6. Menyerahkan atau tidak?

1143 Words
Cristian masih menunggu jawaban Zisy. Entah apa yang membuatnya tergugah untuk berbincang sejenak dengan makhluk yang bukan manusia itu. Setelah diperhatikannya beberapa detik, wajah Zisy cukup manis dan imut. Ia ingin tahu bagaimana rupa asli gadis itu, jika tidak memakai riasan. Menggelengkan kepalanya, Cristian sadar bahwa pikirannya telah melayang jauh. Ia melanjutkan langkah kakinya, dan meninggalkan Zisy. Gadis itu tak tampaknya tak mampu memberikan Cristian alasan. Oleh karena itu, Zisy tak mengikuti langkah Cristian. Lebih memilih untuk kembali ke kamar Cristian. Sementara itu, Cristian terus melangkahkan kakinya menuju kantor. Tak menyadari kehadiran Zisy, ia menengok ke belakang. Rupanya gadis itu tidak mengikutinya lagi. Dengan santai Cristian merogoh ponselnya. “Aku harus telepon Radika,” gumamnya. Kantor Cristian tidak terlalu jauh. Jadi sambil menelepon sahabatnya, ia tak menghentikan langkah menuju kantor. Suara Radika terdengar dari seberang telepon bersamaan dengan Cristian yang menutup pintu kantornya. “Tumben sekali pagi-pagi sudah meneleponku?” Sebelum Cristian membalas ucapan sahabatnya itu, buru-buru ia duduk di kursinya. Sejenak mengawasi ruang kantor. Tidak ada siapa pun, yang dalam artian; gadis itu tidak ada di dalam kantornya. “Rad kau ingat kemarin aku meneleponmu, kan? Begini tentang hadiah ulang tahunku. Aku mendapatkan sebuah lukisan yang dikirim oleh anonim,” Cristian bercerita. “Anonim? Lantas apa masalahnya? Kalau kau tidak suka dengan lukisan itu, kau bisa membuangnya, Cris.” Saran Radika sama sekali tidak membantu. Akan tetapi, Cristian tak mempermasalahkan hal itu lantaran Radika belum tahu masalah sebenarnya. Cristian tengah bimbang di kursinya. Haruskah ia katakan pada Radika? “Rad, lukisan itu bukan lukisan biasa.” “...” Radika terdiam mendengar kalimat yang keluar dari mulut Cristian. “Bukan lukisan biasa? Maksudmu lukisan itu bernilai tinggi? Ataukah lukisan curian?!” Semua dugaan Radika tidak ada yang benar sama sekali. Cristian tak bermaksud untuk membuatnya menebak. Hanya saja ia ragu untuk mengatakan bahwa lukisan tersebut hidup dan ia berbicara pada lukisan tersebut. “Kau tahu, Cris, kau akan dalam masalah besar jika itu sebuah lukisan curian. Kau mau aku melihatnya, Cris?” “Bukan, Rad, tapi lukisan itu hidup. Kau datang saja ke sini dan lihat sendiri.” “...” Lagi-lagi Radika terdiam. “Cris jika aku ke sana dan ucapanmu ini tidak terbukti, kau harus mengikuti saranku, ok?” *** Cristian membawa sahabatnya ke vila pribadi, yang mana tempat itu sebelumnya adalah tempat pesta ulang tahunnya. Di belakangnya Radika tak sabar ingin melihat lukisan yang membuat Cristian yang terlihat sedikit stres. Netra biru safir memperhatikan pintu kamarnya. Cristian tak mengetahui sebab dari kebimbangan hati, yang melanda saat ini. Jemarinya berhenti memutar kenop pintu. Seolah-olah ada yang menghentikannya dari kegiatan itu. Seingatnya lukisan itu bisa membawa dirinya ke kamar Cristian. Bagaimana kalau saat ini lukisan tersebut tak ada di kamarnya? Apa yang harus ia katakan pada Radika? Mungkin saja Radika akan membawanya menemui psikolog atau bahkan ke orang pintar. Melihat Cristian yang tampak ragu-ragu, Radika menepuk bahunya. Berdiri lebih dekat lagi dengan pria itu. Radika tak menampakkan ekspresi apa pun. “Cris dari yang kau ceritakan padaku tadi, lukisan itu hidup? Bukannya kau tidak percaya dengan adanya makhluk halus? Apa lagi dengan lukisan yang hidup.” Tanpa melihat ke arah Radika, Cristian membalas ucapan sahabatnya, “Ya, aku memang tidak percaya. Tapi aku melihatnya sendiri.” Setelah mengatakan hal itu, Cristian memutar kenop pinta lalu membukanya. Melangkahkan kaki memasuki kamarnya diikuti oleh Radika. Melihat lukisan yang masih tergantung di dinding. Rupanya Zisy tak pergi dari sana. Cristian segera memperlihatkan lukisan tersebut pada Radika. “Lihat inilah lukisan yang aku maksud, Rad.” Radika mendekat, dan mengamati lukisan tersebut. Tidak ada yang aneh, hanya saja gaya lukisan tersebut agak unik di matanya. Warna yang halus dan goresan-goresan yang sempurna. Benar, tampaknya lukisan tersebut seperti potret nyata. Apakah ini yang dimaksud oleh Cristian? “Keluar dan tunjukan dirimu.” Suara Cristian mengganggu pengamatan Radika. Dia mengelih pada Cristian sembari mengerutkan dahi. Sahabatnya tiba-tiba menjadi aneh dalam semalam. “Kau sedang bicara pada siapa, Cris?” “Padanya,” jawabnya sembari menunjuk pada lukisan Zisy. Baiklah, baiklah, Radika akan bekerja sama dengan Cristian. Ia ingin tahu sebenarnya ada apa dengan Cristian pagi ini. Beberapa menit berlalu dan tidak ada siapa pun yang keluar. “Cris, tidak ada siapa pun. Dan lukisan ini tampak baik-baik saja. Jika kau khawatir, aku bisa membawa lukisan ini.” Cristian termenung. Apakah semalam dan tadi pagi hanya halusinasinya saja? Namun, tampak begitu nyata. Mana mungkin Cristian salah melihat? Pada saat Radika akan menanggalkan lukisan dari dinding. Cristian melihat mata Zisy menampakkan kesedihan. Tidak mungkin! Diperhatikannya lagi dengan saksama. Sorot mata sedih terus terlihat begitu jelas. Cristian menghentikan tangan Radika. “Jangan. Kau tidak perlu melakukannya.” “Kau yakin?” *** Pada malam hari, Cristian kembali ke kamarnya setelah sibuk bekerja. Ia tak memikirkan lukisan tersebut setelah mengantar Radika. Cristian bertingkah seperti biasa. Seolah-olah lupa dengan kehadiran lukisan Zisy. Masuk ke kamar mandinya, dan keluar setelah dua puluh menit. Tak disangka, Zisy menunggu di depan pintu kamar mandi. Sontak saja membuat Cristian kaget. Ia belum terbiasa dengan kehadiran gadis berpakaian Victoria itu. Ia melihat sedikit ruang dan melewati Zisy. Masih hangat di pikirannya ketika melihat sorot mata sedih Zisy. “Kau mau mengusirku? Mau memberikanku pada temanmu?” Menghela napasnya, Cristian menjawab dengan lirih, “Tidak.” “Kau sudah berjanji akan mencari orang yang melukisku. Apa kau lupa?” Hening. Cristian tak menjawab sama sekali. Pada saat itu, ia berkata demikian karena berpikir lukisan Zisy hanya lukisan biasa. Setelah menemukan kenyataan lukisan tak biasa ini, ia menjadi sedikit goyah akan janjinya. “Jadi kau sudah lupa,” lirih Zisy. “Tidak. Aku tidak lupa,” spontan Cristian menjawab. Zisy mengangkat wajahnya. Lantas mengamati punggung Cristian. Sebetulnya ia tahu bahwa Cristian tak menginginkan keberadaannya. Ia menemukan Cristian tengah bimbang tadi pagi, antara memberikannya pada Radika atau tidak. Pada akhirnya, pria itu tetap membiarkan lukisan tergantung di kamarnya. “Aku juga sudah berjanji akan melindungimu.” Tiba-tiba Zisy merasakan angin berembus kencang. Ia dapat merasakan energi hitam di jendela. Cepat-cepat ia berdiri di sisi Cristian. “Apa yang kau lakukan? Aku mau mengenakan pakaian, bisakah kau masuk ke dalam lukisan? Hargailah aku sedikit.” Sebuah wujud abstrak berwarna hitam, nampak pada netra zamrud milik Zisy. Ia mengetahui Cristian dalam bahaya saat ini. Jadi tak membalas perkataan pria itu. “Aku tidak bisa kembali. Aku harus melindungimu saat ini.” Cristian memutar bola mata. “Melindungiku dari apa? Harusnya seseorang datang dan melindungiku darimu.” “Darinya,” ujar Zisy menunjuk ke samping jendela. “Kau bercanda, ya? Atau makhluk sejenismu datang kemari?” “Bukan,” dengan datar Zisy menjawab. Lantas angin kencang menyambar ke arah mereka. Zisy dengan gesit menghalau angin tersebut yang dilingkupi oleh warna hitam. Cristian dapat merasakan, tetapi tak dapat melihat. “Aroma pria ini begitu segar. Kau menyingkirlah!” kekuatan tak terlihat, tapi membuat Zisy tertekan saat ini, hingga makhluk abstrak itu dapat menjangkau Cristian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD