Terdengar bel meraung keras memanggil semua siswa yang masih berada di jalan untuk segera masuk ke dalam lingkungan sekolah. Mereka yang berjalan kaki segera berlari atau jalan cepat sedangkan mereka yang menggunakan kendaraan segera menarik gasnya dengan kencang atau menginjaknya lebih dalam supaya tidak terlambat masuk.
Terlihat banyak siswa yang mencucurkan peluh, beberapa di antaranya seperti mandi keringat. Hal itu tidak terjadi kepada Amanda, siswa bertubuh gempal yang kerap terlambat itu kali ini datang lebih awal, penyebabnya sederhana sekali, pagi ini setelah shalat subuh dia tidak tidur lagi.
Amanda berjalan santai menuju kelasnya, dia berpapasan dengan beberapa siswa yang tertawa. Awalnya gadis bertubuh gempal itu tidak peduli karena memang hal itu sudah biasa terjadi di lingkungan sekolah. Setelah dia perhatikan ada yang berbeda, mereka tidak sedang tertawa bersama dengan teman-temannya tetapi menertawakan Amanda.
“Apa ada yang salah dengan penampilan gue hari ini?” lirihnya dalam hati.
Gadis bertubuh gempal itu meraih ponselnya dari saku kemeja, dia menyalakan kamera depan untuk melihat apakah ada yang salah dengan wajahnyanya. Setelah diperhatikan baik-baik, wajahnya biasa saja dan masih terlihat sama seperti kemarin. Tidak ada bekas oli yang menempel atau bercak iler di bawah bibirnya yang lupa dibersihkan.
"Apa yang salah dengan diri gue? Mengapa mereka semua menertawakan gue?" Amanda bertanya-tanya dengan dirinya sendiri.
Gadis bertubuh gempal itu berusaha tidak peduli, tetapi tidak bisa cuek juga karena setiap yang berpapasan dengannya selalu tertawa terbahak-bahak. Amanda menghela napas panjang, dia tidak mengetahui apa yang salah dengannya.
Dua siswi berjalan menuju ke arahnya dan berapa detik lagi mereka akan berpapasan dengan Amanda. Sejak dari kejauhan mereka sudah menunjuk-nunjuk Amanda dan tertawa setelahnya.
“Halu banget sih lu, Manda,” kata salah satu siswi itu yang ditanggapi dengan tertawa teman yang ada di sampingnya.
"Ada apa sih?" kata Amanda ke salah satu dari mereka. Dua siswi itu berhenti dan menoleh ke arah siswi bertubuh gempal itu.
“Makanya jangan terlalu halu, jadi enggak tahu apa yang sedang terjadi di sekolah,” jawab satu dari mereka.
“Makanya beritahu gue, sebenarnya ada apa?” kata Amanda dengan nada sedikit memaksa.
“Mendingan lu datang aja ke mading sekolah, Manda. Di sana lu bisa lihat sendiri apa yang sedang terjadi, lu bisa tahu apa yang salah dengan diri lu.”
“Mading sekolah? Ada apa di mading sekolah?” kata gadis bertubuh gempal itu sambil mengerutkan dahinya.
“Lihat sendiri sana, enggak usah nanya kita. Pokoknya surprise banget buat lu deh.”
“Oke,“ jawab Amanda pendek.
“Yaudin, kita cabut,” kata kedua siswi kelas 11 IPS 1 itu beranjak meninggalkan Amanda yang masih menebak-nebak apa yang ada di mading sekolah.
Gadis bertubuh gempal itu melangkahkan kakinya menuju ke mading sekolah, jarak antara kelasnya dengan mading tersebut tidaklah jauh, jadi tidak perlu khawatir terlambat jika hanya untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Terlihat beberapa siswa berkerumun di depan mading sekolah, mereka tertawa dan tersenyum melihat gambar yang ada di mading. Ada pula yang menggeleng-gelengkan kepala atas apa yang mereka lihat di majalah dinding sekolah tersebut. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju mading untuk melihat ada apa sebenarnya di sana.
Wajah Amanda memerah saat melihat apa yang terpampang di sana. Sebuah foto dirinya di sebuah kertas F4 dan ada tulisan besar di atasnya Tukang Halu, Tukang Berkhayal, di bagian bawahnya tampak potongan dialog antara dirinya dengan Arios Sumpah Palapa tentang bagaimana dia memuja Kakak kelasnya itu, dialog itu diambil dari salah satu bab di novelnya.
Mereka yang berada di sana tertawanya kian keras ketika melihat Amanda bergabung di depan mading sekolah.
“Gue enggak nyangka lu halu banget, Manda,” kata salah satu dari mereka dengan tertawa lebar..
“Kalau berkhayal itu jangan ketinggian, Gendut. Nanti kalau jatuh sakitnya naudzubillah,” timpal salah satu temannya.
“Jangan ketinggiannya ngayalnya, nanti jatuh. Soalnya kalau lu jatuh nanti ada gempa 10 scala richter,” timpal yang lain
Mereka yang ada di sana tertawa terbahak semua mendengar kalimat terakhir yang diucapkan, belum pernah ada gempa bumi 10 scala richter, jika itu terjadi daya hancurnya pasti luar biasa sekali.
Amanda menelan ludah, dia speechless, tanpa bisa berkata apa-apa. Rasanya dia ingin menangis tapi rasanya malu jika melakukannya di depan umum, jadi dia masih berusaha menahannya.
Akhirnya gadis bertubuh gempal itu tak tahan lagi, dia berlari menuju kelasnya. Dadanya terasa sesak dengan kesal yang berusaha ditekannya dengan hebat.
Saat melewati ambang pintu kelas, tiba-tiba kakinya tersandung sesuatu. Hal itu membuatnya limbung dan akhirnya dia terjatuh ke atas lantai. Terdengar suara benda berat jatuh dan efek yang ditimbulkannya seperti ada guncangan karena gempa. Siswa-siswa yang berada dalam kelas agak terkejut dan hampir panik dibuatnya.
Terdengar tawa terbahak dari belakang daun pintu kelas, Amanda menoleh ke arah sumber suara dan melihat Natasya dan gengnya berada di sana.
Gadis bertubuh gempal itu berusaha bangkit dari jatuhnya, namun itu merupakan suatu pekerjaan yang luar biasa berat untuk gadis dengan size seperti Amanda.
“Kalian jahat!” kata Amanda dengan air mata yang tak bisa dikendalikan lagi.
Kalimat yang keluar dari gadis bertubuh gempal itu tidak membuat Natasya dan geng-nya iba, mereka malah tertawa kian keras.
Seorang gadis berambut pirang berjalan tergesa menghampiri Amanda lalu mengulurkan tangannya untuk membantu. Natasya dan geng-nya terdiam melihat kehadiran Ayisha di antara mereka.
“Kamu enggak apa-apa, Manda?” tanya gadis itu setelah berhasil membuat Amanda berdiri kembali.
Gadis bertubuh gempal itu menggelengkan kepalanya, itu adalah jawaban antara apa-apa dengan tidak apa-apa. Dia mengusap lututnya yang terasa perih karena terbentur lantai kelas.
Ayisha berjalan menghampiri Natasya dan geng-nya yang kini sudah berhenti tertawa. Terlihat gurat takut di wajah mereka gara-gara gadis berambut pirang itu menghampiri, mereka masih ingat dengan jelas panasnya tangan Ayisha saat mampir ke pipi dan perut.
“Kalian pelakunya?” kata gadis berambut pirang itu sambil melotot.
“Pelaku apa?” kata Natasya sambil menatap wajah Ayisha tajam.
Jangan pura-pura bego, Amanda jatuh pasti pelakunya adalah kalian.”
“Jangan nuduh sembarangan kalau enggak ada bukti, bisa-bisa berbalik elu, Anak Baru.”
“Ya memang sementara ini enggak ada bukti, tapi pelakunya pasti kalian. Buktinya posisi Amanda jatuh dengan posisi kalian jaraknya enggak jauh.”
“Itu cuma kebetulan saja, kebetulan kita ada di sini, kebetulan si Gendut jatuh dan kebetulan kita tertawa semuanya. Itu hanya kebetulan saja, Anak Baru. Jangan asal tuduh, bahaya.”
“Assalamualaikum”, tiba-tiba ada guru masuk ke dalam kelas. Natasya dan geng-nya segera bergegas kembali ke bangku, begitu juga Ayisha dan Amanda.
“Ada Bu Isma, nanti kita lanjutkan setelah ini,” kata Ayisha kepada Amanda setengah berbisik. Gadis bertubuh gempal itu mengangguk mengiyakan.
Guru Matematika itu menyapu semua isi kelas dengan tatapan matanya, dia sengaja melakukannya supaya kelas menjadi kondusif.”
“Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, silakan duduk, Anak-anak. Hari ini kita bertemu lagi dengan pelajaran yang paling menyenangkan yaitu Matematika. Mungkin ada yang tidak setuju dengan jargon ini. Supaya kalian bisa dan expert di pelajaran Matematika yang harus kalian lakukan pertama adalah menyukai pelajarannya, jika tidak bisa menyukai pelajarannya maka sukailah saya. Jika tidak menyukai saya atau menyukai pelajarannya berarti kalian sudah memblokir ilmu yang bermanfaat di hidup kalian.”
“Saya akan absen kalian dulu satu persatu, seperti biasa yang dipanggil namanya angkat tangan, bukan angkat kaki karena saya tidak akan mengusir kalian dari kelas ini.”
Ibu Isma Hayati mulai mengabsen, dia memanggil satu per satu siswa kelas 11 MIPA 1 mulai dari huruf abjad ‘a’ sampai ‘z’. Guru Matematika itu memberikan tanda titik kepada siswa yang masuk dan memberikan huruf ‘a’ atau ‘s’ untuk siswa yang kebetulan alpa atau sedang sakit.”
"Ketua kelas tolong ke sini," ujar guru Matematika itu setelah selesai mengabsen. Mendengar jabatannya disebut oleh Bu Isma, Natasya bergegas maju ke depan kelas dengan sangat pede-nya.
“Tolong dicatat ini di papan tulis saya mau keluar sebentar," kata Bu Isma sambil menunjukkan bagian mana saja yang mesti dicatat kepada Natasya.
“"Baik, Bu," ujar Natasya sambil mengangguk.
“Tolong dicatat dulu ya di buku tulis apa yang nanti dituliskan oleh Ketua Kelas kalian di papan tulis, Ibu ada perlu dulu sebentar keluar. Jika hari ini masih sempat saya akan jelaskan jika tidak pertemuan selanjutnya akan kita bahas.”
“Baik, Bu,” kata siswa-siswi kelas itu bersamaan.
Guru Matematika yang baru masuk itu beranjak dari kursinya untuk keluar dari kelas. Natasya memanggil teman satu geng-nya di depan kelas, dia meminta Putri untuk menuliskan yang tadi diminta oleh guru Matematika itu.
Amanda dan Ayisha tidak memberikan komentar dengan apa yang sedang terjadi di depan kelas, mereka membiarkan saja siswi yang telah menjadi musuh mereka itu melakukan tugas yang diminta tadi oleh Bu Isma.
"Kamu sudah lihat apa yang ada di mading sekolah, Ayisha?” tanya Amanda sesaat mereka menunggu Putri menulis di whiteboard.
“Mading sekolah? Ada apa di mading sekolah, Manda?” kata siswi berambut pirang itu sambil mengerutkan dahi. “Tadi aku langsung ke dalam kelas sih, memang tadi sempat melihat ramai-ramai sambil tertawa-tawa di depan mading, tapi aku enggak ikutan karena khwatir tertinggal masuk kelas.”
Amanda menghela napas panjang, ada hal yang ingin diceritakannya kepada teman satu bangkunya namun rasanya dia malu.
“Ada apa memangnya di Mading, Manda? Beritahu aku supaya aku bisa membantu jika ada kaitan dengan dirimu.”
“Ada yang pasang foto aku di mading yang di-print out di sebuah kertas. Di sana tertulis aku ini Tukang Halo, aku Tukang Berkhayal dan di sana ada potongan bab dari n****+ tentang aku yang mengagumi Kak Arios.”
“Kurang kerjaan banget tuh orang,” kata Ayisha dengan wajah kesal. “Kira-kira siapa yang menempel fotomu itu, Manda?”
“I have no idea," kata Amanda sambil berusaha menahan air matanya supaya tidak keluar.
“Mungkinkah ini kerjaannya si Natasya?” tanya Ayisha dengan wajah serius.
“Aku enggak tahu pastinya siapa, Ay.”
“Siapa saja yang bermusuhan denganmu selain Natasya, Manda? Adakah orang lain selain si Sipit itu?”
“Aku enggak punya musuh, Ayisha. Memang ada orang yang enggak suka padaku tapi aku enggak menganggapnya musuh. Mengapa mereka memperlakukan aku seperti itu?”
“Yang kamu maksud dengan mereka itu namanya Natasya and the geng, Manda?”
Amanda mengangguk mengiyakan apa yang ditanyakan oleh Ayisha. Merekalah memang yang selalu memusuhinya, entah apa alasannya.
Gadis berambut pirang itu menghela napas panjang, dia sedang berpikir apa yang akan dilakukan kepada Natasya dan geng valkyrie-nya.
“Berapa orang yang tahu kamu menulis n****+ di sekolah ini, Manda?” tanya Ayisha lagi.
Gadis bertubuh gempal itu diam, dia nampak berpikir dan mengingat siapa saja yang mengetahui dia adalah seorang penulis n****+ digital.
“Enggak banyak sih, Ay. Yang aku tahu baru Kak Arios saja yang mengetahui.”
“Kak Arios tahu kamu menulis n****+?”
“Iya, dia tahu. Malah awal kedekatan aku dengan dia akhir-akhir ini gara-gara n****+. Dia membaca novelku dari awal sampai akhir.”
“Berarti sekarang enggak masalah, Manda, jika Kak Arios sudah membaca n****+ kamu.”
“Maksudnya gimana, Ay. Aku enggak mengerti,” Amanda mengerutkan dahinya.i
“Kadi begini,tujuan dari gambar kamu yang dipasang di mading itu adalah untuk mempermalukan kamu, mereka bilang kamu Tukang Halu, kamu Tukang Berkhayal memang enggak salah karena memang kerjaan seorang novelis itu seperti itu. Terkait dengan bab yang ada Kak Ariosnya di sana kamu enggak usah ambil pusing karena Mantan Ketua OSIS itu aku yakin sudah tahu tentang bab yang kamu tulis.”
Amanda mengangguk mengerti dengan apa yang dipaparkan oleh teman sebangkunya itu.
“Anggap aja siapapun yang melakukan itu sedang melakukan promosi gratis untuk n****+ kamu, sekarang banyak siswa yang tahu bahwa kamu adalah seorang penulis n****+, pasti dari mereka banyak yang berpikiran positif dan mungkin ada yang ingin belajar menulis n****+ juga kepada kamu.”
Amanda terdiam dia berusaha meresapi apa yang dikatakan oleh Ayisha. Ternyata apa yang dilakukan mereka tidak selalu terjadi hal buruk sekali ini justru hal buruk itu menjadi positif.
Tidak semua yang jelek akan menjadi jelek, kita harus melihat dari sisi lai,n pasti akan ada manfaat.
“Mengenai apa yang mereka lakukan di mading sekolah itu besok kita balas dengan postingan yang serupa supaya, mata siswa-siswi SMA Pilar Bangsa nanti akan terbuka bahwa menjadi Tukang Halu itu bisa menghasilkan, menjadi orang yang suka berkhayal itu ada manfaatnya juga.”
“Bagaimana cara membalasnya, Ay?”
“Nanti aku yang mengurus, aku yang buat di rumah. Besok pagi kita tempel di mading sekolah. Kalau perlu jangan hanya di mading sekolah, kita tempel di mading-mading yang ada di depan kelas.”
“Itu adalah ide yang bagus sekali, terima kasih, Ayisha.”
“Enggak usah berterima kasih, kita kan teman harus saling membantu,” kata gadis itu dengan sebuah senyum di wajah.
“Ayo kita tulis," ajak Ayisha setelah melihat papan tulis yang ternyata sudah penuh dengan dengan tulisan Putri.
Amanda mengangguk, dia segera mengeluarkan buku tulisnya dari tas, sebuah pulpen berwarna ungu menemani. Mereka mulai berkonsentrasi untuk memindahkan tulisan dari whiteboard ke buku catatan.
Suasana kelas hening, mereka masing-masing terbenam dengan keasyikannya menulis apa yang ada di papan tulis. Hanya terdengar bisik-bisik dan cekikikan kecil di geng valkyrie di mana ada Natasya yang sedang bercerita.
Beberapa siswa yang duduk di dekat mereka merasa terganggu dengan apa yang dilakukan oleh Natasya dan geng-nya, namun mereka tidak berani untuk melarang apa yang mereka lakukan. Akhirnya mereka hanya pasrah harus berbagi konsentrasi menulis yang diganggu dengan suara-suara tidak penting dari geng Valkyrie