Aku Istrimu, Mas
"Anggap saja barusan kita tidak melakukan hubungan terlarang ini, Mbak. Anggap yang barusan kita lakukan tak pernah terjadi!" Ia meraih selimut untuk menutupi tubuhku lalu mengenakan pakaianya, setelah itu berbaring miring membelakangiku.
Aku menatap punggung Mas Ali sambil menggigit bibir kuat-kuat, berusaha meredam tangis agar tidak pecah. Apa barusan aku tak salah dengar? Bahkan, darah perawan ini belum mengering, bahkan perih ini masih terasa, tetapi kenapa tega mengatakannya? Kenapa melakukannya? Kenapa?
Aku menggigit bibir kuat-kuat berusaha agar tak terisak. Berusaha mengindahkan rasa sakit yang berdenyar di d**a. Namun semakin lama, dadaku terasa semakin sakit dan sesak. Pertahananku akhirnya runtuh. Kuraih bantal lalu memukul-mukulkan ke tubuh Mas Ali sambil terisak. Sungguh, hati ini terasa sangat sakit. Perasaan amat terluka. Kenapa melakukannya jika sebenarnya tak suka? Kenapa? Yang benar saja! Apa dipikirnya aku perempuan gampangan? Jika tak suka, maka seharusnya tak ada hubungan ini. Tak usah juga ada pertemuan penuh kepura-puraan. Membayangkan awal-awal perkenalan kami, sungguh membuatku kesal. Sekaligus muak.
Mas Ali beranjak bangkit, duduk di hadapanku, menatap dengan sorot dingin. Keramahannya sebelum menjamah tubuhku entah lenyap ke mana. Ia bukan lagi seperti lelaki yang kukenal dua bulan lalu. Lelaki berkarisma yang selalu murah senyum, tatapannya hangat bersahabat, juga terlihat sayang. Ia bukan lagi seperti lelaki yang mengucapkan ijab kabul di depan penghulu, disaksikan sanak famili, juga teman-teman jam 9 tadi pagi. Kenapa Mas Ali tiba-tiba berubah? Lagi-lagi, aku tak tahu jawabannya.
"Kenapa sih, Mbak, aku mau tidur. Aku lelah."
Aku membelalak tak percaya. Mbak, katanya? Apa telingaku lagi-lagi tak salah dengar? Biasanya, ia selalu memanggil ‘Dik, sebelum menikah juga selalu tampak sayang. Dan sekarang ....
Ia menghela napas dalam. "Baiklah, kujelaskan. Mungkin, selama ini Mbak udah salah paham sama aku. Sebenarnya, aku tidak pernah cinta sama Mbak. Ingat, Mbak, kita dijodohkan. Aku selama ini hanya pura-pura baik agar bisa menikahi Mbak lalu Mbak memberikan cucu untuk Ibu. Hanya itu sebenarnya alasanku mau menikahi Mbak. Ingat, hanya itu, Mbak."
Aku masih mencerna ucapannya saat ia kembali merebahkan tubuh membelakangiku. Tak lama kemudian, terdengar dengkuran halusnya. Tangisku semakin kencang, tak menyangka pernikahan yang semula membuat hatiku begitu berbunga berujung seperti ini.
Dan apa katanya tadi? Aku harus melupakan hubungan terlarang?
Astagaaa. Mana ada hubungan instens yang dilakukan oleh lelaki dan perempuan dewasa yang sudah menikah adalah hubungan terlarang? Barangkali, ada yang tak beres dengan otaknya.
Perlahan, aku merebah. Aku menggigit bibir saat tiba-tiba teringat wajah semringah Ibu saat memperkenalkanku dengan anak temannya. Ibu juga tersenyum penuh kebahagiaan saat tak lama setelah kami berkenalan, kami memutuskan menikah. Tangis haru dan tawa bahagia Ibu tadi pagi ....
Aku menggeleng sedih. Tanganku bergerak cepat menyusut air mata yang terus membasahi pipi. Sungguh tak sanggup membayangkan wajah kecewa Ibu jika kuceritakan kejadian ini. Ibu pasti akan sangat terpukul. Aku menggelengkan kepala, memutuskan tak akan memberitahu Ibu sampai kapanpun. Biarlah ini menjadi rahasiaku sendiri. Aku menyentuh d**a yang terasa sesak dan kembali terisak. Sakit, Ibu. Andai Ibu tahu ....
***
Aku baru saja terlelap saat merasakan tubuh diguncang, lalu hawa dingin merayapi wajahku. Perlahan aku membuka mata, menatap Mas Ali yang berdiri tak jauh dariku.
"Bangun, Mbak! Aku bukan cari istri untuk bermalas-malasan! Siapkan sarapan buatku!"
Dengan kepala pening dan pandangan berputar aku beranjak bangun, menatap Mas Ali yang sudah rapi dengan setelan kerjanya dengan mata masih mengantuk. Ia menjatuhkan kain basah ke lantai, lalu menatapku dengan wajah dingin.
"Lihat sudah jam berapa sekarang? Seharusnya, kamu melayani suamimu dengan benar. Tidak ada makanan sama sekali!" Mas Ali berkata dengan wajah memerah. Tangannya terkacung ke arah jam dinding. Pukul 6:20.
"Cepat buatkan aku sarapan!"
Aku menatap Mas Ali tak habis pikir. Benarkah ini lelaki yang menikahiku kemarin? Benarkah ini Mas Ali yang langsung kusukai sejak pandangan pertama? Karena ucapannya semalam, aku jadi tak bisa tidur. Baru bisa menutup mata menjelang subuh.
"Kenapa diam saja? Segera buatkan aku sarapan, Mbak!"
Aku menarik napas panjang, berusaha bersikap sabar meski sebenarnya sangat kesal karena sejak tadi ia terus mengomel. Memangnya tak bisa, apa, berkata pelan saja.
Mbak!
Aku tergagap. "Gak sempat, lah, Mas, kalau harus masak. Aku juga kan mau kerja. Aku beli di warung aja, ya?" sahutku sambil beranjak bangun.
"Aku tidak menyuruhmu beli di luar, Mbak! Buat apa punya istri jika tak bisa diandalkan?"
Nada bicara Mas Ali yang menghentak-hentak sungguh membuatku sedih. Tahan. Jangan menangis, Fit. Cukup semalam saja kamu terlihat rapuh, sekarang, kamu tak boleh terlihat rapuh lagi. Aku menarik napas panjang, berusaha menguatkan diri, mengacuhkan rasa sakit yang berdenyar di d**a. Aku segera melangkah menuju dapur sambil sesekali mengusap air mata.
Sepuluh menit kemudian, kubawa nampan berisi secangkir teh dan roti bakar ke hadapan Mas Ali yang sedang duduk di kursi teras. Ia hanya menatap sekilas saat kuletakkan teh hangat beserta roti ke atas meja.
"Besok-besok, aku tidak mau melihatmu bermalas-malasan lagi, Mbak." Ia menatapku sambil mendesah. Wajahnya terlihat kesal. Yaelaah, sok amat jadi lelaki. Jika bukan karena perkataannya, aku juga tak mungkin bangun kesiangan. Sebelum menikah, aku sudah terbiasa bangun pagi. Membuatkan makanan untuk ibu, bahkan juga sempat olahraga pagi, barulah berangkat kerja.
"Dengar tidak ucapanku?"
Aku menyentak napas kesal. "Aku tidur kemalaman, Mas, bukan bermalas-malasan." Aku membela diri. Kenyataannya memang seperti itu. Jika bukan karena memikirkan ucapannya yang tajam seperti pedang, aku pasti tidur awal.
"Sama saja. Makanya jangan tidur malam-malam!"
Aku menggigit bibir, sungguh ingin sekali memakinya.
"Jadi istri itu harus patuh sama suaminya! Jangan mbantah kalau dibilangin!"
Aku menggigit bibir, jantungku terasa mengentak-ngentak. Aku paling tak suka dihina dan direndahkan. Aku mengepalkan tangan menahan amarah yang terus meletup-letup di kepala. Dan karena sudah tak bisa menahannya lagi, akhirnya teh hangat di meja kuraih lalu kusiramkan ke wajah Mas Ali, membuat baju putihnya ikut basah dan berubah kekuningan.
"Kamu apa-apaan, sih?!" Mas Ali menatapku terkejut. Tangannya bergerak-gerak ke dadanya. Kain putih itu telah berganti warna kuning.
"Kamu yang apa-apaan, Mas!" Nadaku meninggi. Sudah cukup semalam mendapati diri diperlakukan seperti perempuan hina. Istri memang harus patuh pada suami, aku juga tahu. Tapi kalau harus dihina ... aku mendengkus. Tak sudi! Aku tak sudi dihina dan diperlakukan begini rendah. Ini kehidupan nyata, bukan seperti di n****+-n****+ atau TV yang pameran utamanya selalu tabah menerima nasib. Aku tidak mau menjadi perempuan lemah.
"Aku gak bisa tidur karena kamu, Mas! Karena ucapanmu yang ngawur!" Kali ini, ganti roti tawar yang belum tersentuh kulempar ke wajahnya. Ia refleks menangkapnya dengan mata sedikit mendelik ke arahku.
"Yang ingin menikahiku adalah kamu, Mas! KAMU!" Aku sengaja memberi penekanan pada kata kamu untuk menunjukkan padanya bahwa aku bukan perempuan lemah. Juga untuk menegaskan padanya bahwa aku adalah istrinya. Bukan perempuan murahan yang tiba-tiba serumah dengannya tanpa setatus yang jelas.
“Yang melamarku juga kamu!" lanjutku. "Lalu apa maksudmu semalam menyuruhku melupakan hubungan terlarang?! Apa kamu bodoh sampai gak bisa membedakan hubungan terlarang dan yang gak, Mas? Bodoh! Bodoh!" Aku berkata sambil menangis, kedua tanganku tak henti melayangkan pukulan ke tubuhnya. Terserah ia mau mengadu pada Ibu atau apa, sungguh, aku tak tahan lagi. Hati juga sudah kadung sakit.
Mas Ali masih menatapku dengan wajah tak percaya saat aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga lalu meninggalkannya sambil mengumpat, "Sungguh menyesal aku menikah dengan lelaki yang lebih muda! Bodoh! Aku memang bodoh, Mas! Bodoh!"