Rasa Sesal

2117 Words
“Siapa kamu?” tanya Silla, tak peduli lagi pada sopan santun, Silla menanyakan itu tanpa basa-basi dengan nada suara yang terdengar ketus dan sinis. Rasa cemburu kini melanda hati dan pikirannya. Berbagai pemikiran negatif tentang apa yang mungkin dilakukan Ardo dan wanita itu tak bisa hilang dari pikiran Silla. “Loh, kenapa malah kamu yang bertanya? Seharusnya aku yang bertanya siapa kamu?” Silla berdecak. “Aku istri Ardo. Kamu siapa?” “Oh, Ardo sedang di toilet. Nanti saja kamu menelepon lagi ke sini.” Sambungan telepon pun terputus secara sepihak karena entah siapa pun wanita yang bicara dengan Silla itu malah mengakhiri pembicaraan mereka alih-alih menjawab pertanyaan Silla. Silla yang marah, kembali menelepon nomor Ardo, tapi berapa kali pun dia menelepon, kini tak ada lagi yang mengangkatnya. “Huh, Kak Ardo dan wanita itu sedang melakukan apa? Jangan-jangan mereka ….” Silla cepat-cepat menggelengkan kepala untuk menepis pemikiran buruknya itu agar lenyap dari kepalanya. “Tidak mungkin Kak Ardo mengkhianatiku. Ya, tidak mungkin dia setega ini padaku padahal baru kemarin kami menikah.” Silla terus berperang dengan dirinya sendiri, antara berpikir positif tentang sang suami atau memikirkan hal-hal yang buruk tentangnya. Silla terenyak ketika merasakan ponsel dalam genggamannya bergetar, ternyata kali ini Ardo yang menghubunginya. Tanpa ragu Silla pun mengangkatnya, “Hallo,” sapanya, masih dengan nada ketus dan sinis, masih kesal karena tadi yang mengangkat teleponnya seorang wanita. “Kamu kenapa meneleponku?” tanya Ardo. “Yang mengangkat teleponku tadi seorang wanita, siapa dia?” Namun, Silla balas bertanya, tak kuasa menahan rasa penasarannya, dia ingin tahu siapa gerangan wanita yang berani memegang ponsel Ardo sampai mengangkat telepon yang masuk. “Itu bukan urusanmu. Yang penting sekarang cepat katakan ada apa? Kenapa kamu meneleponku?” Amarah Silla semakin menjadi, tapi dia mencoba menahan diri karena sadar dia membutuhkan bantuan Ardo. Silla pun mengembuskan napas pelan, mencoba mendapatkan kembali ketenangannya. “Bisa kamu jemput aku?” “Hah? Kenapa aku harus menjemputmu? Bukankah kamu membawa mobil sendiri?” “Ada sedikit masalah.” “Masalah apa?” Silla pun lantas menceritakan kejadian yang menimpanya serta memberitahu di mana posisinya berada. “Bisa, kan, kamu datang ke sini, Kak? Di sini tidak ada kendaraan yang melintas. Sepi sekali, aku takut.” Suara dengusan terdengar mengalun di seberang sana, itu suara Ardo yang terdengar malas dan enggan untuk mengabulkan permintaan Silla. “Tolonglah, Kak. Aku benar-benar takut ini.” “Ya, ya, baiklah. Aku akan menjemputmu. Kamu tunggu di sana.” Senyum lega pun seketika terulas di bibir Silla. “Iya, Kak. Aku akan menunggu di sini. Terima kas …” Namun, Silla tak melanjutkan ucapan terima kasihnya karena telepon itu tiba-tiba terputus, tentu saja Ardo yang melakukannya. Dengan tak sopan memutus sambungan telepon itu secara sepihak. “Issshh, kenapa sih Kak Ardo menyebalkan sekali?” gerutu Silla, tapi tak lama kemudian dia tersenyum tipis karena senang Ardo bersedia menjemputnya. Awalnya Silla pikir Ardo akan langsung datang begitu mengetahui kondisi yang menimpanya, tapi ternyata pemikirannya salah besar karena meski sudah hampir satu jam menunggu, Ardo tak kunjung menampakan batang hidung. Silla sempat berpikir untuk menghubungi supir pribadinya saja, tapi urung dia lakukan begitu melihat ada sebuah mobil menghampirinya. Silla hafal mobil itu, yang tidak lain merupakan mobil seseorang yang dia tunggu sejak tadi yaitu Ardo. Sosok Ardo turun dari mobil itu begitu berhenti tepat di samping mobil Silla. “Kak Ardo lama sekali sih?” Silla menggerutu, tak menutup-nutupi kekesalan yang dia rasakan. “Mau bagaimana lagi urusanku belum selesai. Ayo cepat masuk ke mobilku, kita pulang sekarang. Mobilmu biar pihak bengkel yang ambil, aku sudah menghubungi bengkel langgananku.” Silla tak berkomentar lagi, dia mengikuti Ardo yang berjalan di depannya menuju ke mobilnya. Silla pun naik ke mobil itu dan duduk di kursi depan, tepat di samping Ardo. Sedetik kemudian, Silla membekap mulut karena indera penciumannya tiba-tiba menghirup aroma menyengat yang tak sedap. Tidak salah lagi itu bau minuman keras. “Kamu habis minum-minum, ya, Kak?” tanya Silla yang yakin aroma minuman keras itu berasal dari tubuh Ardo yang duduk di sampingnya. Ardo mengangguk, tak menyangkal sedikit pun. “Jadi, begitu pulang dari restoran tadi, Kak Ardo langsung minum-minum? Jangan bilang wanita yang mengangkat teleponku tadi juga ikut minum-minum bersama Kak Ardo?” Ardo memicingkan mata. “Ya, wanita itu memang minum bersamaku di kelab. Kenapa memangnya?” Silla pun melebarkan mata, tak menyangka dengan begitu lantang Ardo mengakui hal itu. “Apa yang Kak Ardo lakukan dengannya? Siapa wanita itu, Kak?” “Bukankah di telepon tadi sudah aku katakan, itu bukan urusanmu.” “Aku ini istrimu, Kak. Jadi, aku berhak tahu siapa wanita yang memegang ponsel suamiku tadi. Dia sampai berani mengangkat teleponku.” Ardo mendengus, lalu terkekeh penuh cemoohan. “Sepertinya kamu sudah melupakan apa yang aku katakan sebelum kita menikah. Aku sudah jelas-jelas mengatakannya padamu. Walaupun kita menikah, kita tetap bisa hidup bebas dan tidak boleh ikut campur urusan masing-masing, karena itu kamu tidak berhak bertanya dengan siapa aku pergi atau apa yang sedang aku lakukan. Sekali lagi aku katakan itu bukan urusanmu. Aku juga tidak tertarik ikut campur urusanmu.” Hati Silla terluka mendengarnya, tapi dia tak memungkiri Ardo memang sudah menjelaskan hal ini sebelumnya. “Kalau kamu terus ikut campur urusanku begini, lebih baik kamu turun saja. Aku malas meladeni wanita cerewet sepertimu.” Silla menghela napas panjang, tahu dalam situasi seperti ini dia harus mengalah atau Ardo akan mengusirnya, tak mengizinkan untuk menumpang di mobilnya. Silla pun memilih diam, tak berkomentar apa pun lagi, hingga mobil itu pun mulai melaju menuju apartemen. “Kak Ardo, kenapa melakukan ini padaku?” tanya Silla, kembali memulai pembicaraan lagi, memecah keheningan di antara mereka yang sempat melanda. Ardo berdecak jengkel. “Sudah kubilang jangan ikut campur urusanku.” “Aku tidak sedang membicarakan wanita yang mengangkat teleponku tadi, tapi aku sedang membahas apa yang Kak Ardo lakukan waktu kita meeting dan makan siang bersama di restoran tadi.” Ardo yang sejak tadi fokus menatap ke depan karena sedang menyetir, sekilas menoleh pada Silla. “Kenapa memangnya? Aku tidak melakukan apa pun padamu, kan?” “Kak Ardo tidak sadar sudah mempermalukan aku di depan semua peserta perkumpulan. Terutama saat meeting, saat aku melakukan presentasi. Semua pertanyaan Kak Ardo seperti sengaja menyudutkan aku.” Ardo tertawa, terlihat jelas mencemooh perkataan Silla. “Pikiranmu berlebihan, aku tidak bermaksud begitu. Memang aku tertarik dengan tema beasiswa yang kamu utarakan. Aku hanya mencoba menyampaikan pendapatku.” “Tapi Kak Ardo tidak menanggapi saat orang lain yang melakukan presentasi. Kak Ardo juga tidak bertanya apa pun atau mengomentari apa pun, tapi kenapa saat aku yang presentasi, Kak Ardo mengutarakan pertanyaan yang memojokan aku?” Ardo mendengus. “Jadi menurutmu, aku sedang memojokan kamu?” Ardo menggelengkan kepala. “Padahal seharusnya kamu senang. Aku mengomentari presentasi kamu karena aku memperhatikan kamu, aku juga peduli padamu. Aku tidak mengomentari presentasi peserta lain karena tidak peduli pada mereka.” “Tapi pertanyaan Kak Ardo semuanya menyudutkan aku.” Ardo mengangkat kedua bahu. “Itu karena kamu yang belum matang dan siap. Presentasi kamu masih belum disiapkan dengan baik karena kamu belum memikirkan masalah sekecil apa pun yang mungkin akan ditanyakan peserta lain. Lagi pula tidak ada yang salah dengan pertanyaanku, aku hanya mengutarakan masalah yang memang sering terjadi di sekolah lain.” Silla tahu Ardo pandai berbicara sehingga dia tak akan menang setiap berdebat dengan Ardo, sehingga dia pun memilih menyudahi perdebatannya tentang kejadian saat di dalam ruang meeting. “Terus kenapa Kak Ardo berbohong saat kita makan siang bersama?” “Berbohong?” Ardo menaikkan satu alis. “Memangnya aku berbohong apa?” Silla memutar bola mata. “Kak Ardo benar-benar tak mengerti atau hanya sedang pura-pura tak mengerti maksudku barusan?” “Aku memang tidak mengerti, memangnya aku berbohong apa?” Silla pun berdecak kali ini, baru menyadari bicara dengan Ardo hanya membuatnya emosi saja. Pria itu selalu tahu cara untuk membuatnya kesal. “Kak Ardo bohong tentang bulan madu. Bukan aku yang tidak ingin pergi bulan madu, tapi Kak Ardo. Yang bilang kita tidak perlu bulan madu karena akan bertemu setiap hari juga Kak Ardo, kan? Tapi tadi di depan semua peserta perkumpulan Kak Ardo mengatakan aku yang tidak mau pergi bulan madu, jelas Kak Ardo sudah berbohong.” “Jadi, kamu sebenarnya ingin pergi bulan madu?” Ditanya seperti itu oleh Ardo, Silla mengatupkan mulut detik itu juga, tak lagi berkata-kata. “Benar kamu ingin pergi bulan madu denganku?” Ardo mendengus karena Silla yang hanya diam saja. Namun, baginya kediaman wanita itu menjelaskan segalanya. Dia pun terkekeh, mencemooh Silla. “Tidak ada yang perlu ditertawakan, Kak. Wajar bukan jika aku ingin pergi bulan madu, toh kemarin kita baru melangsungkan pernikahan. Dan lagi yang tidak aku sukai itu kenapa Kak Ardo harus berbohong segala di depan banyak orang. Padahal jujur saja, katakan kalau sebenarnya Kak Ardo yang tidak ingin pergi bulan madu.” Dada Silla naik turun dengan cepat karena dia tengah mengutarakan kekesalan dalam hati yang dia pendam sejak meeting berlangsung. “Dan lagi kenapa Kak Ardo harus berbohong tentang aku yang menyuapi Kak Ardo saat sarapan? Atau Kak Ardo yang berpura-pura bersikap romantis padaku di depan semua orang. Sikap Kak Ardo itu membuatku kesal.” “Terus yang kamu mau bagaimana, hm? Kamu ingin semua orang tahu kalau pernikahan kita tidak normal? Kamu ingin semua orang tahu kalau di antara kita tidak akan pernah ada kemesraan karena kita menikah dengan terpaksa akibat perjodohan? Aku berpura-pura mesra denganmu di depan banyak orang untuk menyembunyikan pernikahan kita yang menyedihkan.” “Kak Ardo sendiri yang membuat pernikahan kita jadi menyedihkan seperti ini,” ucap Silla pelan, tapi Ardo bisa mendengarnya dengan jelas. “Padahal saat aku memutuskan untuk menikah dengan Kak Ardo, saat itu juga aku memutuskan untuk mengabdikan hidupku untuk Kak Ardo. Tentu saja aku sudah siap menjalani hidup layaknya pernikahan normal dan aku juga sudah siap menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri. Aku ….” Namun, Silla tak melanjutkan ucapannya, bukan karena dia tidak mau, melainkan karena dia tak bisa melanjutkannya. Silla memekik terkejut ketika Ardo tiba-tiba menghentikan mobil dengan mengeremnya mendadak, menepikannya ke pinggir jalan dan menerkam tubuh wanita itu. Ardo menekan tubuh Silla pada sandaran kursi, tak membiarkan wanita itu melepaskan diri dari kungkungannya. Bahkan kedua tangan Silla dicengkeram erat pria yang telah menjadi suaminya itu. “Kak Ardo! Apa yang Kakak lakukan? Lepaskan aku! Jangan melakukan ini!” Silla berteriak begitu Ardo mendekatkan wajahnya seolah akan mencium bibir sang istri secara paksa. Silla memberontak, mencoba mendorong d**a bidang Ardo yang menekannya agar menjauh dari tubuhnya. “Kak Ardo, lepaskan! Jangan lakukan ini padaku!” Ardo pun mendengus keras seraya memasang senyum miring. “Beberapa menit yang lalu kamu mengatakan siap menjalankan kewajibanmu sebagai seorang istri, tapi coba lihat sekarang. Kamu bahkan bersikap histeris ketika aku meminta kamu membuktikan ucapanmu tadi. Sebenarnya yang pandai berbohong itu kamu, bukan aku.” Napas Silla terengah-engah, masih terlihat ketakutan pada Ardo yang tiba-tiba menyerang dan bersikap kasar padanya. “Ngomong-ngomong kamu benar aku memang sengaja memojokan kamu saat kamu presentasi. Aku juga sengaja menjadikan kamu bahan olok-olok dan canda gurau semua orang saat kita makan siang bersama di restoran. Kamu mau tahu alasan aku melakukan semua itu?” Silla tak mengatakan apa pun, tapi kedua matanya berkaca-kaca karena ucapan Ardo benar-benar melukai perasaannya. “Alasannya karena aku muak padamu. Seharusnya kamu menolak perjodohan ini, tapi kamu malah menerimanya walau aku sudah mengatakan akan seperti apa hidupmu setelah menikah denganku.” Ardo mendengus ketika melihat Silla kini benar-benar meneteskan air mata. “Huh, jangan kamu pikir aku terharu atau merasa iba hanya karena melihat air matamu. Kamu harus bersiap-siap saja, Adsilla Claretta Jasmine, karena seperti yang kukatakan saat kita pertama kali bertemu, aku tidak akan pernah menyentuhmu dan jangan harap rumah tangga kita berjalan normal seperti pasangan lain. Dan satu lagi …” Ardo mengangkat jari telunjuknya membentuk angka satu. “… jangan pernah coba-coba ikut campur urusanku. Kita jalani saja hidup kita masing-masing. Paham?” Setelah itu, Ardo benar-benar menjauh dari tubuh Silla, kembali duduk tegak di kursinya. Lantas dia pun kembali melajukan mobilnya menuju apartemen yang jaraknya sudah tak terlalu jauh dari tempat mereka berada. Sedangkan Silla hanya menundukan kepala, air matanya tak mau berhenti mengalir, meratapi kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan. “Ayo turun. Kita sudah sampai,” ucap Ardo ketika mobil mereka sudah berada di area parkir apartemen. “Kamu seharusnya tidak pernah menerima perjodohan ini, Silla. Hidupmu tidak akan jadi seperti ini andai saja kamu menolak menikah denganku.” Ardo pun turun dari mobil lebih dulu, lalu berjalan meninggalkan istrinya di belakang begitu saja. Yang dilakukan Silla hanyalah menatap punggung Ardo yang semakin menjauh, lalu ada rasa sesal terbesit di hatinya, memang tak seharusnya dia menerima perjodohan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD