Suasana kelas 11 MIPA 1 dipenuhi gelak tawa karena guyonan Pak Malik, guru BK itu memang pandai membangun kelucuan jika kelas kelasikal. Walaupun sebenarnya bukan jadwal beliau mengajar siswa tak keberatan mata pelajaran bahasa Inggris dengan Bimbingan dan Konseling.
Beberapa siswa yang awalnya tidak setuju kelas digantikan terlihat mulai ikut tertawa, rasa bete mereka mencair karena Pak Malik yang pandai bercerita lucu. Tetapi hal itu tidak terjadi dengan Amanda Maharani Utami, siswi berbadan gempal itu terlihat sekalipun tidak menyematkan senyumnya apalagi sampai ikut terbahak.
“Oke, stop tertawanya. Jika melihat kalian tertawa seperti ini, kalian terlihat tidak mempunyai masalah hidup sama sekali. Atau sebenarnya masalahnya banyak sekali sehingga memanipulasinya dengan tertawa?”
Kalimat itu malah disambut kembali dengan koor tertawa para siswa, walau kali ini tak semuanya. Beberapa siswa menggelengkan kepala dengan guyonan yang terasa masuk sekali itu, beberapa di antaranya mengangguk setuju.
“Coba cek, berapa orang dari kalian yang memiliki masalah? Ayo angkat tangannya.” Pak Malik merambati satu persatu siswa di depannya. Terlihat satu dua orang siswa mulai mengangkat tangannya degan malu-malu. “Cuma sedikit ni yang memiliki masalah?”
Tangan yang mengangkat ke atas mulai bertambah satu persatu, beberapa dari mereka menunduk karena malu memiliki masalah, sisanya tersenyum menyikapinya. Guru BK itu menghitung jumlah tangan yang mengangkat.
“Ada 11 orang yang memiliki masalah. Apakah sisanya tidak memiliki masalah? Apakah kalian baik-baik saja? Atau ternyata kalian tidak menyadari ternyata masalah kalian tidak dikenali?”
Kalimat yang dilontarkan Pak Malik membuat siswa yang tak mengangkat tangannya tadi menjadi berpikir ulang.
“Untuk kalian yang merasa memiliki masalah dan tak bisa diselesaikan sendiri, kami guru BK SMA Pilar Bangsa siap membantu kalian. Caranya adalah kalian datang ke ruang BK nanti bertemu dengan saya atau gur BK lainnya. Supaya tidak menumpuk bisa juga membuat janji dulu jika konsel yang datang banyak.”
Siswa-siswa yang mengangkat tangannya mengangguk, beberapa dari mereka menyempatkan untuk menyalin apa yang dikatakan sosok setengah baya di hadapannya ke buku tulis. Uniknya hal itu tidak saja dilakukan oleh mereka yang tadi mengaku memiliki masalah tetapi juga oleh siswa yang merasa dirinya baik-baik saja.
“Mari kita telusuri apakah kalian sebenarnya memiliki masalah atau tidak. Atau apakah masalah yang kalian hadapi itu adalah masalah kecil atau besar atau malah besar sekali?”
Pak Malik menatap satu persatu siswa di hadapannya. Wajah-wajah manusia usia belasan tahun itu terlihat serius menunggu kalimnat selanjutnya yang akan diucapkan oleh guru BK itu.
“Kita akan berfokus pada penyebab masalahnya, hal dasar yang menyebabkan masalah-masalah kecil, besar atau besar sekali timbul dan menganggu otak kalian. Ada yang tahu hal dasar apa yang menjadi penyebab dari semua masalah?”
Tidak ada yang mengangkat tangan untuk menjawab, tidak ada celetukan iseng yang hanya terdengar suaranya saja tapi tidak jelas siapa siswa yang mengatakannya.
“Baik, akan saya bantu kalian mengenali penyebab masalah kalian. Hal yang memantik sehingga kalian memiliki masalah kecil, besar atau besar sekali. Jawab yang jujur ya, karena ini akan menjadi titik tolak kita untuk menyelesaikan masalah.”
“Sebelumnya saya ingin bertanya, adakah di sini yang non muslim?”
Pak Malik menyapu isi kelas dengan matanya. Terlihat dua orang mengangkat tangan, satu orang siswi yang bermata sipit dan satu orang siswa berkulit hitam legam dengan rambut keriting. Guru BK itu mengenali nama keduanya, Petra dari Ambon dan Meymey anak juragan sembako.
“Ada dua orang di ruangan ini yang non muslim, Petra dan Meymey. Pertanyaan ini dikecualikan untuk mereka yah, kalian yang katanya muslim boleh menjawab dengan mengangkat tangan saja. Jawab dengan jujur, jangan sampai kalian berbohong kepada diri sendiri karena malu.”
Kelas hening, siswa-siswa kelas 11 MIPA 1 SMA Pilar Bangsa itu menduga-duga apa yang akan disampaikan oleh guru BK itu. Rupanya apa yang disampaikannya sudah tidak lagi mengundang tawa dan senyum lagi karena sudah masuk ke pembahasan yang serius.
“Siapa pagi ini yang menjalankan sholat Subuh?” kata Guru BK itu. Pertanyaan itu membuat beberapa siswa seperti ditampar. “Silahkan angkat tangan. Barisan laki-laki dulu, siapa dari kalian yang pagi ini sholat Subuh?”
Terlihat dua orang yang mengangkat tangan di barisan siswa laki-laki itu, sisanya hanya diam saja. Mereka yang tak mengangkat tangan ada yang menunduk malu dengan apa yang tak dilakukan tadi pagi itu, tetapi sebagian besar lagi seolah tak peduli dengan hal itu.
“Hanya dua orang di barisan laki-laki yang menjalankan sholat Subuh tadi,” kata guru BK itu dengan tersenyum kecil. “Sekarang barisan perempuan, pertanyaannya sama. Siapa dari kalian yang pagi ini sholat Subuh?”
Ada empat tangan yang mengangkat, tiga orang berjilbab dan satu orang tidak menggunakan penutup kepala muslimah. Hal yang sama terjadi juga di barisan ini, ada yang tertunduk malu karena menyadari baru saja mereka melakukan kesalahan dan sebagian besar dari mereka tak peduli.
“Baik, karena perempuan itu ada masa di mana tidak boleh menjalankan kewajiban ini, maka pertanyaannya saya tambah. Siapa saja yang tadi tidak sholat Subuh karena sedang ada udzur atau halangan?”
Ada dua orang siswi mengangkat tangan, mereka adalah dua orang perempuan yang mengenakan jilbab. Wajah mereka terlihat agak malu karena harus mengekspos hal yang menurut sebagian orang itu adalah sebuah hal yang tabu.
“Hanya dua orang yang sedang ada udzur, berarti sisanya adalah tidak menjalankan sholat Subuh dan sedang tidak ada halangan. Boleh saya tahu alasaannya apa?”
Guru BK itu perlahan mendekati barisan siswi, pastilah hak yang akan dilakukannya menanyakan satu persatu alasannya. Beberapa wajah siswa perempuan itu mulai tegang, terutama mereka yang tadi tidak sempat menjalankan kewajiban menjalankan ritual itu.
Pak Malik berdiri di dekat meja paling depan, dia menunjuk satu persatu siswi yang ada di hadapannya. Mereka rata-rata menjawab dengan alasan bahwa mereke ‘kesiangan’. Guru BK itu beralih ke meja siswi barisan sebelahnya, merekapun menjawab hal yang sama, kesiangan.
“Rata-rata alasan yang digunakan oleh para siswi adalah karena kesiangan. Saya yakin juga hal inulah yang akan dikatakan oleh para siswa kelas 11 MIPA 1 ini,” kata Guru BK itu sambil tersenyum ke arah barisan laki-laki. “Benar enggak?”
“Iya, Pak. Kesiangan,” ujar beberapa dari mereka. Sebagian besar dari mereka memilih tidak menjawab pertanyaan itu.
“Kesiangan itu penyebab utamanya biasanya adalah karena tidur yang telat, main FF sampai lupa waktu, Mobile Legend, nongkrong enggak jelas dengan teman-teman, nonton video t****k dan masih banyak lagi hal enggak jelas yang dilakukan. Kalian pasti lebih tahu detail apa saja yang menyebabkan begadang dan telat tidur itu.”
Beberapa siswa dan siswi terlihat tertawa mendengar penjabaran guru BK itu, sudah pasti bisa disimpulkan bahwa mereka adalah bagian dari hal-hal yang disebutkan oleh Pak Malik itu.
“Tetapi ada juga yang malamnya tidak begadang tetapi tetap kesiangan dan tidak menjalankan sholat Subuh. Hal ini disebabkan karena saat bangun atau dibangunkan dia kembali tidur lagi. Penyebab utama apa yang dilakukannya ini adalah karena memang tidak terbiasa menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim.”
Amanda teringat dengan apa yang terjadi dengan dirinya tadi pagi, padahal dia merasa sempat dibangunkan oleh Bundanya untuk sholat Subuh tetapi mengapa dia terbangun jam tujuh kurang? Apakah dia tadi tertidur lagi? Gadis bertubuh gempal itu masih agak bingung dengan yang terjadi, tetapi Amanda menyimpulkan bahwa dia kembali tertidur setelah Bundanya itu membangunkan dan tidak segera dilakukannya.
“Itu baru sholat Subuh saja yang dicek, bagaimana dengan sholat yang lainnya? Isya, Magrib, Asar dan Dzuhur. Berapa banyak dari kalian yang menjalankan sholat lima waktu kemarin? Silahkan angkat tangan.”
Terlihat dua orang mengangkat tangan, satu orang siswa dan satu siswi. Hampir semua siswa yang berada di kelas itu melihat siapa saja yang melakukan ibadah lima waktu tanpa bolong.
Celetukan ‘soleh’ dan ‘solehah’ terdengar dari beberapa siswa kelas 11 MIPA 1 itu, beberapa dari mereka mengatakannya untuk mengejek tetepai ada juga yang mengungkapkan rasa kagumnya.
“Ada sebuah janji yang diberikan oleh Allah subhanahu wataala, dengan perbaikilah sholatmu maka aku akan memperbaiki hidupmu. Arti kalimat ini sudah jelas sekali dengan memperbaiki sholat maka hidup kita akan lebih baik. Begitu juga sebaliknya, jika sholatnya enggak baik maka hidup akan berantakan. Kalian boleh percaya tetapi hal ini terjadi, mereka yang hidupnya berantakan pasti sholatnya berantakan. Mereka yang seolah untuk makan saja susah, rumah tangganya berantakan karena hal-hal remeh coba cari tahu bagaimana sholatnya, sudah baikkah?”
Sebuah tangan mengangkat, seorang siswi berjilbab lebar nampaknya ingin bertanya dengan apa yang telah diampaikan oleh Guru BK itu.
“Silahkan Ana, jika ada yang ditanyakan,” kata Pak Malik kepada siswi itu.
“Bukan Ana, Pak. Saya Ani, Ana itu kelas IPS,” protes siswi itu dengan sebuah senyum kecil.
“Maaf, maaf, saya belum hafal. Ani kelas IPA dan Ana MIPA,” kata laki-laki setengah baya itu dengan sebuah senyum kecil. “Kalian sudah sekali dibedakan sih. Silahkan jika ada yang ditanyakan Ani.”
“Terima kasih, Pak. Saya menggaris bawahi kalimat tadi yang disampaikan, Mereka yang untuk makan saja susah, rumah tangga berantakan, coba cari tahu bagaimana sholatnya, sudah baikkah? Kira-kira seperti itu kalimatnya, Pak. Pertanyaan saya adalah bagimana jika apa yang terjadi ke mereka itu adalah sebuah ujian atau cobaan?”
“Sebuah pertanyaan yang bagus sekali, kemungkinan itu adalah ujian atau cobaan tetap ada. Ujian dan cobaan adalah untuk mereka yang beriman, mereka yang tidak sholat sama sekali masihkah bisa memproklamasikan dirinya seorang yang beriman? Kuncinya adalah mereka sholat atau enggak. Jika mereka menjalankan semua perintah Allah maka itu bisa saja ujian atau cobaan, tetapi jika mereka tak pernah menjalankan kewajiban sama sekali maka sebutannya berubah menjadi azab.”
“Apa beda antara ujian dengan azab, Pak?” tanya Ani lagi.
“Kalau ujian itu kita melewatinya dengan santai saja, enggak ada keringat, enggak pusing. Kalau azab maka sebaliknya.”
Sebuah tangan mengangkat kembali, masih dari barisan siswi. Natasya yang merupakan Ketua Kelas 11 MIPA 1 ini ikut angkat bicara, padahal biasanya dia hanya menyimak saja.
“Silahkan, Natasya,” kata guru BK itu sambil melangkah perlahan mendekati gadis itu.
“Terima kasih, Pak. Saya pernah melihat mereka yang sholat saja enggak tapi hidupnya penuh dengan kemewahan. Bukankah itu berarti langsung mematahkan apa yang disampaikan oleh Bapak?”
“Sebuah pertanyaan bagus lagi, memang ada mereka yang seperti itu. Tak pernah sholat bahkan kerap bermaksiat, tetapi hidupnya seperti di syurga dunia. Hal ini disebut dengan istidraj, Allah sengaja mengumpulkan azab untuk mereka hingga tiba waktunya.”
Amanda tidak terlalu memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru BK itu, benaknya berkutat dengan apa yang akan dilakukannya nanti saat bertemu dengan Arios saat istirahat. Waktu dirasakannya berjalan sangat lambat sekali, gadis bertubuh gempal itu tidak sabar untuk beristirahat dan bertemu dengan Mantan Ketua OSIS idolanya itu.