obatnya dengan benar. Damian berpamitan pulang. Tanpa keduanya sadari, jika pertemuan pertama mereka akan menjadi awal perpisahan keduanya.
Karena takdir tidak akan tahu, jika tidak semua orang disekitar mereka itu orang baik. Terkadang mereka bersikap, sok baik. Tapi, nyatanya mereka yang telah kita anggap saudara menikam dari belakang menyakiti kita.