Pagi Hari di Depan Meja Makan

2054 Words
Mentari terlihat mulai menampilkan keindahannya di ufuk timur, sinarnya yang menghangat perlahan mengusir embun di ujung daun dan rerumputan. Jam enam pagi tadi Arios sudah pamit untuk kembali ke rumahnya untuk bersiap sekolah, tadinya Bunda menawarkan untuk sarapan bersama namun dengan sopan ditolaknya karena memang waktunya yang tidak memungkinkan. Ada rasa yang menghilang dari benak Amanda ketika Arios sudah tidak ada lagi di rumahnya, padahal semalam sampai Subuh tadi hidupnya bisa dibilang nyaris sempurna karena kehadiran Kakak kelas pujaannya di rumah. Kini separuh hatinya itu sudah pergi kembali meninggalkan dirinya yang kehilangan. Amanda yang biasanya sangat banyak saat sarapan pagi ini kehilangan seleranya, nasi yang ada di atas piringnya tak kunjung habis. “Alangkah indahnya jika Kak Arios berada di sini menemani sarapan dengan bincang tentang hari depan,” lirih gadis bertubuh gempal itu sambil menghela napas panjang. “Aku rela menghabiskan waktuku sampai tua bersama Kak Arios.” Benak gadis itu menerawang dengan rentetan kejadian mulai tadi malam hingga Subuh tadi bersama Kakak kelas pujaan hatinya itu. Dia mulai mengingat urutan kejadian sebelum akhirnya Kakak kelas pujaan hatinya itu memutuskan untuk menginap di rumahnya. Amanda melihat jam di dinding kamarnya, waktu sudah menunjukkan jam setengah 8, tidak seperti biasanya Bunda tak mengingatkan sholat Isya. Ke mana Bunda? Gadis bertubuh gempal itu bangun dari tempat tidurnya dan hedak mencari  ke mana orang tuanya itu. Sebuah panggilan telepon mengalihkan niat gadis bertubuh gempal itu, tanganya segera meraih benda yang sedang berdering itu di atas tempat tidur. Amanda terkejut saat melihat nama siapa yang terpampang di sana, Kakak jelas pujaannya menelepon malam-malam. Ada apakah? Tidak mungkin sekali dia hanya bilang rindu, terlebih setelah mengetahui tidak ada gadis yang maha perfect seperti yang ada dalam imajinasi pemuda itu setelah bertemu dengan sosok asli penulis n****+ yang disukainya itu. Amanda memandangi layar ponselnya itu, dia ragu untuk menjawab panggilan itu atau tidak. Padahal sebelumya dia selalu antusias jika mendapatkan telepon dari Kakak kelas favoritnya itu, namun malam ini ada keraguan yang menahan tangannya untuk menekan tombol berwarna hijau di ponselnya. “Ada apa ya Kak Arios telepon malam-malam seperti ini? Gua enggak mau menerima panggilan ini jika hanya akan membahas mengapa gua kemarin membohonginya saat datang ke Saung Sehati. Gua enggak mau Kak Arios membuat tambah bad mood. Sudah cukup apa yang gua alami malam ini, panas, serangan nyamuk, belum mengerjakan PR, jangan sampai gua enggak mengetik n****+ gara-gara suasana hati sedang kacau.” Gadis itu berdialog dengan dirinya sendiri. “Tapi sebaiknya gua terima saja, enggak mungkin Kak Arios bela-belain menelepon jika enggak ada yang ingin dia sampaikan. Mungkin apa yang akan disampaikannya penting sekali sehingga tidak bisa dibahas jika hanya menggunakan chat.” Dengan menghempaskan segenap keraguan dalam dadanya akhirnya Amanda memutuskan untuk menerima panggilan telepon Mantan Ketua OSIS itu. “Halo, Kak,” ujar Amanda sesaat panggilannya terhubung dengan Kakak kelas pujaannya. “Assalamualaikum, Manda,” kata suara di ujung sana. Dada gadis bertubuh gempal itu bergetar saat mendengar kalimat salam yang diucapkan oleh Arios, rasanya dia merasakan kenyamanan yang mulai merayapi dengan kehangatan dan kenyamanan setelah beberapa menit sebelumnya bad mood. “Waalaikumsalam, Kak.” “Aku kira kamu sudah tidur, Manda, karena tadi jawab teleponnya lama,” ujar suara di ujung sana dengan sebuah tawa yang menyertainya. “Aku tadi ... sedang mengerjakan PR, Kak, lagi tanggung soalnya,” kata Amanda. Gadis itu menemukan alasan yang tepat dengan tidak berbohong kepada pemuda tampan di ujung sana karena memang tadi dia sedang mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Tetapi sepertinya masih dibilang berbohong karena dia tidak mengerjakan PR tadi melainkan sedang bermalas-malasan di atas tempat tidur sambil meratapi apa yang dialaminya. “Oh, mantap. Aku kira sedang tik-tokan,” “What! Please deh, Kak, aku bukan anak tik-tok.” Intonasi suara gadis bertubuh gempal itu naik mendengar kalimat yang diucapkan oleh Kakak kelasnya di ujung sana, walau dia tahu apa yang diucapkannya tadi hanya sekadar basa-basi pembuka obrolan. Terdengar suara tawa di ujung sana. “Ya Allah tertawanya menggoda sekali, batin gadis bertubuh gempal itu seraya menelan ludahnya berusaha mengendalikan perasaannya. “Santai, Manda. Jangan nge-gas, aku jadi takut ni.” Masih terdengar suara tawa di ujung sana yang menggenapkan kalimat yang diucapkan Arios. “Maaf, Kak. Aku enggak bermaksud melakukannya, refleks. Maaf ya, Kak.”  Amanda menyesali apa yang dilakukannya barusan. Bagaimana jika nanti calon Abi dari anak-anaknya itu marah dan memutuskan untuk bercerai dengannya? Apa sih, Mandaaaaa. Halu terus, nikah saja belum masa mau diceraikan. “No problem for me, jadi kamu belum tidur ni?” tanya Arios. Ada sebuah pertanyaan hadir sekilas di benak gadis bertubuh gempal itu, ada apa Kak Arios ya menayakan sudah tidur atau belum? Jangan-jangan dia akan melamarku malam ini dan langsung menikahiku. Aduh, halu lagi. Please, deh! “Belum, Kak. Ada yang bisa aku bantu?” “Ada, Manda,” kata suara di ujung sana menjeda kalimatnya sejenak. “Aku sedang tersesat ini, bisakah kamu membantuku menunjukkan arahnya harus ke mana?” “Tersesat? Memangnya Kakak di mana dan mau ke mana?” Pertanyaan gadis bertubuh gempal itu diikuti sebuah kerutan dahi tidak mengerti. “Aku sedang mencari rumah seseorang, mau bersilaturahmi tapi enggak tahu letak rumahnya yang mana, aku hanya diberitahukan garis besar lokasi rumahnya saja enggak detil sampai yang mana, hasilnya adalah aku tersesat di kampung orang.” “Memangnya sekarang Kakak ada di mana, Kak? Mungkin bisa aku bantu.” “Aku di depan perumahan Platinum Hill.” “Platinum Hill?” Amanda agak tersentak mendengar nama perumahan yang disebutkan oleh Arios, apa yang dilakukannya di sana? Itu kan perumahan yang dekat ruamhnya. “Kakak mau kerumah siapa memangnya? Kok ada di sana?” “Aku mencari rumahnya penulis Miss Perfect, Manda. Aku mau main ke rumahnya. Kamu tahu kan di mana tempat tinggalnya?” Apa yang dikatakan oleh Arios itu membuat gadis bertubuh gempal itu kaget, Kak Arios mau main? Mau ngapain? Jangan-jangan mau membahas percakapan percakapan yang tadi sempat terputus di Warung Ibu? Waduh, kalau di rumah susah alasan ada bel masuk seperti yang tadi dilakukannya. “Kamu tahu kan di mana tempat tinggalnya, Manda?” tanya Arios lagi mengulangi lagi kalimat pertanyaannya. “A-Anu, Kak. Mengapa mesti malam-malam mainnya? Mengapa enggak siang saja?” “Sebenarnya sih aku juga enggak niat, tiba-tiba saja ada keinginan ke rumahmu malam ini.” “Besok siang saja ya, Kak. Aku ....” Gadis bertubuh gempal itu berusaha memilah alasan dalam benaknya yang hendak digunakan, namu tidak ada yang cocok. “Yaaah, aku sebenarnya mau malam ini mainnya, Manda, kalau siang suasananya agak berbeda. Kebetulan aku juga sudah membeli sate Mas Imron, rencananya sih mau makan bersama di rumah kamu,” kata Mantan Ketua OSIS itu sambil terdengar menghela napas kecewa. What? Sate Mas Imron? Amanda mendadak bersemangat setelah mendengar Arios mengucapkan  makanan favoritnya itu. Entah sengaja atau sebuah kebetulan belaka jika Kakak kelas favoritnya itu membeli sate Mas Imron dan ingin makan bersamanya di rumah. Itu adalah dua hal menyenangkan yang datang secara bersamaan, Sate Mas Imron dan Arios sungguh kombinasi yang hebat sekali malam ini. Gua enggak boleh melewatkan kedua hal spesial ini, gumam gadis bertubuh gempal itu. “Bagaimana kalau Kak Arios sebentar saja mainnya? Aku enggak keberatan jika hanya sebentar, soalnya aku enggak suka tidur larut.” Amanda berusaha mencari alasan yang baik supaya hasratnya akan makanan favoritnya itu tidak terbaca oleh Kakak kelas favoritnya itu. “Oke, kalau begitu. Enggak apa-apa sebentar juga. Minimal malam ini aku tahu di mana rumahmu supaya saat main lagi enggak mesti mencari-cari lagi.” “Oke, Kak. Aku tunggu ya.” “Shareloc dulu dong posisi rumahmu, masa langsung ditunggu saja,” kata Arios yang sepertinya tertawa. “Enggak usah shareloc, Kak. Kalau posisi Kakak memang sudah ada di depan perumahan Platinum Hill, rumahku ada di seberangnya. Kakak hanya perlu masuk melalui jalan kecil yang ada di samping kebun jati, terus ikuti jalan itu sampai mentok rumahku. Di ujung jalan itu hanya ada rumahku saja, enggak ada yang lain, kak.” “Oh, simple sekali. Tunggu ya. Aku sampai dalam semenit.” “Oke, Kak. Aku tunggu.” Panggilan telepon itu mati, Amanda segera meletakkan ponselnya di atas tempat tidur. Tiba-tiba gugup datang menyergapnya saat menyadari pakaian mana yang harus dikenakannya untuk menyambut kedatangan Kakak kelas pujaannya itu. Gadis itu membuka lemari pakaiannya dan kebingungan karena tidak menemukan pakaian yang bisa dibilang layak itu. “Ke mana pakaian-pakaian gua? Jangan-jangan belum digosok oleh Bunda atau jangan-jangan belum dicuci,” gerutu gadis bertubuh gempal itu sambil memilih pakaiannya. Terdengar suara motor berhenti di depan halaman rumahnya, sebuah klakson terdengar membelah kesunyian malam. Amanda menghela napas. “Cepat sekali datangnya sih, Kak. Aku kan belum siap sama sekali.” Amanda terkesiap saat ada sebuah tangan menepuk bahunya, tidak keras namun cukup membuatnya terkejut. “Bunda, aku kira siapa,” kata gadis bertubuh gempal itu dengan sebuah senyum yang dipaksakan. “Pagi-pagi sudah bengong enggak baik,” kata Bunda sambil duduk di kursi yang ada di samping kanan anaknya, dia mengambil piring dan mengisinya dengan nasi. “Mikiran apa memangnya, Manda? “Enggak, Bun. Aku hanya ... teringat dengan Kak Arios,” kata Amanda sambil menyuap perlahan nasi di sendoknya. Bunda menatap anaknya, dia merasa Amanda yang ada di depannya kini berbeda dengan anaknya yang biasa dia kenal. Perempuan itu merasa sejak kedatangan Arios semalam Amanda berubah menjadi gadis yang terlihat menjaga image-nya di depan pemuda itu. Dia ada di sebuah kesimpulan, anak semata wayangnya ini sedang jatuh cinta. Alangkah indahnya jika cinta Amanda dibalas oleh Kakak kelasnya itu, mungkin setelah lulus SMA mereka akan langsung menikah dan mempunyai anak-anak yang lucu. Orang tua satu-satunya Amanda itu terlihat mengulum senyum, jelas sekali ada hal yang membuatnya bahagia pagi hari ini. Walau sejatinya jatuh cinta kepada seseorang itu bukanlah sebuah prestasi yang bisa dibanggakan karena sebenarnya bisa saja jalan terjal atau berliku yang akan dilalui untuk menggapainya, bukan sebuah jalan mulus dengan hotmix halus. “Ada apa, Bun?” tanya gadis bertubuh gempal itu karena melihat Bundanya seperti itu. perempuan itu menoleh ke arah anaknya, dia mengerutkan dahinya tapi kemudian tersenyum setelah menyadari akar alasan mengapa anaknya bertanya demikian. “Ditanya malah senyum lagi, ada apa sih, Bun? Aku penasaran ni jadinya.” Amanda mendekatkan kursi yang didudukinya ke arah Bundanya, matanya terlihat gemas karena rasa ingin tahunya dengan apa yang telah membuat Bundanya tersenyum itu. “Enggak, enggak ada apa-apa, Manda,” ujar perempuan itu berkilah. “Ayo, Bun. Beritahu aku, kepo ni jadinya.” “Enggak, Manda, Bukan sebuah hal penting.” “Bunda, ayolah,” bujuk gadis bertubuh gempal itu dengan wajahnya yang memaksa, tangannya mulai ikut memaksa dengan menggoncang-goncangkan tangan Bundanya. Perempuan itu hanya tersenyum, rasanya tidak pantas apa yang tadi dibayangkannya diceritakan kepada Amanda. Itu hanyalah sebuah hal yang tidak penting karena khayal semata. “Bunda, aku mogok makan ni kalau enggak diberitahu,” kata gadis bertubuh gempal itu mengancam. Bunda mengangkat telunjuk kanannya dan didekatkan di depan bibirnya, dia lalu menunjuk jam dinding yang ada di samping kiri anak semata wayangnya. Gadis bertubuh gempal itu terdiam sejenak, dia lalu melihat ke arah orang tuanya itu menunjuk. Amanda melihat ke jam dinding yang sudah menunjukkan jam 07.15 Waktu Indonesia Barat, gadis bertubuh gempal itu menoleh ke Bundanya karena tidak mengerti mengapa dirinya diminta melihat ke arah sana. Dia melihat orang tua satu-satunya itu dengan pandangan tak mengerti dan meminta penjelasan melalui tatapan matanya. Perempuan yang ada di samping kanan Amanda itu lalu menunjuk pakaian yang dikenakan oleh anaknya itu. Gadis bertubuh gempal itu menunduk dan melihat apa sebenarnya yang berusaha ditunjukkan oleh Bundanya itu, ternyata sebuah seragam sudah melekat di badannya. Apa hubungannya antara jam 07.15 WIB dengan seragam yang sudah melekat di badannya? Apakah itu berarti .... “Astaga, aku kesiangan, Bun!” Gadis itu segera bangkit dari duduknya, tangannya dengan cepat meraih gelas minumnya dan menandaskannya dalam hitungan detik. Tidak lupa dia meraih kunci motor yang ada di atas meja dan mencium tangan Bundanya. Orang tua satu-satunya Amanda itu menggeleng-gelengkan kepala atas kelakuan anaknya, selalu saja hal itu dialaminya. Beberapa detik kemudian terdengar suara mesin motor dihidupkan, dan detik selanjutnya motor matic yang dikendarai oleh gadis bertubuh gempal itu sudah berada di atas aspal berbaur dengan kendaraan lainnya. “Semoga saja aku enggak telat sampai di sekolah dan bisa bertemu dengan Kakak kelas pujaan hati nanti di sana,” lirih gadis bertubuh gempal itu, sebuah senyum terlihat di ujung bibirnya.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD