“Aduh, makannya sampai belepotan begini. Kamu anak siapa, sih, Dek?” tanyaku gemas sambil mencubit lembut pipi Laquinna ketika gadis itu menghampiriku yang sedang menatap ponsel.
Tanganku spontan mengeluarkan tisu dari dalam tas kemudian mengusapkan pada sekililing bibir Quinn yang berlepotan oleh selai coklat karena aku membekalinya roti tangkup dengan selai coklat. Bahkan selai itu sampai mengenai ujung hidungnya. Kepalaku lalu menggeleng ketika menemukan sebuah noda coklat yang berada di kemeja putih yang dikenakan gadis itu.
Laquinna tersenyum ketika aku membersihkan wajahnya itu lalu berkata, “Terima kasih, Kak.”
Matanya yang membentuk seperti bulan sabit itu seakan menenggelamkanku dalam keterpesonaan. Pasti ibunya juga cantik banget, batinku sambil meneliti rupa gadis kecil yang sedang berdiri di hadapanku ini.
“Bunda kamu di mana, Dek?” tanyaku spontan tanpa menyangka kalau kalimat itu bisa meluncur begitu saja dari mulutku.
Laquinna berpikir sambil memutar matanya sebanyak satu kali ke arah kanan atas. "Quinn udah pernah tanya Ayah, tapi Ayah cuma bilang kalau belum saatnya Quinn tau. Kata Ayah, nanti kalau aku udah lebih besar baru boleh tau,” jelas gadis itu.
Keningnya kini sudah berkerut ketika mengingat perkataan yang pernah disampaikan oleh ayahnya itu.
Aku mengangguk lalu berkata, "Itu artinya kamu masih kecil makanya belum boleh tau, Quinn.”
Laquinna kemudian mengangguk antusias. “Kalau gitu, Quinn mau cepat besar supaya boleh tau,” katanya kemudian kembali masuk ke dalam barisan bersama rombongan temannya yang sedang berjalan menuju kamar mandi.
Setelah kepergian Quinn, aku kembali menekuri apa yang aku lakukan sebelumnya. Nggak jauh dari tempatku, banyak ibu-ibu yang berkumpul di sana. Entah apa yang mereka bicarakan tepatnya, namun telingaku sekilas bisa menangkap topik mereka seperti misalnya harga bawang merah yang sedang naik, atau bahkan gosip tentang pelakor yang sedang marak di kalangan selebritis.
Salah satu dari kumpulan ibu-ibu itu mengajakku berkenalan. Aku memberikan sebuah senyum ramah ketika berkenalan dengan mereka semua. Setelah menyebutkan namaku tadi, aku nggak lagi banyak berbicara. Lagipula, topikku dan ibu-ibu itu pasti nggak akan bisa cocok karena umurku yang masih jauh di bawah mereka.
Jariku terus menggulir layar ponsel yang sedang menampilkan beberapa hasil pencarian dari sebuah pramban.
‘Biaya kuliah jurusan patiseri.’
Melihat nominal yang tertera di sana saja membuatku bergidik ngeri. Lebih tinggi dari upah minimum regional di kota ini. Tentu saja aku nggak punya biaya sebanyak itu untuk saat ini.
Kalau pun ada, belum memungkinkan juga untukku berkuliah dengan keadaan sambil bekerja seperti ini. Aku juga perlu bekerja untuk menabung dan melanjutkan hidup di masa depan ‘kan? Untuk bisa bertahan hidup di sini saja rasanya sudah sangat melegakan dan itu adalah prioritas utamaku untuk saat ini.
Mungkin di usiaku yang sudah berkepala dua nanti baru aku bisa berkuliah sesuai dengan impian yang sudah kucita-citakan dari lama. Mataku menatap lurus pada pintu ruang kelas Laquinna yang tertutup.
Otakku berandai-andai, memikirkan kalau saja aku bisa menjadi anak yang terlahir di keluarga normal pada umumnya, pasti aku sudah sibuk mendaftarkan diri di universitas atau instansi pendidikan lainnya tanpa harus mengorbankan cita-cita seperti yang kulakukan saat ini.
Indra penciumanku menghirup sebuah aroma menyengat yang menarikku dari khayalanku sebelumnya. Kepalaku kemudian menoleh ke samping untuk memastikan dari mana datangnya aroma itu.
Benar saja, mataku menangkap sosok seorang pria blasteran yang juga sedang menatapku. Pria itu berpenampilan seperti eksekutif muda dengan pakaian yang mirip dengan apa yang dikenakan oleh Pak Dewa tadi pagi.
Kenapa malah memikirkan Pak Dewa, sih? Rutukku dalam hati. Pria blasteran yang duduk di sebelahku itu tersenyum padaku sehingga mau nggak mau, aku memberikan seulas senyum tipis sebagai balasannya setelah memasang wajah datar sejak tadi.
Aku kemudian memutuskan tatapan kami lalu mengalihkan tatapanku untuk melihat waktu yang tertera di layar ponselku. Sepuluh menit lagi Laquinna keluar, batinku pada diri sendiri.
Pria blasteran tadi dengan tiba-tiba menyodorkan tangannya padaku. "Boleh kenalan?" tanyanya.
Aku menatap tangan itu sejenak dengan kening berkerut lalu beralih menatap wajahnya kemudian.
"Hmn..." Aku meragu.
Pria itu tanpa permisi langsung meraih tanganku dan menyalaminya. "Geraldo," katanya kemudian yang membuatku melongo karena ulahnya barusan.
Aku bahkan sampai tergagap ketika menyebutkan namaku sendiri. "A... a-alisha."
"Nama yang cantik seperti orangnya." Aku ingin memutar mata karena ucapannya itu, tapi kalau aku melakukannya pasti akan sangat nggak sopan apalagi di depan orang yang baru kukenal.
Aku kemudian memaksakan sebuah senyum untuk pria bernama Geraldo itu sebagai sebuah tanda terima kasih. Padahal dalam hatiku sudah berteriak karena kalimatnya yang menggelikan itu. Itu mah, gombalan dari jaman buyutku masih pakai bakiak ke pasar, batinku mengejek gombalannya tadi.
Kring!
Kring!
Kring!
Bunyi bel pulang sekolah berbunyi nyaring disertai sorakan dari anak-anak yang kemudian berbondong-bondong keluar dari kelas mereka masing-masing seperti gerombolan semut.
Hal itu membuatku menghela nafas lega karena sedari tadi aku sudah ingin sekali pergi dari tempat ini dan kehadiran pria di sebelahku itu semakin membuatku ingin segera beranjak.
Laquinna berlari menghampiri tempat dudukku dengan menggenggam sebuah makanan di tangannya dan ditemani oleh seorang bocah laki-laki yang ikut berlari bersamanya.
Tangan Quinn yang lain bergandengan dengan tangan bocah laki-laki yang nggak kuketahui namanya itu dan tentu saja itu membuat mataku memicing untuk memastikan apakah ada yang salah dengan penglihatanku.
Ketika sudah berdiri di hadapanku, tautan tangan mereka terpisah lalu Quinn memanggilku. "Kak Al!"
Bocah lelaki itu berjalan dua langkah ke samping dan kini sudah berdiri di hadapan Geraldo. “Kak Al, itu teman aku!" Quinn menunjuk ke arah Geraldo dan bocah tadi yang berada di sebelah kami.
"Davin, itu teman kamu?" tanya Geraldo. Oh, ternyata namanya Davin. Bocah bernama Davin itu kemudian menjawab, "Iya, Pa.”
“Loh, kenapa Papa nggak tau?” tanya pria blasteran yang bernama Geraldo itu.
“Papa ‘kan jarang antar jemput Davin ke sekolah, Pa,” protes Davin dengan bibir mencebik. Aku hampir saja terbahak mendengar ucapan yang keluar dari mulut bocah itu kalau saja Quinn nggak menginterupsi.
"Kak Al, ini namanya Davin. Teman Quinn." Aku mengangguk pada Quinn kemudian beralih menatap Davin lalu memberikannya seulas senyum.
"Davin salam dong sama Kak Alisha," tegur Geraldo ketika melihat anaknya itu masih bergeming di tempat. Bocah lelaki itu kemudian mengulurkan tangannya dan tentu saja kusambut dengan senang hati.
"Mulai sekarang Papa akan lebih sering antar jemput Davin ke sekolah,” ucap Geraldo pada anaknya. “Mana tau Papa bisa dapat jodoh di sini,” sambung Geraldo dengan gumaman yang masih dapat kudengar sembari matanya melirikku dengan saksama dan itu membuat bulu kudukku meremang akibat tatapannya itu.
Bibirnya yang tersenyum asimetris itu juga terlihat menyakitkan mataku. Berani sekali pria itu menggoda orang yang baru dikenalnya kurang dari 24 jam. Jiwa buayanya udah meronta-ronta, batinku dalam hati.
"Kalau gitu kami pulang dulu. Permisi, Geraldo,” kataku kemudian beranjak dari dudukku. “Bye, Davin,” sambungku dengan lambaian tangan sebelum benar-benar meninggalkan dua lelaki yang berbeda generasi itu.
Quinn berjalan menuju mobil dengan bibir yang menampilkan seulas senyum. "Kenapa senyum-senyum gitu?" tanyaku padanya ketika sudah berada di dalam mobil.
"Quinn senang aja hari ini. Oh ya, jodoh itu apa sih, Kak? Tadi Quinn dengar, Papa-nya Davin ada bilang jodoh-jodoh itu.”
Aku memalingkan wajah menghadap kaca mobil sejenak untuk memutar mata sambil mengutuk pria blaster yang bernama Geraldo itu di dalam hati. Bahkan belum ada satu jam aku mengenalnya, pria itu sudah mendatangkan masalah padaku.
Pertanyaan Quinn seperti ini adalah salah satu masalah yang harus sering kuhadapi mulai sekarang karena otak anak itu sudah memasuki tahap kritis dengan keadaan sekitarnya. Juga didorong oleh rasa ingin tahunya yang besar.
"Hmn... jodoh, ya?" Aku berdehem sebentar sambil memikirkan definisi jodoh yang bahkan aku sendiri nggak tahu karena aku belum bertemu dengan jodohku itu sampai saat ini.
"Jodoh itu soulmate. Seperti laki-laki dan perempuan yang menikah lalu hidup bersama sampai tua. Jodoh itu adalah pasangan yang diberikan Tuhan pada kita," jelasku ragu, entah apa yang kukatakan itu benar apa nggak. Yang kutahu hanya kalimat itu yang tiba-tiba terlintas dalam otakku.
"Tapi Quinn nggak punya Bunda. Berarti Ayah nggak punya pasangan, dong? Ayah nggak punya jodoh ya, Kak?" tanya Quinn setelah mendengar ucapanku.
Ya ampun, kenapa bisa menjadi sejauh ini pertanyaannya. Aku menggaruk pelipisku yang nggak gatal dengan perasaan bingung. Pak Amrin yang sedang berkendara di depan kami, menatapku lewat kaca spion tengah dan memberikanku senyum maklumnya.
"Sebaiknya Quinn tanyakan aja ke Ayah nanti," jawabku yang sudah pasrah karena terjadi kebuntuan pada otakku ini.
“Ini dari siapa, Quinn?" tanyaku untuk mengalihkan topik dengan meraih bolu berbentuk boneka dan kura-kura yang berada di antara kami.
"Tadi Davin yang kasih untuk Quinn. Katanya dia sengaja bawa lebih,” jawabnya sambil menyodorkan salah satu dari bolu itu padaku.
Seakan mengerti dengan maksud gadis itu, aku membuka plastik pembungkusnya lalu menyodorkan makanan itu kembali pada Quinn untuk disantap olehnya.
Setelah bolu kura-kura bewarna milik Quinn habis, gadis itu kemudian terlelap di sebelahku dengan pahaku yang dijadikan bantalan kepalanya karena kemacetan kota yang menghambat perjalanan kami menjadi lama.
Kasihan juga kalau dibangunkan, pasti dia juga lelah. Akhirnya aku menyampirkan tas milik gadis itu pada bahuku sesampainya di rumah dan menggendong tubuhnya seperti induk koala yang menggendong anaknya.
Bobot Laquinna bisa dibilang lumayan berat, tetapi aku tetap kekeuh membawa gadis itu dalam gendonganku sampai masuk ke dalam rumah meskipun dengan napas yang terengah-engah. Inilah dampak dari tubuh kecilku yang kerap diragukan oleh banyak orang kalau aku sudah memiliki KTP karena banyak dari mereka yang mengira aku masih memakai rok biru atau bahkan merah.
Entah ini adalah sesuatu yang harus kusyukuri, atau kusesali. Aku juga nggak tahu. Tapi, pada dasarnya memang semua gadis ingin memiliki tubuh tinggi semampai seperti model-model Victoria’s Secret ‘kan?
Saat memasuki area ruang tamu, sosok Pak Dewa tampak sedang duduk di atas sofa dengan fokus pada tablet yang berada di pangkuannya. Pria itu kemudian mendongak dan menatapku yang hendak berlalu untuk menuju ke kamar Laquinna yang berada di lantai atas.
Jam berapa ini? Kenapa Pak Dewa udah sampai di rumah jam segini? Bukannya pekerja kantoran seperti dia seharusnya pulang jam lima sore, pikirku dalam hati karena mendapati Pak Dewa yang masih mengenakan setelan kerjanya, yaitu kemeja lengan panjang yang digulung sampai siku dan celana bahan bewarna hitam.
"Alisha," panggil Pak Dewa yang nggak beranjak sedikit pun dari tempat duduknya untuk membantuku mengangkat anaknya yang berada dalam gendonganku ini.
"Y... ya, Pak?" tanyaku dengan cicitan. Suaraku kini bahkan sudah mirip dengan suara kucing terjepit pintu karena adanya Laquinna yang sedang tertidur di depan tubuhku.
"Letakkan Laquinna di kamarnya lalu kamu turun ke sini setelah itu," perintahnya lalu kembali menekuri tabletnya itu tanpa berkata-kata lagi. Kalau saja bisa, aku ingin mengutuk pria yang nggak berbelas kasihan itu, tapi nyatanya kutukan itu hanya bisa kukeluarkan dalam hatiku.
Pria ini benar-benar nggak berperikemanusiaan sepertinya, ya? Walaupun aku bekerja untuk mengasuh anaknya, setidaknya ia bisa sedikit membantuku dengan cara menggantikanku untuk menggendong anaknya ‘kan? Apalagi badanku kurang nutrisi begini. Ah, pria ini benar-benar!
Aku mengangguk—walaupun nggak dilihat oleh Pak Dewa, kemudian berlalu meninggalkan pria itu di ruang tamu. Kakiku berjalan dengan cepat, membawa tubuh Quinn yang ada di dalam gendonganku ke kamarnya yang berada di lantai atas sebelum tubuhnya itu melorot dari gendonganku karena lenganku yang nggak mampu menahan bobotnya lagi. Oh, jangan sampai itu terjadi.
Kalau sampai itu benar-benar terjadi, sepertinya aku sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Pak Dewa akan berlari menghampiriku untuk mengecek keadaan putrinya ini. Lalu pria itu pasti akan menatapku setajam pisau silet atau laser yang bisa digunakan untuk mencabik-cabik seseorang. Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik ngeri terlebih dahulu.
Akhirnya aku bisa mengeluarkan napas yang sedari tadi menyesakkan d**a ketika sudah sampai di dalam kamar Laquinna. Mengangkat gadis itu sungguh menguras tenagaku. Makanan yang sudah masuk ke dalam tubuhku rasanya seperti nggak berguna karena seluruh energinya kukeluarkan untuk mengangkat tubuh Laquinna.
Aku duduk di pinggir tempat tidur setelah meletakkan Laquinna di atasnnya. Tanganku melepaskan seluruh pakaian gadis itu kemudian menggantinya dengan pakaian rumah yang nyaman dan semua hal itu nggak sedikit pun mengusik tidurnya. Seakan-akan, Quinn benar-benar masuk ke dalam alam mimpi dan menikmati tidur nyenyaknya.
Setelah memastikan gadis itu nyaman dengan posisinya, kutarik selimut Quinn sampai sebatas dadanya dan menghidupkan pendingin ruangan. Aku segera berlalu setelah menekan saklar lampu agar tertutup, lalu menutup pintu kamar gadis itu dengan rapat.
Kedua kaki ini berjalan menuju kamarku sendiri untuk bertukar pakaian. Setelah it, aku baru turun ke lantai bawah untuk menemui Pak Dewa sesuai dengan perintah pria itu. Namun sudah 2 menit aku berdiri di depannya, Pak Dewa seakan nggak melihat wujudku ini. Aku layaknya manusia nggak kasat mata.
"Ada apa, ya, Pak?" tanyaku setelah memberanikan diri membuka suara.
"Ada yang ingin saya bicarakan. Duduk," perintahnya.
"Bapak mau ngomong apa? Penting, Pak?" tanyaku lagi setelah duduk di sofa yang ada di hadapannya.
"Sangat penting. Menyangkut masa depan kita—saya, kamu, dan Laquinna."
Sejak kapan ada kata kita di antara aku, pria ini, dan Laquinna? batinku bertanya-tanya.