Siapa Wanita itu?

2102 Words
Silla benar-benar merasa tak nyaman, dia terus menjadi bahan canda gurau orang-orang yang berada di ruangan VIP tersebut. Yang menjengkelkan karena Ardo tak pernah membantu atau membelanya, justru ikut-ikutan tertawa seolah dia senang melihat istrinya sendiri menjadi bahan ejekan. “Pak Ardo, kenapa kalian tidak pergi bulan madu?” tanya salah seorang peserta meeting. Ardo tersenyum kecil. “Tanyakan itu pada istri saya.” Spontan Silla mendelik tajam pada Ardo yang berkata demikian. “Kenapa kalian tidak pergi berbulan madu, Bu Silla?” Hingga Silla hanya bisa mengembuskan napas pelan karena pertanyaan itu kini dilontarkan padanya. Silla sudah membuka mulut, dia pikir mau tak mau harus memberikan jawaban. “Istri saya yang tidak mau pergi bulan madu. Dia bilang untuk apa bulan madu, toh kami bertemu setiap hari.” Kembali Silla mendelik tajam pada sang suami yang menyela ucapannya, lagi-lagi memberikan jawaban yang tak sesuai kenyataan karena yang pernah berkata demikian adalah Ardo sendiri, bukan dirinya. “Memang benar kalian akan bertemu setiap hari, tapi kan liburan itu penting, Bu Silla. Harusnya kalian memanfaatkan momen bulan madu ini untuk bermesraan agar kalian bisa cepat dapat momongan.” Silla memasang raut masam, dia kesal karena jadi dirinya yang dinasihati seperti itu. “Mungkin bagi pasangan pengantin baru ini, bermesraannya bisa setiap hari di kamar, tidak perlu pergi ke tempat lain segala. Sudahlah, kita dukung saja mereka. Mungkin mengajak mereka makan bersama di sini juga seharusnya tidak kita lakukan. Mungkin kita sudah mengganggu mereka yang ingin bermesraan.” “Ah, iya, benar juga. Maaf, apa kami mengganggu kalian yang ingin bulan madu di kamar kalian?” “Seharusnya kalian tidak perlu mengikuti meeting ini, kami maklumi kok kalau kalian tidak bisa datang. Namanya juga pengantin baru. Kami mengerti karena pernah merasakan jadi pengantin baru juga.” “Kalau kalian mau bermesraan di sini silakan, kami tidak akan merasa risih kok. Ayo, ayo, jangan malu-malu.” Setelah itu suara hiruk pikuk mereka yang meminta Ardo dan Silla mengumbar kemesraan pun terus mengalun, membuat kesabaran Silla nyaris habis jika saja dia tidak ingat mereka merupakan pebisnis-pebisnis sukses yang harus dia jaga hubungan baik dengan mereka. Mereka merupakan rekan bisnis sekaligus rekan yang menyenangkan untuk diajak berdiskusi dan kerja sama. Silla yang sedang melamun itu tersentak kaget ketika sebuah garpu tiba-tiba terulur ke dekat bibirnya. Garpu berisi daging steak yang sudah dipotong dan siap dimasukkan ke dalam mulut. Tentu saja pelakunya adalah Ardo. “Kamu dengar itu, kan, Sayang? Katanya tidak masaah kalau kita bermesraan di depan mereka. Sini gantian aku yang menyuapi kamu, seperti kamu yang tadi pagi menyuapi aku ketika kita sarapan bersama.” Silla rasanya ingin tertawa mendengar kebohongan yang baru saja dikatakan Ardo tersebut. Apanya yang menyuapi saat sarapan, bahkan pria itu sudah tak ada di apartemen begitu Silla keluar dari kamarnya. Silla juga tak sempat sarapan di apartemen karena takut terlambat menghadiri meeting tersebut. “Wah, ternyata kalian memang bermesraan ya di rumah, bagus … bagus. Yang namanya pengantin baru memang harus begitu. Ayo, ayo, jangan malu-malu, Bu Silla. Silakan saling menyuapi seperti di rumah kalian.” Lagi-lagi salah seorang peserta meeting berkata demikian. Silla menghela napas panjang, ingin rasanya mengatakan kejadian yang sebenarnya pada mereka semua bahwa Ardo hanya mengatakan kebohongan. Tak ada sedikit pun kemesraan di antara mereka. Alih-alih kemesraan, Silla tak mungkin lupa bagaimana cara Ardo mengusirnya saat mereka berdua di kamar pria itu semalam. Namun, Silla mencoba menahan diri. Tak mungkin mengatakan itu karena dia tak mau nama baiknya dan sang suami tercoreng. Dia tak akan membiarkan seorang pun tahu bagaimana kehidupan rumah tangganya dengan Ardo yang sebenarnya. “Ayo buka mulutnya, Sayang,” pinta Ardo dan Silla pun dengan terpaksa menurut. Dia membuka mulut, siap menerima potongan daging yang diulurkan Ardo, tapi lagi-lagi Ardo melakukan tindakan kurang ajar dengan alih-alih memasukan potongan daging itu ke mulut Silla, pria itu justru memasukan daging tersebut ke mulutnya sendiri. “Wah, kalian manis sekali. Pak Ardo, lihat itu … Bu Silla marah karena Anda mengerjainya.” Dan suara tawa pun untuk kesekian kalinya mengalun membuat Silla kembali merasa dipermalukan. Sikap Ardo sangat keterlaluan. “Ah, jadi penasaran semesra apa kalian jika sedang berdua di dalam kamar.” “Sama seperti Anda dan istri Anda tentunya,” sahut Ardo. “Tapi mungkin lebih liar dan panas saya dan Silla dibandingkan Anda dan istri Anda. “Ardo tiba-tiba merangkul bahu Silla, memeluk wanita yang sudah resmi menjadi istrinya itu dari samping. “Benar, kan, Sayang? Aku jadi ingat betapa ganasnya kamu semalam.” Suara siulan dan dehaman pun terdengar saling bersahut-sahutan. Silla sama sekali tak memberikan tanggapan apa pun, dia menatap tajam pada Ardo yang lagi-lagi mengumbar kebohongan di depan semua orang. Silla hanya diam selama sesi makan siang bersama itu berlangsung. Dia memilih menutup mulut seperti ini karena tak ingin mengumbar aib rumah tangganya dengan Ardo, juga tak ingin mempermalukan dirinya sendiri. Silla baru bisa bernapas lega setelah acara makan bersama mereka selesai, kini mereka sedang berjalan beriringan menuju tempat parkir di mana mobil mewah para pebisnis yang menjadi pemimpin perusahaan itu terparkir. “Kalian tidak naik mobil bersama?” tanya Fredy ketika melihat Silla yang hendak masuk ke mobilnya sendiri, padahal Ardo sudah duduk di kursi kemudi mobilnya sendiri. Silla menggelengkan kepala. “Tidak, Pak. Saya membawa mobil sendiri. Lagi pula saya ada urusan sebentar di kantor,” sahutnya disertai senyum ramah. “Ya ampun, Bu Silla. Kemarin baru saja menikah, masa masih saja memikirkan pekerjaan. Kasihan suaminya pulang sendiri. Harusnya kalian kan pulang bersama-sama. Bermesraan lagi di kamar, kalian berdua itu sudah kaya raya, untuk apa cari uang terus?” Silla tahu wanita bernama Rosita itu hanya bercanda saat berkata demikian, tapi sungguh dia tersinggung mendengarnya. Ingin membalas orang yang sok ikut campur urusannya itu, tapi Silla kembali menahan diri karena tak ingin menimbulkan keributan di tempat umum itu. “Tidak apa-apa, Bu Rosita. Saya selalu setia menanti istri saya pulang ke rumah.” Dan Ardo lagi-lagi mengatakan sesuatu yang menyudutkan Silla. Mengatakan kebohongan karena ingin dianggap sebagai suami yang baik dan romantis oleh orang lain. “Wah, Pak Ardo pengertian dan penyabar sekali. Bu Silla, Anda beruntung memiliki suami seperti Pak Ardo.” Silla hanya tersenyum miris, nyatanya dalam hati dia mendengus keras, tak setuju. Apanya suami yang baik, Silla malah baru menyadari Ardo merupakan pria b******k yang tidak seharusnya dia jadikan suami. Sayangnya dalam hati Silla tetap merasakan cinta untuk pria itu. “Sayang, aku pulang duluan, ya. Sampai jumpa di rumah. Aku akan menyiapkan makan malam untuk kita berdua. Kamu jangan telat pulang, ya, Sayang.” Ardo berkata demikian dengan lembut pada Silla, mengundang siulan dan dehaman kembali mengalun dari orang-orang yang mendengar dan percaya kebohongan pria itu. Ardo pun melajukan mobilnya, menjadi orang pertama yang meninggalkan area restoran tersebut. “Huh, suami kamu menyebalkan sekali, ya.” Silla menoleh pada sumber suara, pada Tasya yang entah sejak kapan berdiri di belakangnya. “Sudah kuduga seharusnya kamu tidak menikah dengan Ardo.” “Kenapa memangnya, Tas?” Tasya mengembuskan napas pelan. “Aku ingin memberitahu kamu, tapi kalian baru saja menikah. Aku jadi takut gara-gara aku, kalian jadi bertengkar. Padahal kalian sedang gencar-gencarnya bermesraan.” Silla sudah membuka mulut, nyaris mengatakan bahwa yang dikatakan Ardo sepenuhnya adalah kebohongan. Tidak ada kemesraan sedikit pun yang terjadi di antara dirinya dan sang suami. Namun, Silla kembali mengatupkan mulut, menahan diri untuk tak mengatakan yang sebenarnya pada temannya itu. “Aku tetap penasaran apa yang kamu tahu tentang suamiku.” Hingga Silla memilih mengalihkan pembicaraan. “Nanti saja aku ceritakan sama kamu. Lagi pula, aku rasa nanti kamu akan tahu sendiri seperti apa suamimu yang sebenarnya.” Silla tertegun, semakin penasaran apa yang Tasya ketahui tentang suaminya. “Oh, ya. Sil, kamu sudah tahu minggu depan kita akan mengadakan survey ke lokasi didirikan yayasan dan sekolah perkumpulan kita?” Silla menggelengkan kepala karena dia memang tak tahu menahu kabar ini, tadi pun tak ada yang membahas masalah ini. “Benarkah? Kenapa tadi tidak dibahas?” “Karena kita sudah membahasnya di pertemuan sebelumnya waktu kamu tidak ikut karena masih berduka dengan kematian orang tuamu.” Silla pun terdiam karena memang benar beberapa kali dia tak ikut pertemuan karena masih berduka dengan kematian orang tuanya yang begitu mendadak. “Kamu dan Ardo akan ikut survey itu? Rencananya kita akan menginap di resort yang dekat dengan lokasi, sekaligus akan mengadakan makan malam bersama.” Silla mengangkat kedua bahu. “Entahlah, aku tidak tahu akan ikut atau tidak.” “Saranku sih kamu ikut saja, Sil. Karena kalau kamu tidak ikut, pasti peserta yang lain akan membicarakanmu. Ya, kamu sendiri tahu bagaimana mulut mereka yang senang ikut campur urusan orang lain.” Silla hanya tersenyum kecil, setuju sepenuhnya dengan perkataan Tasya. “Aku akan membicarakan ini dengan Ardo,” sahut Silla akhirnya, tak bisa mengambil keputusan sekarang. “Ah, benar juga. Kamu sudah menikah sekarang, tentu suami kamu harus ikut juga denganmu. Ardo anggota perkumpulan kita sekarang, kalau dia tidak ikut, pasti kalian jadi bahan gunjingan lagi.” Silla menghela napas pelan. “Ya, aku malas kalau sudah dibicarakan orang lain, lagi pula aku terkejut Ardo tiba-tiba menjadi anggota perkumpulan kita.” “Memangnya dia tidak memberitahumu sekarang dia menjadi peserta perkumpulan kita?” Silla menggelengkan kepala. “Tidak. Dia tidak bilang apa-apa di apartemen, makanya aku terkejut waktu melihat dia menjadi peserta baru.” “Kamu tinggal di apartemen?” tanya Tasya, terheran-heran. Silla pun mengangguk. “Ya, aku tinggal di apartemen Ardo sekarang.” “Aku pikir Ardo menyiapkan rumah untuk kalian tempati setelah menikah.” Silla mengangkat kedua bahu karena pria itu tak melakukan seperti apa yang dipikirkan Tasya tersebut. “Tidak. Dia tidak menyiapkan rumah dan malah menyuruhku tinggal di rumahku saja jika tidak bersedia ikut tinggal bersamanya di apartemen.” “Issshh, menyebalkan sekali sih suamimu itu.” Silla tak berkomentar, tapi dalam hati menyetujui sepenuhnya ucapan Tasya. Suaminya memang pria paling menyebalkan yang pernah Silla kenal. “Ok, kalau begitu aku pulang duluan, ya. Aku ada janji dengan pacarku hari ini. Sampai ketemu lagi, Silla.” Tasya memeluk Silla, yang dibalas Silla tak kalah eratnya. Setelah itu mereka pun berpisah. Tasya melajukan mobilnya, meninggalkan Silla yang tertegun di tempatnya berdiri. Tiba-tiba saja dia memikirkan bagaimana jadinya jika dia dan Ardo ikut menginap di resort bersama semua peserta perkumpulan yang akan melakukan survey ke lokasi dibangunnya yayasan dan sekolah, Silla tak bisa membayangkan betapa kesalnya dia jika nanti menjadi bahan olok-olok dan canda gurau semua orang lagi seperti hari ini. “Huh, ini menyebalkan,” gerutunya sebelum dia memutuskan untuk masuk ke mobil dan melajukan mobilnya meninggalkan area restoran. *** Awalnya Silla memang berniat pergi ke kantornya karena ada beberapa laporan yang harus dia periksa. Namun, karena rasa lelah tiba-tiba melanda, Silla pun memutuskan untuk mengurungkan niat itu. Kini Silla sedang menyetir, memasuki area yang cukup sepi menuju apartemen Ardo karena dia memilih langsung pulang ke sana. Namun naas, kesialan menimpa wanita itu. Tiba-tiba saja terdengar suara meledak, Silla panik bukan main karena mobilnya tiba-tiba hilang kendali. Rupanya salah satu ban belakang mobilnya menggilas batu runcing dan meledak. Silla dengan cepat mengerem mobil itu. Beruntung kondisi di sana sepi, tak ada satu pun kendaraan yang melintas sehingga tak terjadi sesuatu yang mengerikan. Silla menepikan mobilnya di pinggir jalan, wanita itu turun dari mobil untuk memeriksa bannya yang meledak barusan. “Huh, bagaimana caranya aku pulang ke apartemen kalau bannya meledak begini? Mana di sini sepi lagi, tidak ada taksi yang lewat,” gerutu Silla yang kebingungan bukan main. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Dalam situasi membingungkan itu, Silla teringat pada Ardo, suaminya. “Ah, aku telepon Kak Ardo saja dan meminta dia menjemputku.” Tanpa pikir panjang Silla melakukan seperti yang dipikirkannya yaitu menghubungi nomor ponsel Ardo. Telepon itu tersambung, tapi tak ada tanda-tanda Ardo yang mengangkatnya. “Huh, Kak Ardo ke mana sih? Kenapa teleponku tidak diangkat?” Silla menggerutu jengkel karena sudah tiga kali dia menelepon, tetap tak diangkat sang suami. “Aku telepon sekali lagi, kalau masih tidak diangkat juga, aku telepon Pak Syamsu saja.” Ya, Silla memutuskan akan menghubungi supir pribadinya jika Ardo tak kunjung mengangkat teleponnya. Silla pun mencoba menghubungi Ardo untuk terakhir kalinya dan hasilnya …. “Hallo …” Telepon Silla akhirnya diangkat dan suara seseorang pun mengalun dari seberang sana. Harusnya Silla senang karena panggilan teleponnya akhirnya diangkat, tapi yang terjadi alih-alih merasa senang, Silla justru terkejut bukan main. Kekesalan pun mulai memenuhi hatinya karena suara yang terdengar itu bukan suara Ardo, melainkan suara seorang wanita. ‘Siapa wanita itu? Kenapa dia yang mengangkat telepon darinya dan memegang ponsel Ardo?’ Berbagai pertanyaan itu kini bercokol di benak Silla dan berbagai pemikiran buruk menari-nari dalam kepalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD