"Apa kamu bilang?"
Bella geram luar biasa. Bisa-bisanya dia disebut stalker atau salah satu fangirl Nuna. Kalau bisa malah Nuna pergi jauh dari hidupnya, sebab Bella begitu tersiksa setiap kali di dekatnya. Sikap sok ramah Nuna merusak pemandangan mata. Segera Bella bergidik ngeri.
Gadis itulah yang mendaftar di sekolah ini lebih dulu. 'Jangan-jangan malah Nuna yang ng'fans sama aku,' pikir Bella.
Telunjuknya menuding Nuna dengan wajah mengeras marah.
"Gue? Ng'fans sama Lo. Sorry,ya gak level sama lo," ucapnya dengan nada jijik, lantas mendorong bahu Nuna. Nuna menatap garang. Kenapa harus memakai kekerasan? Kan, Bella bisa bilang baik-baik.
Nuna juga menuduhnya kayak gitu gak betulan dari dalam lubuk hati. Ia hanya penasaran saja apa motif Bella padanya.
Mengapa sangat membencinya. Tapi ternyata seseorang yang hatinya busuk tidak perlu alasan untuk membenci orang lain.
"Ya udah. Kalo gitu jangan pernah peduliin aku. Aku mau ngapain aja terserah aku!" protesnya keras.
Bella yang Nuna tahu selalu saja ikut campur. Ditambah mulut kotornya yang selalu melempar rumor miring tentang Nuna.
Padahal, cukup urus saja urusannya sendiri. Kenapa harus mengurusi orang lain. Belum tentu yang diurus mau kurus. Iyah,'kan.
Yah istilah jaman sekarang KEPO tingkat akut.
Bella tertawa begitu menggelegar.
"Jadi Lo gak sadar juga kalo sikap Lo tuh udah ngerecokin hidup gue. Gue kasih tau,ya. Dimulai Lo masuk agensi yang sama dengan gue. Gue udah benci Lo!"
Tidak ada lagi yang Bella tutupi. Tatapan seolah dia yang paling dirugikan dari mata Nuna sudah menyulut emosi.
"Oh jadi itu alasannya?" Nuna bertanya dengan mimik mengejek.
Kembali Bella mengeluarkan kekuatan mendorong bahu Nuna. Untungnya kaki gadis itu cukup kuat menahan bobot tubuh.
"Bukan itu doang. Gue benci sama wajah Lo. Suara Lo sampe ketawa Lo. Oh,ya ... akting Lo juga gak bagus-bagus banget, kok!"
Nuna menarik nafas. Ia tahu, Bella telah sepenuhnya dilahap emosi. "Aku tau akting aku gak begitu mempesona, tapi seenggaknya banyak yang suka sama aku. Dan banyak yang menantikan karya aku!"
Nuna sekalian menyakinkan dirinya sendiri. Terkadang, dia juga insecure sama kemampuannya dan beberapa kali dia mengagumi Bella dalam hati. Cuma karena Bella menaiki bendera perang, buat apa juga muji dia.
Iiih, kurang kerjaan banget!
"Lo tuh! Arrggh!" Bella menahan kekesalan sampai wajahnya memerah sempurna. Telunjuknya tetap menuding wajah Nuna. Kini dia tidak bisa lagi berpura menjadi malaikat depan Nuna.
Mereka sudah memahami satu sama lain. Nuna yang tau Bella membencinya bahkan dari hari pertama. Dan Bella yang tahu kalau Nuna orang yang tidak punya malu.
Saat sedang beradu argumen mata Nuna tidak sengaja menangkap sosok Mamat.
'Ah, bang Mamat udah selesai. Lebih baik aku pergi daripada berantem terus sama Bella.'
Ia membuang muka dari hadapan Bella.
Nuna gak mau berurusan sama orang toxic macam Bella. Lebih baik dia mengejar cintanya, Eh... Mengejar makan siangnya yaitu gado-gado yang katanya paling enak se ibu kota.
Melihat Nuna meninggalkan dia, bukan malah lebih baik. Bella malah semakin membenci Nuna.
Seakan Nuna bilang, bahkan mereka tidak sepadan untuk menjadi saingan.
Apa-apaan perasaan kesal yang tidak tau harus diluapkan ke mana.
Seraya mengepal tangan, Bella berjanji dia yang akan mendapatkan peran dari sebuah film yang sebentar lagi tayang itu.
*
Nafas Nuna memburu setelah tadi lari mengejar Mamat.
"Bang Mamat udah selesai ke toiletnya?" Nuna tersenyum, gadis itu tidak menghiraukan jika dirinya masih berantem sama Bella.
Nuna cuma gak mau Bella semakin kesal saja. Andai Bella mau jadi temannya, mungkin Nuna gak akan terobsesi sama Mamat.
Mamat menghembuskan nafas pasrah. Cara dia berlagak udah pulang gagal. Padahal, sepedanya sudah dia titipkan ke warung mak Ijah.
"Bang Mamat, Kok diem, ayok kita let's go. Kita come on ... ." Tangannya menarik lengan Mamat. Mamat gelagapan belum pernah dipegang cewek. Terus, kalau mau pegang sekalian lah yang lain. Tangan satunya lagi, maksudnya.
"Bang Mamat bawa kendaraan kan?!" Nuna celingukkan. Gadis super aktif itu yakin Mamat minimal punya motor.
Tapi Mamat malah punya ide.
"Nah itu Neng, Bang Mamat cuma punya sepeda ontel. Udah tua!"
Nuna menepuk tangan. Tatapannya berbinar. "Oh,ya. Sepeda, sepeda. Aku pernah naik sepeda juga, kok!"
Sepeda yang Nuna maksud sangat berbeda dengan punya Mamat. Sepeda Nuna sepeda gunung dengan harga ratusan juta.
Kalau sepeda Mamat, 50 ribu dijual di loak juga pada ogah beli.
"Yuk deh kita naik sepeda."
Mamat melirik gusar ke Nuna. Kenapa dia sangat tahan banting dengan kemiskinan. Apa jangan-jangan sebelum terkenal, Nuna pernah miskin.
Sayangnya itu tidak pernah terjadi dalam hidupnya.
Mereka sampai di warung Mak Ijah. Wanita tua itu lagi ngaso, habis melayani beberapa pembeli.
"Eh, Mat. Mo ngambil sepeda Lo?!"
"Iye, Mak. Masih ada kan?" tanya Mamat.
"Yah masih ada lah. Lo geletakin di pinggir jalan juga gak bakal ada yang ambil." Mak Ijah jadi sewot.
Mamat berdecak. "Gitu-gitu antik, Mak," protesnya.
Mak Ijah belum melihat Nuna, waktu beliau tengok dan Mamat lagi jalan sama bidadari surga mulutnya langsung berucap. "Subhanallah. Mat, Lo udah diikuti malaikat ntuh!"
Dipikir Mak Ijah, Mamat udah mau di log-out dari dunia. Mak Ijah semakin histeris, Mamat yang masih muda saja sudah diincar apa lagi dia.
"Etdah Mak. Ini Nuna, siswi pindahan baru dimari!"
Mak Ijah baru menyadari seragam Nuna. "Eh, iyah. Murid sini, Neng?" Ia menegur Nuna.
Nuna tersenyum saja. "Na, kenalin. Itu mak Ijah. Kang warung ini, nih."
Nuna mengulurkan tangan. Dia bahagia karena Mamat memperkenalkan dirinya dengan Mak Ijah.
Keduanya berjabat tangan. Mamat masih bergerutu. "Lagi Mak. Mang tau kalo malaikat cewek apa cowok. Sok tau euy."
"Yah, kan Mak kaget, Mat!"
Mak Ijah melihat tanda-tanda tuh cewek naksir sama Mamat. Dalam hati boleh juga Mamat.
"Mat, udah pepet terus. Deketin Mak setuju." Mak Ijah berbisik. Mamat jadi ikut membisikkan sesuatu di telinga Mak Ijah. "Pepet aje, lah. Aye gak gablek duit. Anak orang mau dikasih makan apaan?"
"Yah entuh Lo pikirin. Rejeki mah ada aje, Mat. Lo gak malu sama truk. Truk aje gandengan ... ."
Mamat memutar bola mata, Ye masa orang disamain ama truk. Truk pan kagak makan.
Sementara Nuna langsung duduk di jok boncengan. Gak peduli dengan apa yang Mamat bicarakan sama Mak Ijah.
Nuna memang tidak suka ikut campur. Tapi jika dia lihat, sepertinya Mak Ijah suka sama dia.
Nuna tersenyum malu karenanya.
'Ini sepeda bang Mamat?' Nuna memperhatikan seksama. Mungkin takut jatuh. Setelah selesai ngobrol dan bilang makasih ke Mak Ijah. Mamat memarani Nuna.
'Ini cewek beneran mau ikut ke rumahnya. Gak salah?'
Seharusnya kan gak kayak gini. Tapi ini malah Nuna udah duduk-duduk segala? Kepaksa deh Mamat.