University Camalyas Hight, salah satu universitas terkenal di New York, dan menjadi satu-satunya incaran utama siswa SMA untuk dapat masuk ke universitas ini.
Bukan, bukan karena dosennya baik, bukan karena kualitas maupun harganya, yaa walaupun kualitas juga termasuk alasan, tapi yang paling utama adalah, mahasiswa di sana sangat enak di pandang mata. Oke, bahasa halusnya, good looking.
Mungkin tidak hanya mahasiswanya, dosennya pun tak kalah good looking. Siapa yang tidak betah jika berlama-lama di sana. Tapi ya tentu, untuk masuk ke sana harus mempunyai otak yang cemerlang, tidak mengandalkan otak yang IQ-nya di bawah rata-rata.
Tapi mungkin mereka harus berpikir beberapa kali untuk memilih universitas ini. Wajah tak menunjukkan sifat seseorang, walaupun wajahnya bak malaikat, tapi dosen di sini terkenal akan julukan killer nya.
"Selamat pagi, Prof." sapa salah seorang mahasiswi.
Dosen itu memberikan senyum ramahnya dan mengangguk pelan.
Yaa, mungkin pengecualian untuk dosen yang satu ini.
"Pagi, Prof." seorang pemuda berhenti di depannya.
"Prof, saya hanya ingin menyerahkan tugas saya yang kemarin. Laporan Praktikum." ucapnya menyerahkan makalah yang ada di tangannya.
Dosen yang di panggil Prof itu menerimanya, membolak balik halaman melihat hasil kerja muridnya ini.
"Apa kamu sedang sakit?" tanyanya tanpa mengalihkan tatapannya dari lembaran kertas itu.
Yang ditanya pun mengerutkan kening, bingung.
"Saya sehat, Prof." jawabnya seadanya.
"Berarti kamu kurang fokus. Tulisannya masih berantakan, susunannya juga tidak rapi. Data yang kamu masukkan juga belum akurat. Bisa kamu revisi ini?" tanyanya lagi menatap muridnya menunjuk makalah itu.
"Saya kasih kamu waktu sampai besok pagi, jam 9. Makalah ini sudah harus ada di meja saya tepat jam 9, kalau cepat lebih bagus." lanjutnya memberikan makalah itu.
Pemuda itu sebenarnya ingin protes, tapi tidak jadi, melihat senyum dosennya ini dan penjelasan dosennya yang juga menjelaskannya dengan baik.
"Baik, Prof. Saya akan revisi ini dan akan saya antar tepat waktu." ucapnya balas tersenyum dan mengambil makalah itu.
"Saya permisi." sang profesor hanya mengangguk dan tersenyum.
Baru beberapa langkah profesor itu melangkah, namun kembali terhenti karena panggilan seseorang.
"Profesor Martin!"
Orang itu berlari kencang menuju sang profesor.
"Kenapa?" tanya Profesor Martin.
"Profesor ada waktu? Saya dan teman-teman saya tidak ada kelas hari ini. Kami berencana untuk praktek, bisakah Profesor mendampingi? Saya mohon." ucapnyanya sedikit memohon.
Profesor Martin melirik jam di pergelangan tangannya lalu kembali menatap pemuda itu.
"Dua jam lagi. Silahkan tunggu saya di labor. Dan saya hanya punya waktu dua jam untuk kalian." jawabnya membuat pemuda itu tersenyum senang.
"Baik, Prof. Akan saya sampaikan pada teman-teman saya. Terimakasih banyak, Prof." ucapnya lalu pergi dari sana.
"Sip. Profesor Martin mau. Dua jam lagi dia akan menuju labor. Kita disuruh menunggu di sana." ucap pemuda itu mengabari teman-temannya.
Sedangkan jauh di atas sana, tepatnya di rooftop, Erden dan Teo berdiri di sana. Memperhatikan universitas ini dari segala arah melalui drone yang dikendalikan Teo.
"Kenapa kau memilih universitas ini?" tanya Erden melihat sekitarnya.
"Hanya ingin saja." jawab Teo santai.
Erden langsung melayangkan tatapan tajamnya membuat Teo terkekeh pelan.
"Aku pikir universitas ini sangat mencolok. Dosen di sini merupakan dosen terbaik di New York. Di luar New York pun mereka terkenal. Dan kau tau? Ilmuan di sini bahkan berturut-turut mendapat Penghargaan Nobel. Luar biasa bukan?" jelas Teo antusias.
Erden hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Tak begitu tertarik dengan informasi Teo.
"Kau bisa meretas cctv laboratorium yang ada di sini?" tanya Erden.
Teo hanya menoleh sebentar padanya, dengan tatapan bertanya.
"Aku ingin melihat suasana di sana." jawab Erden mengerti tatapan Teo.
"Baiklah, sebentar."
Teo membawa drone miliknya yang di dapat dari Erden itu kembali padanya. Lalu mengeluarkan ipad pro miliknya dari dalam tasnya.
Yaa, mungkin satu kelemahan universitas ini, sistem keamanannya sangat lemah. Tak butuh waktu 15 menit, Teo bahkan sudah dapat meretasnya dan mendapatkan data-datanya.
Tapi, ayolah, ini adalah Almateo Viandles, hacker handal yang terkenal dengan julukan Flash itu bahkan dengan mudah meretas keamanan CIA dengan alasan 'hanya ingin saja' sambil cengengesan pada Erden dan Kaza saat ditanya oleh mereka.
Mungkin orang lain yang mendengarnya akan bereaksi seperti 'what? Are you kidding me?'
"Aku pikir tak ada yang menarik di sana." ucap Teo memperlihatkan rekaman cctv yang terpampang di sana.
"Yaa mungkin saja sebelum aku ada di antara mereka." ucapnya dengan ekspresi datar.
Teo langsung menarik ipad nya kembali, menatap Erden dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kau? Tidak. Aku tidak akan setuju, begitupun dengan Kaza. Aku pastikan itu tidak akan terjadi." ucapnya menyimpan ipad itu lalu pergi dari sana, tak lupa dengan drone tadi dia letakkan di bawah.
"Ada apa denganmu?" tanya Erden menyamakan langkahnya dengan Teo.
Teo hanya diam sambil terus berjalan. Dalam hatinya dia mengutuk Erden dengan berbagai nama hewan.
"Hentikan dan berbicaralah padaku. Kau membuat telingaku sakit mendengar semua hewan-hewan itu." ucap Erden kesal.
"Kau pikir saja bodoh! Kau ingin berada di antara mereka? Apa kau sudah gila?" tanya Teo semakin kesal.
"Memangnya kenapa? Aku bisa mengatasinya." jawab Erden santai.
"Ck. Sudah cukup dulu semuanya hampir terbongkar. Jadi kau tak perlu berulah lagi." ucap Teo kemudian berlari ke bawah.
"Ck. Itupun karena dia sendiri. Dasar tidak tau diri." gumam Erden kembali melangkah.
Memasang topi dan kaca mata hitamnya, tak lupa menaikkan kupluk hoodienya lalu berjalan ke bawah.
Banyak yang memperhatikannya saat ini. Apalagi dengan penampilannya yang sedikit aneh bagi mereka, serba hitam. Namun Erden tetap acuh, tak memperdulikan sekitarnya.
"Arkh!" seorang gadis menjerit saat pisau yang dia gunakan untuk mengupas apel malah mengiris jarinya.
"Eh, Le, tanganmu berdarah. Tunggu sebentar." gadis yang satunya mengambil tas dan mengeluarkan kotak obat dari dalam sana.
"Ini, cuci dulu." ucapnya memberikan air mineral pada gadis itu.
"Kau selalu ceroboh. Aku sudah mengatakan biar aku saja yang melakukannya. Lihat, sekarang kau terluka. Dasar keras kepala." oceh yang satunya.
Erden berhenti melangkah. Mencium sesuatu yang sangat menyengat. Kepalanya berputar mencari arah bau itu, dan tak jauh dari tempatnya berdiri, ada dua orang gadis yang sedang duduk di bangku taman.
Erden memegangi kepalanya yang mendadak berdenyut saat melihat cairan kental berwarna merah itu menetes dari jari gadis itu. Nafasnya tak beraturan, bola matanya yang sudah berubah menjadi warna merah itu sekarang hanya terfokus pada jari gadis itu.
Erden melangkah perlahan, wajahnya sudah menjadi sangat pucat seperti mayat, lengkap dengan dua buah taring di giginya. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah
Darah.
Erden sudah sampai di depan kedua gadis itu. Menyadari ada seseorang di depannya membuat keduanya mendongak. Namun belum sempat melihat siapa pemuda itu, seorang pemuda lain datang dan berdiri di depan Erden.
Teo menarik masker yang ada di dagu Erden sampai menutupi mulut dan hidung Erden, lalu berbalik menatap kedua gadis itu.
"Maaf, karena Kakak saya mengganggu kalian berdua. Permisi."
Kejadiannya terlalu cepat, bahkan belum sempat mereka menjawab, Teo sudah membawa Erden pergi dari sana, menuju mobilnya
"Are you crazy? You almost in trouble!" marah Teo mendorong Erden masuk ke dalam mobilnya.
Beruntung sekali Teo berinisiatif mencari Erden tadi, kalau tidak sudah dipastikan Erden dalam masalah besar sekarang.
Teo langsung mengemudikan mobilnya dengan cepat menuju rumah mereka. Sedangkan Erden sudah sedikit lebih tenang setelah meminum obat yang memang Teo siapkan di mobilnya. Untuk berjaga, katanya.
--***--
Bagaimana reaksi Teo dulu, begitulah sekarang reaksi Kaza. Bahkan mungkin lebih parah.
"Apa kau ingin cari mati? Jangan mengada-ada kau Erden. Aku tidak akan setuju sampai kapan pun." ucapnya mutlak.
"Hey, ada apa dengan kalian berdua? Aku hanya ingin kuliah, apa itu menjadi masalah?" tanya Erden merasa bingung.
Teo merasa geram dengan pertanyaan Erden. Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu.
Tak!
"Arkh! Hey! Apa masalahmu!" teriak Erden kesal.
"Bodoh. Dasar bodoh. Kemana otak pintarmu itu? Apa kau tidak berpikir dulu sebelum bertanya seperti itu? Tentu saja itu sangat menjadi masalah." ucap Teo menatap Erden kesal.
"Lancar sekali kau mengataiku bodoh. Ingatlah aku lebih tua darimu. Sopanlah padaku, kau mengerti." ucap Erden membuat Teo memutar bola matanya malas.
"Tetap saja kami tidak akan menyetujuinya. Kemarin saja kau hampir ketahuan, kau lupa?" tanya Kaza menatap Erden.
Erden menghela nafas kasar. Yang itu memang salahnya karena lupa meminum obatnya. Tapi dia tidak mungkin berbuat kesalahan yang sama bukan?
"Lalu? Aku tidak mungkin berbuat kesalahan yang sama." ucapnya dengan nada yang sangat santai.
Kaza hanya bisa mengusap wajahnya kasar. Frustasi dengan sifat keras kepala Erden.
"Baiklah begini saja. Apa yang sebenarnya kau rencanakan saat ini?" tanya Kaza menatap serius pada Erden.
"Kaza, jangan bilang kal--" ucapan Teo terputus karna Kaza menghentikannya.
"Aku ingin mengetahui apa alasannya dia membunuh ayahku." ucap Erden membuat mereka terdiam.
Selama ini yang mereka tau Erden hanya berambisi untuk menemukan pembunuhnya dan membunuhnya untuk membalaskan dendamnya. Tapi apa yang sekarang membuat Erden ingin mengetahui alasannya?
"Kenapa? Apa itu sangat mengganggumu?" tanya Kaza lagi.
"Ya. Selama ini aku berpikir tapi aku tak dapat menemuan kemungkinan yang tepat. Yang aku tau, ibuku mengatakan kalau mereka sahabat. Tapi mengapa dia membunuh ayahku kalau mereka sahabat?" jelas Erden.
Rumit memang, mereka tau betul bagaimana perasaan Erden. Tentu saja, masalah mereka semua itu sama. Sama-sama ingin mengetahui alasan dari orang-orang yang membuat mereka jadi seperti ini.
"Baiklah, jika itu jalan yang kau inginkan." ucap Kaza setelah lama berpikir.
Erden hanya tersenyum tipis, lalu mereka beralih menatap Teo. Mengerti dengan tatapan itu, Teo hanya mendengus pelan.
"Aku tetap akan kalah kalaupun aku menolak." ucapnya malas membuat mereka terkekeh.
"Tapi kau." tunjuknya pada Erden.
"Belikan aku Alienware AW17R4 (sejenis laptop untuk hacking). Dan satu set Raspberry Pi 3 (sejenis perangkat untuk hacking). Bagaimana?" tanyanya.
Erden hanya menatap datar pada Teo. Keinginannya tidak jauh-jauh dari hal-hal yang berbau hacker.
"Ya baiklah. Sekarang kau urus kepindahanku, jangan lupa data semua ilmuan itu." ucap Erden dan pergi dari sana.
"Waah aku tidak sabar mendapatkannya." ucap Teo antusias.
"Kau selalu memanfaatkannya." ucap Kaza dan pergi dari sana.
"Ck. Biarkan saja. Jasaku ini memang harus di bayar mahal!" ucapnya sedikit berteriak.
--***--
Hari ini, kali kedua Erden melangkahkan kakinya di University Camalyas Hight, tempat yang mulai saat ini sampai kedepannya menjadi tempat dia belajar, juga mencari pembunuh ayahnya.
Untuk saat ini, dia hanya memfokuskan diri untuk mencari sampel DNA beberapa ilmuan yang nama dan fotonya sudah tersusun rapi di ponselnya. Berkat Teo.
Itu cukup mudah baginya.
Hingga saat ini, hanya tinggal 3 dari 10 orang ilmuan yang belum dia dapatkan sampelnya.
Brak!
"Eh, maaf. Saya terlalu buru-buru. Kamu tidak apa-apa?" seorang dosen, sepertinya, mengambil tas Erden yang terjatuh karenanya.
Erden menerimanya dan menatap pria di depannya.
"Ya. Saya tidak apa-apa." jawab Erden.
Tapi, aneh. Orang ini malah terdiam menatapnya dengan tatapan yang entahlah, Erden tidak mengerti.
"Permisi." ucap Erden pergi dari sana.
Namun di langkah selanjutnya Erden berhenti melangkah mendengar ucapan pria itii
"Dia mirip Tanus." batin pria itu
srden mengerutkan keningnya lalu berbalik.
"Kenapa dia mengenal Ayah?"
--***--