AMARAH

1595 Words
Praang! Krompyang! Suara lemparan segala macam barang terdengar memenuhi rumah Maria. Terdengar begitu berisik di dalam bahkan suaranya terdengar hingga tepi jalanan sepi di depan rumah. Rumah Maria berada di ujung desa dan terletak sedikit berjauhan dengan lainnya. Desa Maria termasuk desa pedalaman dengan jarak rumah yang terbilang jarang penduduk karena di sela oleh persawahan dan perkebunan juga berseberangan dengan hutan besar. Begitu wajar jika tidak ada satu pun yang mendengar kerusuhan dalam rumahnya. Terlebih di waktu siang hari seperti ini banyak penduduk desa yang sibuk bekerja baik bertani dan berkebun. "Pergi kau!" teriak Maria sambil melemparkan panci besar dalam genggamannya ke arah ular itu. Tentu saja itu bukanlah apa-apa bagi Evan. Evan yang sudah berubah wujud sepenuhnya menjadi ular berwarna hijau berada dalam keadaan murka terhadapnya. Desisannya terdengar keras di sepanjang penjuru rumah. Besar dan panjang tubuhnya hampir memenuhi ruang tamu rumah Maria hingga membuat wanita itu kesulitan mencari celah untuk menghindar. Maria setengah mati menahan rasa takutnya saat ini. Dirinya menyadari bahwa inilah akhir hidupnya. Maria sadar bahwa apa yang dikatakannya pagi tadi pada cucunya adalah bentuk perang terhadap siluman ular ini. Maria sadar dan siap menerima resikonya. Ini untuk keselamatan cucu kesayangannya. Maria berharap Elena bisa hidup normal dan mendapat pasangan yang normal seperti manusia normal lainnya. Karena itulah dirinya bersikeras mendekatkan Elena dengan Rian yang notebanenya adalah pemuda yang terkenal baik di desanya. Namun siapa pun pasti tidak ingin merasakan mati sia-sia bukan. Terlebih mati karena ditelan seekor ular. Setidaknya Maria ingin menunjukkan perlawanan terhadapnya. Wanita itu mengambil sekotak garam di dapur dan menaburkannya tepat ke arah ular hijau itu. Ular itu sempat beringsut mundur mendapat siraman garam dari Maria. Dan lalu tawanya menggema diiringi tubuhnya yang maju merayap menginjak taburan garam itu. "Kau pikir ular takut dengan garam? Jangan bodoh. Aku hanya tidak suka ada yang mengotori tubuhku." Maria tidak sempat menghindar ketika ekor ular itu menghempaskan tubuhnya ke dinding dengan keras. Tubuh tuanya seakan remuk begitu saja. Maria terbatuk diselingi tumpahan darah dari mulutnya. Tubuhnya yang merosot menubruk perkakas dapur hingga membuatnya jatuh berserakan. "Kau benar-benar manusia tidak tahu diri. Harusnya kau tutup saja mulutmu itu. Beraninya kau mempengaruhi gadis kecilku." geram Evan mendekat. Tidak mempedulikan tubuh ringkih Maria yang masih terbatuk-batuk dengan keras dengan cairan merah kental yang merembes dari dalam mulut dan hidungnya. Begitu juga darah dari kepalanya yang mengalir melewati telinga dan pelipisnya. Moncong ular itu mengelilingi tubuh Maria dan menjerat tubuh itu dengan kuat. Membuat Maria sesak napas. Rasanya begitu sakit hingga pandangan Maria mengabur. Tubuh tuanya seperti mati rasa karena dirasanya terjadi kepatahan dari beberapa tulangnya. Maria hanya bisa mengandalkan pendengarannya saat ini dan melihat samar-samar tubuh siluman ular itu yang bergerak mengelilinginya. Ular itu mengangkatnya dengan jarak yang begitu dekat dengan moncongnya. Maria bisa merasakan sapuan nafas ular besar itu tepat di depan wajahnya. "Kau ti-dhak akan men-dapat dia." Maria terbata-bata mengucapkannya. "Ya aku pasti mendapatkannya." "Ka-u tidak ak-an mendhapat-kan hat-tinya." "Tidak perlu. Aku hanya ingin dia melayaniku hingga aku bosan dengannya. Setelah itu aku akan menelannya." Evan mantap dengan ucapannya terlebih melihat ekspresi Maria yang menatapnya nanar. "Kau iblis!" umpat Maria dengan suaranya yang bergetar menahan dadanya yang terasa sesak. Satu tangannya berusaha bergerak melepaskan diri dan menghunuskan ujung runcing dari tusuk konde yang disembunyikannya tepat ke sisi samping moncong ular di depannya. Evan sempat menghindar meski beberapa tetes darah sempat keluar dari luka sabetan Maria. "Ck!" decak sebal Evan terdengar. "Dengarlah ini Tuan ular! Kau tidak membutuhkan hatinya bukan. Maka sampai kapan pun kau tidak akan mendapatkan hati Elena, cucuku. Hingga kau menyadari perasaanmu sendiri. Sampai kau menangis darah sekali pun kau tidak akan bisa terlepas dari perasaanmu ini terhadapnya. Kau tidak akan mendapatkan cintanya Tuan ular! Aku bersumpah atas hidupku, aku tidak akan membiarkan cucuku memberikan hatinya pada ular sepertimu! Aku bersumpah!" Evan sejenak merasa terpaku dengan ucapan wanita renta sepertinya. Dirinya bisa melihat kilat kesungguhan dari kedua matanya ketika mengucapkan sumpah itu. Tapi apa peduli Evan. Baginya itu hanyalah sebuah omong kosong belaka. "Kau sudah selesai dengan ucapanmu? Sekarang matilah." dengan satu gerakan mantap Evan meremukkan tubuh wanita dalam lilitannya dan menyingkirkan nyawanya. Maria telah menghembuskan nafas terakhirnya. Evan melepas lilitannya dan membiarkan tubuh tidak bernyawa Maria meluruh ke lantai. "Cih! Kau pikir aku mencintai manusia lemah seperti cucumu? Jangan bermimpi. Aku hanya ingin memberinya pelajaran karena berani pergi meninggalkan tuannya." ujar Evan sembari menjilat darah dari luka sobekan di sisi wajahnya. Setelah mengucapkan itu Evan pergi meninggalkan kekacauan yang telah dibuatnya. Evan yakin gadis kecilnya pasti akan pergi menemuinya. Dan jika gadis itu tidak menemuinya, maka gadis itu pantas mati. Evan hanya tidak menyadari sampai kapan dirinya akan menunggu Elena untuk menemuinya. *** Sejauh ini Elena telah menyusuri beberapa tempat menyenangkan bersama Rian. Elena menikmati perjalanan kecilnya bersama pria itu. Seperti yang dikatakan neneknya. Rian adalah seorang pria yang baik. Pria itu begitu sopan dan pintar mengendalikan suasana. Perjalanan wisata mereka jadi terasa tidak canggung sama sekali karena pria itu pintar mencairkan suasana dengan guyonan recehnya. Sepanjang perjalanan Elena tersenyum senang sambil menikmati pemandangan pedesaan yang menyejukkan. Hatinya merasa segar ditambah senyuman Rian yang begitu manis. Mungkinkah dirinya menerima permintaan neneknya saja untuk bersama Rian? Dirasanya permintaan neneknya tidak buruk juga. "Kau lelah? Bagaimana kalau kita mencari sesuatu yang segar disana." Pria itu menyadari Elena yang mulai terlihat kelelahan. Pria itu mengajak Elena ke kedai favoritenya. "Ya boleh." Kedai itu terlihat kecil dan sepi pelanggan. Namun Rian terlihat percaya diri mengajak Elena kesana. Jadi Elena cukup penasaran mencari tahu keunggulan kedai itu. "Siang bibi." sapa Rian ketika sampai di depan kedai itu. "Oh nak Rian. Mau pesan?" bibi itu terlihat begitu akrab dengan Rian dan melempar senyuman hangat kepada Elena. "Iya bi. Seperti biasa yah. Dua porsi." "Siyap. Wah sama siapa itu? Biasanya juga sama Aleta." "Ya bi. Perkenalkan dia Elena, cucunya nenek Maria. Kami baru saja selesai berkeliling desa." "Halo bibi. Saya Elena." "Oh cucunya si mbok. Cantiknya." "Terima kasih bi." Elena tersenyum malu mendengarnya dan melihat Rian juga tersenyum ke arahnya. "Ya sudah kalian cari tempat dulu yang enak. Bibi buatin pesenannya." Rian mengangguk dan mengajak Elena memilih tempat yang menurutnya nyaman. "Gak masalah kan kalo aku pesenin bakso sama es dawet di sini." "Tidak masalah. Sepertinya ini tempat favorite kamu. Kalian terlihat akrab sekali." "Haha kau benar. Sejak kecil aku suka pergi ke sini. Dari dulu rasanya tidak berubah. Tetap enak." Rian terlihat bangga mempromosikan kedai warung ini seakan kedai ini adalah miliknya. Itu membuat Elena tersenyum geli dan lalu mengingat satu nama yang sempat disebut bibi kedai ini. "Rian, boleh aku tahu Aleta itu siapa?" Elena ingin mengetahui siapa saja gadis yang berada di dekat Rian agar dirinya tidak salah tangkap. Jika memang ada gadis yang disukai pria itu, maka Elena lebih memilih mundur sebelum perasaannya semakin berkembang. "Aleta? Ah dia teman kecilku. Aku biasa bersamanya ke kedai ini. Jadi bibi mungkin terlihat aneh melihatku bersama gadis lain." Terang Rian dengan santai. "Teman kecil? Apa kalian ... Ah maksudku em, itu ..." Elena ingin bertanya lebih lanjut tentang hubungan mereka. Jaman sekarang teman kecil yang berbeda jenis kebanyakan memiliki hubungan yang spesial bukan. Namun pertanyaan itu seakan berhenti dalam tenggorokannya. Rian menyadari kegelisahan gadis di depannya ini. Rian juga seorang pria yang cukup peka dengan hal seperti ini. Pria itu cukup terhibur dengan ekspresi yang ditunjukkan Risa hingga membuatnya tersenyum geli. "Kenapa? Kau merasa penasaran tentang hubungan kami?" Rian ingin menggodanya. "Eh bukan. Aku hanya," "Hahaha kenapa kau terlihat gelisah seperti itu. Jangan khawatir. Aku dan Aleta hanya teman kecil saja. Aku sudah menganggapnya seperti adik perempuanku. Saat ini aku masih free." ucapan Rian membuat Elena bersemu merah. Terlebih ketika pria itu mengucapkan statusnya sambil menatap dirinya lekat. Seakan itu adalah sebuah kode untuknya. Untunglah pesanan mereka datang mengintrupsi suasana di sekitar mereka. Selanjutnya mereka menikmati pesanan sambil bercerita banyak hal. Tiba di sore hari Rian mengantar Elena ke rumah neneknya. Rian mengikuti Elena memasuki pagar rumahnya bermaksud pamit dengan nenek sebelum pulang. Dan itu membuat hati Elena sempat meleleh. Jarang sekali menemui pria sesopan dan bertanggung jawab seperti Rian di kotanya dulu. Elena mengijinkan Rian mengikutinya. Satu dua tiga ketukan pintu dari Elena tidak ada respon dari dalam. Elena sempat berpandangan dengan Rian sebentar mengutarakan isi hatinya yang terasa janggal. Kenapa neneknya tidak kunjung membukakan pintu untuknya. Rian membantu Elena mengetuk pintu sekali lagi lebih keras berpikir nenek tidak mendengar ketukan mereka. Hasilnya sama. "Mungkinkah nenek Maria sedang keluar?" tanya Rian. "Aku juga tidak tahu. Nenek tidak mengatakan rencana perginya hari ini." Elena mengatakan itu sambil iseng menarik engsel pintu rumahnya. Dan voila. Pintunya tidak terkunci membuat mereka berdua melongo terkejut. Kenapa pintunya tidak terkunci jika tidak ada orang di dalam. Rian berinisiatif masuk terlebih dahulu diikuti Elena di belakangnya. "Nek? Nenek Maria?" seru Elena namun tidak ada sautan sama sekali. Rian masih mengedarkan pandangannya ke sekeliling merasa sedikit kejanggalan. Kenapa kursi ruang tamu terlihat tidak pada tempatnya. Karpet di bawah juga tersingkap mengingat nenek Maria yang dikenalnya adalah seorang wanita yang rapi. "Mungkinkah nenek berada di kebun belakang?" Elena segera melangkahkan kakinya tidak menyadari Rian yang sedang termenung di tempat. Menyadari gadis itu yang melangkah pergi meninggalkannya, Rian bermaksud mengejarnya. "Tunggu Lena. Biar aku yang," Ucapan Rian terpotong ketika berhasil mengejar Elena yang berhenti melewati dapurnya. Mereka sama-sama terpaku dengan apa yang terlihat di depan mata. Ruangan yang berantakan seperti kapal pecah. Bahkan beberapa perabotan dan lemari kayu yang berisi piring beserta isi lainnya telah hancur menjadi dua bagian dan beberapa noda darah berceceran diikuti tubuh Maria yang tergeletak di lantai tak bernyawa. Jantung Elena seakan diremas kuat. "NENEK!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD