Suamiku kembali ke rumah degan wajah sedih dan kecewa, dari kejauhan dia terlihat gontai sementara ada rasa iba sekaligus sedih juga melihat dia terpaksa bertengkar dengan sang ibu karena aku.
Kutunggu diambang pintu dan ketika netranya bersitatap denganku, dia tetap berpura-pura menyungginggakan senyum dan mengangguk, berusaha menenangkanku padahal aku sendiri tahu dia tengah berperang dengan batinnya sendiri.
Ingin kucoba mengajaknya pindah dari lingkungan ini tapi aku sendiri paham bahwa kami tidak memiliki uang atau simpanan. Rasanya akan memberatkan sekali kalau dalam kondisi sakit begini harus pindah, bingung memikirkan biaya, belum kebutuhan makan dan biaya lainnya. Kepalaku pusing, terhimpit oleh beban yang rasanya tak bisa kutanggung. Belum lagi rasa iba dan bersalah pada suamiku, rasanya aku telah menjadi istri yang begitu menyusahkannya.
Namun bukankah Tuhan tahu persis bahu mana yang harus Dia berikan beban, bukankah manusia diberi ujian sesuai kadar kemampuannya? Apakah aku sanggup, mengapa sebaliknya, rasanya, aku ingin pergi dan menyerah dengan kehidupan macam ini.
"Bagaimana Kak?" Aku berharap sekali ibu telah memberinya uang untuk membeli popok sekali pakai. Aku sungguh tak bisa membayangkan bayiku akan tidur tanpa pakaian.
"Ibu memberikan sedikit uang, tapi ya begitulah, karena beliau belum jual gabah jadi ada sedikit jatah uang untuk kita," balasnya.
"Kalau begitu, alhamdulillah Kak," ucapku dengan penuh rasa syukur.
"Sekarang kakak mau ambil motor ke tempat ibu, pergi ke toko untuk belikan Pampers sekalian mau lihat ember besar."
"Apa kakak memberi tahu ibu kalau mau beli ember?"
"Uhm, tidak, tidak usah, cukup kita yang tahu."
"Bagaimana kalau nantinya ibu memeriksa dan murka?"
"Itu tidak akan terjadi, Sayang. Aku akan memastikan ibu tidak menyentuhmu sampai sejauh itu," jawab suamiku sambil mengecup kening ini.
Tak lama setelah makan dengan mie instan yang dia rebus sendiri, suamiku lalu berpamitan untuk pergi ke toko di perbatasan desa. Ada toko besar yang menyediakan macam kebutuhan sehari hari, Kak Aidil akan ke sana sebentar.
Mungkin berselang lima belas menit setelah suamiku pergi, diri ini berusaha memejamkan mata, tapi tiba tiba pintu rumahku di ketuk, ada suara ibu mertua dan Kakak iparku di depan sana.
"Apa kiranya yang mereka inginkan?" gumamku sambil galau.
"Mau melihat bayi atau ingin marah-marah?" aku membatin dengan d**a berdebar.
"Zahra, buka pintunya," ucap Ibu dengan lantang.
"I-iya, Bu."
Ketika pintu berdecit terbuka, iparku Kak Tina masuk sambil tersenyum, dia memberiku sekantong makanan, dan kebutuhan wanita nifas.
"Aku bawakan pembalut, makanan dan minyak kayu putih, aku sudah lama tak lihat bayi, jadi, aku datang untuk menjenguknya," ucapnya tersenyum.
"Makasih Kak, masuklah," jawabku pelan. Tanpa kuminta, Kakak iparku beringsut ke dalam, dia menjumpai anakku yang tengah tertidur pulas lalu menciuminya dengan penuh cinta.
Ibu mertua yang masih berdiri dengan tatapan tajam di pintu nampak diam saja, bergeming di posisinya sambil menatapku tajam.
"Masuk Bu," ucapku yang sedikit sungkan sekaligus berdebar di hadapannya, aku paham dari sorot matanya, wanita itu ingin marah padaku. Dia menyimpan dendam dan nampak ingin meluapkannya sekarang.
"Aku ingin bicara padamu!" ucapnya memberi isyarat agar aku keluar ke teras. Kuikuti dia sambil terus berdoa semoga ibu mertua dilembutkan hatinya oleh Allah, agar tak terus menyudutkan dan memarahiku.
"Apa rencanamu ... kenapa kau minta Aidil untuk memerasku dan memaksa ibunya sendiri untuk mengalah ditambah memaksaku mengeluarkan uang. Apa kau ingin memisahkan ibu dan anak dan membuat kami saling bermusuhan?!" desisnya menahan suara, khawatir Kak Tina akan mendengarnya.
"Astaghfirullah, saya tidak punya niat begitu, Bu. Hanya saja tadi, ketika Kak Aidil pulang dia melihat saya sakit dan lemah ...."
Belumlah selesai ucapanku, beliau sudah menyela dengan segala kebengisannya.
"Jadi karena kau sakit, kau paksa anakku untuk memanjakanmu?
tenyata ... kau pintar sekali cari muka dan pandai memanfaatkan keadaan untuk memanipulasi Aidil, kau paksa dia untuk merampas dari ibunya sendiri, kau sungguh jahat!"
"Ya Allah Bu ..." Air mata ini berderai, aku
rasanya tak kuasa mendengar ucapan ibu yang menyakitkan, bahkan menerima tudingan demikian membuat kepalaku makin berdenyut pusing.
Tak kuasa diri ini membendung air mata.
"Saya demam dan kelelahan Bu, tubuh saya ngilu dan sempat pendarahan karena menimba air dari sumur yang dalam, saya sakit Bu. Jadi mungkin wajar suami ingin meringankan saya," ucapku yang tak mau menahan lagi.
"Oh, jadi gara gara air," ucapnya dengan d**a naik turun menahan buncahan emosi yang nampak memuncak.
"Bukan air poinnya, Bu, masalahnya saya baru saja melahirkan dan masih lemah, saya sakit Bu, tolong kasihani saya ..." Karena tidak berdaya dan menimbang posisi suamiku yang tak mau dikutuk dan dibenci ibunya aku mengalah dan turun untuk bersimpuh di kaki Ibu.
"Maafkan kalau saya salah Bu, tapi, tolong pengertiannya. Saya sedang sakit, butuh bantuan dan dukungan, tolong ampuni kalau salah, tolong maafkan kalau keliru Bu."
"Kalau tidak demi cucu, tak sudi kugelontorkan yang sesenpun untukmu!" Dia mendesis lalu menyibak gamisnya dengan kasar bahkan bajunya mengenai wajahku, dia lalu menjauhiku. Tak tahu kenapa air mataku makin menderas, aku sedih dan terluka sekali di perlakukan demikian.
Belum usai kurangkum air mata, kakak Tina memanggil dari dalam rumah. Segera kuhapus sembab di wajah, lalu berusaha menyunggingkan senyum di hadapan kakak iparku yang mudah-mudahan tidak perlu tahu yang sebenarnya.