Janji Temu di Kantin

2314 Words
Akhirnya yang ditunggu-tunggu terdengar juga, bel meraung keras memenuhi semua penjuru sekolah SMA Pilar Bangsa. Suara riuh terdengar setelahnya beberapa detik kemudian, disusul puluhan siswa keluar dari kelas masing-masing. Jumlah mereka menjadi berkali lipa saat bergabung dengan kelas lain dan mengarah satu tujuan, kantin. Kelas 11 MIPA 1 tak ketinggalan dalam meramaikan suasana kantin, tempat yang mereka tuju tidak hanya tempat makan yang berada di lingkungan sekolah tetapi juga warung yang berada di perumahan warga. Seorang gadis ber-sweater kuning keluar dari kelas 11 MIPA 1 dengan berdebar hati menuju kantin. Kesempatan ini tidak akan disia-siakan olehnya untuk bertemu dengan Kakak kelas yang menjadi idolanya, Arios Sumpah Palapa. Sebuah pertanyaan hadir di benak Amanda saat mengayunkan langkahnya, kemarin di mana Arios mengajaknya makan? Di kantin sekolah atau warung yang ada di luar? Tidak mungkin Mantan Ketua OSIS itu mengajak makan di luar lingkungan sekolah, karena biasanya warung-warung di luar pagar itu dalam pemantauan pihak sekolah. Kantin di perumahan warga itu kerap menjadi sarang siswa yang mempunyai catatan minus di Bagian Kesiswaan. “Kayaknya aku harus cek w******p sebenarnya Kak Arios mengajak bincang-bincangnya di mana?” lirih gadis itu sambil meraih ponselnya dari saku seragam putih di balik sweater kuningnya. Gadis itu terkejut karena sebuah benturan cukup keras yang menghantam tubuhnya, nyaris saja ponsel yang ada di genggamannya jatuh. Amanda ingin sekali memaki sosok yang telah menabraknya itu, bisa-bisanya dia lengah di tengah keramaian kantin. Belum genap Amanda mengenali siswa yang menabraknya, seorang gadis cantik yang berada di samping siswa yang menabraknya menyapa. “Kak Manda!” kata gadis itu dengan intonasi suara tinggi. Siswi berambut sebahu itu nampak histeris sekali saat berjumpa dengannya. Amanda mengingat-ingat nama siswi yang menyapanya itu, namun ingatan dalam benaknya tidak terpanggil untuk hadir. s**t! Siapa dia? “Kak Manda pasti lupa siapa aku’kan?” kata siswi itu karena melihat Amanda yang seperti bingung dengan siapa berhadapan. “Aku Savina, Kak. Ini pacarku Leon.” “Savina? Leon?” Amanda mengerutkan dahinya. “Iya, Kak. Savina kelas 10 MIPA 2 dan ini pacarku Leon kelas 10 IPS 2,” kata gadis itu berusaha mengingatkan Amanda ke pertemuan pertama kali berjumpa.   “Kak Manda bukannya bisa mengingat setiap kejadian dengan detail ya? Kita berjumpa kemarin saat Kakak bersama Kak Natasya.” “Iya, aku ingat. Kalian anggota MPK ya?” “Nah, betul, Kak. Seratus buat Kak Manda.” Savina melengkapi kalimatnya dengan sebuah senyum kecil. Mata Amanda merayapi semua yang ada di kantin dengan tatapan matanya, dia memilah satu per satu siswa dan siswi yang berada di sana dan mencari sosok yang dicarinya, Arios. “Kak Manda mencari siapa?” tanya Savina. Amanda menoleh kepada adik kelasnya itu. “Aku mencari Kak Arios, kamu melihat dia ada di mana di kantin ini?” “Kak Arios? Mantan Ketua OSIS itu?” kata Leon memastikan dengan ikut nimbrung. Mata Amanda beralih dari Savina ke wajah siswa yang berada di sampingnya. “Iya benar, Leon. Cuma ada satu Arios di SMA PB bukan? Kamu melihatnya di mana?” “Tadi aku lihat Kak Arios di kantin paling ujung, Kak.” “Kantin ujung? Ujung mana maksudmu, Leon?” Amanda mengerutkan dahinya. “Kantin ujung itu di sana, Kak,” kata kekasih Savina itu sambil memutarkan badannya dan menunjuk kantin yang posisinya paling ujung dari deretan.  “Oh, di sana, “ Amanda melihat ke arah yang ditunjukkan oleh Leon. “ I see. Thanks ya, Leon.” “Sama-sama, Kak.” “Oke, aku pamit ya, Guys. Mau ke sana dulu.” “Iya, Kak,” jawab sepasang kekasih itu hampir bersamaan. Amanda mengayunkan langkahnya menuju tempat yang tadi ditunjukkan oleh Leon, beberapa siswa yang kebetulan berpapasan dengannya menyempatkan untuk menyapa gadis ber-sewater kuning itu. “Menyenangkan sekali menjadi orang yang terkenal, walau baru di lingkungan sekolah saja. Mungkin beginilah apa yang dirasakan para selebritis,” gumam gadis itu dalam hatinya. Sebuah senyum terlihat menyungging di wajah gadis itu saat dia berdialog dengan dirinya sendiri. Dalam beberapa menit Amanda akhirnya sampai di tempat yang ditujunya, kantin paling ujung yang ditunjukkan oleh siswa kelas 10 IPS 2 tadi. Kedua matanya menangkap sesosok pemuda yang duduk sendirian di tengah keramaian, di atas meja nampak segelas jus mangga yang tersisa setengah untuk menemani roti bakar yang belum disentuhnya. Amanda mengayunkan langkahnya lebih mendekat lagi, sosok yang sedang duduk itu sedang membaca sesuatu di ponsel yang ada di genggamannya. Sebenarnya gadis itu ingin langsung memeluk Kakak Kelas pujaannya itu untuk melepaskan perasaan yang mengekang erat. Tetapi gadis itu berusaha mengendalikan perasaan itu supaya tidak bertingkah konyol di depan masyarakat netizen yang rata-rata mengenalnya dengan baik. Jarak antara dirinya dengan Arios kini hanya satu meter saja, namun mantan Ketua OSIS itu nampaknya tidak menyadari kehadirannya dikarenakan terlalu khusyu dengan apa yang sedang dibacanya. “Halo, Manda,” ujar seseorang dari belakang posisi gadis itu yang sedang berdiri. Mau tak mau gadis itu menoleh untuk melihat suara siapakah yang memanggilnya, dia mengerutkan dahinya saat melihat seorang siswa di hadapannya dan dia merasa tidak mengenalnya. “Aku Ferdian, anak kelas 12 IPS 2,” kata siswa itu seraya mengulurkan tangannya ke arah gadis yang ada di depannya. “Senang akhirnya bisa berkenalan denganmu.” “Aku Amanda, Kak.” “Iya, aku sudah tahu namamu, Amanda Maharani Utami kelas 11 MIPA 1. Aku juga tahu akun media sosialmu, i********:, f*******:, Linkedin.” Siswa berambut agak gondrong itu menyematkan sebuah senyum di wajahnya setelah menyelesaikan kalimatnya. “Yang belum aku tahu adalah nomor kontakmu, Manda. Bolehkah aku memintanya jadi bisa chat-an kalau sedang gabut.” Sekilas Amanda menatap sosok yang ada di hadapannya itu, dari segi wajah sebenarnya bisa dibilang tampan hanya saja gayanya berantakan. Rambut yang sudah meliar dari balik topi hitamnya, seragam yang penuh coretan ditambah celananya yang dibuat kecil. Amanda masih menimbang baik atau tidaknya memberikan nomor w******p ke Ferdian, sosok yang baru dikenalnya. “Kalau mau chat-an kan enggak mesti pakai nomor w******p, Kak. Pakai messenger bisa, DM i********: bisa,” Amanda memaksakan sebuah senyum hadir di wajahnya. “Oh, berarti enggak boleh ni aku minta nomor kontak w******p kamu?” “Bukan enggak boleh, Kak. Semua orang boleh memiliki nomorku karena memang aku share di media-media sosial yang aku gunakan. Katanya Kakak tahu akun-akun medsosku tapi masih minta nomor kontak yang sebenarnya sudah aku share?” Ferdian terdiam, dia seperti tertangkap basah saat membuat kesalahan. Amanda menatap Kakak kelas yang masih berdiri di hadapannya itu dan tak mengatakan apa-apa. Gadis itu mengalihkan tatapan matanya ke sosok yang masih duduk sendirian di bangku satu meter di depannya. Dada gadis itu dirambati kegembiraan tiada tara saat dia menyadari bahwa Kakak kelas idolanya itu sedang menatap ke arahnya. Tangannya melambai ke arah Amanda dan menunjukkan bangku kosong yang ada di hadapannya, gadis itu tersenyum dan mengangguk. Sebuah benda tiba-tiba menghampiri wajah Amanda, tidak sakit hanya mengejutkannya saja. Dia meraih benda lancang yang terjatuh di pangkuannya itu. “Penghapus? Siapa yang jahil melempar beginian ke muka gue?” Mata Amanda langsung tertuju ke sosok Natasya yang sedang berkumpul dengan gengnya, dia memperhatikan mereka, berharap mengetahui siapa salah satu dari mereka yang sangat tidak punya sopan santun mengganggu pertemuannya dengan Kakak kelas idola di kantin walau dalam khayal.  Tetapi sepertinya pelaku pelemparan itu bukan salah satu geng Natasya, tetapi siapa? “Mungkinkah makhluk halus di kelas ini yang melakukannya? Mana mungkin ada makhluk begituan,” kata Amanda lirih berdialog dengan dirinya sendiri. Tiba-tiba terdengar tertawa ramai sekali dari arah Natasya dan gengnya, mata mereka semua tertuju kepada Amanda yang masih bingung mencari tahu siapa pelempar penghapus ke wajahnya. “Lihat si Gendut, muka hitamnya bertambah legam gara-gara bekas penghapus,” kata Natasya dengan suara keras yang diikuti gelak tawa teman se-geng-nya. Amanda menghela napas dalam, ternyata pelakunya adalah Nathasya bukan salah satu makhluk yang tak terlihat wujudnya di kelas. Gadis itu meraih ponselnya dan membuka kamera depan untuk melihat bagaimana penampakan bekas ciuman tiba-tiba penghapus whiteboard itu. Dia kembali menghela napas dalam setelah melihat mulai dari pangkal hidung sampai mata kanan menghitam bekas sisa spidol whiteboard di penghapus tadi. “Dasar Natasya, enggak boleh orang senang. Gua ‘kan sedang berkhayal bertemu Kak Arios di kantin di waktu istirahat ini, malah dirusak dengan kejahilannya,” ujar Amanda dengan tersungut. Gadis itu membersihkan wajahnya dengan tissue yang diambilnya dari dalam tas. “Aku harus mendapatkan Kak Arios demi anak-anakku yang belum dilahirkan.” “Jangan halu terus, Woy!” kata salah satu anggota geng Natasya. “Orang-orang pada jajan di kantin dia malah berkhayal, memangnya bisa kenyang kalau berkhayal? Memangnya bisa hilang itu haus jika berkhayal?” timpal salah satu temannya dengan tak kalah sengit. Kalimat-kalimat itu dikuti oleh koor tertawa teman-teman geng-nya, Amanda tak ambil peduli dengan apa yang mereka lakukan karena ini bukanlah pertama kalinya dia diperlakukan tidak menyenangkan oleh Natasya dan teman-temannya. Dalam dunia fiksi yang dibangun oleh Amanda di n****+, Natasya dia berikan peran sebagai seorang Ketua Kelas 11 MIPA 1 yang menyenangkan dan mengagumi kesempurnaan fisik dan otak Amanda. Tapi, itu hanya sebuah imajinasi yang dituangkan dalam naskah, kenyataannya Natasya walaupun cantik dia adalah orang yang menyebalkan sekali di dunia nyata. Ponsel Amanda bergetar saat masih dalam genggamannya, panggilan telepon itu otomatis langsung menutup kamera yang sedang digunakannya untuk membersihkan wajahnya. Sebuah nama terpampang di sana, gadis itu menelan ludah karena pastilah sang penelepon akan menanyakan mengapa jam istirahat ini dia tidak datang ke kantin sesuai dengan yang telah dijanjikan. Telepon genggam itu berdering untuk kedua kalinya, masih menampakkan nama yang sama di sana. Pastilah Arios akan tetap meneleponnya jika tidak diangkatnya panggilan itu, tapi jika diangkat apa yang harus dikatakannya? Apa yang akan dijadikannya alasan untuk tidak datang ke kantin? Untuk berterus terang rasanya Amanda belum siap. Panggilan ketiga masuk lagi, Amanda menarik napas untuk memberanikan dirinya mengangkat panggilan telepon itu, walau dia tidak tahu harus berkata apa nantinya jika ditanyakan alasan tidak datang ke kantin. “Halo, Manda?” ujar suara di ujung sana. Gadis itu berusaha mengendalikan perasaan di dadanya yang bercampur antara rasa gembira dan bingung. “Iya, Kak?” jawab Amanda pendek. “Aku menunggu kamu lho barusan di kantin, kok kamu enggak datang?” “A-aku ... maafkan aku, Kak. Kebetulan tadi aku ada pekerjaan rumah yang belum kuselesaikan,” kata gadis itu gugup sambil memulung kata yang mampir satu persatu dalam benaknya. “Maksud pekerjaan rumah itu PR? Kamu belum mengerjakan PR maksudnya?” “I-iya, Kak.”  Akhirnya Amanda menemukan alasan yang tepat mengapa dia tidak datang ke kantin menemui Arios. Sebuah alasan yang dibantu dengan kesimpulan Mantan Ketua Kelas itu sendiri. “Oh, seharusnya kamu berkabar kalau ada halangan.” “Maafkan aku, Kak. Aku tadi lupa mengabari Kakak.” “Santai saja, aku enggak masalah, kok. Jika kamu berkabar sedang mengerjakan PR dulu di kelas pasti aku yang akan datang ke kelasmu, mungkin aku bisa membantu dengan menjawab satu atau dua soal itu.” “Terima kasih, Kak.” “Betewe aku tadi ke kelasmu lho, mencari-cari kamu di sana tapi enggak ada. Kelasmu kosong, enggak ada satupun orang di sana.” “Kakak ke kelasku tadi, Kak?” Amanda mengerutkan dahinya, sejak tadi dia di dalam kelas dan tidak ada Arios yang datang ke kelas. “Iya, kelas 10 MIPA 1.” “Pantas saja kelasnya kosong, aku ‘kan 11 MIPA 1, Kak. Sejak tadi aku di kelas ini enggak keluar,” kata Amanda dengan sebuah senyum di wajahnya, walau dia tahu Arios tidak akan melihat apa yang dilakukannya. “11 MIPA 1? Kapan kamu naik kelas?” kalimat yang dikatakan oleh Arios terdengar dilengkapi sebuah tawa. “Aku memang kelas 11 MIPA 1, Kak, sejak pindah ke SMA PB.” “Pantas saja enggak ada ya, aku salah kelas ternyata,” terdengar lagi Arios tertawa di ujung sana. “Tapi semalam saat aku tanya kamu anak kelas 10 MIPA 1 katamu ‘iya’” “Masa sih, Kak?” “Iya, kamu bilang iya.” “Wah, aku merasa bersalah ni jadinya, Kak,” “Never mind, just forget it.” “Terima kasih ya, Kak.” “Sama-sama, Manda. Tapi ....” “Iya, Kak?” “Bisakah sepulang sekolah nanti kita pulang bareng?” “Pulang bareng? Aku kan bawa motor, Kak. Enggak bisa bareng.” “Ya enggak apa-apa, kita convoy naik motornya. Nanti kita cari tempat yang enak untuk bincang-bincang sambil makan siang. Tadi di kantin susananya enggak asyik, terlalu ramai. Beruntung juga kamu enggak datang tadi jadi aku bisa menjadwal ulang meet up kita.” Amanda menelan ludah, mendengar kalimat yang diucapkan dari ujung sana. Itu adalah sebuah penawaran yang menarik sekali, tapi apa lagi alasan yang digunakannya untuk menghindari pertemuan dengan Kakak kelas idolanya ini?   Dia tidak siap jika ternyata Arios kecewa saat melihat sosoknya yang asli. Di n****+ Amanda Maharani Utami itu  adalah sosok maha perfect dengan kecantikan fisik yang nyaris sempurna dan diberkahi dengan otak yang mengingat setiap detil. Di dunia nyata gadis itu hanyalah seorang siswi bertubuh gendut dengan kulit berwarna cokelat. Bukan warna cokelat sebenarnya, ada beberapa teman sekelasnya yang mengganti namanya dengan Keling atau Buluk. “Jadi bagaimana, Manda?” kata Arios. Pemuda itu memutus dialog imajiner Amanda seketika dengan apa yang ditanyakannya. “Aduh, gimana ya, Kak? Aku enggak enak ni jika harus menolak penawaran Kakak.” “Kalau kamu siang ini enggak bisa, enggak apa-apa buatku. Kita jadawal ulang saja ya meet up-nya.” “Iya, Kak. Maafkan aku ya, Kak.” Amanda meminta maaf lagi, dia ingin memastikan apa yang dilakukannya tidak akan memberikan rasa tidak nyaman kepada Kakak kelas idolanya itu. “Enggak apa-apa, santai saja.” Terdengar suara bel meraung keras, menandakan bahwa jam istirahat sudah berakhir. Amanda menelan ludah karena dia belum sempat untuk mengisi perutnya, padahal tadi pagi lupa sarapan karena memang sudah kesiangan. “Aku tutup teleponnya dulu ya, Manda. Bye.” Belum sempat gadis itu mengucapkan iya, Arios sudah menutup panggilan teleponnya. Mungkin di kelas Kakak Kelasnya itu sudah ada guru yang masuk.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD