Warung Ibu

1409 Words
Dua orang siswa datang mendekati Amanda dan Ayisha, di piring mereka masing-masing nampak dua piring somay dan dua gelas jus mangga. Ferdian telah memerintahkan mereka untuk memesan apa yang ingin dimakan dan diminum kedua orang gadis yang kini berada di hadapannya. Satu persatu piring somay dan gelas jus itu diletakkan di atas meja yang ada di hadapan kedua siswi kelas 11 MIPA 1 itu “Terima kasih ya, Kak,” kata Ayisha sambil mengangguk kecil dengan menyematkan sebuah senyum. “Iya, terima kasih juga, Kak,” Amanda menimpali temannya yang berambut pirang itu. Dia pun mengangguk kecil ke arah kedua kakak kelasnya yang tidak menggunakan seragam lengkap itu. Ferdian memberi mereka kode untuk menyingkir dari hadapan kedua gadis itu, sebagai pimpinan dari Brotherhood of PB tentu saja apa yang dimintanya adalah sebuah perintah. Siapapun tidak ada mempunyai keinginan untuk menentang Ferdian karena itu bisa dianggap sebuah pembangkangan yang akan mengakibatkan mereka tak terlindungi lagi. Geng sekolah ini jabatan ketuanya diwariskan secara turun temurun dan hanya siswa kelas 12 terpilih saja yang bisa menjadi Ketua. “Terima kasih ya, Kak,” kata Ayisha sambil menoleh ke arah Ferdian. “My pleasure, Ayisha. Ayo dimakan sebelum bel masuk lagi,” kata pemuda berambut gondrong itu seraya melirik jam di ponselnya. “Lima belas menit lagi bel.” “Enggak usah panjang-panjang menyebut namaku, Kak, Ayish atau Ay saja aku enggak keberatan kok,” kata gadis berambut pirang itu sambil meraih piring somay yang ada di hadapannya. “Perasaan baru mau makan tapi sudah mau masuk lagi aja.” Amanda menoleh sesaat ke teman sebangkunya yang sedang beramah tamah, tangan gadis bertubuh gempal itu meraih piring somay miliknya lalu menggeserkannya supaya lebih dekat. Dia menelan ludah saat aroma makanan itu menyelusup masuk lewat lubang hidungnya. Tangannya mulai meraih garpu dan menusukkannya ke makanan berlumur bumbu kacang itu. Ayisha pun melakukan yang sama seperti Amanda, hanya saja siswi berambut pirang itu melakukannya dengan perlahan dan anggun. Sangat berbanding terbalik dengan yang dilakukan oleh Amanda yang makan dengan cepat, antara tangan dan mulutnya kompak sekali dalam meraih somay, mengunyahnya dan menelannya. “Kalau boleh aku minta nomor w******p kamu, Ay?” kata Ferdian. Gadis berambut pirang itu menoleh ke arah Kakak kelasnya, dia tak menyangka Ferdian akan se-agresive ini dalam mendekati cewek. Sepertinya dia sudah pengalaman sekali dalam hal pedekate, bisik hati Ayisha sambil tersenyum. “Untuk apa, Kak?” tanya gadis berambut pirang itu yang membuat gelagapan Ferdian. Mengapa mesti ditanyakan untuk apanya? Masa harus diberitahukan alasan dari hal sederhana itu? “Untuk ... chat-an,” jawab pemuda berambut gondrong itu ragu walaupun tujuannya meminta nomor w******p Ayisha sudah benar. Ayisha menatap Kakak kelasnya itu sesaat, lalu sebuah senyum terlihat di wajahnya. Terlihat sebuah gelengan kepala setelahnya. Ferdian tidak mengerti dengan apa yang dilakukan oleh gadis berambut pirang itu, baru kali ini dia meminta nomor kontak dan sepertinya dianggap sepele, padahal gadis lain itu jangankan diminta tanpa diminta juga diberikan. “Bolehkah?” Ferdian memastikan. Sebuah gelengan kepala terlihat lagi, kali ini sebagai jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan siswa 12 IPS 2    ini. Ferdian menelan ludah, dia sama sekali tak menyangka akan mendapatkan penlakan dari Ayisha. Apakah ini dikarenakan dia belum tahu bahwa Ferdian adalah ketua Brotherhood of PB, geng sekolah tertua di sekolah? “Boleh aku tahu alasannya mengapa, Ay? Ini kan hanya nomor kontak w******p?” “Iya benar, Kak. Masalahnya adalah jika aku berikan nomorku ke Kakak hal tidak menyenangkan akan terjadi setelahnya,” kata gadis itu sambil mengunyah somay yang ada di mulutnya. Ferdian terhenyak, dia tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu dari seorang anak baru di sekolahnya. “Aku enggak akan ganggu kamu kok, Ay. Aku janji enggak akan chat kamu di luar jam yang wajar apalagi sampai spam.” “No, bukan begitu, Kak. Aku bukan khawatir di-chat di jam yang enggak wajar apalagi di-spam,” kata gadis itu menjeda kalimatnya. Ferdian mengerutkan dahinya, dia penasaran dengan kelanjutan kalimat yang diucapkannya gadis berambut pirang di hadapannya. “Lalu apa dong?” “Aku khawatir jika aku berikan nomorku kepada Kakak, nomorku menjadi enggak bisa dipakai lagi, Kak,” kata Ayisha dengan sebuah tawa kecil. Pemuda berambut gondrong itu diam, dia berusaha mencerna apa yang diucapkan oleh Ayisha barusan namun tetap saja dia tidak memahaminya. “Aku masih enggak mengerti deh, apakah ini dikarenakan otakku yang super bodoh?” kata Ferdian sambil menggaruk kepalanya walau tak gatal, wajahnya masih nampak berpikir. “Oke aku jelaskan, Kak. Nomor w******p-ku kan ada 12 digit, tadi Kakak katanya minta nomorku kan? Kalau aku berikan satu nomorku nanti jadi 11 digit dan akibatnya adalah nomorku sudah enggak bisa dipakai lagi karena kurang. Ya mungkin masih bisa dihubungi tapi entah ke mana,” ujar Ayisha menutup kalimatnya dengan sebuah senyum kecil. “Oh,” Ferdian tertawa. “Tadinya aku berpikir ini karena otakku yang jarang digunakan untuk berpikir, ternyata joke kamu yang enggak biasa.” “Enggak biasa atau enggak lucu, Kak?” tanya Ayisha dengan sebuah senyum. “Enggak biasa dan enggak lucu,” kata Ferdian dengan sebuah tawa lebar. Ayisha cemberut mendengar apa yang diucapkan oleh Kakak kelasnya itu, dia meletakkan piring somay yang ada di tangannya. “I’m kidding, Ay, jangan dianggap serius,” kata Ferdian sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas dan membentuk huruf ‘v’ “Iya, aku tahu.” Cemberut gadis berambut pirang itu berubah menjadi sebuah tawa tangannya menyempatkan meraih gelas jus miliknya dan menyeruput isinya perlahan menggunakan sedotan. Amanda menghela napas mendengar guyonan yang terdengar dua orang berbeda tingkat kelas di sampingnya. Dia merasa hanya menjadi obat nyamuk yang melengkapi canda dan tawa mereka. Gadis bertubuh gempal itu maklum karena memang siapalah dirinya yang bertubuh gendut dan berkulit buluk, tak ada orang yang peduli dengan hadirnya. Jika saja Amanda Maharani Utami bukanlah seorang siswi 11 MIPA 1 yang bertubuh jauh dari kata ideal ini pasti tidak akan cuma menjadi obat nyamuk di hidup Ayisha dan Ferdian. Jika saja Amanda Maharani Utami seperti tokoh maha perfect yang ada di novelnya, gadis dengan kecantikannya hampir bisa dikatakan sempurna, pastilah hidupnya akan dipenuhi oleh pujian dan decak kagum para pengagumnya. Termasuk Kakak kelas yang sedang mengagumi kecantikan Ayisha di sampingnya ini, termasuk Kak Arios yang kerap mencuri mimpinya. Gadis bertubuh gempal itu kaget saat menyadari ada sosok yang berdiri di hadapan mereka, sosok itu adalah yang dikenal dan dikaguminya dalam n****+ dan di dunia nyata. Sosok bertubuh tinggi dan berkulit putih terang kini ada di hadapannya sambil menatapnya lekat. Apa yang diinginkannya dari seorang Amanda yang gendut ini? Aku bukan Miss Perfect yang kerap Kakak kagumi di n****+ itu. “Mau ngapain lu ke sini?” terdengar sebuah hardikan dengan suara keras tertuju ke Mantan Ketua OSIS itu yang berdiri. “Santai, Men. Gua ada perlu dengan dia,” kata Arios sambil menunjuk Amanda. Gadis bertubuh gempal itu terhenyak, ada perlu denganku? Apa yang diinginkannya dariku? Pertanyan-pertanyaan mulai hadir di benak Amanda. Tak pernah melintas sedikitpun dia akan dihampiri oleh Kakak kelas idolanya walau tadi sempat melihatnya saat pertama kali datang ke Warung Ibu. “Oh, gua kira mau rese lu.” Siswa berambut gondrong itu menyematkan sebuah senyum yang dipaksakan kepada Arios. “Boleh gua duduk di sini ya, Men?” tanya Arios kepada Ferdian. Dia merasa perlu meminta izin kepadanya untuk menghargainya. “Boleh, asal jangan ganggu gua ngobrol sama Ayisha,” kata siswa berambut gondrong itu. “Oke siap, Men.” Arios melengkapi kalimatnya dengan sebuah jempol tangan. Mantan Ketua OSIS SMA Pilar Bangsa itu meraih kursi plastik kosong yang ada di dekatnya, dia lalu duduk di depan gadis bertubuh gempal itu. Amanda merasa sesak napas dengan adegan yang sedang berlangsung ini, entah siapa yang menulis skenarionya kali ini? “Apa yang akan Kakak lakukan sih, Kak? Aku bisa mati mendadak ni kalau seperti ini lama-lama. Enggak mungkin kan Kakak akan melamarku di tengah keramaian kantin ini atau memang Kakak sudah  enggak sabar untuk menjadi Abi dari anak-anak kita yang belum dilahirkan?” bisik hati gadis bertubuh gempal itu. Amanda tertawa setelah berkata di dalam hati. Gadis bertubuh gempal itu berusaha merayu dirinya sendiri untuk tidak grogi di depan Kakak kelas yang dikaguminya. Untuk apa juga harus grogi? Kak Arios kan enggak mengenal aku, tapi kalau dia enggak mengenal aku mau apa dia di sini? Gadis itu menghela napas panjang, dia menyempatkan mencuri-curi melihat wajah sosok tampan di hadapannya. Arios menggeserkan kursi plastik yang didudukinya tadi mendekat ke gadis bertubuh gempal itu. Amanda kian tegang, dia rasanya semakin sesak napas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD