Aku baru selesai berpakaian dan merapikan jilbab segi empatku saat Mas Ali masuk, memandang ke arahku dengan wajah marah.
"Kamu sungguh keterlaluan, Mbak. Bisa-bisanya menyiramku dengan teh padahal aku sudah siap berangkat kerja!"
Aku langsung membelakanginya, mengusap bedak tipis ke wajah, memoles bibir dengan gincu merah muda, lalu menyematkan bros ke jilbab. Nah, sekarang sudah rapi. Setelah mandi keramas, emosi yang tadi begitu membuncah kini mulai surut.
"Apa kamu mendengarku?!"
"Dengar! Aku kan punya telinga." Aku menyahut sinis. Lalu menatapnya tak kalah sinis. Sama sekali tak ada maksud melawan pada suami, aku hanya tak ingin diperlakukan dengan begitu rendah.
"Apa susahnya sih tinggal ganti baju aja, Mas?" kataku sambil menyambar tas cangklong.
Mas Ali menyentak napas. Ia melepas pakaian di tubuhnya, mengempaskannya begitu saja ke lantai. Aku melewati Mas Ali sambil sengaja menyenggol kan tubuh ke tubuhnya hingga ia nyaris terjatuh. Aku tersenyum kecil lalu membalikkan badan menghadapnya.
"Duuh, maaf ya, Mas, aku gak sengaja, barusan. Aku beneran gak sengaja, serius. Aku berangkat kerja duluan, ya, Mas?! Bye, Sayang!" Tanganku melambai lalu aku melangkah tergesa menuju pintu, sama sekali tak ingin mendengarnya kembali mengomel.
Tetapi begitu kakiku menginjak teras, aku teringat sesuatu. Bagaimana cara berangkat kerjanya? Kesal, aku mengentak-entakkan kaki. Rumah Mas Ali terletak jauh dari jalan raya. Tak mungkin, kan, aku berjalan kaki apalagi ini sudah siang, bisa-bisa nanti dimarah bos Danu. Dan ujung-ujungnya, pasti potong gaji. Bosku itu memang selalu mengancam karyawannya yang datang tak tepat waktu dengan potong gaji. Udah gitu, wajahnya jutek, lagi. Sungguh tak ada ramah-ramahnya.
Aku menimbang-nimbang cukup lama dan akhirnya membalikkan badan, kembali masuk ke dalam rumah dengan jantung berdetak kencang. Mas Ali ternyata sudah rapi dengan baju dan tas di tangan, ia langsung melewatiku dengan wajah dingin. Duuh, wahjahku belum-belum sudah mengangat. Pasti akan memalukan meminta bantuannya. Tapi mau bagaimana lagi. Daripada datang terlambat dan potong gaji.
"Mas ...." Aku berkata pelan.
Tak ada sahutan. Ia melewati pintu, bergegas aku menguncinya. Lalu kembali mengejarnya.
"Mas ...."
Tak ada sahutan. Aku yakin, ia pasti sangat marah. Kalau tidak terpaksa, aku juga tak mau melakukan ini. Sungguh memalukan. Sialnya, aku tak punya pilihan. Masalahnya nih, bosku itu kalau motong gaji karyawannya yang datang terlambat tak tanggung-tanggung, 50 persen. Yang benar saja. Tinggal sedikit, dong, gajiku yang hanya tiga juta itu.
"Mas, bareng, ya?"
Tetap tak ada sahutan. Menyebalkan, aku terus dicueki. Ia masuk ke mobilnya, segera aku membuka pintu mobil dan menyusul duduk di sampingnya. Aku langsung tersenyum lebar saat ia menoleh ke arahku.
"Hehe, numpang, ya, Mas. Anterin aku sekalian ke tempat kerjaku. Hehe." Aku mencoba bergurau. Tapi Mas Ali tetap diam. Sial, lagi-lagi dicueki. Awas kamu, Mas.
"Jangan bilang-bilang jika kita sudah menikah."
Aku langsung menoleh saat Mas Ali akhirnya membuka mulut setelah sekian lama terdiam. Dan ucapannya, sungguh, rasanya ingin sekali menyumpal mulut tajamnya itu. Sekali berkata pedasnya tak tanggung-tanggung. Cabe aja lewat.
"Aku gak akan bilang!" sahutku ketus. "Lagian, Mas, kalau kamu malu nikah sama aku yang umurnya lebih tua dari kamu, kenapa menikahiku, Mas? Kalau kupikir, kamu bisa punya anak dari wanita yang kamu suka! Gak harus jadikan aku mainan!" Aku menatapnya dengan hati panas. Siapa perempuan yang tak sakit hatinya jika tak dianggap istri oleh suaminya sendiri? Di malam pertama sudah direndahkan sedemikian rupa seolah aku perempuan murahan.
Aku mendesah sebal. Lalu menatap Mas Ali sambil menggigit bibir. Bahkan, dengan ekspresi dingin seperti itu pun, Mas Ali tetap terlihat tampan. Apalagi saat ia tersenyum ramah seperti dulu, pasti semakin menawan. Mas Ali lelaki ideal. Tubuh tinggi tegapnya berkulit kecoklatan, mata tajam, dengan hidung bangir dan pipi tirus. Rambutnya yang dicukur cepak membuat penampilannya selalu terlihat rapi.
Namun, bukan ciri-ciri fisiknya yang membuatku dulu terus memikirkannya. Aku tak menyukai lelaki yang umurnya lebih muda di bawahku. Setiap brondong mendekatiku, aku langsung menghindar dan selalu menjaga jarak. Tetapi, Mas Ali berbeda, walau umurnya selisih 5 tahun lebih muda dariku, tapi dulu ia amat perhatian dan tampak dewasa. Sama sekali tak menyebalkan seperti ini. Jika tahu sikapnya akan berubah drastis seperti ini, yaa mana sudi aku menikah dengannya. Jelas ogahlah! Aku selalu mengidam-idamkan sosok suami yang romantis penuh kasih sayang, bukan lelaki bertampang ddingin yang setiap berkata selalu menyakiti hati.
"Bukan itu alasanku, Mbak! Aku tidak masalah orang tahu kamu istriku. Kenyataannya memang begitu. Hanya saja, tunggu sampai pernikahan kita diramaikan. Mereka toh akan tau juga!"
Aku menoleh menatapnya. Lalu mengangguk-angguk. Ooh, jadi begitu. Aku menyentak napas, dalam hati membenarkan ucapan Mas Ali tapi tak mau mengakui bahwa hatiku ternyata cepat sekali berburuk sangka. Setelah resepsi pernikahan kami dilangsungkan, semua orang akan tahu kami telah terikat.
"Tentang kejadian semalam, aku minta maaf. Berat bagiku karena harus melakukannya dengan perempuan yang tak kusukai. Berat bagiku selalu berpura-pura. Maaf."
Aku terperangah. Salut karena ia mau meminta maaf, tapi juga merasa kesal. Lalu, kenapa melakukannya? Kenapa menikahiku? Tentu karena ibunya. Ya, jelas karena itu. Kami dipertemukan, dijodohkan. Cih! Ingin rasanya aku meludahinya. Pintar sekali selama ini ia berpura-pura. Dasar munafik!
"Yaaa, Mas. Kumaafkan, kook. Dan ... karena kamu udah terbuka dengan perasaanmu, maka aku akan terbuka juga, ya?" Aku menelan ludah dengan susah payah. Ini bohong. Dusta. Tetapi aku akan mengatakannya agar adil. Kan gengsi, jika aku terlihat begitu mencintainya sementara dia acuh.
"Aku juga sebenernya gak cinta kamu, Mas. Aku selama ini pura-pura cinta padamu agar cepet nikah aja, sih. Aku ogah, Mas, terus dicap perawan lapuk." Aku memandang Mas Ali sambil tersenyum kecil. Ia menarik napas panjang.
"Jadi, Mas harus ingat. Aku menikah biar gak dicap perawan lapuk. Ingat, ya, Mas?"
Perawan lapuk? Duuh, rasanya aku ingin menyumpahi diri sendiri. Meski umur sudah 29 tahun, tapi tak seorang pun mengatakan hal itu padaku. Mungkin karena aku terlihat muda. Teman-teman mengatakan aku masih seperti anak SMA. Wajar mereka bilang begitu, karena tubuhku memang mungil tapi proporsional, kulit kuning langsat, pipi sedikit tembam, mata bulat dan jernih, hidung sedikit mancung dengan bibir mungil yang tampak menggemaskan. Belum lagi ditambah bulu-bulu mata lentik yang nampak memukau saat aku mengedip manja sambil tersenyum menggoda. Sayang, satu-satunya lelaki yang ingin kugoda malah bersikap acuh. Aku tersenyum kecil saat memerhatikan wajah Mas Ali. Ia terlihat lucu jika sedang cemberut seperti itu.
"Kenapa senyum-senyum sendiri?"
Aku tersenyum kecil. "Yaaa gak papa. Mungkin, karena sebentar lagi aku akan bertemu dengan sang pujaan hati, Mas, makanya bawaannya aku pengen senyum terus. Hehe."
Mas Ali menatapku sinis. "Apa?!" Ia terlihat terkejut. Aku kembali tersenyum. Sengaja, untuk membuatnya penasaran.
"Aku akan bertemu pujaan hatiku, Maas. Kan, aku udah bilang aku nikah sama kamu untuk menghilangkan gelar perawan lapuk. Mas, menikah boleh dengan siapa aja, tapi untuk pacar, hanya dia seorang yang kucinta."
"Kamu beneran punya pacar?" Tatapnya dengan wajah tak percaya. Tangannya mencengkeram kemudi. Jika itu kerupuk, pasti sudah jadi remah-remah tuuh.
Mobil sudah hampir sampai tempat kerjaku saat aku mengangguk sambil tersenyum ceria. Dusta. Tapi, aku tetap melanjutkan permainan ini untuk membalas sakit hatiku karena ucapan ngawurnya semalam. Ada sensasi menyenangkan saat melihat wajah Mas Ali tampak begitu geram.
"Iya, dong, Maas. Stop!" Lalu, aku keluar dari mobil dengan wajah riang gembira. Dan kebetulan sekali, bosku yang super pendiam baru saja turun dari mobilnya. Seperti biasa, ia diantar sang sopir.
"Haii, Sayaang!" Aku segera melambai sambil berlari ke arahnya. Hatimu pasti akan panas, Mas Ali. Rasakan. Emang enak, Mas! Makannya kalau punya mulut itu dijaga.
"Sayaaang!" Aku makin mendekat ke arah bos. Mobil Mas Ali belum juga pergi dari tempatnya, sementara Pak Danu menatapku dengan pandangan tak mengerti. Wajahnya terlihat bingung saat aku melayangkan kiss bie dengan tangan kanan lalu memeluk tubuhnya erat. Duuuh, mati, akuuu ....
#Jangan lupa follow akunku dan sentuh love jika cerita ini menghibur, yaa, Teman. Biar kamu dapet notif saat cerita ini UP.