"Bayimu popoknya basah, tolong diganti dek," ucap kak Tina memperlihatkan popok Rima.
"Oh iya baiklah," jawabku dengan suara parau karena habis menangis.
"Kamu kenapa, apa kamu habis menangis?"
"Tidak juga," jawabku pelan.
Kakak ipar lalu bangun, memeriksa sudut rumah membuka kamar mandiku. Ingin sekali kucegah dia karena tidak ingin kakaknya Kak Aidil melihat pemandangan yang ada di sana. Ketika pintu kamar mandi berderit dan terbuka langsung saja terlihat pemandangan yang tidak mengenakkan mata tumpukan cucian yang penuh di dalam bak, lalu ada cucian piring di dalam bak lain, dan ember air yang kosong melompong.
Sialnya dia melihat sarungku yang bekas darah, lalu kakak iparku nampak syok dan menggeleng pelan.
"Apa kamu tidak punya air di rumah?"
"Udah habis Kak Kakak tahulah kalau ibu nifas, kami membutuhkan banyak air bahkan untuk membersihkan diri sendiri pun membutuhkan air berkali-kali hingga bersih," jawabku menunduk.
"Rumahmu terlihat kotor dan berantakan, kamar mandimu juga memprihatinkan," ucapnya.
Sebenarnya aku malu, tapi apa dayaku, komentar kakak ipar ada benarnya, namun aku tak mampu membersihkan rumah karena sakit.
Selagi dia terdiam, kuganti popok anakku dengan kain sarung, kubungkus dia lalu kususui.
Mungkin melihat keponakannya yang t*******g ke bawah kakak ipar langsung memprotes.
"Kenapa tidak dipakaikan baju, nanti masuk angin ..."
"Tidak ada baju Kak, sebagian kotor dan sebagian lain masih basah di tiang jemuran," balasku.
"Kenapa tidak dijemur di teras agar tidak basah kena hujan?"
Pertanyaannya terlihat gemas, tapi andai dia tahu apa yang kurasakan, tentu ... ah tak tahulah apa responnya.
"Tadi, siang kupaksakan diri menimba air, mungkin karena terlalu panas dan timbanya berat, Jadi aku pusing dan demam, lalu pendarahan dan lemas. Aku tertidur hingga tak sadar hujan turun," balasku.
Tanpa kucegah, air mataku meluncur begitu saja, belakangan kusadari bahwa depresi semakin menghampiri buktinya aku bisa menangis kapanpun dan dimana pun. Kakak iparku nampak terhenyak, dia terlihat ingin berkomentar lagi tapi dia membatalkannya.
"Kemana Aidil tadi?"
"Pergi membeli Pampers untuk Rima," jawabku.
"Jadi karena itu Ibu terdengar marah-marah?"
"Nggak tahu Kak ... pikiranku gamang, aku hanya ingin segera sembuh dan bisa kuat mengerjakan tugas rumah lagi, kalau aku demam begini, Kak Aidil makin repot," jawabnya sambil menyeka air mata uang jatuh ke sudut bibir.
"Sabar ya ...." Dia menepuk punggung tanganku. "Kamu pasti bisa menjalani ini."
"Bisa bantu saya untuk bicara pada ibu agar beliau berkenan memberikan air lebih?"
Kakak ipar yang ditanya seperti itu hanya diam saja dia menatapku dan mengalihkan pandangannya ke kamar mandi secara bergantian.
"Apa suamimu sudah membicarakan ini pada ibu?"
"Sudah tapi saya tidak tahu apa yang terjadi setelahnya?"
"Kamu harus sabar ya ... nanti kita lihat ... Kakak pulang dulu,"pamitnya sambil menghela nafas lalu pergi.
Aku tidak tahu mengapa Kakak mendadak terdiam dan langsung pamit pergi. Apakah kak Tina benar-benar tidak bisa membantuku untuk bicara pada ibunya? Mengapa ibu mertua pelit sekali dengan air? tak tahukah dia bahwa seseorang akan terhalang rezekinya ketika tak mau membagikan air yang berlimpah?
Astagfirullah ....
*
Mungkin sekitar 30 menit kemudian suamiku terdengar datang. Bunyi motor yang diberi knalpot racing itu aku tahu persis bahwa itu adalah motornya. Andai aku bisa menjual motor itu lalu pindah dari tempat ini ... Tapi sayang segala sesuatu dikuasai ibu mertua.
Beliau tidak membiarkan anaknya tinggal jauh darinya, dan anak lelaki yang tidak memiliki pekerjaan disuruh untuk mengelola kebun, memelihara kolam ikan dan memanen hasilnya. Sementara keuntungan dari semua itu 100% beliau yang memegangnya.
Mengapa ibu mertua tidak membagi saja secara rata, agar masing-masing anak bisa mengatur keuangan sendiri dan bisa membeli apa yang kami inginkan? Seketat itukah dia?
Tok ... Tok ....
Rumah diketuk lalu tak lama kemudian Kak Aidil masuk dan mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam Kak," jawabku.
"Ini dia barang-barang yang kau perlukan." Diletakkannya dua plastik putih dari Alfamaret lalu sebuah ember besar beserta tutupnya.
"Apa yang Kak Aidil beli?"
"Aku belikan Pampers untuk rima lalu pembalut untukmu, juga minyak kayu putih, bedak dan lotion bayi," jawabnya.
"Lalu ember itu kakak dapat dari mana?"
"Aku menghutangnya di toko ujung kampung, nanti kalau panen aku akan langsung membayarnya," jawab suamiku dengan senyum tipis
Aku paham bahwa sebenarnya dia resah dan takut juga namun karena begitu besarnya rasa cinta dan tanggung jawab dia sampai rela berhutang.
"Besok ketika keren menyala kau bisa langsung mengisi ember sampai penuh."
"Bagaimana kalau ibu mematikan keran sebelum embernya penuh? Maukah kakak mengambilkan air untuk saya?"
"Aku mau, tapi aku pagi-pagi harus sudah berada di kebun, kalau tidak, ibu akan marah. Oleh karena itu, aku carikan solusi lain agar kamu dan aku bisa lega dan tidak repot."
"Oh, baiklah Kak."
Bagaimanapun aku harus mengerti posisi kak Aidil, dia juga serba salah. Dia juga bingung memilih membelaku istrinya atau harus patuh kepada kehendak ibunya. Kami ada dua wanita yang dia cintai tapi dimensi yang berbeda. Ibunya berada di puncak keluhuran hidupnya, sementara aku, hanya wanita yang baru datang, kebetulan dia cintai dan kami memiliki anak. Sedikit tidaknya aku tidak mau membebani Kak Aidil. Aku paham betul bawa hubungan suami istri harus dijalani dengan saling bahu-membahu dan mendukung.
Biarlah untuk sementara aku akan bertahan, lagipula sudah ada ember tambahan yag cukup besar, kurasa itu cukup untuk pemakaian sehari.
Hanya saja ... aku sedikit resah, bagaimana kalau nanti ibu sampai tahu?
"Kamu istirahat saja besok subuh subuh biar kakak yang cuci semua pakaian itu dan mencuci piring, Kakak juga akan langsung mandi dan mengisi kedua ember mau jadi kamu tidak akan pendarahan lagi. Maaf ya, karena Ini pertama kalinya punya anak jadi kakak tidak punya pengalaman sebagai seorang ayah dan suami yang siaga."
"Tidak apa-apa, Kakak sudah berkorban banyak banting tulang dari pagi sampai petang untuk kami."
"Aku minta maaf karena belum bisa memberimu uang belanja seperti pria lain, Ada saatnya nanti aku akan bicara pada Bapak, aku akan memberikan beliau pengertian agar beliau mau membagi hasil dengan rata." Hati ini berdebar membayangkan pria kaku dan pendiam itu akan luluh terhadap Kak Aidil, dia dan ibu mertua sama saja.
"Semoga bisa ya, Kak," jawabku dengan setitik harapan di hati, berharap bahwa apa yang dikatakan Kak Aidil akan menjadi kenyataan sehingga aku bisa hidup lebih lega dari ini.
Aku berharap bahwa jangan sampai kami membohongi diri sendiri dengan harapan palsu.
Mungkin terdengar mustahil bahwa semuanya akan berubah tapi Allah maha membolak-balikkan hati manusia, semoga hati ibu mertua berangsur lembut, bisa memahami dan membantu kesulitanku.