SEBUAH AWALAN
Hari itu berawal dengan cuaca yang begitu cerah. Aku begitu bersemangat mengawali hari itu dengan senyuman yang tidak pernah luntur di wajah kecilku.
Suasana di desa nenek memang selalu menyegarkan seperti terakhir kali aku datang. Begitu asri dan begitu tenang. Desa ini terbilang masih jarang penduduk. Bahkan jarak tiap rumah masih berkisar beberapa meter satu sama lainnya. Desa ini dikelilingi hutan belantara yang masih terjaga keasliannya. Penduduk di sekitar sini juga masih memiliki pemikiran lama yang percaya dengan mitos dan hal-hal ghaib lainnya. Namun tidak dipungkiri bahwa tempat ini selalu menjadi tempat yang selalu kurindukan.
Namaku Elena. Aku masih berumur tujuh tahun saat terakhir kali aku datang ke sini. Saat itu cuaca sudah semakin sore. Aku tersesat di tengah hutan saat sedang bermain bola sendirian di halaman rumah nenek. Saat itu aku tidak sengaja melempar bolaku terlalu jauh. Bolaku menggelinding dengan cepat masuk ke dalam hutan yang lebat. Aku tanpa berpikir panjang berlari mengejarnya. Tidak mengingat larangan bunda yang melarangku untuk menjauhi hutan itu. Hutan yang kini baru kuketahui sering disebut dengan Hutan Terlarang oleh penduduk setempat.
Bola itu masih menggelinding hingga berhenti di tepi sebuah batu besar. Aku bernafas lega dan segera mengambil bola itu. Dan ketika aku telah mengambil bola itu lalu menegakkan tubuhku kembali, sontak aku terpaku ketika menyadari keberadaan seekor ular putih berukuran besar sedang melingkar di balik batu. Kepalanya mengarah padaku. Jarak kami hanya terpaut satu meter saja dan ular itu juga menyadari keberadaanku. Aku bisa mendengar dengan jelas suara desisannya yang cukup keras. Bahkan kini kepalanya mulai bergerak ke arahku perlahan. Aku mendongak ketika kepalanya berdiri tegak sejajar dengan tinggi badanku. Lidahnya menjulur keluar terlihat begitu siap ingin menerkamku. Entah kenapa saat itu aku merasakan ular itu terlihat sedang memerhatikanku. Saat ular itu memundurkan sedikit kepalanya, saat itu juga aku menyadari. Aku harus lari. Dan aku melakukannya tepat ketika ular itu membuka mulutnya untuk menerkamku.
Aku memaksa langkah kecilku berlari cepat hingga jauh beberapa meter setelahnya aku menoleh ke belakang lagi. Aku melihatnya. Ular itu menarik-narik tubuhnya yang ternyata tertindih batu besar. Ular itu dengan brutal menjulurkan kepalanya ke depan hingga lalu aku dapat melihat cairan berwarna merah pekat mengalir dari bawah batu itu dan berakhir dengan kepala ular yang jatuh melunglai. Seketika aku melemas. Rasa takutku meluap begitu saja berganti dengan rasa iba. Meski masih terdengar desisannya, namun aku mencoba memberanikan diri untuk mendekatinya. Saat itu, aku yakin ular itu tidak akan bisa menyakitiku.
Merasakan keberadaanku, ular itu segera menegak dengan desisan yang mengeras lagi. Ah, dia hanya mencoba melindungi dirinya bukan, pikirku saat itu.
Sesaat kami hanya saling bertatapan lalu aku mulai melihat ke arah tubuhnya yang ternyata memang memiliki banyak luka goresan dengan darah yang masih mengalir segar. Aku berputar arah menuju ekornya yang melingkar. Separuh tubuhnya tertimbun batu. Kasihan sekali. Kulihat ular itu merunduk ke tanah seakan tidak mempedulikan keberadaanku lagi. Kesempatan itu kupakai untuk mencoba menyentuh kulit ekornya. Aku tidak pernah menyentuh ular sebelumnya. Kufikir tidak akan berbeda seperti menyentuh cacing, menggelikan. Namun melihat warna ular itu yang terlihat putih bersinar, aku merasa tertarik.
Aku mengulurkan tanganku perlahan. Dan saat sentuhan pertamaku berhasil aku reflek berteriak geli. Ini benar-benar seperti memegang cacing berukuran besar. Hanya saja kulitnya lebih tebal dan seperti karet? Dan tidak ada perlawanan seperti tubuh cacing yang biasa menggeliat-geliat kecil ketika disentuh. Aku melihat kepalanya yang masih di tempat dengan darah yang masih terlihat mengalir pada bagian bawah tubuhnya. Nafasnya terlihat melemah. Aku tidak tega untuk meninggalkannya saat itu. Namun hari makin petang. Aku berfikir pasti keluargaku sedang mencariku.
Saat itu, dengan hati-hati aku menaruh daun besar berisi air yang kuambil dari sungai kecil di sekitar situ dan meletakkannya di depan ular itu. Keadaannya masih sama seperti tadi. Bahkan suara desisannya semakin terdengar lemah. Saat aku menempatkan air itu di dekat moncongnya, ular itu reflek menegakkan kepalanya sedikit dengan desisan kecil.
"Ah! Jangan mengagetkan aku dengan bergerak seperti itu. Aku hanya ingin memberimu air. Aku baik bukan. Jadi jangan menyakitiku, Tuan ular." ujarku. Ular itu tetap dalam posisinya. Akhirnya saat itu aku berinisiatif mengambil ranting kayu dan memakainya untuk mendorong lebih dekat airnya di depan ular itu.
Aku merasa lega ketika perlahan ular itu merunduk dan menyentuh airnya. Ular itu terlihat benar-benar kehausan. Pasti sudah lama ular itu terjebak di situ. Kasihan sekali.
"Aku harus pulang sekarang. Maafkan aku. Aku akan meminta bantuan ayah untuk menolongmu besok. Tapi kau harus janji untuk tidak melukai kami setelah lepas nanti. Mengerti!" dan ular itu masih sibuk dengan airnya tidak terganggu sama sekali dengan peringatanku. Lalu aku meninggalkannya.
***
"Sayang, bunda sudah melarangmu untuk tidak bermain terlalu jauh, bukan. Dan apa itu tadi? Kau bertemu dengan seekor ular? Astaga, untunglah kamu baik-baik saja sayang. Besok jangan ke sana lagi. Mengerti!" tegur Bunda sambil menatapku lekat.
"Tapi bunda, ularnya kasihan. Ayah bisa menolongnya bukan?" pintaku dengan memasang wajah memelas.
"Tidak, sayang. Ular itu hewan yang berbahaya. Mereka bisa menyerangmu kapan saja. Bundamu benar. Jangan pergi ke sana lagi. Untung tadi ada warga yang menemukanmu di pinggir hutan itu."
"Sudah, sudah. Lebih baik Lena sekarang tidur ya. Sudah malam. Besok kan Lena mau kembali pulang ke kota." bujuk nenek.
"... Hah iya nek." jawabku dengan lesu.
Dan sejak kepulanganku dari rumah nenek itu, aku menjadi demam selama tiga hari. Dan lalu muncul tanda aneh seperti tom/tanda lahir di paha kiri bagian dalam dekat pangkal tubuhku. Tanda itu muncul seminggu kemudian setelah demam. Dan sampai saat ini hanya aku yang mengetahuinya.
Dan aku tidak percaya bahwa pria yang tengah mengukungku di atas ranjang saat ini mengetahui tanda itu.
"Dari mana kamu tahu tentang tanda itu?" suaraku mulai terdengar gemetar takut. Dan semakin takut ketika aku melihat seringai pria yang sialnya begitu tampan di atasku ini.
Pria yang mengakuiku sebagai miliknya ini bergerak ke bawah tubuhku. Satu tangan kekarnya memaksa paha kiriku yang berbalut dress terusan selutut terbuka dan mengangkatnya sehingga menampilkan tanda itu.
Aku berusaha menutupi bagian pangkalku yang hanya berbalut celana dalam putih. Merasa begitu malu ketika pria itu sempat menatapnya. Pria itu dengan gerakan sensual mendekatkan wajahnya ke arah tanda itu dan menjilatnya nikmat layaknya es krim sebelum mengecupnya basah. Membuat gelenyar aneh dalam tubuhku. Seumur hidup aku baru merasakan sentuhan yang begitu intim seperti ini dengan pria asing yang tiba-tiba muncul di kamarku.
"Tentu saja aku mengetahuinya sayang. Karena akulah yang menandaimu saat itu. You are mine, Elena!" ucapnya. Setelah mengatakan itu, dia bergerak menciumku dengan dalam.
Tidak! Ini gila! Pria itu sudah gila. Siapapun tolong aku! Batinku berteriak.
***
11 tahun yang lalu, Evan.
Hutan yang terasa sepi dan mencekam. Namun menyimpan rahasia besar di dalamnya. Seperti yang dikatakan banyak penduduk sekitar. Jangan pernah masuk ke dalam hutan itu, karena tidak ada yang tau nantinya kau akan berhadapan dengan apa di dalamnya. Manusia itu benar. Lebih baik jangan masuk ke dalamnya jika ingin berumur panjang. Karena hutan ini menyimpan banyak makhluk ghaib yang siap menerkam mereka kapan pun itu.
Hari itu adalah hari sialku. Hari sial dari Siluman ular yang bernama Servantess. Panggil saja Evan. Aku bertemu dengan kawanan serigala pengecut di saat aku sedang melemah karena masa pergantian kulitku. Salahku juga karena tidak mengira akan ada kawanan serigala bodoh yang tersesat di sana. Dengan keadaanku yang seperti itu, membuat fungsi semua indra perasaku termasuk penglihatan dan penciumanku jadi berkurang setengahnya. Dan mereka dengan senang hati mengeroyokku, sialan!
Aku berhasil membunuh sebagian besar dari anggota mereka, namun pada detik terakhir mereka berhasil melempariku yang tengah lengah dengan batu besar sebelum kabur meninggalkanku. Aku sudah berusaha mengeluarkan seluruh tenagaku yang tersisa untuk melawan mereka. Dan tidak ada lagi tenaga yang tersisa untuk sekedar menyingkirkan batu itu. Aku terjebak di sana, mungkin sekitar seminggu lamanya. Aku tidak mengingatnya lagi. Tubuhku semakin lemah dan bahkan ukurannya sudah menyusut.
Dan lalu gadis kecil itu datang. Aku tau gadis itu takut padaku. Yang tidak kumengerti adalah gadis itu tetap mencoba untuk menolongku meskipun dia takut padaku. Lihatlah, betapa bodohnya anak manusia lemah itu. Bahkan gadis itu berjanji akan membawa ayahnya kemari untuk menolongku. Betapa lucunya dia. Aku yakin ayahnya benar-benar akan menolongku. Menolongku untuk melepaskan nyawa dari ragaku secepatnya tentu saja.
Sudah lama aku tidak mempercayai makhluk yang bernama manusia. Mereka makhluk yang lemah dan licik juga picik. Memasang wajah malaikat untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Cih! Menjijikkan. Lihatlah gadis kecil ini. Dengan manisnya dia mengatakan akan membawa ayahnya. Hahaha kau fikir bagaimana reaksi manusia itu ketika melihat seekor ular besar bersisik berlian sepertiku? Tentu saja mereka akan berlomba-lomba mengulitiku hidup-hidup untuk mengambil sisik itu.
Tubuhku sedikit demi sedikit terasa mulai segar kembali. Kuakui, aku benar-benar dehidrasi beberapa hari ini menunggu k*****t kecil yang lama kutunggu tidak datang-datang. Sialan!
"Evan!" nah akhirnya anjing kecil itu datang kan.
"Kau lamban sekali anjing kecil." ucapku. Aku malas bergerak sekali dengan tubuh penuh luka ini. Kubiarkan dia mengelilingiku untuk memeriksa keadaanku lebih jauh.
"Yak! Aku datang ke sini karena menghawatirkanmu tahu. Berhenti memanggilku anjing kecil. Aku ini serigala. Harus berapa kali aku mengatakannya Evan." sungut pria serigala itu.
"Ya ya ya. Kau serigala kecil, mungil dan menggemaskan." ledekku.
"Berhenti mengejekku atau aku tidak akan menolongmu. Kau ini lemah sekali. Percuma bertubuh besar jika mengangkat batu saja kau tidak sanggup." katanya yang seenak jidat malah berdiri di atas batu yang menindihku.
"Urgghh Jimmy. Turunlah atau aku akan membunuhmu setelah ini." aku mengerang diselingi desisan ularku keras ketika merasakan beban berat yang bertambah dari atas tubuhku.
"Hup!" aku bernafas lega ketika Jimmy telah melompat dari atas batu.
"Jadi siapa yang sudah menyerangmu Evan?" tanya Jimmy sambil melempar batu besar itu dengan sebelah tangannya ringan.
"Hanya sekawanan rogue bodoh." jawabku. Aku membiarkan Jimmy mengobati lukaku.
"Dan kau kalah?"
"Sssshh kau tahu aku bisa melibas mereka semua dengan mudah jika keadaanku lebih baik." sungutku tidak terima dengan sindiran pria itu.
"Hahh dasar ular. Sensitif sekali saat berganti kulit. Lihatlah kulit mudamu ini. Kau terlihat seperti bayi manusia yang lemah." Jimmy membantu mengupas kulit matiku sedikit.
"Diamlah Jimmy. Kau benar-benar menyebalkan. Fokuslah pada serigalamu yang telat puber itu. Kau tahu, milikmu terlihat kecil, mungil dan menggemaskan."
"Yak! Jangan mengatakan hal yang ambigu seperti itu! Tunggu sampai aku bisa berganti shift yang sesungguhnya dengan Jeremy di bulan merah. Serigalaku akan menjadi sempurna nanti. Dan aku bisa bertemu secepatnya dengan Mateku."
"Aku menantikan hari itu Jimmy. Kau tahu, kau benar-benar terlihat lucu dengan kuping anjingmu. Kecil, mungil, menggemaskan ..."
"Diam kau, dasar ular! Aku lebih tua darimu jika kau ingat."
"Hah, kau hanya lebih tua beberapa bulan dariku, Jimmy. Dan sampai sekarang kau masih berkutat dengan kuping dan ekor serigalamu yang kecil, mungil, dan menggemaskan itu." yah karena sesuatu hal, membuat Jimmy gagal berganti shift dengan Chimmy, serigalanya sampai sekarang. Nama aslinya Jeremy, namun anak itu lebih suka memanggilnya Chimmy karena terdengar lebih lucu, katanya. Jimmy tidak bisa berubah menjadi serigala seutuhnya yang berbadan besar karena kekuatannya telah disegel. Alhasil, pria itu hanya bisa memunculkan telinga dan ekornya saja, dan paling jauh ya berubah menjadi anak serigala yang lebih mirip seperti anakan anjing menurutku. Kecil, mungil, dan menggemaskan.
"Ggrrrrhh, harusnya aku membiarkanmu saja tadi, ular." Jimmy sialan itu menekan kepalaku ke tanah dan mengusaknya. Membuatku pusing.
"Arghh, sialan kau! Sshhh!"
"Ngomong-ngomong apa itu daun?"
"Dilihat dari manapun juga itu daun bukan."
"Ck kau ini. Kau mengerti maksudku Evan."
"Hemh. Anak itu membawakanku air."
"Anak manusia? Dan kau menerimanya? Ah bukan. Kau membiarkannya hidup? Woww, apa dia seorang gadis?"
"Hanya gadis kecil yang bodoh."
"Dan kau menyukainya."
"Aku tidak."
"Kau tidak akan membiarkan seorang manusia mendekatimu Evan. Aku tahu itu." kali ini aku tidak menjawabnya. Aku tiba-tiba teringat kembali bagaimana mata bulat gadis itu menatapku takjub.
"Ah! Jangan mengagetkan aku dengan bergerak seperti itu. Aku hanya ingin memberimu air. Aku baik bukan. Jadi jangan menyakitiku, Tuan ular."
"Aku harus pulang sekarang. Maafkan aku. Aku akan meminta bantuan ayah untuk menolongmu besok. Tapi kau harus janji untuk tidak melukai kami setelah lepas nanti. Mengerti!"
"Aku akan menemuinya lagi nanti." putusku kemudian.
"Kau bilang apa?" seru Jimmy seakan tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Kuputar bola mataku malas melihat sikapnya.
"Aku akan menemuinya lagi Jimmy. Aku tidak suka berhutang budi dengan makhluk lemah sepertinya."
"Kau tidak ingin berhutang budi atau itu hanya akal-akalanmu saja yang ingin menemuinya lagi heh? Kau tertarik padanya Evan."
Benarkah? Haha itu lucu bukan. Bagaimana mungkin aku tertarik padanya. Dia manusia, ingat! Batinku berseru remeh.
"Jangan bicara omong kosong Jimmy."
"Baiklah. Kita lihat saja nanti."
***
Malam itu aku benar-benar mendatangi rumahnya. Gadis itu telah tertidur pulas dengan cahaya kamar yang temaram. Jendelanya terbuka meski ada teralis besi yang menjaganya. Tidak masalah buatku. Aku melewati teralis besi itu dan melewati celah-celah kecilnya. Ukuran celahnya tidak sebesar tubuhku. Jika ular biasa pasti tidak akan bisa melewatinya. Tapi aku adalah ular yang luar biasa bukan. Dengan mudah aku bisa mengecilkan tiap senti tubuhku menjadi seukuran celah teralis itu tiap melewatinya dan lalu kembali ke ukuran semula.
Aku melihat gadis itu yang tengah tertidur dengan menghadap ke arahku jadi aku bisa dengan mudah mengamatinya. Wajah kecilnya menggemaskan sekali dengan bibir mungil yang sedikit terbuka. Merah, dan terlihat manis. Gadis itu memakai piyama putih tipis berbentuk dress dengan tali spagetti. Aku ingin melihatnya lebih dekat.
Aku merayap menaiki kasurnya. Dari ujung kasur aku perlahan melewati kaki kecilnya yang menyibak sebagian selimut yang menutupi tubuhnya. Aku terus merayap merasakan tiap inci kulit kakinya yang terasa halus di bawah tubuhku menuju paha mungilnya. Kulitnya putih bersih. Lalu kurasakan pergerakan gadis itu yang sedikit terganggu dengan keberadaanku. Wajahnya merengut lucu sekali. Gadis itu mengubah posisinya menjadi terlentang membuat rok dressnya tersibak. Aku bisa melihat dengan jelas celana dalam putihnya dari sini. Entah kenapa aku merasa gerah. Otomatis aku menjulurkan lidahku untuk menormalkan suhu di sekitarku. Padahal serigala bodoh pun tahu alasannya.
Aku bergerak semakin ke atas. Melewati perutnya yang sedikit membuncit dan berlama-lama meletakkan kepalaku menindih d**a ratanya. Satu tali spagetinya melorot dari bahu kecilnya. Entah kenapa itu terlihat seksi di mataku. Apa aku sudah gila? Tidak mungkin bukan.
Aku benar-benar melekat pada tubuh kecilnya saat ini sehingga aku bisa mendengar deru nafas dan detak jantungnya yang rasanya terdengar seperti melodi pengantar tidur yang indah untukku. Mungkin aku benar-benar sudah gila. Aku nyaman dengan posisiku.
"Unghh beratt~" gadis kecilku kembali terganggu dengan berat tubuhku. Haha tentu saja berat. Saat ini aku berukuran sebesar phyton empat setengah meter. Aku bisa mengubah tubuhku menjadi sebesar apa pun yang kusuka.
Aku menegakkan kepalaku untuk melihat wajahnya lebih jelas. Gadis inilah yang dengan beraninya menolongku tadi sore. Menatapku dengan wajah kagumnya. Aku tersenyum geli ketika mengingat reaksi gadis itu yang mencoba memberanikan diri menyentuhku. Aku tidak mengerti perasaan apa ini. Tapi kupikir dia layak mendapatkan hadiah dariku. Aku akan mengabulkan satu keinginannya nanti. Setelah itu aku menyingkir akan berbalik pulang. Namun sebelum pergi entah dari mana datangnya ide konyol itu yang akhirnya membuatku mendekati pahanya. Aku telah menancapkan kedua taringku di paha kirinya bagian dalam. Bukan taring mematikan. Namun taring pengikat. Ya aku telah menandainya. Ke manapun dia pergi, aku pasti bisa menemukannya. Karena mulai sekarang dia adalah milikku. Milikku.
Namun esoknya aku kehilangan gadis itu. Baunya tidak ada di mana pun. Meski begitu selama ada tanda itu, aku yakin bisa menemukannya lagi.