Di luar dugaan Elena. Mansion ini terlihat begitu luas dan mewah namun begitu sepi pengunjung. Sepanjang perjalanan ke dapur tidak ada yang bisa ditemui Elena selain seekor ular besar di kamar yang meminta jatah makanannya.
Tapi lihatlah, dapur pun terlihat seperti mini market yang penuh dengan bahan-bahan makanan segar. Baik dari buah-buahan, sayur-sayuran, juice kemasan dan cemilan lainnya. Terutama daging. Dilihat dari manapun sepertinya makanan utama ular itu adalah daging. Bagaimana ini? Elena setengah mati kebingungan bagaimana caranya menghidangkan makanan untuk Tuan ularnya. Elena bermaksud memperlakukan Tuan ularnya seperti ular kebanyakan, tapi sepertinya Tuan ularnya kehilangan jati dirinya sebagai ular. Baru kali ini Elena melihat seekor ular bertingkah seakan tidak ingin dianggap sebagai ular. Lalu Elena harus menganggapnya sebagai apa?
Andai Tuan ularnya bertingkah normal, mungkin Elena bisa menghidangkan segepok daging mentah ini langsung ke piringnya. Tidak tidak. Andai Tuan ularnya bertingkah normal, maka dia tidak perlu menyuruh Elena menyiapkan makanannya karena Elena sudah tersedia di depan mata siap disantapnya. Elena bergidik ngeri membayangkan hal itu terjadi.
Tunggu, dimana pisau kecilnya. Pisau itu tidak boleh jauh dari tubuhnya untuk berjaga-jaga. Gadis itu merogoh sakunya dan kemudian teringat. Pasti ular itu juga meninggalkan pisaunya di tempat bersama kopernya. Yah setidaknya di dapur ini masih tersedia pisau lainnya. Elena akan membawanya satu sebagai simpanannya.
Sekarang kembali lagi dengan bahan-bahan makanan di depannya ini. Apa yang harus dilakukannya sekarang. Haruskah dirinya memasak? Sup daging mungkin? Apa seekor ular juga menyukai sup? Atau lebih baik Elena membuat daging panggang? Yah sepertinya daging panggang lebih masuk akal untuk seekor ular bukan.
Elena segera mengambil bahan-bahan di lemari pendingin dan menyiapkan alat memasaknya. Untunglah gadis itu cukup terampil di dapur. Tidak lama Lena sudah tenggelam dalam masakannya.
Elena tidak percaya melihat hasil karyanya yang luar biasa. Bagaimana tidak jika segala hidangan berbahan daging telah selesai dibuatnya. Gadis itu terlalu banyak berfikir untuk membuat sesuatu yang lain sebagai penyeimbang atau sebagai pemanis daging panggang buatannya hingga memutuskan untuk membuat semua makanan ini hanya untuk mencocokkan lidah Tuan ularnya. Gadis yang baik sekali.
Elena menghembuskan nafas lelahnya. Lebih baik dirinya segera menghidangkan semua ini ke meja makan. Tunggu. Apa seekor ular juga makan di meja makan? Hahh sialan. Sejak bertemu dengan seekor ular aneh seperti Tuannya membuat Elena selalu berpikir keras tentang segala kebiasaan seekor ular. Elena menumpukkan tubuhnya ke meja pantry dengan kedua tangannya. Pusing terlalu berpikir keras terus menerus. Gadis itu tidak menyadari dengan kehadiran seorang pria tampan yang sudah mengawasinya beberapa waktu yang lalu. Tertarik dengan tingkahnya yang sering kali melamun atau terlihat berpikir sebelum bertindak.
Pria itu mendekati Elena tanpa bersuara sedikit pun dan menempatkan dirinya tepat di belakang gadis itu. Sedikit menghirup aroma tubuh Elena yang menggodanya. Lalu bola matanya yang berwarna hitam berubah menjadi warna merah pekat. Hmm tidak buruk. Pria itu menjilat bibirnya sendiri dengan nikmat.
"Sedang apa kau manis?" bisik pria itu tepat di belakang telinga Elena. Membuat gadis itu terperanjat kaget dan memutar tubuhnya menghadap pria itu. Elena terpaku di tempatnya tidak bisa berkata-kata ketika melihat paras rupawan dari pria di depannya. Sungguh indah. Tampan dan mempesona. Begitu tinggi, berkharisma dan jangan lupakan mata merahnya yang seakan memaksa siapapun lawan bicaranya terdiam tanpa kata seperti dirinya.
Bukan itu yang ingin dikatakan Elena. Saat ini gadis itu ingin berteriak sekeras mungkin untuk menyebut nama seseorang yang dikenalnya.
"Rian!"
Elena tidak percaya pria itu ada di sini. Di tempat berbahaya seperti ini. Bagaimana jika Tuan ularnya mengetahui keberadaan pria itu dan lalu mengamuk atau bahkan menyerangnya. Elena segera menarik tangan Rian dan menghimpitnya pada celah dinding dapur. Berusaha menyembunyikan tubuh besar Rian yang mungkin saja bisa di lihat Tuan ularnya.
"Rian. Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau bisa tahu aku di sini?" pekik Elena sembari menjaga suaranya selirih mungkin. Matanya juga awas ke sekitar takut Tuannya tiba-tiba mendatangi mereka.
"Wow wow apa maksudmu baby?" pria yang dipanggil Rian oleh Elena nampak mengerutkan alisnya bingung sekaligus tertarik dengan tingkah gadis itu.
"Ck, jangan bertingkah bodoh. Kau harus pulang sekarang Rian." Ucap gadis itu dengan mode seriusnya. Elena merasa kesal melihat tingkah Rian yang masih saja suka menggodanya.
"Ha ha tapi aku sudah pulang di sini."
"Apa yang kau katakan. Rumahmu itu di desa. Bagaimana jika orang tuamu mencarimu. Di sini terlalu berbahaya Rian. Kumohon pulanglah."
"Memang apa yang kau takutkan hm?" pria itu tersenyum kecil melihat gelagat lucu dari Elena yang mengkhawatirkan dirinya. Apa yang harus ditakutkannya di rumah sendiri. Sejauh dirinya tinggal selama ini dirinya merasa baik-baik saja. Tidak ada yang berani mengusik markas mereka. Pria itu menarik pinggang Elena mendekat hingga menempel ke tubuhnya yang jenjang. Menikmati segala ekspresi yang ditunjukkan gadis itu. Dalam hatinya tertawa lebar. Mainan siapa ini? Menggemaskan. Pilihan yang begitu tepat. Gadis itu bahkan tidak menyadari bahaya yang sebenarnya di sekitar. Bisa saja dia langsung menghisap habis darah Elena saat ini juga. Kebetulan sudah waktunya dirinya makan. Pas sekali.
"Ugh Rian lepaskan. Cepat pergilah. Jangan mengikutiku lagi." pekikan kecil dari Elena tidak diindahkan pria itu.
Elena berusaha melepaskan diri dari pelukan Rian dengan menggeliatkan tubuhnya. Kenapa pria itu begitu santai masuk ke tempat asing dan menemuinya seperti ini. Rian sendiri asyik menyelipkan rambut Elena ke belakang telinga seolah rontaan gadis itu tidak berarti apa-apa baginya.
"Hmm siapa yang membawamu ke sini baby?" tanya pria itu dengan nada yang terdengar sensual. Tangannya mengarah ke sebelah pipi Elena dan mengusapnya lembut. Semakin bersorak senang ketika melihat semburat kemerahan yang muncul dari kedua pipi gadis itu karena ulahnya. Gadis ini terlihat segar.
"Rian kau sakit? Kenapa tubuhmu dingin sekali." gumam Elena dengan raut wajah terkejutnya ketika menyadari tubuh Rian terasa begitu dingin dari balik kaos hitam panjang yang membalut tubuhnya. Telapak tangan gadis itu menempel ke leher pria itu lalu merambat naik ke sebelah pipinya untuk mengecek suhu tubuh Rian yang memang begitu dingin seperti orang mati. Lena baru menyadari kulit pria itu terlihat pucat.
Pria itu menaikkan sudut bibirnya. Kepalanya semakin maju hingga kening mereka saling bersentuhan. Posisi mereka terasa begitu intim bagi Elena yang tidak terbiasa berdekatan dengan seorang pria. Elena menjadi gugup namun juga merasa begitu ganjil dengan pria di depannya ini. Orang yang sama namun terasa berbeda.
"Siapa namamu manis?" bisik pria itu. Elena mengernyit heran ketika melihat pria itu sibuk menghirup nafas dalam-dalam dan menelusuri area lehernya dengan khitmad.
"Rian?"
Elena semakin risih ketika pria di depannya semakin mempererat dekapannya pada tubuh Lena. Pria itu juga menjilat lehernya seperti anak kecil yang menjilat es krim. Begitu menikmatinya.
"Apa kau bersama Evan?"
"Evan? Siapa dia? Ungh Rian hentikan. Apa yang kau lakukan!" seru gadis itu. Elena tidak menyadari ketika menyebut nama ular itu maka Evan bisa mendengarnya juga karena simbol yang telah di berikan pria ular itu pada paha bagian kirinya dulu. Ular itu bangun dari posisi santainya ketika menyadari namanya dipanggil oleh gadis kecilnya. Evan merasa ada sesuatu yang terjadi karena dirinya tidak pernah menyebutkan namanya di depan Elena. Darimana gadis itu mengetahui namanya.
Di saat yang sama Elena merasa ada yang salah dengan pria yang bersamanya ini. Bukan seperti Rian yang dikenalnya. Pria ini lebih agresif dan berbahaya. Elena mendorong d**a bidangnya namun seakan mendorong sebuah dinding. Tidak bergerak sama sekali. Elena merasa panik tanpa sebab.
"Aaa ... kau tidak mengenalnya? Baguslah. Itu berarti kau hanyalah orang asing di sini. Aku bebas memakanmu bukan." ujar pria itu yang masih menikmati aroma darah Elena yang menguar lebih kuat dari lehernya.
Pria itu tersenyum senang dan mulai menumbuhkan kedua taringnya bersiap menghisap darah segar Elena. Elena semakin kuat memberontak ketika mendengar ucapan pria itu. Dirinya semakin yakin pria itu bukanlah Rian yang dikenalnya.
"Tidak! Lepaskan aku!" teriak Lena sambil memukul tubuh pria itu.
"Selamat tinggal manis."
Taring pria itu mulai menembus kulit leher Elena memunculkan aliran darah segar di sana. Elena meringis kesakitan. Air matanya kembali mengalir menyadari nyawanya akan direnggut paksa tanpa sempat membalaskan dendamnya.
Tolong! Tuan ular tolong aku! Batin gadis itu berteriak.
PRANGGG!
Elena langsung membeku ketika mata kepalanya sendiri menyaksikan sebuah gucci melayang terbang menghantam mereka. Lebih tepatnya menghantam keras lengan kokoh pria yang ingin memakannya ini. Elena tidak menyangka pria itu bisa menghempaskan gucci besar yang dilempar ke arahnya dengan sebelah tangan tanpa melihatnya. Membuatnya pecah berkeping-keping di sekitar mereka.
Taringnya ditarik kembali dari kulit leher Elena dengan berat hati. Melihat siapa yang mengganggu acara makannya.
Evan bertengger nyaman di sepanjang pagar pembatas lantai dua dengan wujud ularnya.
"Tu-tuan ular." gumam Elena yang merasa lemas setelah apa yang terjadi padanya barusan. Bekas gigitan pria tampan itu terasa berdenyut sakit dan juga panas.
"Aku menyuruhmu membuatkanku makanan, ternyata kau malah asyik bermesraan dengan seorang vampire heh."
"Vampire!"
Bola mata Elena membulat sambil menatap pria itu. Pria yang disebut vampire oleh Tuan ularnya kini menampilkan seringai remehnya sambil menjilat taring bekas darah Elena yang menempel dengan lidahnya nikmat.
"Ayolah Evan. Hanya sedikit saja. Aku tidak mengira dia milikmu karena gadis ini bahkan tidak mengetahui namamu."
"Sebastian, carilah pelayanmu sendiri."
"Baiklah baiklah. Aku akan mencarinya nanti. Tapi biarkan aku menghisap darahnya sedikit. Kau lihat itu sudah mengalir jatuh. Sayang sekali jika membiarkan darah manisnya terbuang sia-sia."
"Hisaplah." jawaban Evan membuat Elena memucat tidak percaya berbanding terbalik dengan pria bernama Sebastian yang langsung memunculkan seringai senangnya. Apa ular itu bermaksud menumbalkannya pada seorang vampire?
"Dan akan kubuang semua stok makananmu di kulkas." lanjut Evan yang langsung membuat Sebastian mendesah kesal. Ular itu memang selalu sulit diajaknya negosiasi.
"Baiklah aku mengalah. Dasar pelit." gerutu Tian yang beranjak menuju lemari pendingin. Mengambil tiga bungkus sekaligus juice tomat di dalamnya dan meminumnya dengan nikmat. Elena mengernyit melihat seorang vampire juga suka meminum juice tomat.
"Kau minum juice tomat?" Elena tidak bisa menghentikan rasa penasarannya terhadap vampire itu. Sebastian menghentikan langkahnya dan mengarahkan tubuhnya menghadap Elena dengan raut bingung. Sebastian lalu menyadari maksud Elena beberapa saat setelahnya.
"Ah maksudmu ini? Jangan salah. Ini darah yang sengaja di kemas dengan label tomat. Jangan kau pakai untuk bahan masakanmu nanti. Kau mengertikan manis." Terang pria itu. Sebastian melanjutkan langkahnya lagi setelah mengedipkan sebelah matanya genit kepada Elena. Elena semakin melemas mendengarnya. Hidupnya seakan dipertaruhkan di sini. Sepeninggal Sebastian, Evan menjulurkan tubuh ularnya ke bawah menyeberang langsung ke lantai satu dan mendekati Elena.
"Hei pelayan, kerjamu sungguh lamban. Aku sudah kelaparan menunggumu." ketus Evan yang merayap mendekatinya. Elena segera mundur mengambil sebilah pisau terdekat dan mengarahkannya pada ular itu yang lalu berhenti di tempat.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Evan datar. Jengah melihat tingkah gadis itu yang mengundur waktunya untuk menyantap makanan.
"Katakan padaku tempat apa ini. Kenapa ada vampire. Kau tinggal bersama vampire? Bagaimana dengan perjanjian kita?"
Elena merasa harus meluruskan masalah ini karena kini nyawanya dipertaruhkan dengan kehadiran tiba-tiba dari seorang vampire di antara mereka. Harusnya dirinya tidak langsung mempercayai ucapan seekor ular sepertinya.
"Kau meragukanku gadis kecil? Aku akan menepati janjiku. Tenang saja. Aku akan membunuh ular hijau itu untukmu. Jangan khawatir."
"Tapi vampire itu, kau ingin menumbalkanku kepada mereka? Berapa vampire yang tinggal di sini?"
"Hanya dia."
"Benarkah?"
"Tentu saja." jenis vampir yang tinggal di sini hanyalah dia seorang.
"Hentikan tuduhanmu itu. Selama kau menuruti perintahku, tidak akan ada yang berani mengganggumu di tempat ini." Ucapan Evan membuat Elena sedikit bernafas lega.
"Aku mengerti."
"Bagus. Sekarang siapkan makananku. Kau membuatku menunggu lama. Hidangkan di atas meja makan."
"Baik Tuan." Elena membalikkan tubuhnya berniat menghidangkan makanannya sebelum ular itu menghentikan gerak langkahnya.
"Tunggu. Kemarilah!" perintah ular itu tidak langsung diindahkan Elena yang bergidik ngeri. Jangan lupakan gadis itu bukan pecinta Reptile. Mana mau dirinya berdekatan dengan seekor ular.
"Ck! Kau benar-benar menguji kesabaranku gadis kecil." ujar Evan kesal. Ular itu bergerak cepat membelit tubuh Elena tanpa sempat menghindar.
"Ap-apa yang kau laku-"
Slurp!
Ucapan Elena terhenti ketika melihat ular itu yang menjilat lehernya. Bekas luka dari taring Sebastian. Ular itu menjilat aliran darah yang sempat menetes beberapa kali. Setelahnya Evan melepas tubuhnya.
"Bersihkan sisa darahmu dengan benar. Baumu bisa mengundang makhluk lain untuk menyantapmu." Elena meraba lehernya dan takjub ketika menyadari luka di sana telah menghilang.
"Aku sudah menyuruhmu untuk membiasakan diri di dekatku. Ingat itu!" tegas Evan yang lalu meninggalkan Elena sendiri di dapur. Elena sendiri merasa sedikit tersentil dengan apa yang dilakukan ular putih itu. Bagaimanapun juga Elena menyadari bahwa ular itu berusaha melindunginya. Entah kenapa perlakuan itu membuat Elena tersenyum kecil. Tuan ularnya tidak buruk juga.