Ulang dari awal

1355 Words
"Apa yang kau lakukan!" pria paruh baya itu berteriak dengan tenaga yang masih tersisa. Di sana, di depannya, istrinya tersungkur di bawah akibat dorongan kasar dari pria di depannya ini. Pria itu hanya berdecih dan menyeringai, meremehkan orang di depannya. Tampak sangat tak berdaya dengan tubuhnya yang terikat di kursi itu, apalagi di tambah dengan banyaknya luka di sekujur tubuhnya. "Bukankah aku sudah mengatakan semuanya sejak awal?" jawabnya berjalan mendekat. "Aarrgghh!" rambutnya ditarik kasar membuat wanita itu mendongak dan menjerit kesakitan. "Lepaskan istriku b******n! Kau ingin mati hah!" teriak pria itu memberontak di kursinya. Terdengar cekikikan di sana. "Mati? Siapa yang akan membunuhku? Kau? Cih, yang benar saja." ucapnya bergumam di akhir kalimatnya. Menambah kerasnya cekraman pada rambut sang wanita, dan tersenyum senang melihat raut kesakitan di wajah wanita itu. "Lepaskan dulu dirimu dude. Baru kau boleh bermimpi membunuhku." ucapnya lagi beralih menatap pria yang terikat itu. "Lepaskan dia. Kau boleh membunuhku, tapi lepaskan dia. Dia tak tau apa-apa tentang masalah ini." ucap pria itu setengah memohon. Pria itu melepaskan cekramannya dengan kasar lalu berdiri menatap pria di depannya. "Kau tau benar apa yang tidak aku sukai, teman. Kau bahkan mengenal aku lebih baik daripada keluargaku sendiri. Tapi kau sendiri~" pria itu menggantung ucapannya lalu menggeleng pelan. "Tidak, sebenarnya kau tidak salah. Hanya saja, kau terlalu beruntung dari segi apapun. Dan yaa, aku iri akan hal itu." lanjutnya berjalan ke sisi lain dari ruangan itu. "Kenapa kau seperti ini? Bukankah kita sudah bersahabat sejak lama? Kenapa kau melakukan ini padaku?" tanya pria itu dengan tatapan yang sulit diartikan. "Sahabat? Hahaha~" Pria itu berbalik dengan tatapan sinisnya menatap pria yang terikat di sana. "Sahabat kau bilang? Kau yakin dengan ucapanmu? Kurasa tidak." "Jika benar kau sahabatku, maka kau tak akan menolak memberi sedikit keberuntungan itu padaku. Bukankah aku hanya meminta sedikit? Tapi kau malah menghinaku dengan mengatakan aku ini konyol? Itu sahabat menurutmu?" tanyanya dengan sedikit terkekeh. Pria itu menggeleng beberapa kali. Bukan itu maksudnya mengatakan kata-kata itu. "Kau salah paham. Kau tidak mengerti dengan apa yang aku jelaskan-" "Karena aku memang tidak ingin mengerti!" teriak pria itu lantang. Tampak kilatan amarah yang sangat besar di matanya. "Aku menjelaskan maksudku padamu tapi kau tidak mengindahkannya, lalu untuk apa aku berusaha mengerti penjelasanmu hah! Katakan!" teriaknya lagi. Pria itu hanya diam sambil memejamkan matanya. "Pergilah, selamatkan anak kita. Pergi sebelum dia juga melemahkanmu." "Aku mohon, hanya kau yang bisa menyelamatkannya. Pergi jauh dan hiduplah dengan tenang. Jaga dia untukku. Katakan padanya, dia harus seperti ayahnya, aku sangat menyayangi dia dan dirimu." Pria itu kembali membuka mata dan melihat istrinya yang menatapnya dengan tatapan tak rela. Menangis dalam diam, menangis karena ketidakberdayaannya untuk menyelamatkan suaminya. Suaminya tersenyum menatapnya, senyum terakhir yang dapat dia ingat setelah ini. Bangkit dengan perlahan, lalu berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu. "Hey! Jangan pergi kau!" teriak pria tadi melihat mangsanya melarikan diri. "Biarkan dia maka aku akan menuruti kemauanmu!" teriak pria itu membuat pergerakan pria di depannya terhenti. Penawaran yang menarik pikirnya. Berbalik dan kembali berjalan kearah pria itu dengan tersenyum senang. "Tapi itu tidak akan pernah terjadi." lanjutnya berucap pelan membuat langkah pria itu terhenti dan senyumnya perlahan luntur. Tangannya terkepal kuat, kemudian terkekeh pelan dengan raut amarah yang terlihat jelas di wajahnya. Bugh! "Arkh!" pria itu meringis menerima tendangan itu, sangat kuat hingga membuatnya terjatuh bersama kursi tempatnya terikat. "Dua kali. Kau merendahkanku dua kali. Baiklah, aku menghormati keputusanmu." ucapnya pelan. Mengambil balok kayu yang ada di sana, dan mulai memukulkannya pada pria yang dia ikat. Berjam-jam lebih, namun tenaga pria itu sama sekali tidak terkuras memukul pria yang di ikat. Hingga sang surya hampir menampakkan dirinya, baru pria itu berhenti. Membuang balok kayu itu dan menyeret pria tadi ke luar dari ruangan itu. "Aku akan mengabulkan keinginanmu untuk mati. Tapi ingat, istri dan anakmu masih berada dalam pengawasanku. Mereka yang akan mewujudkan keinginanku." ucapnya terus berjalan keluar. Mendorong pria itu keluar dan berdiri tepat di ambang pintu. "Selamat tinggal, sahabatku." ucapnya pelan. Cahaya matahari itu semakin cepat merambat, dan setelahnya yang terdengar hanya teriakan kesakitan dan tawa bahagia yang bersahutan di tempat itu. --***-- Mobil sport berwarna hitam itu melaju dengan sangat kencang, seakan hanya dia yang melintasi jalan ini. "Hey! Jika kau berniat bunuh diri, turunkan saja aku. Aku masih ingin hidup!" teriak pemuda lain di sebelahnya. Seakan tuli, pemuda itu tak mempedulikan ocehan pemuda yang berstatus sebagai sahabatnya itu yang sedang ketakutan. Lihatlah, kedua tangannya bahkan sampai gemetar saking kuatnya berpegang pada sabuk pengaman. "Ya Tuhan. Aku berjanji tidak akan mencuri brankas lagi jika aku selamat." gumamnya sambil menutup matanya takut. Sedangkan sang pengemudi hanya tersenyum tipis mendengar gumaman itu. Sebegitu takutnya kah sahabatnya ini, sampai merapalkan gumaman tak berguna itu hingga berkali-kali? Ayolah, dia juga belum mau mati. Seperkian detik, mobil itu melambat, membuat pemuda tadi kembali membuka matanya. Terdengar helaan nafas lega darinya, melihat halaman rumah mereka yang luas dan bangunan bak istana di depannya. "Apa kau lupa jika aku punya jantung? Bagaimana kalau tadi jantungku tiba-tiba merosot karena terkejut?" tanyanya menatap kesal pemuda itu. Tak menjawab apa-apa, pemuda itu langsung keluar dan berjalan menuju rumah itu. "Ck. Ingin sekali aku membakarnya agar dia sedikit menghangat." gumamnya dan keluar menyusul pemuda itu. "Ah, kalian sudah sampai ternyata." seorang pemuda yang baru saja turun dari atas tangga, mendekat dan menyambut mereka berdua. "Bagaimana perjalannya?" tanyanya melihat raut berbeda dari keduanya. "Tanyakan padanya, Kaza. Huh! Dia benar-benar ingin membuat jantungku berdetak secepat detak jantungnya." ucapnya dan berlalu menuju kamarnya. "Ada apa dengan anak itu?" tanya pemuda yang tadi menyambut mereka. "Dia hanya tidak terbiasa dengan mobilku." jawabnya santai. Pria itu mengerti sekarang. Ya, itu sudah pernah dialaminya, jadi tidak heran jika Teo begitu kesal pada pemuda ini. "Kaza, bagaimana? Sudah membuahkan hasil?" tanya pemuda itu. "Kau tau bukan kalau itu membutuhkan waktu. Bersabarlah, aku akan memberikan hasilnya begitu keluar." jawab Kaza dan pemuda itu mengangguk. "Bagaimana kalau hasilnya sama seperti sebelumnya?" tanya Kaza padanya. "Itu berarti kau kembali bekerja dari awal." jawabnya sambil terkekeh kecil. Kaza mendengus mendengarnya. Sahabatnya yang satu ini memang selalu menjengkelkan ketika berbicara. "Ck. Menjengkelkan sekali." ucapnya kesal. Pemuda itu hanya mengedikkan bahunya acuh dan berjalan menuju kamarnya. "Erden." Kaza membuat Erden memutar tubuhnya menatapnya. "Aku sudah membelikan kalian makanan. Bersihkan dirimu, dan panggil Teo. Makanlah bersamanya. Aku akan pergi sebentar." ucap Kaza dan Erden hanya mengangguk mengerti lalu kembali berjalan ke atas. --***-- Terhitung sudah 5 universitas di negara berbeda, namun hasilnya tetap sama, nihil. Yaa tak jauh berbeda dengan yang sekarang ini. "Arggh!!" Erden menjambak rambutnya kasar, dia frustasi. "Kenapa semua ini tetap sia-sia!" teriaknya marah. Prang! Guci mahal itu sudah tak berbentuk di bawah sana. Tak hanya pada guci, tapi juga pada barang-barang di sana, selagi tangannya itu dapat menjangkaunya. "Hey!" Teo menghentikan pergerakan Erden. "Itu laptopku." ucapnya pelan menatap benda yang hampir saja dihancurkan oleh Erden. Mendengus kesal, Erden dengan cepat melempar benda persegi yang bisa di lipat itu ke arah Teo dan untungnya Teo dapat menangkapnya. "Sudahlah Den, ini sudah biasa terjadi. Bukankah kau yang bilang kalau tidak berhasil maka kita harus kerja dari awal?" ucap Kaza menenangkan Erden yang masih emosi. "Tapi ini sudah ke enam kalinya, Kaza. Dan masih tak membuahkan apa-apa. Tentu aku marah." ucapnya menatap Kaza kesal. "Lalu kau ingin menyerah begitu saja?" tanya Kaza. Erden mendecih tak suka. "Teo, kau lacak lagi para ilmuan itu. Pastikan ini tempat terakhir kita." ucapnya lalu pergi dari sana. Teo dan Kaza hanya saling tatap sebentar lalu menghela nafas kasar. "Apa kau memberikan obat dosis tinggi padanya?" tanya Teo tiba-tiba. "Kenapa?" Kaza balik bertanya seraya membersihkan ruangannya. "Emosinya tidak terkontrol akhir-akhir ini. Apa kau tidak salah memberi obat padanya?" tanya Teo lagi mendapatkan tatapan datar dari Kaza. "Seperti memberi darah murni maksudmu?" tanya Kaza santai kembali pada pekerjaannya. Teo memelototkan matanya mendengar itu. "Jangan bilang kau melakukannya!" teriak Teo masih dengan raut terkejutnya. "Arkh!" Teo mengusap-usap kepalanya yang terkena jitak-an Kaza. "Lebih baik kau kerjakan pekerjaanmu. Atau kau mau aku racun?" ucap Kaza membuat Teo menggeleng cepat. Berlari keluar dari ruangan Kaza dan masuk ke ruangannya sendiri. Walaupun itu hanya candaan, tapi tetap saja Teo takut. Bisa saja Kaza nekat bukan? Sungguh, Teo masih sangat sayang nyawanya. --***--
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD