Bad Ayah - Part 5

1760 Words
"Kita? Gi... gimana maksud Bapak?" gumamku sambil mengerutkan keningku. Sepertinya pria ini sedang mabuk atau nggak sadar dengan apa yang baru saja ia katakan. “Bisa tolong Bapak ulangi yang tadi? Mungkin telinga saya sedikit bermasalah, Pak,” pintaku dengan cicitan di akhir kalimat. "Kamu nggak salah dengan, Alisha. Iya, maksud saya kita. Saya, kamu dan Laquinna," jawabnya dengan tenang lalu kembali menekuri tabletnya itu. Aku mematung di tempat. Kepalaku sedikit miring dengan kerutan di antara kedua alisku. Sedangkan otakku kini sedang mencerna ucapannya dengan baik. Tapi... nggak ada satu konklusi yang bisa kutangkap dari kalimatnya tadi. Apa sebenarnya maksud pria ini? "Emang kita kenapa, ya, Pak?" tanyaku lagi karena masih belum mengerti kemana arah pembicaraan ini. Apa semua orang tua di dunia ini harus berbicara berbelit-belit seperti ini? Kenapa nggak bisa langsung menuju topik pembicaraan yang jelas saja? "Tante dan Om saya yang sudah saya anggap orang tua saya sendiri, terus-menerus mendesak saya untuk segera memiliki istri," jelasnya sebelum meletakkan tablet yang ada di genggamannya ke atas meja. "Maksudnya, Bapak disuruh poligami? Menikah lagi, gitu?" tanyaku berasumsi dari penjelasannya tadi. Pak Dewa mendengus. "Bagaimana kamu bisa berasumsi dengan pikiran cetekmu seperti itu?" tanyanya balik. "Ya, itu terhitung poligami lah, Pak. Bapak 'kan udah punya istri. Kalau nikah lagi, berarti nambah dong istrinya." Pak Dewa tersenyum, namun bukan senyum cerah seperti senyuman anak kecil yang polos. Senyuman pria itu nggak mencapai matanya dan berbentuk asimetris, lebih cocok disebut dengan sebuah seringaian. "Kapan saya pernah bilang kalau saya udah punya istri, Alisha? Atau... apa kamu udah pernah melihat sosok istri saya di rumah ini?" tanya Pak Dewa dengan sebelah alisnya yang terangkat. Pak Dewa menatapku lekat kemudian melanjutkan ucapannya. "Saya masih sendiri, Alisha. Saya belum beristri, tapi adalah seorang ayah." Well, apakah Pak Dewa ingin memperburuk pandanganku terhadapanya? Tapi... untuk apa juga? Mau aku memandangnya bagaimana pun, pasti nggak akan berdampak apapun pada pria itu ‘kan? "Jadi, Bapak hamilin anak orang di luar nikah gitu?" tanyaku skeptis dengan volume yang mengecil di akhir kalimat. Astaga, yang benar saja. Itu sangat nggak keren untuk ukuran seorang pria yang berpenampilan seperti Pak Dewa. Sangat nggak gentle dan persis seperti seorang pecundang karena bisa-bisanya melakukan perbuatan asusila di negara hukum seperti ini. Tak! Pak Dewa menjentikkan jarinya pada keningku. "Aduh!" ringisku sambil mengusap-usap bagian kening yang baru saja dijentik olehnya tadi. Ini namanya KDRT, eh... "Saya belum pernah menikah dan nggak pernah menghamili anak gadis orang di luar nikah, Alisha! Berhenti berpikiran buruk tentang saya,” geram Pak Dewa sambil menatapku. Oh? Beneran? Itu artinya Pak Dewa nggak ada istri dong, ya... "Jadi masih single dong?" gumamku tanpa sadar pada diriku sendiri. Ya ampun, bisa-bisanya kata-kata yang belum disaring seperti itu keluar dari mulutku. "Kenapa? Kamu tertarik untuk menjadi istri saya?" tanya Pak Dewa dengan seringai yang sudah kembali terukir di bibirnya. Kukira dengan aku berdoa di dalam hati, Pak Dewa bisa pura-pura nggak mendengar ucapanku atau setidaknya nggak membalas ucapan anehku tadi. Tapi sayangnya, doaku sepertinya nggak dikabulkan oleh Tuhan untuk kali ini. Entah sudah bewarna apa pipiku sekarang. Pasti sudah semerah tomat busuk. "Kenapa pede banget, sih?" gerutuku kecil. "Alisha." panggil Pak Dewa dengan suara rendahnya. Demi Tuhan, kenapa suaranya jadi serak-serak seksi dan nge-bass begitu? Namaku terdengar merdu dan indah di telinga ketika diucapkan olehnya. Katakanlah aku alay atau narsis, tapi itulah yang benar-benar kurasakan saat ini. "Apa, Pak?" tanyaku seperti orang linglung. Rasanya ada seorang cupid yang memanahkan panah cinta di hatiku sampai-sampai aku bisa tiba-tiba terpesona dengan pria yang sedang duduk di hadapanku ini. "Ayo, kita coba," ajaknya. Aku terdiam lalu menunduk untuk mencerna kalimat ajakannya tadi. Apakah aku harus? "Jadilah Bunda untuk Laquinna. Hanya untuk satu tahun ke depan,” lanjut Pak Dewa yang kini sudah menatapku dengan lekat. Pria itu nggak memberikanku kesempatan untuk berbicara. "Pengacara saya akan datang besok untuk mengantarkan surat perjanjian. Saya akan membiayai semua kebutuhan kamu sesuai dengan kewajiban seorang suami pada umumnya," jelas Pak Dewa. Jadi, ini hanya perjanjian selama satu tahun? Hah, dengan nggak tahu dirinya, kukira pria yang ada di depanku sedikit menaruh ketertarikan padaku. Apa yang kamu harapkan dari Pak Dewa yang wajahnya bahkan lebih tampan dari artis papan atas, Alisha? batinku pada diri sendiri. Otakku tiba-tiba tersumbat, rasanya kini organ yang paling vital itu nggak bisa lagi bekerja dengan baik. Lidahku kelu dan tenggorokanku rasanya tersumbat sampai-sampai nggak ada satu kata pun yang mampu untuk keluar dari mulutku. "Saya tau kamu kabur dari rumah," ucapnya membuka suara. Aku tersentak dengan mata yang membulat menatapny. Darimana pria itu tahu? Aku bahkan sampai membeku di tempat karena terlalu kaget dengan ucapannya barusan. "Da... dari mana Bapak tau?" tanyaku gugup setelah keluar dari keterkejutanku. "Saya bukan orang bodoh yang akan membiarkan putri saya diasuh oleh orang yang nggak jelas darimana asal usulnya," jelasnya. "Tentu saja saya berasal dari rahim ibu saya, Pak. Jadi, asal usul saya juga sudah pasti jelas!" balasku sedikit emosi. Walaupun aku sendiri sedikit meragukan ucapanku tadi. Tapi nggak mungkin aku keluar dari tembok atau batu ‘kan? ucapku dalam hati. "Ckck... Alisha, Alisha. Pikiranmu benar-benar terlalu naif. Otakmu itu sepertinya lebih cocok untuk anak delapan tahun, bukan delapan belas tahun.” Aku menatap Pak Dewa yang kini sedang menatapku dengan santai. Aku bahkan nggak bisa lagi mengeluarkan kata-kata karena serangan pedas dari mulut pria itu. “Besok pagi setelah mengantar Laquinna, segera balik ke rumah. Kamu nggak perlu menunggunya besok,” sambung Pak Dewa. Setelahnya, pria itu pergi meninggalkanku dalam keterdiaman, entah karena sudah terlalu malas untuk membalas ucapannya, atau mungkin memang aku yang nggak mampu untuk membalas ucapan pria itu. Ah, sudahlah. Sejujurnya, aku ingin menolak perintah Pak Dewa yang ia putuskan secara sepihak. Untuk apa hidup selama setahun dengan orang yang nggak kita cintai dan juga nggak mencintai kita? Hanya menghabiskan waktu dan tenaga saja ‘kan? Toh, dengan penampilan dan semua hal yang ia miliki, aku rasa sudah cukup untuk bisa membuat para wanita mengantri untuk dinikahi olehnya. Jadi... kenapa juga harus aku yang jelas-jelas nggak bersedia ini? Pak Dewa sama sekali nggak memberiku celah untuk membantah dan berbicara apalagi untuk menolak. Tolong bilang padaku, apa lagi yang harus kulakukan selain pasrah dan kembali menyambung hidup dengan baik? Percuma ganteng-ganteng, tapi nggak waras! rutukku dalam hati. * Pagi ini pasti akan berjalan seperti pagi-pagi sebelumnya. Membuatkan sarapan untuk Laquinna, mendengar celotehan gadis itu yang masih seputar merutuki warna seragam sekolahnya yang nggak sesuai dengan warna kesukaannya kemudian mengantarkannya ke sekolah. "Pagi, Cutie Pie!" sapaku sambil menyibak gorden kamarnya agar cahaya matahari dapat masuk. "Pagi, Kak. Quinn males bangun. Mau bobok lagi. Bilang sama Ayah, Quinn mau bolos hari ini," kata Laquinna yang perlahan menggeliat dengan mata tertutup. Selimut juga masih membungkus tubuhnya, hanya menyisakan kepala yang menyembul di atas. Kalau dilihat lebih saksama, gadis itu tampak seperti dadar gulung. "Loh? Nggak boleh dong. Ayah udah kerja capek-capek buat bayar uang sekolah kok malah Quinn mau bolos sekolah, sih?" tanyaku sembari menarik selimutnya yang ada di ujung kakinya kemudian mengangkat gadis itu untuk duduk di atas pangkuanku. "Quinn males ke sekolah, Kak!" rutuknya dengan nada suara jengkel, namun matanya masih setengah tertutup dengan kepala yang bersandar di antara pundak dan leherku. "Nggak biasanya Quinn begini. Cerita sama Kak Alisha, ada apa?" tanyaku membujuk Quinn dengan merangkam kedua pipinya menggunakan kedua tanganku. Awalnya gadsi itu menolak membuka mata. Namun setelah kubujuk beberapa kali, akhirnya Quinn mau menuruti permintaanku. Ketika matanya sudah terbuka sempurna, ia lalu menjawab, "Quinn marah sama Amanda karena dia suka ngejek Quinn gara-gara nggak punya Bunda." Sedetik kemudian, gadis itu menangis dalam pelukanku. Pipinya menempel di dadaku, membuat bajuku basah karena terkena air matanya. Tetapi bukan itu masalahnya, ada yang lebih penting, yaitu suara tangisan Laquinna yang semakin keras dan itu sukses membuatku panik seketika. Apa ini salah satu penyebab Quinn menjadi galak dan jutek pada orang-orang yang baru dikenalnya? batinku dalam hati sambil mengingat-ingat sikap anak itu saat awal-awal aku bekerja di rumah ini. Aku tiba-tiba linglung dan bingung sampai-sampai nggak tahu bagaimana cara untuk menenangkan Laquinna. "Cup... cup... Ih, Quinn kok nangis, sih? Masa Princess nangis? Nanti jelek dong," ujarku berusaha menghiburnya. Gadis itu masih terisak dalam pelukanku walau sudah nggak sekeras sebelumnya. "Tapi Kakak harus janji dulu sama Quinn," ucapnya lalu menyodorkan jari kelingking di depan wajahku. "Apa itu?" "Quinn mau manggil Kak Alisha bunda. Boleh 'kan?" tanyanya, tapi lebih pada pemaksaan sepihak. Baiklah, ucapannya itu sekarang sukses membuatku nggak tahu harus berkata apa. Aku mengusap tengkukku yang sebenarnya nggak terasa gatal. “Hmn... gimana, ya." Tangis Laquinna kembali pecah. Aduh, gawat! Suaranya kini bahkan lebih nyaring daripada sebelumnya dan itu pasti terdengar sampai ke luar kamar ini. "Ada apa ini?" tanya Pak Dewa yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan berdiri di hadapanku. Pasti pria itu ada di sini karena mendengar tangisan putrinya yang nyaring ini. "Ayah!" pekik Quinn sambil merentangkan tangannya setelah berbalik badan dan mendapati ayahnya berdiri di sana. Pak Dewa langsung sigap membawa putrinya itu ke dalam pelukannya. "Anak Ayah kenapa, huh?" "Ayah, Quinn boleh 'kan panggil Kak Alisha bunda?" tanyanya. Walaupun kali ini nggak ada pemaksaan dalam kalimatnya, namun di mata gadis itu terlihat jelas tatapan yang penuh permohonan pada ayahnya. Pak Dewa menatapku sejenak kemudian beralih menatap putrinya yang berada di dalam gendongannya. "Jangan tanya sama Ayah. Tanya sama Kak Alisha-nya dong. Boleh atau nggak dipanggil bunda." "Kak, boleh 'kan Quinn panggil Bunda?" desaknya. Kenapa anak ini suka sekali mendesak atau memaksaku, sedangkan sangat polos dan menggemaskan pada ayahnya? Aku terdiam sejenak sambil berpikir, kemudian hanya mengangguk pasrah tanpa mampu menolak permintaan gadis itu. Lagipula, penolakan apa yang bisa kukeluarkan di saat ayahnya menatapku seperti predator yang sedang memburu mangsanya? Alasan apapun yang kukeluarkan sepertinya nggak cukup berguna untuk menolak Laquinna. "Sekarang waktunya kamu mandi, ya," kata Pak Dewa pada Laquinna yang kini sudah tenang, namun masih sesugukkan itu. Pak Dewa menurunkan Quinn di depanku. Dan sedetik kemudian aku baru menyadari bahwa pria itu bertelanjang d**a sedari tadi dengan nggak tahu malunya. Jangan-jangan dadanya yang bidang itu adalah suguhan gratis, atau... pria ini memang memiliki hobi bertelanjang d**a di depan gadis perawan yang lugu dan polos? Tanpa berkata apapun lagi, Pak Dewa keluar dari kamar Laquinna, meninggalkanku dan putrinya di sini. Akhirnya, aku yang sedari tadi menahan nafas kini sudah bisa menghirup oksigen dengan normal untuk masuk ke dalam paru-paruku setelah pria itu benar-benar menghilang di balik pintu. * "Alisha," panggil Pak Dewa sebelum aku mengangkat piring sarapan bekas yang aku dan Laquinna gunakan menuju bak pencucian piring. Aku menatap Pak Dewa dengan alis berkerut, lalu menjawab, "Ya?" "Jangan lupa sehabis drop Laquinna nanti, langsung balik untuk tanda tangan kontrak kita.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD