9. Mencari dukun

2102 Words
Malam itu, Cristian masuk ke kamarnya. Ia mengeratkan genggaman pada benda di tangannya. Saliva ditelan dalam-dalam ketika langkah kakinya berhenti di depan lukisan. Cristian belum tahu makhluk apa yang hidup dalam lukisan tersebut. Meskipun, gadis itu telah menolongnya—mengusir hantu yang datang untuk dirinya. Namun, Cristian kembali mengubah pikirannya hanya dalam beberapa jam saja. Dia masih tidak percaya kalau hantu ada. Pikiran manusia akan berubah kapan pun dan kembali ke pemikiran semula, atau mendapatkan pemikiran lain. Cristian mengangkat palu di tangannya. Palu tersebut sudah berada di depan lukisan. Cristian menguatkan diri dan juga pikirannya untuk menghancurkan lukisan Zisy. Beberapa menit telah berlalu, tapi palu yang di tangan Cristian tak bergerak dari udara. Cristian menajamkan pikirannya, menutup matanya, lalu menggerakkan tangannya ke depan. Ia siap menghancurkan lukisan itu. “Sekarang!” seru Cristian dalam hati. Pada saat palu akan bersentuhan dengan bingkai lukisan, tangan Cristian berhenti seketika. Bukan karena ada yang menghalangi, melainkan ia tak sanggup untuk menghujamkan palu pada Zisy. “Tidak!” Cristian berbalik dan membelakangi Zisy. Palu masih di tangannya, dan ia semakin mengeratkan pegangan palu. “Aku harus yakin! Dia bukan manusia, jadi aku tidak menanggung apa pun!” Cristian begitu keras mencoba meyakinkan dirinya. Oleh karena itu, ia berbalik lagi. Akan tetapi, wajah Zisy yang ia dapati. Gadis manis itu menatap Cristian dengan mata bulat dan terangnya. Netra zamrudnya seolah bertanya pada Cristian, “apa yang sedang kau lakukan?” “Aku tidak melakukan apa pun,” Cristian menjawab dan buru-buru menyembunyikan palu di belakang punggungnya. Napasnya sedikit tersengal karena kaget akan kehadiran gadis itu. “Aku, bahkan belum bertanya, tapi kau baik sekali sudah menjawab,” ujar Zisy dengan nada manis yang menyihir indera pendengaran Cristian. Palu di tangan pria itu pun jatuh ke lantai, dan meretakkan keramik. Mereka bersamaan menoleh pada palu yang jatuh. Buru-buru Cristian mengambil palu tersebut. Ia menyayangkan keramik kamarnya; retak. “Ah! Sekarang keramiknya retak,” gerutu Cristian dengan nada jengkel. “Lagian, untuk apa kau membawa palu ke dalam kamar?” Zisy ikut berjongkok dan mengawasi wajah Cristian yang jengkel. “Untuk menghancurkan lukisan itu,” jawab Cristian tanpa sadar. Cristian mematung, detik kemudian ia menoleh pada Zisy. “Aku salah bicara! Apa dia akan membunuhku?” Perlahan Cristian bangkit dan mundur satu langkah. Dalam kepalanya berusaha mencari alasan. Namun, Zisy mendekat padanya dengan ekspresi berbeda. Cristian merasa panik, dan tak bisa memikirkan apa pun saat ini. Ia terus mundur, sampai betisnya bertemu ranjang. Sekarang Cristian tak bisa mundur lagi. “Jangan mendekat! Aku membawa palu!” perintahnya. Cristian mengacungkan palu di depannya, mengancam gadis itu agar tak mendekatinya. “Menghancurkan lukisan? Kau yakin bisa menghancurkannya dengan palu kecil itu?” Zisy berdiri di sebelah Cristian. Netranya mengamati lukisan yang lebih besar daripada rumahnya. “Kau harus menurunkannya dulu, lalu membakarnya. Mengapa kau ingin menghancurkannya di kamar. Kamarmu akan berantakan, Cristian.” “Ah, ya?” Cristian terlihat bingung saat ini. Apakah Zisy sedang memberinya saran untuk menghancurkan lukisannya? “Lukisan di sebelah rumahku. Lukisan itu terlihat buruk. Ah, aku tahu kau pasti akan menghancurkannya,” jelasnya. Menunjuk pada lukisan abstrak. Cristian melongo karena Zisy menunjuk pada lukisan abstrak yang dilukis oleh Cristian sendiri. “Hei!” bentak Cristian. Ia segera menuju lukisan tersebut. “Kau bilang apa tadi? Lukisan buruk? Kau tahu berapa lama aku membuatnya, ah? Berapa lama?” Cristian terlihat lebih jengkel daripada sebelumnya. Ia melangkah menuju Zisy dan meluapkan kemarahannya di depan gadis itu. “10 bulan,” ujarnya. “Aku membuatnya selama 10 bulan!” Napas Cristian memburu, menyentuh wajah Zisy. “Oh, rupanya itu ... milikmu, ya?” Zisy memalingkan muka karena merasa bersalah. “Kalau bukan lukisan itu, lalu lukisan mana yang mau kau hancurkan, Cris?” “Lukisanmu! Aku mau menghancurkannya agar kau pergi!” Cristian menjawab dari hati. “Tidak ada. Masuklah ke rumahmu. Sekarang sudah malam, jadi aku mau istirahat!” Cristian beranjak. Ia meletakkan palu di laci paling bawah. Setelahnya, ia mengunci laci tersebut, lalu naik ke atas ranjang. Ia memunggungi Zisy, menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Sementara, gadis itu terdiam seraya mengamati Cristian. Netra zamrud itu terlihat sedikit kecewa. Lantas, kembali ke dalam lukisan. *** Keesokan paginya, Cristian berusaha keras menghindari Zisy. Dia bangun lebih pagi, lalu meninggalkan vila. Cristian menelepon Radika pagi-pagi buta. Ia menanyakan dukun yang bisa membantunya. Saat ini, Cristian tengah menuju rumah dukun itu, guna meminta pertolongan. Cristian tak yakin, tapi dia harus mencoba. Kehidupannya tak akan normal lagi kalau gadis itu terus mengikutinya. Pria itu mencari-cari tempat tinggal seorang dukun di sebuah pedesaan. Radika sudah mengirimkan lokasinya pada Cristian, tapi karena jalan pedesaan tidak bagus, Cristian sering salah memilih jalan. Setelah berkendara kurang lebih selama 2 jam, Cristian menghentikan mobilnya di sebuah rumah kuno. Yang ia yakini rumah dukun kenalan Radika. Ia tahu Radika sering ke dukun untuk meminta pertolongan. Radika sangat percaya akan adanya makhluk halus, berbeda dengan Cristian yang tak percaya sama sekali. Jika Zisy tak pernah muncul, Cristian tak akan pernah mengunjungi tempat seperti itu. Cristian melangkah masuk dan mencium bau aneh dari rumah itu. Kemudian, kakinya dihadang oleh beras yang di lemparkan dari dalam. “Apa-apaan ini? Dia membuang-buang beras?” “Kau sudah datang, masuklah,” ujar suara dari dalam. Suara laki-laki itu terdengar berat dibuat-buat lebih dramatis. Cristian mengerutkan alis. Namun, ia menurut dan masuk ke dalam. “Lepaskan sepatumu,” lagi-lagi Cristian mendengar suara dari dalam. Ia sempat terkejut, kemudian melepaskan sepatunya. Cristian melangkah masuk dan mendapati seorang pria berjanggut lebat menatap ke arahnya. “Duduk!” perintahnya. “Ah? Ya,” jawab Cristian, yang segera duduk berhadapan dengan dukun. Dukun itu mengamati Cristian dengan teliti. Lantas melemparkan bunga pada laki-laki itu. Cristian terkesiap akan perlakuan dukun padanya. Dia ke sini untuk meminta jimat bukan untuk diperlakukan seperti orang kesurupan. “Aku ke sini untuk meminta jimat atau apa pun itu—” “Diam!” seketika itu Cristian terdiam. “Auramu disukai makhluk halus. Mereka datang setiap malam untuk meminta makanan padamu,” ujar dukun itu seperti yang dikatakan oleh Zisy pada Cristian. “Apa?” “Kubilang mereka datang setiap malam dan memakan energimu,” ucapnya sekali lagi. Entah Cristian harus percaya atau tidak. Dia ke sini bukan untuk mendengarkan hal yang sama terus menerus. “Aku ke sini untuk meminta sebuah jimat atau apa pun yang bisa mengusir gadis dalam lukisan itu!” “Gadis dalam lukisan?” ulang dukun. “Tidak ada gadis dalam lukisan, tuh. Tapi, hantu-hantu dan makhluk lainnya yang datang padamu.” “Apa maksudmu tidak ada, Pak dukun? Dia benar-benar keluar dari dalam lukisan! Beritahu saja cara untuk mengusirnya,” bantah Cristian. Dukun itu menghela napas. Sedikit tak percaya dengan ucapan Cristian. Namun, dukun itu tak mau lama-lama berdebat dan membuatkan sesuatu untuk Cristian. “Bawa ini dan simpan di dalam kamarmu,” katanya, memberikan sebuah daun dilipat. Entah daun apa, Cristian tak tahu. “Ini saja?” “Iya, ini juga bisa mengusir hantu-hantu itu,” jelasnya. “Kau yakin?” Cristian bertanya memastikan. “Kalau tidak percaya, mengapa datang ke sini?!” bentak dukun itu, yang membuat Cristian mengambil daun tersebut dan segera berdiri. “Kalau begitu aku akan membawanya.” *** Cristian kembali ke vila. Ia menyimpan benda itu di dalam tasnya. Lantas pergi bekerja terlebih dahulu. Tidak ada Zisy yang mengganggunya. Jadi, ia bisa fokus bekerja. Terdengar ketukan pintu ketika Cristian fokus membaca dokumen keuangan. “Masuk,” ujarnya. “Pak, Anda ingin makan siang apa?” tanya sekretarisnya ketiak melangkah masuk. “Apa saja,” jawab Cristian. “Apa saja itu apa, Pak?” tanya wanita itu lagi. Cristian mengalihkan tatapannya pada sekretarisnya. Terlihat agak kesal karena diganggu. “Ayam betutu dan nasi saja,” tandasnya. “Baik, Pak. Kalau begitu saya keluar dulu.” Akhirnya, Cristian bisa kembali bekerja setelah sekretarisnya keluar. Dengan teliti Cristian membaca dokumen keuangan mulai dari awal karena dia tak mau ada yang terlewatkan. Kalau sudah berhubungan dengan uang, Cristian akan membaca detail sekecil apa pun. Setengah jam kemudian, tepat pukul 12 siang, Cristian selesai memeriksa dokumen tersebut. Jika dokumen lain, Cristian hanya butuh beberapa menit saja. Ia terlalu menekan dirinya jika berhubungan dengan uang. Ketukan di pintu kembali terdengar, ia menoleh pada arlojinya dan bisa menebak siapa yang datang. “Masuk.” Pintu dibuka dan memperlihatkan sekretaris membawa menu makan siang yang Cristian minta sebelumnya. “Ayam betutu, air putih, sambal, jus semangka, buah mangga, dan kue brownies yang terakhir nasi sudah siap,” papar sekretarisnya. “Kau tidak perlu menjelaskan, aku sudah bisa lihat,” balas Cristian. “Saya harus jelaskan karena ketika saya tidak menjelaskan, Anda mencari saya untuk menjelaskan menu makan siang yang tidak Anda ketahui,” balas sekretaris itu. Cristian terdiam membeku. Ia tidak mengingatnya sama sekali. “Ya, sudah, kau boleh keluar, Nela.” “Baik, Pak,” Nela balas tersenyum, kemudian berlalu dari kantor Cristian. “Kok, bisa aku memilih dia jadi sekretarisku?” Cristian mempertanyakan dirinya sendiri sudah memilih Nela. Kemudian ia duduk, menciumi aroma ayam betutu di depannya. Cristian segera mengambil garpu dan pisau untuk memotong ayam betutu tersebut. Belum sempat Cristian memasukkan sepotong ayam betutu ke dalam mulut, Cristian dikagetkan oleh wajah tak asing. “Aku lapar, Cris. Aku juga mau makan siang,” ujar Zisy. “Bagaimana kau bisa kemari?” tanya Cristian. Zisy tersenyum memperlihatkan gigi putihnya. Kemudian duduk berhadapan dengan Cristian. “Itu tidak sulit. Aku mencium aroma lezat ini dan mengikutinya.” Ia menepuk dahinya. Cristian pikir dengan berada di kantor, Zisy tak akan menemukannya. Ternyata ia sudah salah. Harusnya Cristian menaruh benda itu di kamarnya agar Zisy tak mengganggunya. “Benda itu ada di sini, tapi mengapa Zisy masih bisa di sini? Bukankah seharusnya dia lenyap?” Cristian langsung bangkit, ia merogoh tasnya. Mencari-cari benda yang diberikan oleh dukun. Setelah mendapatkan benda itu, ia membawanya ke meja makan. Namun, tak terjadi apa pun pada Zisy. Kemudian, Cristian mendekatkan benda itu pada Zisy. Bahkan, menempelkannya di wajah gadis itu. Zisy hanya memperhatikan tingkah Cristian dan sesekali tersenyum. “Kenapa tidak berfungsi?” Cristian merasa frustrasi. Ia mengelilingi Zisy dengan benda itu, tetapi masih tak ada hasil. “Rupanya dia menipuku! Harusnya aku tidak percaya dengan daun yang dilipat ini! Sialan!” makinya. Cristian segera membuang benda itu ke tong sampah karena dianggap tak berguna. Zisy memperhatikan tempat sampah yang memperlihatkan makhluk halus terbakar. “Benda apa yang kau buang, Cris?” gadis itu bertanya penasaran, lalu berjalan ke tempat sampah. Dia mengambil benda itu kembali dan mengamatinya. “Mengapa kau mengambilnya dari tempat sampah? Letakkan!” perintahnya. “Dari mana kau mendapatkan ini?” tanya Zisy lagi. “Itu tidak penting. Lagi pula, daun itu tidak berguna. Kau buang saja.” Cristian tak peduli lagi dan berjalan ke meja makan. Namun, ia berhenti dan melirik tangannya yang mungkin tak bersih. “Aku mau cuci tangan. Dan kau ... jangan sentuh makan siangku,” perintahnya. Gegas Cristian keluar dari kantor menunjuk ke wastafel di dekat kantornya. Dia membubuhkan cairan pembersih di atas telapak tangan dan menggosok tangannya beberapa kali. Setelah merasa bersih, Cristian kembali ke kantornya dan mendapati makan siangnya persis seperti semula. Dia tersenyum karena Zisy tak menyentuhnya. Lantas Cristian duduk dan mengambil pisau juga garpu. Meskipun demikian, ia tidak bisa makan karena melihat wajah Zisy yang merengek minta makan. “Kau bahkan bukan manusia,” ucapnya. “Apa kau bisa makan—makanan manusia?” “Bisa,” jawabnya. Zisy menghampiri Cristian setelah membuang daun di tangannya. “Cuci dulu tanganmu,” pintanya. “Sudah bersih,” Zisy memperlihatkan telapak tangan pada Cristian. “Aku tidak percaya. Sekarang keluar dan cuci di wastafel. Aku akan mengawasimu,” perintahnya. Lagi-lagi Cristian harus bangkit. Ia menghela napas karena merasa sedikit lelah. Zisy mengikuti Cristian, lalu keluar dari kantor menuju ke wastafel. Gadis itu melakukan seperti yang Cristian yang suruh. Orang-orang berhenti ketika melihat air wastafel mengalir, padahal tidak ada orang di sasana. Cristian yang melihat itu, segera berucap. “Aku baru saja menggunakannya. Kemungkinan wastafelnya rusak.” Orang-orang terlihat lega mendengar suara Cristian. Detik kemudian air penuh wastafel sudah tak mengalir lagi. Namun, para karyawan tak terkejut karena mereka menduga keran rusak. Zisy masuk ke kantor Cristian. Lantas yaitu menutup pintu kantornya dan mendapati gadis itu sudah duduk di meja makan. Cristian menggeleng kecil, berjalan menuju meja makan. Dia mengambilkan sebuah piring daun untuk gadis itu. Lantas memotong ayam betutu dan diberikan pada Zisy. Cristian juga merasa penasaran, apakah benar Gadis itu bisa makan—makanan manusia. Ia juga memberikan garpu dan sendok pada Zisy. Cristian tercengang melihat gadis itu makan dengan lahap. Ia tak menyangka ucapan gadis itu ternyata benar. Kini Cristian semakin bingung, apakah dunia ini yang bermasalah atau penglihatannya ada yang bermasalah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD